• Halaman Awal
  • Diri Sendiri
facebook instagram Email

Anam Sy




Dalam sejarah kehidupan saya dalam berhablumminannas, berbohong menjadi hal menyenangkan sekaligus menyebalkan yang pernah saya lakukan.

Dalam beberapa kasus, berbohong menjadi kisah menarik yang sulit untuk saya lupakan. Hal inilah pernah saya lakukan suatu hari sepulang sekolah sewaktu MI. Bagi yang belum tahu, MI merupakan singkatan dari Madrasah Ibtidayah, setara dengan SD. Sama halnya seperti Mts yang setara dengan SMP. Sama halnya juga seperti wajahmu yang setara dengan mantanku.

Kejadian itu kalau tidak salah terjadi kelas 5 sewaktu piket. Di kelas saya dulu, sudah menjadi keputusan bersama kalau piket harus dilakukan setelah pulang sekolah. Pada jadwal waktu itu, saya piket bersama tiga siswi. Sebenarnya ada satu kawan saya yang juga piket, namun karena tidak berangkat, saya harus menerima kenyataan menjadi orang yang terganteng di ruangan itu.

Sebagai seorang lelaki yang kaffah, tugas piket saya bukan menyapu. Saya dan beberapa kawan lain sudah terlanjur sepakat mempunyai prinsip: kalau lelaki menyapu maka jiwa kejantannya turun 36%. Sungguh prinsip yang menyebalkan untuk diterima oleh seorang manusia ganteng namun krempeng macam saya. Kau tahu, sebab prinsip sialan ini, tugas lelaki dalam piket menjadi agak berat. Pertama, harus mengangkat kursi untuk dinaikkan ke meja. Dan kedua, membuang sampah yang sudah terkumpul selama sehari tersebut. Untuk poin yang terakhir hanya opsional saja.

Tugas berat ini menjadi bertambah berat karena saya harus melakukannya seorang diri. Bedebah betul kawan saya yang tidak berangkat itu. Yasudah, untuk menjaga harga diri sebagai lelaki baik hati dan tidak sombong, saya melakukan tugas mulia nan berat: mengangkat kursi. Meski ngos-ngosan, pada akhirnya saya berhasil mengangkat semua kursi yang berjumlah sekitar 40an. Namun karena saya berhadapan dengan tiga siswi lain, rasa ngos-ngosan itu saya tutupi dan pendam dalam-dalam.

Tugas saya belum selesai. Karena waktu itu sekolahan sudah sepi, saya diminta tiga siswi yang piket untuk menunggu sampai mereka selesai menyapu. Pulang yang saya impikan harus tertunda sampai waktu yang belum ditentukan. Dalam penantian, agar piket cepat selesai terbersit dalam benak saya untuk melakukan pekerjaan yang belum dilakukan. Sampai akhirnya saya melihat papan tulis yang masih tertera tulisan materi pelajaran IPS sisa pelajaran terakhir tadi. Dengan spontan saya mengambil penghapus dan langsung menghapus tulisan-tulisan yang tergores dari kapur tersebut. Hingga bersih.

Dan disinilah awal mula permulaan kebohongan itu dimulai, dengan tanpa sengaja. Ketika posisi papan tulis sudah bersih, dalam waktu bersamaan saya teringat jika besok jam pertama ada pelajaran bahasa Jawa yang saya ingat memang ada PR. Dengan iseng saya langsung menulis kalimat yang berbunyi: “PR dikumpulkan di kantor pukul 07.00   Ttd. Bu Afifi.” Kenapa saya menulis hal ini, sebab beberapa kawan saya melihat tulisan saya mirip dengan tulisannya Bu Afifi.

Esok hari setelah piket itu. Saya dikagetkan dengan kesibukan kawan sekelas yang  mondar-mandir membawa buku tulis. Saya yang waktu itu datang belakangan langsung menanyakan situasi apa yang sedang terjadi sehingga semuanya sibuk kesana-kemari. Saya begitu terkejut ketika seorang kawan langsung menunjukkan saya tulisan di papan tulis. Seketika saya langsung tertawa terbahak-bahak.

