• Halaman Awal
  • Diri Sendiri
facebook instagram Email

Anam Sy

Saya punya kisah yang menunjukkan betapa polosnya anam kecil.. kisah ini terjadi ketika kelas empat pada saat istirahat kedua. Kisah yang lahir dari sebuah kepolosan dan menghasilkan sebuah kejadian yang memalukan.. hehehe. Mari simak ceritanya...

Suatu hari ketika istirahat kedua, jarang-jarangnya kelasku keluar lebih dulu dibanding kelas lain. Melihat gerobak-gerobak yang masih sepi pembeli memaksa kakiku untuk bergerak menghampiri. Aku tergiur pada es kacang ijo, karena sudah terkenal enak dan murah. Tapi alasan utamanya karena masih sepi pembeli. Biasanya penjual ini selalu ramai dirubungi pembeli, sampai-sampai membuatnya bingung dan kurang pas dalam menakar sajiannya. Betapa senangnya aku waktu itu karena bisa mendapatkan es kacang ijo tanpa belama-lama mengantri.

Menjadi pembeli yang datang urutan nomer dua, tentu aku tak perlu cemas. Apalagi pembeli pertama baru saja pergi dengan menenteng kacang ijo digenggamannya. Sekarang giliranku, sepotong tangan penjual ini cepat dan lihai sekali mengambil bahan-bahannya. Aku begitu senang melihatnya, apalagi karena ini adalah giliranku. Tak sabar rasanya meminum seplastik es kacang ijo, yang terkenal reputasinya disekolahan ini.

Ketika penjual ini sedikit lagi selesai menyajikan kacang ijo punyaku. Tiba-tiba segrombolan orang menyerbu tempat ini, serombongan manusia ini adalah pecinta setia minuman ini. Kehadiran mereka membuatku terseok, tersenggol kesana kemari. Posisiku sekarang tak menguntungkan, berada diantara manusia-manusia yang lapar dan ganas.

Satu kejadian yang amat tidak kuterima saat itu, sepotong tangan seseorang merebut seplastik kacang ijo dari tangan penjual. Sialan.. itu jatahku. Aku tak bisa berbuat banyak. Peluangku mendapat kacang ijo sekarang sama rata dengan pembeli lain, sebuah keorugian karena akulah pembeli pertama. Berkali-kali tanganku mengulur mengambil kacang ijo, tapi hasilnya nihil. Tangan-tangan manusia lapar ini begitu beringas dan kejam. Tanganku sampai tercakar sepanjang tiga centi. Lumayan perih rasanya.

Semakin kucoba meraih, semakin membuatku marah. Kacang ijo itu tak kudapati juga. Rasanya perlu menjerit agar penjual ini tau kalau aku pembeli pertama. Tapi percuma, suara lantang pembeli disekelilingku lebih nyaring. Semuanya meneriakkan kalimat yang sama: "lek, aku dulu."

Sampai kemudian aku memutuskan untuk diam saja, itu yang terbaik menurutku. Sebenarnya aku ingin keluar dari kerumunan ini. Tapi tidak mungkin, uangku sudah keberikan kepada penjualnya diawal tadi. Terpaksa aku harus menunggu sampai tidak ada lagi pembeli-pembeli beringas itu.

Semua pembeli akhirnya pergi. Saatnya menumpahkan kekecewaan sepenuhnya kepada penjual sialan ini. Aku marah besar kepadanya dan mengatakan kalau penjual ini tidak tau diri, tidak becus, tidak adil, dan tidak demokratis. Aku memarahi sejadi-jadinya. Namun kemarahanku agak lucu, setelah itu aku menangis sejadi-jadinya. Aku tak bisa menahan kekecewaan dari penjual sialan ini. 30 menit penantian seorang pembeli pertama. Itu amat menyakitkan. Melebihi perasaan seorang wanita yang di php dalam 30 bulan penantian.

Bukannya didengar baik-baik, kemarahanku malah dibalas dengan keacuhan. Sebuah kekecewaan untuk kali kedua. Sebenarnya keacuhan penjual ini bukan tanpa alasan, sebelumnya saya melihat penjual ini menahan tawa yang teramat dalam lalu melirik kepenjual lain. Agaknya dia tak kuat melihat tingkahku yang konyol. Marah-marah lalu menangis-nangis.

