Cinta Buta Pada Bengkoang Dengan Not Looking-nya

by - November 03, 2020


Senin kemarin, karena tahu saya lagi gabut, Eko menelpon saya kalau ia sedang ada di masjid bersama Zilin. Tanpa panjang lebar, saya mengambil kontak, menyalakan motor, dan meluncur ke sana. Setibanya di sana, saya mematikan motor dan langsung nyeletuk kepada dua orang yang sedang rebahan di teras masjid: orang kok gak ada gunanya. Sontak, kami tertawa. 

Ini sudah kesekian kalinya kami berkumpul gak jelas. Maklum, jika kami kumpul itu artinya masing-masing dari kami sedang tidak kerja dan gabut. Itulah alasan kenapa selalu ada celetukan kami tak guna. Ya memang di waktu bersamaan kami menyadari, jutaan orang sedang sibuk bekerja. Tapi tidak bagi kami. Astaghfirullahaladzim.

Sebetulnya, saya tak terlalu mahfum kenapa Eko mengajak saya nusul ke masjid. Apakah Eko mengajak Sholat, oh tentu tidak. Apakah akan mengajak saya ke Petung, sepertinya tidak juga. Entahlah, kan saya sudah bilang saya tidak paham alasan Eko mengajak saya.

Datangnya saya ke sana ternyata membawa berkah yang luar biasa. Hujan seketika mengguyur. Meski tak lama, tapi aura kedamaiannya sudah tercipta. Hujan kali ini tidak menciptakan genangan pun kenangan, namun cukup rata membasahi pelataran rumah-rumah di desa. Namun, hawa adem siang hari ini membawa pesona lapar yang terasa tak asing.

Oleh kedermawanan Eko yang tak dibuat-buat, akhirnya ada juga pengganjal perut yang ditawarkan. Melihat cilok lewat, Eko memberhentikan dan membeli tiga porsi untuk kami. Baik sekali dia. 

Setelah ngobrol ngalor-ngidul, akhirnya terungkap juga alasan kenapa Eko mengajak saya. Usut punya usut, dia pingin nglotek buah. Dan saya tahu pula, Eko sudah menghubungi Eni namun yang bersangkutan sedang tidak di rumah. Jadi alasan Eko ke masjid sama sekali bukan untuk tujuan yang religius, tapi untuk rebahan sambil menunggu kawan pulang. Astaghfirullah kawan saya.

Saat Zilin mengambil mangga muda karena memang di depan rumahnya ada pohon mangga, di waktu bersamaan Eni sudah di rumahnya. Usai dua buah pakel dipetik, kami meluncur ke warung beli seperangkat bumbu lotek meliputi kacang, cabai, gula merah, dan garam. Selesai itu, kami segera ke rumah Eni.

Di rumahnya Eni yang memang cocok untuk grumbungan itu, kami tiba. Dan seperti biasa ada Sustianah yang sedang menjahit. Kami pun kembali menceletuk: orang-orang tidak berguna datang. Kami kembali tertawa. Jam menunjukkan pukul setengah tiga.

Eni sigap mengambil seperangkat alat uleg dan pisau serta selusin gelas beserta ceret ke hadapan kami. Mila, yang rumahnya tidak jauh dari Eni, datang tepat waktu. Lima orang sudah.

Eni beraksi. Diambilnya kacang, lombok, garam, dihantamnya dengan lembut namun bertenaga. Saya sudah mencoba dahulu sebetulnya, tapi kalah artistik dalam memainkan ayunan tangan. Dan setelah nyaris halus, Eni menambahkan gula merah. Saya sempat bertanya kenapa gula merahnya tidak diikutkan di awal, tapi sepertinya pertanyaan saya terlalu polos setelah hanya direspon tertawa. 

Sementara itu, tangan kekar Eko menggenggam pisau dan mangga. Kulitnya diseset tipis sepotong-sepotong. Dan setelah dua mangga digunduli secara kasar, Eko memandikannya sebelum akhirnya mangga itu bernasib sial: dimutilasi menjadi banyak bagian.