Dihadapan semua murid sekelas, saya langsung mengakui kalau yang menulis kalimat untuk mengumpulkan tugas PR Bahasa Jawa itu adalah saya. Bukan Bu Afifi seperti yang kawan sekelas kira. Situasi berubah menjadi lebih santai. Saya tertawa terbahak dan menertawai diri yang sanggup membohongi –lebih tepatnya mengerjai- kawan sekelas hanya karena tulisan saya mirip dengan bu Afifi. Beberapa kawan saya lega, beberapa kawan lain menyumpahi saya dengan sumpah serapah, dan ada satu siswi mengejar saya saking kesalnya. Kelak, siswi yang mengejar saya itu menjadi mantan saya.

Cerita belum sampai disitu. Setelah pengakuan yang begitu membuat perut saya sakit itu, saya menjadi seorang yang sedikit dimusuhi beberapa kawan karena keterlaluan ini. Setelahnya, saya harus menerima konsekuensi kalau nilai bahasa jawa saya dibawah rata-rata. Musababnya adalah: kawan sekelas mengerjai balik dengan tidak memberikan jawaban PR kepada saya. Disitulah seakan balas dendam kawan sekelas dimulai, sebab beberapa hari setelahnya, saya pernah tidak mendapatkan nilai suatu pelajaran karena tidak ada satupun yang memberi tahu saya kalau hari itu ada PR. Sungguh, air tuba dibalas dengan air tuba.

Cerita di atas hanya satu diantara cerita kebohongan yang saya lakukan. Cerita selanjutnya ini tak kalah menarik untuk dibaca khalayak ramai. Cerita kebohongan yang langsung dibalas dengan azab yang pedih.

Suatu siang saat liburan sekolah. Mandi di sungai menjadi rutinitas yang tak boleh dilewatkan bersama kawan sepermainan. Seperti kita ketahui, kali pada jaman dahulu tentu masih asri. Masih  mudah menemui ikan pitak maupun sruwet di pinggiran sungai. Berbeda dengan kini yang sudah banyak bercampur limbah serta kondisi alam sekeliling yang sudah jauh berbeda.

Ada tiga kali yang biasa dijadikan saya dan kawan-kawan untuk mandi. Ketiga kali tersebut adalah kali Kedung, kali Mak Luwi, dan kali Brok. Ketiga kali ini masih dalam satu aliran. Untuk kali yang saya sebutkan pertama letaknya di atas. Di atas yang saya maksud berarti kali yang pertama. Di kali Kedung ini banyak sekali kijeng yang bisa dimakan. Namun saya dan kawan-kawan saya beberapa kali saja mandi di sana. Konon, di sana itu singit (angker). Dari kabar yang beredar pernah ada yang melihat hantu saat masa tengagi, waktu saat para hantu berlalu lalang untuk pulang ke rumah setelah beraktivitas.

Di bawah kali Kedung beberapa meter setelahnya ada Kali Mak Luwi. Kali inilah yang paling dekat dengan rumah saya, sekaligus tempat beberapa ibu biasa mencuci baju. Di kali inilah biasanya saya dan beberapa kawan mandi bersama. Sebenarnya kali di bawah Brok (jembatan) juga favorit untuk mandi, namun kali itu sudah diakusisi oleh bocah setempat.



Kita lupakan dua kali dan fokus ke kali tempat Kami biasa mandi: kali Mak Luwi. Kali ini memiliki kedalaman yang lumayan. Cocok untuk anak-anak waktu itu. Ada satu prosesi yang begitu wajib dilakukan oleh setiap yang mandi di sana. Yaitu melompat dari atas –karena untuk ke sungai perlu menuruni beberapa anak tangga. Ketinggian melompat berkisar sekira 2 meter. Cukup untuk  memberi sensasi berenang yang menyengkan.