Seusai kudapati es kacang ijo yang kurebut dengan penuh kejengkelan dari penjual ini. Aku langsung berlari kekelas yang waktu itu ternyata sudah masuk. Aku yang masih begitu emosi, menyeruput sedikit minuman ini, lalu kemudian kubanting sejadi-jadinya kedalam tong sampah. Yang kubanting itu sejatinya adalah ketidak adilan penjual yang tak tau diri. Semenjak kajadian ini, rasa kacang ijo ini sama sekali tidak enak bagiku. Sebuah minuman yang tak layak kuminum, sebab didalamnya ada sebuah rasa pengkhianatan seorang penjual. Minuman itu adalah minuman yang menyakitkan.

Aku lalu masuk kelas membawa sebuah kekecewaan.

Itu tadi ceritaku yang tak akan terlupakan. Dengan menulis inilah aku bisa mengingatnya. Ya.. dengan menulis.

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon
Pecahan gelas
Sobekan buku-buku
Serakan baju
Bantal
Selimut
Kacau.. Inef cuma bisa mengacak-acak rambutnya sambil menangis, sejenak berhenti, lalu menangis lagi. Rasa kesal yang teramat berat sedang dirasa olehnya.

Malam ini adalah malam minggu. Malam yang seharusnya indah untuk Inef dan juga kaum muda-mudi lain. Namun tidak untuk waktu sekarang ini. Malam ini adalah bencana bandang bagi Inef atas sebuah ketidaksabarannya membendung sebuah rasa yang amat berat. Mau tidak mau Inef harus menerimanya sebagai kenyataan pahit dalam hidupnya. Dua lelakilah penyebabnya.

Bram, lelaki ini sudah ada dalam kehidupan Inef sejak lama. Sejak berkenalan sewaktu SMA.  Lelaki inilah yang membuatnya merasa jatuh cinta, Inef juga seakan merasakan kalau Bram sebenarnya juga cinta dirinya. Inef paham betul gelagak-gelagak yang penuh isyarat cinta. Secara, Bram orangnya pemalu, termasuk dalam hal mengungkapkan sebuah perasaan. Baginya cinta itu tugasnya mencintai, cinta tak butuh dicintai. Begitulah prinsip Bram yang diketahui Inef seusai bertanya pada Faiz, sahabat dekat Bram.

Hal inilah yang membuat Inef begitu yakin kalau Bram adalah cinta sejatinya, pasangan hidupnya. Bram dikenalnya sebagai seorang yang tulus dan romantis. Banyak kejadian yang menurut Inef adalah isyarat akan sebuah cinta. Salah satunya saat perpisahan sekolah. Kepada Inef, bram berbisik agar Inef bersabar menunggu jika mau.

Lima tahun berikutnya, setelah perpisahan yang membuat mereka tidak pernah bertemu lagi. Inef masih tetap merasa Bram adalah jodohnya, yang juga mencintainya. Keyakinan ini yang membuat Inef rela menunggu sampai lima tahun ini. Tahun ini adalah tahun terakhir Bram menyelesaikan pendidikannya di Singapura. Penantian lima tahun ini merupakan penantian yang didasari sebuah keyakinan atas sebuah isyarat yang diciptakan dirinya sendiri.

Namun dipikir-pikir, lima tahun penantian disadari Inef sebagai waktu yang cukup lama. Sesuatu yang dirasanya mengganjal. Inef merasa dirinya sedang digantung tanpa kepastian. Bram tak ubahnya seperti kebanyakan lelaki yang yang senangnya memberi harapan palsu kepada wanita. Apalagi perasaannya ini lahir dari sebuah isyarat, yang disadarinya adalah isyarat yang salah dan sangat tidak tepat. Isyarat ini adalah bau durian dijalan. Ada lalu menghilang, harum namun semu.

Ditengah kebingungan Inef akan sebuah isyarat. Faiz tiba-tiba hadir kerumahnya dan dengan gamblang menyatakan cinta pada Inef. Situasi ini tentunya hanya menambah Inef bingung saja. Belum selesai ia memikirkan Bram, datang Faiz dengan cintanya. Kehadiran  Faiz memunculkan dua kemungkinan bagi Inef. Pertama, bibit tumbuhnya penghianatan baru atau bisa juga ini jawaban atas ketidakpastian Bram. Sekali lagi, Inef sedang tidak benar-benar jernih untuk memutuskan ini.

"Maaf Faiz, Aku tak bisa menerimanya sekarang." Tolak Inef tak ambil pusing.