Merasa ada yang kurang, Eko menghubungi Dian. Saat di masjid Dian memang sudah dihubungi dan yang bersangkutan mengaku sedang ngelesi. Dan saat dihubungi kembali, Dian belum juga selesai ngelesi, sebentar lagi, katanya. Yang jelas Dian bakal ke sini dalam beberapa menit ke depan membawa es dan sesuatu. Kami lega. Setidaknya bukan hanya mangga muda dan krupuk usek yang masuk lambung kami, tapi ada yang lain entah apa.

Dian tak kunjung menampakkan batang hidungnya saat kami sudah nyaris bosan mengunyah mangga muda dan krupuk usek. Dugaan kami, orang ini pasti sedang ngujo cari sesuatu. Kami positif otak Dian sedang solutif.

Dian datang juga ketika jam menunjukkan pukul 3 lebih. Dan taraaa…. ia membawa sesuatu yang kami tunggu-tunggu. Bukan satu, melainkan tiga. Es batu beserta marimas, buah nanas, dan buah bengkoang. 

Saya langsung memuji manusia yang didambakan beberapa orang di Kebonrowopucang ini dengan mengatakan: semenjak jadi guru, Dian ini memang pintar. Eko menggugat, memangnya sebelum jadi guru Dian goblok? Saya jawab ya sebetulnya sebelum jadi guru itu sudah pintar, tapi gak kelihatan. Kami tertawa. 

Sesungguhnya, pujian bukan hanya datang dari saya, melainkan juga dari empat kawan saya yang lain. Dian memang is the best pokoknya.

Zilin, karena dari tadi tidak cukup antusias makan mangga muda, saya suruh mengupas buah bengkoang. Awalnya dia menolak karena tak pernah mengupas bengkoang. Tapi tangannya memegang pisau juga. Dan benar, dari caranya memberlakukan buah di tangan, Zilin ini ketahuan amatir sekali. Akhirnya saya ambil alih. Saya memotong dulu bagian atasnya agar mudah menyesetnya mengingat alur mengupas bengkoang memang di seset. Setelah saya potong ujungnya, saya merasa ada yang aneh, tidak ada aroma bengkoang sama sekali sekalipun berbentuk gemuk mengerucut. Teksturnya juga tidak menunjukkan bengkoang sama sekali, biasanya bengkoang ada sensasi kres ketika dipotong, tapi bengkoang yang ini agak kaku dan nampak pucat. Aneh.

Eko yang penasaran akhirnya mengambil bengkoang aneh ini, dan semua keanehan pun terjawab: owalah juangkrink, iki telo udu bengkoang. Kami ngekek guling-guling.

Dian yang baru saja dapat sanjungan setengah mati pun mendapat serangan balasan yang menjatuhkan. 

"Baru tiga menit yang lalu pinter, sekarang sudah error lagi.…"

"Orang kok tidak bisa bedakan mana bengkoang mana ubi."

"Yakin, kesalahan ini bakal diingat sampai hari kiamat."


Dian mengakui kesalahan. Sambil ketawa ngekek, ia klarifikasi, jadi di jalan itu dia lihat itu, dari bentuknya amat bengkoang sekali, akhirnya dia beli tanpa memastikan, pantas saja sekilo kok murah sekali, lah jebule telo, asem. Katanya.

Saya sendiri sebetulnya sudah curiga sejak awal, bebarengan dengan terduga bengkoang itu, ada imbuhan telo merah kecil. Ternyata ini kisi-kisi kalau yang besar mengerucut itu telo, bukan bengkoang. Saya masih tak bisa menahan tawa sampai detik ini. Orang kok kocak banget.

Untungnya, ada nanas yang memang benar-benar nanas. Lambung kami pun punya pemasukan lain.

Jadi, selama acara ini, yang masuk ke perut kami adalah, mangga muda, krupuk usek, nanas, marimas, dan katawa ngekek gegara bengkoang yang ternyata telo. Untuk yang saya sebut terakhir, itu adalah menu yang akan kami ingat sepanjang masa. 

Terimakasih Dian sudah memberi pengalaman ketawa panjang dan ingatan yang saya jamin, paling membekas. 

You May Also Like

1 Respon