Namun bukan tanpa resiko mandi di sungai. Sebab banyak sekali beling yang di dasar kali yang bisa saja menancap di kaki. Bukan tanpa alasan, kali masih sering menjadi pembuangan beling paling sering dilakukan. Beberapa kawan saya saking takutnya selalu memakai sandal saat mandi. Bisa ditebak, sandal sangat berpeluang putus, atau setidaknya mudah lepas dari cengkaman jari kaki.
Situasi sungai yang mungkin banyak beling ini seringkali dijadikan gurauan beberapa kawan. Tak ketinggalan saya sendiri. Setelah meluncur dan melompat, biasanya saya membohongi kawan saya dengan pura-pura terkena beling. “Aduh aduh, kena beling. Kena beling.” Sambil pura-pura menangis. Lalu setelah beberapa kawan melihat saya, dengan spontan saya langsung bilang, “tapi bohong.” Gurauan ini saya lakukan beberapa kali.

Hingga pada masanya, tepat ketika meluncur dan kaki mendarat ke dasar kali, ada sesuatu yang dengan tegas langsung menancap di kaki. Bukan tidak dan bukan lain itu adalah beling. Saya langsung kelonjatan tak karuan dan meminta bantuan kawan-kawan. Namun sama sekali tidak ada yang menanggapi. Mau tak mau saya harus berenang ke tepian seorang diri sambil menangis tersedu-sedu. 

Sampainya di tepi kali, darah sudah banyak bercucuran. Saya tak berani melihat nemun jelas sangat sakit sekali. Untungnya, beling itu tidak menancap di kaki namun hanya tergores. Setelah melihat ada darah, kawan saya baru percaya kalau saya beneran kecojok. Ini bukan kali pertama saya mengalami kecelakaan saat mandi di sungai. Jauh sebelum itu saya sering  kemasukan kerikil kecil yang menancap di kaki dan sulit dikeluarkan, atau istilahnya kami menyebut: suzuben.

Begitulah kisah kebohongan saya yang memiliki dua sisi. Kadangkala kebohongan saya menjadi kebahagiaan bagi saya, kadangkala yang lain menjadi sebuah hal yang menyebalkan. Untuk cerita yang terakhir mengajarkan kepada kita semua untuk tidak sering berbohong. Jangan berbohong, kalau berbohong niscaya kamu akan menjadi aktor utama dalam serial “Azab pembohong yang kecojok beling di kali dan tidak ada satu kawanpun yang menolongi.”



Share
Tweet
Pin
Share
No Respon
Ambil Gambar di pixabay.com
Selayaknya mantan, tulisan memiliki kenangan tak terlupakan dalam setiap perjalanannya.

Saya suka menulis sejak akhir ketika masa MA. Sewaktu saya tergila-gila pada buku yang kemudian menjadikan saya jatuh cinta pada membaca: buku berjudul Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono. Buku yang saya temukan ketika main ke perpustakaan SMP NU Karangdadap.

Saya masih ingat betul awal-awal ketika mulai menulis. Dengan penuh antusias saya mencoba merangkai kata, sebelum akhirnya memukul-mukul kepala setelah mengerti kalau menulis bukan perkara yang mudah. Namun saat itu, didorong oleh keinginan, saya selalu berusaha menulis, sejelek apapun itu. Maka jangan heran kalau kemudian lembaran tulisan menjadi bertumpuk-tumpuk. Meski kemudian saya buang karena terasa sangat jelek ketika saya membacanya kembali. Adalah aib kalau tulisan itu sengaja atau tidak sengaja dibaca oleh adik saya atau siapapun itu

Saat saya menulis tulisan ini, saya baru saja membaca tulisan lama saya yang masih tersisa. Termasuk tulisan lama di blog ini. Ada sejarah kepenulisan yang saya buat diam-diam di blog ini. Kadangkala membacanya kembali membuat saya merasa bangga, namun kadangkala sebaliknya, tulisan terasa aneh. Namun biarlah, artinya ada proses yang bisa saya lihat di blog ini. Barangkali juga, kelak saya melihat tulisan ini dengan perasaan aneh, dimana tulisan saya ternyata kok tidak bagus dibaca.