Inef baru saja menolak seorang Faiz hanya karena Bram yang baru saja ia ragukan beberapa menit yang lalu. Inef nyatanya masih menyimpan harapan kepada Bram. Isyarat itu masih dibawanya untuk memutuskan hal serumit ini. Isyarat yang luar biasa. Antara Inef dan Bram padahal sama sekali tidak ada komunikasi selama ini.

Semakin lama menunggu seharusnya semakin menegaskan rindu, namun bagi Inef menunggu hanya semakin membuatnya ragu. Sampai saat ini tak ada tanda-tanda kepulangan Bram. Yang ada sekarang adalah wajah Faiz yang terbayang dalam benaknya. Agaknya pikirannya mulai menjernih, sudah mungkin untuk menentukan keputusan terbaiknya.

Penolakan Inef pada Faiz beberapa hari yang lalu disadarinya sebagai sesuatu yang konyol. Cinta yang jelas didepan mata ia sia-siakan begitu saja. Sementara cinta yang samar dari sebuah isyarat dipeliharanya. Inef merasa telah menyakiti hati seorang Faiz. Ia berhasrat meminta maaf padanya sesegera mungkin. Waktu itu juga, tanpa pikir panjang Inef berkunjung ke rumah Faiz.

"Faiz, aku sengaja menghadapmu untuk sebuah jawaban baru atas pertanyaan yang kau lontarkan beberapa waktu lalu. Aku menerima cintamu. Aku mencintaimu."

Inef baru saja memutuskan sesuatu yang kritis dalam hidupnya. Keyakinan bahwa Faiz adalah jawaban atas ketidakpastian Bram menjadikan keduanya mulai menjalin sebuah hubungan baru. Dimulai sejak malam ini, seusai Inef mengucap cinta.

Malam semakin menua, Inef bertolak pulang. Membawa sebuah rasa, sedikit menghapus luka.

Seorang lelaki gagah tinggi dari kejauhan terlihat sedang mondar-mandir didepan pintu. Inef berjalan perlahan mendekati rumahnya. Semakin mendekat dan semakin penasaran.

"Inef.. ini aku." Pria ini mengetahui kehadiran Inef dan langsung menghampirinya.

Diketahui Inef, Lelaki ini ternyata adalah Bram, yang selama ini dinantikan kepulangannya. Hanya bisa bingung dan canggung perempuan ini dihadapannya. Harus bicara apa Inef kepadanya. Sementara dirinya baru saja menjalin hubungan dengan Faiz, tak lain adalah sahabat Bram.

Suara-suara jangkrik malam lah yang mengiringi perjumpaan keduanya. Inef hanya diam dan terlihat membendung tangisan yang begitu pilu. Kemudian masuk rumah tanpa mengucap satu katapun pada Bram.

Rowobulus Tengah, Keonrowopucang, Pekalongan 19 Ramdhan 1438 H
Share
Tweet
Pin
Share
No Respon
Tahun ini entah sudah menjadi tahun keberapanya Lek Nuhdi menghidangi kami, pembaca tadarus di Musolla Sabilul Huda. Amalan ini seakan sudah menjadi amalan wajib Nuhdi setiap malam dibulan Ramadhan. Saban hari tak pernah sekalipun luput untuk memberi hidangan kemusolla ini. Yang dibawanya amat sederhana, namun disukai karena makanan ini sudah merakyat. Sepiring gorengan dan seceret teh hangat. Tentu bukan hal sulit bagi Nuhdi untuk rutin menyajikan ini. Secara, beliau adalah pemilik warung malam. Maksudnya, warung yang beroperasi pada malam hari.

Seperti umumnya warung, warung lek nuhdi ini menyajikan tahu goreng, tempe goreng, pisang goreng, kopi, jajanan pasar, mie rebus, ciki-ciki dan sebagainya. Menurut pengamatan saya, warung ini selalu ramai dan dikunjungi dan menjadi tempat nongkrong bapak-bapak, untuk main catur, main karambol, dan main remi. Saya menganggap ketidakpernah sepinya warung ini buah dari sedekah sepiring gorengan dan seceret teh hangat yang selalu kami makan seusai baca Quran.

