Semenjak aku merasa tulisanku tak berkembang, aku justru tak lagi menulis. Kataku kala itu: percuma.
Tiga bulan lebih aku tak menulis. Hingga pada titik ini, ada sebuah rasa yang datang entah dari mana; mendorongku begitu kuat untuk kembali menulis.
Dulu sekali, entah karena apa, tiba-tiba saja aku ingin menjadi penulis. Barangkali sejak aku menemukan buku yang membuatku jatuh cinta sehingga aku terus membaca, membaca, dan membacanya. Kalau tak salah buku kumpulan puisi, berjudul hujan bulan Juni karya Sapardi. Itu adalah ketika aku SMP. Secara tak sengaja.
Sejak itu, dengan pedenya aku berikrar kelak akan jadi penulis. Menurutku, sepertinya asik. Dan setelah itu, tanpa peduli bagaimana cara menulis yang benar, aku memulainya dari sepenggal kalimat. Aku membayangkan aku adalah penyair yang senantiasa membuat puisi. Tiap malam aku adalah penyair. Tentu saja, selalu gagal.
Bagaimana mungkin merangkai kata begitu sulit. Di setiap perjumpaanku dengan buku, selalu ada jeda untukku bertanya: mengapa aku tak bisa menulis, aku harus menulis apa. Alih-alih menulis, yang ada hanya sekumpulan coretan yang tertoreh di lembaran. Bukan imajinasi yang terkumpul, tetapi malah lamunan yang terus mengepul.
Begitu sulit yang namanya menulis. Maka sungguh iri aku kepada para penulis itu. Bagaimana mungkin mereka dengan mudahnya membuat berlembar-lembar cerita hingga menjadi buku, sementara aku menulis satu kalimat saja mati kutu.
Pikiranku kemudian diajak beralih, bagaimana penulis-penulis itu mulai memulai. Aku yakin sekali, mereka, pasti juga pernah berada dalam masa seperti aku sekarang ini: yang belum bisa menulis, yang memikirkan bagaimana pikiran penulis, dll. Aku yakin itu.
Aku masih bertanya, apakah penulis itu adalah bakat. Apakah penulis itu soal ketekunan. Apakah soal pengalaman. Aku bahkan menduga penulis-penulis itu memiliki sebuah ruang tersembunyi yang belum pernah aku ketahui. Tak bukan dan tak lain, pasti ada alam lain di kehidupan mereka.
Sembil memikirkan bagaimana para penulis itu bekerja, aku terus mencoba merangkai kata. Mula-mula hanya beberapa kalimat. Begitu sulit, tapi aku terus coba. Dan akhirnya berhasil, satu kalimat tercipta. Aku baca, ternyata jelek. Aku rubah lagi susunannya. Mencoba mencari formula kata hingga sekiranya kalimat itu pas. Buat lagi. Kurang pas. Coba lagi. Lagi. Dan lagi. Sampai pas.
Itulah awal aku belajar menulis, belajar merangkai kata. Kata per kata. Di awal-awal mencoba, ada sebuah kelegaan dan kebanggaan ketika sudah menyelesaikan beberapa kalimat tulisan - bisanya berupa beberapa penggal quote tercipta. Hasil itu, membuatku bahagia. Apalagi jika memang hasil karangan saya sekiranya bagus, tanpa menunggu hitungan menit tulisan itu sudah menjadi status di fesbuk.
Kebanggan ketika selesai menulis itulah mendorongku untuk kembali mencoba dan mencoba. Tiap hari dan malam, hadapanku adalah buku-buku dan bolpoin. Sebisa mungkin aku menulis, tentang apa saja. Itu benar-benar membuatku gila. Meski aku sadari hasil tulisanku tak bagus-bagus amat, aku selalu senang berlama-lama mengutak-atik kata. Tak peduli itu pagi atau sore, siang atau malam, aku tetap berkutat pada tulisan.
Memang iya ada kebingungan ketika awal mencoba. Dan memang sulit sekali. Aku bahkan lebih sering menulis yang tak menjadi tulisan. Tetapi namanya mencoba, begitulah adanya. Dari kegilaanku untuk terus mencoba menulis, tanpa sadar telah membawaku pada posisi di mana aku mulai merasakan enak kala menulis.
Sensasi rasa ini begitu menarik. Aku sudah sedikit bisa merangkai dan menyusun kata, meski dengan susunan sederhana dan seadanya. Tetapi insting memilih kata dalam kalimat itu rasanya sudah sedikit ada dalam otakku. Dan aku sadari, aku mulai bisa menulis. Sekali lagi, meski seadanya.
Aku menyadari, tulisan-tulisan yang lalu itu jelek sekali. Tapi aku selalu bangga setelah menyelesaikan apapun yang aku tulis. Aku sengaja menyimpannya, membuatnya menjadi status media sosial, atau menaruhnya di blog pribadi. Kini, aku ingin menulis kembali.