Sedari dulu, saya selalu berharap bertambahnya waktu makin meningkatkan kualitas tulisan saya. Namun sampai sejauh ini, saya tidak bisa membandingkan kualitas tulisan antara dulu dan sekarang. Saya bahkan merasa kualitasnya stagnan, tidak bertambah dan tidak berkurang. Kecuali perubahan dalam kecepatan menulis. Jika dulu perlu waktu agak lama menyelesaikan satu tulisan, sekarang saya sudah bisa menyingkronkan apa yang ada dipikiran untuk secara otomatis nyambung dengan tangan sehingga lebih cepat menyelesaikan satu tulisan. Misalnya sekarang ketika saya menulis tulisan ini, saya menulisnya langsung di blogger tanpa perlu banyak edit.

Saya selalu percaya jika menulis menjadi aktivitas rutin setiap hari, maka dengan sendirinya kemampuan menulis akan berkembang. Saya sudah mengalami hal itu saat ini. Sayangnya, beberapa waktu sebelum ini saya jarang menulis, apalagi di blog. Melihat performa yang menurun itulah, saya ingin membuka kebiasaan itu kembali melalui tulisan ini. Tulisan pertama setelah sekian lama tidak lagi menulis. Tulisan yang saya tulis spontan untuk mengukur apakah saya masih punya kemampuan itu.

Begitulah saya mencoba untuk merutinkan hal yang tidak lagi menjadi rutinan. Dengan membaca tulisan lama, menggiring saya untuk malu. Kalau dulu saja saya bisa begitu, maka seharusnya hari ini melebihi itu.


Share
Tweet
Pin
Share
No Respon

Semenjak aku merasa tulisanku tak berkembang, aku justru tak lagi menulis. Kataku kala itu: percuma.

Tiga bulan lebih aku tak menulis. Hingga pada titik ini, ada sebuah rasa yang datang entah dari mana; mendorongku begitu kuat untuk kembali menulis.

Dulu sekali, entah karena apa, tiba-tiba saja aku ingin menjadi penulis. Barangkali sejak aku menemukan buku yang membuatku jatuh cinta sehingga aku terus membaca, membaca, dan membacanya. Kalau tak salah buku kumpulan puisi, berjudul hujan bulan Juni karya Sapardi. Itu adalah ketika aku SMP. Secara tak sengaja.

Sejak itu, dengan pedenya aku berikrar kelak akan jadi penulis. Menurutku, sepertinya asik. Dan setelah itu, tanpa peduli bagaimana cara menulis yang benar, aku memulainya dari sepenggal kalimat. Aku membayangkan aku adalah penyair yang senantiasa membuat puisi. Tiap malam aku adalah penyair. Tentu saja, selalu gagal.

Bagaimana mungkin merangkai kata begitu sulit. Di setiap perjumpaanku dengan buku, selalu ada jeda untukku bertanya: mengapa aku tak bisa menulis, aku harus menulis apa. Alih-alih menulis, yang ada hanya sekumpulan coretan yang tertoreh di lembaran. Bukan imajinasi yang terkumpul, tetapi malah lamunan yang terus mengepul.

Begitu sulit yang namanya menulis. Maka sungguh iri aku kepada para penulis itu. Bagaimana mungkin mereka dengan mudahnya membuat berlembar-lembar cerita hingga menjadi buku, sementara aku menulis satu kalimat saja mati kutu.