Sebagai orang yang selalu menikmati sajian ini, saya seperti merasakan rasa-rasa berbeda dari gorengan ini daripada gorengan lain. Begitu lezat dimakan, lengkap dengan lombong yang pas pada level kepedasannya. Rasa ini adalah rasa yang dilahirkan dari ketulusan Lek Nuhdi dan keberkahan dari bacaan Quran yang dibaca tadi. Memang ketulusan selalu memunculkan rasa yang begitu dahsyat untuk dirasakan.

Kemudian mengenai teh hangatnya, komposisi teh, air, dan gulanya begitu tepat. Menciptakan sensasi hangat, pahit, sepat dan diakhiri manis yang menyisa dilidah. Racikan seorang Nuhdi yang sudah berpengalaman bertahun-tahun ini tak diragukan lagi.

Hanya saja akhir-akhir ini teh hidangannya sering tersisa. Bukan rasanya yang berkurang atau bagaimana. Karena yang petadarus sekarang sedikit, rata-rata lima orang tiap malamnya. Berbeda dengan tahun lalu yang sampai harus mengantri untuk membacanya dan harus rebutan jika menginginkan teh hangat dan gorengan. Faktor inilah kenapa isi air dalam teko sekarang merosot tajam, bahkan sampai tidak ada setengahnya. Saya menilai, insting penjual memang ada dalam diri Nuhdi. Nyatanya meskipun takarannya sedikit, cukup untuk petadarus semalaman suntuk.

Nuhdi memang dermawan. Mungkin kalau boleh menebak pahala, bisa saja pahalanya lebih banyak dari yang baca itu sendiri. Saya berani mengatakan ini, karena jujur, saya sendiri terdorong untuk tadarus dimusolla ini selain karena sudah terbiasa, juga karena ada pacetannya. Bagiku pacetan sedikit banyaknya juga mempengaruhi semangatku. (Tentu hal ini tidak boleh ditiru) Bayangkan kalau tidak ada hidangan ini, mana mungkin saya menulis sebanyak ini sebagai terimakasihku pada Nuhdi.

Nuhdi dalam hal ini dengan seceret teh hangat dan sepiring gorengan lengkap dengan lomboknya, berhasil mendorong seseorang untuk beribadah: membaca Quran dan menghidupkan Musolla. Semoga beliau sehat selalu dan dipanjangkan umurnya, supaya tahun depan bisa memberi lagi hidangan yang lebih enak dan lebih banyak. Sekali lagi, terimakasih lek Nuhdi.

Selamat membaca dan menikmati gorengan Nuhdi.

Rowobulus Tengah, 16 Ramadhan 1438 H

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon
Sewaktu kecil ketika ditanya cita-cita, rasanya tak mampu menjawab bibir ini. Bingung dan hanya diam. Terpaksa menjadi guru adalah pilihan bagiku dan pilihan umum teman-temanku. Sisanya mengimpikan menjadi orang sukses, sebuah cita-cita yang masih perlu penafsiran mendalam. Tentunya pilihan menjadi guru adalah pilihan tanpa memilih, menurutku inilah satu-satunya paling tinggi dan realistis. Pilihan cita-cita menjadi insinyur, dokter, presiden, DPR, atau semacamnya hanya akan mengundang tawa teman-temanku saja. Memang dilingkungan sekitarku ada anggapan kalau cita-cita tinggi hanya akan membuat sakit sekali bila terjatuh. Anggapan yang menurutku mengecilkan mental untuk bermimpi. Kita memang terkenal tidak berani menghadapi hal-hal yang besar. Termasuk aku dulu, cita-citaku menjadi guru hanya sebuah jawaban belaka tanpa murni terucap dari hati paling dalam.

Semakin kesini semakin lebih dewasa memaknai kehidupan. Disinilah kemudian mulai merenungkan apa yang akan terjadi dalam jangka panjang, yaitu masa depan. Perenungan inilah yang menyadarkanku akan pentingnya cita-cita. Bagaimanapun, hidup harus punya perencanaan dan impian. Hasil memang sepenuhnya milik Tuhan, namun impianlah yang akan menentukan strategi dalam mengarungi perjalanan kedepan. Saya tidak bisa membayangkan kalau saja seseorang tidak punya impian, akan bagaimana hidupnya. Melangkah tanpa arah dan memandang tanpa pandangan. Mungkin rasanya begitu membingungkan. Sekarang aku baru tau kenapa guruku selalu bertanya mengenai cita-cita. Karena kalau dicermati betul, ini merupakan sesuatu yang amat penting.

