Saya punya kisah yang menunjukkan betapa polosnya anam kecil.. kisah ini terjadi ketika kelas empat pada saat istirahat kedua. Kisah yang lahir dari sebuah kepolosan dan menghasilkan sebuah kejadian yang memalukan.. hehehe. Mari simak ceritanya...
Suatu hari ketika istirahat kedua, jarang-jarangnya kelasku keluar lebih dulu dibanding kelas lain. Melihat gerobak-gerobak yang masih sepi pembeli memaksa kakiku untuk bergerak menghampiri. Aku tergiur pada es kacang ijo, karena sudah terkenal enak dan murah. Tapi alasan utamanya karena masih sepi pembeli. Biasanya penjual ini selalu ramai dirubungi pembeli, sampai-sampai membuatnya bingung dan kurang pas dalam menakar sajiannya. Betapa senangnya aku waktu itu karena bisa mendapatkan es kacang ijo tanpa belama-lama mengantri.
Menjadi pembeli yang datang urutan nomer dua, tentu aku tak perlu cemas. Apalagi pembeli pertama baru saja pergi dengan menenteng kacang ijo digenggamannya. Sekarang giliranku, sepotong tangan penjual ini cepat dan lihai sekali mengambil bahan-bahannya. Aku begitu senang melihatnya, apalagi karena ini adalah giliranku. Tak sabar rasanya meminum seplastik es kacang ijo, yang terkenal reputasinya disekolahan ini.
Ketika penjual ini sedikit lagi selesai menyajikan kacang ijo punyaku. Tiba-tiba segrombolan orang menyerbu tempat ini, serombongan manusia ini adalah pecinta setia minuman ini. Kehadiran mereka membuatku terseok, tersenggol kesana kemari. Posisiku sekarang tak menguntungkan, berada diantara manusia-manusia yang lapar dan ganas.
Satu kejadian yang amat tidak kuterima saat itu, sepotong tangan seseorang merebut seplastik kacang ijo dari tangan penjual. Sialan.. itu jatahku. Aku tak bisa berbuat banyak. Peluangku mendapat kacang ijo sekarang sama rata dengan pembeli lain, sebuah keorugian karena akulah pembeli pertama. Berkali-kali tanganku mengulur mengambil kacang ijo, tapi hasilnya nihil. Tangan-tangan manusia lapar ini begitu beringas dan kejam. Tanganku sampai tercakar sepanjang tiga centi. Lumayan perih rasanya.
Semakin kucoba meraih, semakin membuatku marah. Kacang ijo itu tak kudapati juga. Rasanya perlu menjerit agar penjual ini tau kalau aku pembeli pertama. Tapi percuma, suara lantang pembeli disekelilingku lebih nyaring. Semuanya meneriakkan kalimat yang sama: "lek, aku dulu."
Sampai kemudian aku memutuskan untuk diam saja, itu yang terbaik menurutku. Sebenarnya aku ingin keluar dari kerumunan ini. Tapi tidak mungkin, uangku sudah keberikan kepada penjualnya diawal tadi. Terpaksa aku harus menunggu sampai tidak ada lagi pembeli-pembeli beringas itu.
Semua pembeli akhirnya pergi. Saatnya menumpahkan kekecewaan sepenuhnya kepada penjual sialan ini. Aku marah besar kepadanya dan mengatakan kalau penjual ini tidak tau diri, tidak becus, tidak adil, dan tidak demokratis. Aku memarahi sejadi-jadinya. Namun kemarahanku agak lucu, setelah itu aku menangis sejadi-jadinya. Aku tak bisa menahan kekecewaan dari penjual sialan ini. 30 menit penantian seorang pembeli pertama. Itu amat menyakitkan. Melebihi perasaan seorang wanita yang di php dalam 30 bulan penantian.
Bukannya didengar baik-baik, kemarahanku malah dibalas dengan keacuhan. Sebuah kekecewaan untuk kali kedua. Sebenarnya keacuhan penjual ini bukan tanpa alasan, sebelumnya saya melihat penjual ini menahan tawa yang teramat dalam lalu melirik kepenjual lain. Agaknya dia tak kuat melihat tingkahku yang konyol. Marah-marah lalu menangis-nangis.
Seusai kudapati es kacang ijo yang kurebut dengan penuh kejengkelan dari penjual ini. Aku langsung berlari kekelas yang waktu itu ternyata sudah masuk. Aku yang masih begitu emosi, menyeruput sedikit minuman ini, lalu kemudian kubanting sejadi-jadinya kedalam tong sampah. Yang kubanting itu sejatinya adalah ketidak adilan penjual yang tak tau diri. Semenjak kajadian ini, rasa kacang ijo ini sama sekali tidak enak bagiku. Sebuah minuman yang tak layak kuminum, sebab didalamnya ada sebuah rasa pengkhianatan seorang penjual. Minuman itu adalah minuman yang menyakitkan.
Aku lalu masuk kelas membawa sebuah kekecewaan.