Beberapa tahun, bulan, dan hariku habis hanya untuk memikirkan apa impianku. Sampai aku berfikir kalau aku ini manusia yang tak tau diri, masak urusan impian saja aku tidak tau. Bagaimana aku ini. Memunculkan kegelisahan demi kegelisahan yang perlahan menghinggapi diriku dan hampir menggiringku untuk putus asa. Aku sendiri sampai bosan menghadapi situasi ini.

Kegelisahan inilah yang kemudian menyuruhku untuk curhat. Bukan curhat kepada teman dekat, namun curhat kepada sebuah kertas kosong. Aku menceritakan kegelisahanku kepada diriku sendiri dalam bentuk tulisan. Melalui menulislah sedikit bebanku terkurangi, lebih tepatnya berganti, tidak lagi dalam jiwa tapi dalam buku. Dan jadilah menulis sebagai kebiasaanku. Sampai aku merasa hal inilah yang mungkin menjadi pilihan bagi masa depanku, menjadi penulis.

Hampir setiap hari aku menulis apa saja yang kubisa. Setidaknya minimal satu hari satu paragraf. Tanpa terasa tulisan-tulisan ini sekarang sudah menumpuk. Mungkin sampai menembus ratusan lembar lebih, dan masih ada berlembar-lembar kertas kosong yang harus kuisi setiap harinya lagi. Aku menyadari kalau aku ini sekarang begitu semangat menekuni kepenulisan. Aku sendiri memusingkan ini. Apakah karena cita-citaku menjadi penulis sehingga aku rajin menulis. Atau karena seringnya aku menulis menjadikan aku memimpikan menjadi penulis. Entahlah bagaimana mulanya, yang kutau menulis itu sesuatu yang asyik dan menyenangkan. Bahkan saat aku sendiripun tak lagi merasa kesepian. Bolpoin dan kertas inilah yang mampu menghiburku dan terus mengajakku berbincang.

Berkaca dari mereka yang sukses dalam dunia kepenulisan.  Baik dari mencipta buku, blogger, penulis lepas, atau profesi semacamnya, semakin memotivasiku untuk terus menulis dan berkarya lebih baik lagi. Aku menaruh harapan besar dari kebisaan dan impianku ini. Beberapa upaya kucoba untuk mengasah keahlianku dan mencoba menemukan instingku sebagai bakal penulis hebat. Diantaranya dengan membuat blog, dengan ini tentunya dapat memicuku untuk menulis sesuatu dengan sedikit lebih berkualitas, meski memang kendalaku sekarang adalah ketidakpunyaan alat penunjangnya, handphone dan laptop.

Keberanianku membuat blog berarti memasukkan diri sendiri dalam situasi genting. Dibilang demikian karena hal ini menuntut untuk terus diberdayakan. Aku memang punya pengalaman bagus saat dihadapkan dengan situasi ini. Aku masih ingat betul bagaimana dulu ketika masih pemalu dihadapkan dengan situasi genting, kelasku mendapat jatah memimpin doa dihadapan ratusan siswa lain, teman-temanku tak ada yang mau, alhasil saya sebagai ketua terpaksa yang maju menjadi pemimpin doa. Itu adalah pengalaman pertama berhadapan dengan manusia lain yang begitu banyak. Namun siapa sangka, hal kecil inilah yang membuatku seperti sekarang ini, tidak lagi pemalu. Terkadang, perubahan itu lahir dari kegentingan dan keterdesakan.

Intinya, menulis adalah kebiasaanku, adalah impianku. Dengan menulislah aku bisa menemukan diriku sebagai manusia. Menulis mampu mengubah hidupku. Menulis mampu memahamkanku terhadap apa yang kulihat, karena insting penulis ada dalam setiap diri penulis. Menulis adalah hidupku, aku menghidupkan tulisan, dan suatu saat tulisanlah yang berbalik menghidupiku. Sampai kapanpun aku akan tetap menulis, menulis, dan menulis. Selamat menulis.