Itu tadi ceritaku yang tak akan terlupakan. Dengan menulis inilah aku bisa mengingatnya. Ya.. dengan menulis.
Suatu hari ketika istirahat kedua, jarang-jarangnya kelasku keluar lebih dulu dibanding kelas lain. Melihat gerobak-gerobak yang masih sepi pembeli memaksa kakiku untuk bergerak menghampiri. Aku tergiur pada es kacang ijo, karena sudah terkenal enak dan murah. Tapi alasan utamanya karena masih sepi pembeli. Biasanya penjual ini selalu ramai dirubungi pembeli, sampai-sampai membuatnya bingung dan kurang pas dalam menakar sajiannya. Betapa senangnya aku waktu itu karena bisa mendapatkan es kacang ijo tanpa belama-lama mengantri.
Menjadi pembeli yang datang urutan nomer dua, tentu aku tak perlu cemas. Apalagi pembeli pertama baru saja pergi dengan menenteng kacang ijo digenggamannya. Sekarang giliranku, sepotong tangan penjual ini cepat dan lihai sekali mengambil bahan-bahannya. Aku begitu senang melihatnya, apalagi karena ini adalah giliranku. Tak sabar rasanya meminum seplastik es kacang ijo, yang terkenal reputasinya disekolahan ini.
Ketika penjual ini sedikit lagi selesai menyajikan kacang ijo punyaku. Tiba-tiba segrombolan orang menyerbu tempat ini, serombongan manusia ini adalah pecinta setia minuman ini. Kehadiran mereka membuatku terseok, tersenggol kesana kemari. Posisiku sekarang tak menguntungkan, berada diantara manusia-manusia yang lapar dan ganas.
Satu kejadian yang amat tidak kuterima saat itu, sepotong tangan seseorang merebut seplastik kacang ijo dari tangan penjual. Sialan.. itu jatahku. Aku tak bisa berbuat banyak. Peluangku mendapat kacang ijo sekarang sama rata dengan pembeli lain, sebuah keorugian karena akulah pembeli pertama. Berkali-kali tanganku mengulur mengambil kacang ijo, tapi hasilnya nihil. Tangan-tangan manusia lapar ini begitu beringas dan kejam. Tanganku sampai tercakar sepanjang tiga centi. Lumayan perih rasanya.
Semakin kucoba meraih, semakin membuatku marah. Kacang ijo itu tak kudapati juga. Rasanya perlu menjerit agar penjual ini tau kalau aku pembeli pertama. Tapi percuma, suara lantang pembeli disekelilingku lebih nyaring. Semuanya meneriakkan kalimat yang sama: "lek, aku dulu."
Sampai kemudian aku memutuskan untuk diam saja, itu yang terbaik menurutku. Sebenarnya aku ingin keluar dari kerumunan ini. Tapi tidak mungkin, uangku sudah keberikan kepada penjualnya diawal tadi. Terpaksa aku harus menunggu sampai tidak ada lagi pembeli-pembeli beringas itu.
Semua pembeli akhirnya pergi. Saatnya menumpahkan kekecewaan sepenuhnya kepada penjual sialan ini. Aku marah besar kepadanya dan mengatakan kalau penjual ini tidak tau diri, tidak becus, tidak adil, dan tidak demokratis. Aku memarahi sejadi-jadinya. Namun kemarahanku agak lucu, setelah itu aku menangis sejadi-jadinya. Aku tak bisa menahan kekecewaan dari penjual sialan ini. 30 menit penantian seorang pembeli pertama. Itu amat menyakitkan. Melebihi perasaan seorang wanita yang di php dalam 30 bulan penantian.
Bukannya didengar baik-baik, kemarahanku malah dibalas dengan keacuhan. Sebuah kekecewaan untuk kali kedua. Sebenarnya keacuhan penjual ini bukan tanpa alasan, sebelumnya saya melihat penjual ini menahan tawa yang teramat dalam lalu melirik kepenjual lain. Agaknya dia tak kuat melihat tingkahku yang konyol. Marah-marah lalu menangis-nangis.
Seusai kudapati es kacang ijo yang kurebut dengan penuh kejengkelan dari penjual ini. Aku langsung berlari kekelas yang waktu itu ternyata sudah masuk. Aku yang masih begitu emosi, menyeruput sedikit minuman ini, lalu kemudian kubanting sejadi-jadinya kedalam tong sampah. Yang kubanting itu sejatinya adalah ketidak adilan penjual yang tak tau diri. Semenjak kajadian ini, rasa kacang ijo ini sama sekali tidak enak bagiku. Sebuah minuman yang tak layak kuminum, sebab didalamnya ada sebuah rasa pengkhianatan seorang penjual. Minuman itu adalah minuman yang menyakitkan.
Aku lalu masuk kelas membawa sebuah kekecewaan.
Itu tadi ceritaku yang tak akan terlupakan. Dengan menulis inilah aku bisa mengingatnya. Ya.. dengan menulis.