Salam kreatifitas


Share
Tweet
Pin
Share
1 Respon
Tak ada yang lebih menyenangkan dari ngabuburit sore ini. Duduk menyendiri didepan rumah dan menatap pohon jambu yang sedang berbunga dan berbuah. Kuamati satu persatu buah yang menggantung begitu banyaknya ditiap ranting. Ada yang seorang diri seperti tetanggaku yang baru saja diputus. Ada yang bergandengan seperti dua anak muda yang bercengkrama. Ada yang bertiga karena satu jambu memergoki pasangannya yang ketahuan berselingkuh. Ada yang serombongan seperti sekumpulan keluarga yang penuh kasih sayang dan cinta. Ada juga yang bergerombol dengan satu jambu ditengah babak belur, itu kerumunan massa yang sedang mengkroyok maling yang ketahuan. Ada satu jambu diujung kanan sedang senyum-senyum sendiri, diujung paling kiri juga ada jambu yang sendirian yang juga senyum sendiri, agaknya jambu ini sedang meniti hubungan jarak jauh. 

Melihat jambu didepanku adalah melihat realitas yang ada disekitarku. Dan satu jambu ditengah keramaian itu adalah aku, yang sepi, sendiri, dan sunyi. Bentuknya kurus dan tinggi seperti jambu yang kekurangan gizi. Jambu itu berharap untuk dapat disentuh pemiliknya. Satu sentuhan saja mungkin akan membuat jambu ini bahagia dan tak lagi merasa sendiri. Jambu itu adalah aku, yang menunggu sebuah cinta, meski setetes saja.
Adzan mengalun, tak terasa sudah waktunya berbuka. Sementara aku masuk kerumah untuk meneguk segelas teh manis. Sementara diluar, jambu itu terjatuh dan tergeletak dengan penuh luka lebam dan tertancap kerikil-kerikil kecil. Jambu ini seperti berlumpur dosa, penuh kotoran. Beberapa detik kemudian, datang anak kecil dengan penuh riang mengambil dan segara dicucinya, dan dimakannya.
Share
Tweet
Pin
Share
No Respon
Newer Posts
Older Posts

Info

Tayang seminggu dua kali

Mutualan, Yuk

  • facebook
  • instagram
  • youtube

Kategori

IPNU

Postingan Viral

Catatan

Sementara kosong dulu, seperti hatiku

Facebook

Isi Blog

  • ►  2024 (15)
    • ►  Apr 2024 (1)
    • ►  Mar 2024 (4)
    • ►  Feb 2024 (1)
    • ►  Jan 2024 (9)
  • ►  2023 (11)
    • ►  Des 2023 (3)
    • ►  Nov 2023 (1)
    • ►  Sep 2023 (3)
    • ►  Jul 2023 (4)
  • ►  2022 (46)
    • ►  Nov 2022 (7)
    • ►  Okt 2022 (7)
    • ►  Sep 2022 (6)
    • ►  Agu 2022 (4)
    • ►  Jul 2022 (9)
    • ►  Mei 2022 (4)
    • ►  Jan 2022 (9)
  • ►  2021 (22)
    • ►  Des 2021 (5)
    • ►  Sep 2021 (3)
    • ►  Agu 2021 (6)
    • ►  Jun 2021 (1)
    • ►  Mar 2021 (7)
  • ►  2020 (14)
    • ►  Des 2020 (1)
    • ►  Nov 2020 (2)
    • ►  Jul 2020 (2)
    • ►  Jun 2020 (1)
    • ►  Mei 2020 (1)
    • ►  Apr 2020 (1)
    • ►  Mar 2020 (2)
    • ►  Feb 2020 (4)
  • ►  2019 (3)
    • ►  Mar 2019 (1)
    • ►  Feb 2019 (1)
    • ►  Jan 2019 (1)
  • ►  2018 (57)
    • ►  Okt 2018 (7)
    • ►  Sep 2018 (5)
    • ►  Jul 2018 (11)
    • ►  Jun 2018 (3)
    • ►  Mei 2018 (4)
    • ►  Apr 2018 (2)
    • ►  Mar 2018 (5)
    • ►  Feb 2018 (12)
    • ►  Jan 2018 (8)
  • ▼  2017 (71)
    • ►  Des 2017 (7)
    • ►  Nov 2017 (20)
    • ►  Okt 2017 (10)
    • ►  Sep 2017 (8)
    • ►  Agu 2017 (8)
    • ►  Jul 2017 (9)
    • ▼  Jun 2017 (5)
      • Penjual Kacang Ijo Sialan
      • Sebuah Isyarat
      • Seceret Teh Hangat dan Sepiring Gorengan Lek Nuhdi
      • Aku Ingin Menjadi Penulis
      • Ngabuburit Senja ini
    • ►  Mei 2017 (4)

Created with by ThemeXpose | Distributed by Blogger Templates