Pikiranku kemudian diajak beralih, bagaimana penulis-penulis itu mulai memulai. Aku yakin sekali, mereka, pasti juga pernah berada dalam masa seperti aku sekarang ini: yang belum bisa menulis, yang memikirkan bagaimana pikiran penulis, dll. Aku yakin itu.

Aku masih bertanya, apakah penulis itu adalah bakat. Apakah penulis itu soal ketekunan. Apakah soal pengalaman. Aku bahkan menduga penulis-penulis itu memiliki sebuah ruang tersembunyi yang belum pernah aku ketahui. Tak bukan dan tak lain, pasti ada alam lain di kehidupan mereka.

Sembil memikirkan bagaimana para penulis itu bekerja, aku terus mencoba merangkai kata. Mula-mula hanya beberapa kalimat. Begitu sulit, tapi aku terus coba. Dan akhirnya berhasil, satu kalimat tercipta. Aku baca, ternyata jelek. Aku rubah lagi susunannya. Mencoba mencari formula kata hingga sekiranya kalimat itu pas. Buat lagi. Kurang pas. Coba lagi. Lagi. Dan lagi. Sampai pas.

Itulah awal aku belajar menulis, belajar merangkai kata. Kata per kata. Di awal-awal mencoba, ada sebuah kelegaan dan kebanggaan ketika sudah menyelesaikan beberapa kalimat tulisan - bisanya berupa beberapa penggal quote tercipta. Hasil itu, membuatku bahagia. Apalagi jika memang hasil karangan saya sekiranya bagus, tanpa menunggu hitungan menit tulisan itu sudah menjadi status di fesbuk.

Kebanggan ketika selesai menulis itulah mendorongku untuk kembali mencoba dan mencoba. Tiap hari dan malam, hadapanku adalah buku-buku dan bolpoin. Sebisa mungkin aku menulis, tentang apa saja. Itu benar-benar membuatku gila. Meski aku sadari hasil tulisanku tak bagus-bagus amat, aku selalu senang berlama-lama mengutak-atik kata. Tak peduli itu pagi atau sore, siang atau malam, aku tetap berkutat pada tulisan.

Memang iya ada kebingungan ketika awal mencoba. Dan memang sulit sekali. Aku bahkan lebih sering menulis yang tak menjadi tulisan. Tetapi namanya mencoba, begitulah adanya. Dari kegilaanku untuk terus mencoba menulis, tanpa sadar telah membawaku pada posisi di mana aku mulai merasakan enak kala menulis.

Sensasi rasa ini begitu menarik. Aku sudah sedikit bisa merangkai dan menyusun kata, meski dengan susunan sederhana dan seadanya. Tetapi insting memilih kata dalam kalimat itu rasanya sudah sedikit ada dalam otakku. Dan aku sadari, aku mulai bisa menulis. Sekali lagi, meski seadanya.

Aku menyadari, tulisan-tulisan yang lalu itu jelek sekali. Tapi aku selalu bangga setelah menyelesaikan apapun yang aku tulis. Aku sengaja menyimpannya, membuatnya menjadi status media sosial, atau menaruhnya di blog pribadi. Kini, aku ingin menulis kembali.




Share
Tweet
Pin
Share
No Respon
Newer Posts
Older Posts

Info

Tayang seminggu dua kali

Mutualan, Yuk

  • facebook
  • instagram
  • youtube

Kategori

IPNU

Postingan Viral

Catatan

Sementara kosong dulu, seperti hatiku

Facebook

Isi Blog

  • ►  2024 (15)
    • ►  Apr 2024 (1)
    • ►  Mar 2024 (4)
    • ►  Feb 2024 (1)
    • ►  Jan 2024 (9)
  • ►  2023 (11)
    • ►  Des 2023 (3)
    • ►  Nov 2023 (1)
    • ►  Sep 2023 (3)
    • ►  Jul 2023 (4)
  • ►  2022 (46)
    • ►  Nov 2022 (7)
    • ►  Okt 2022 (7)
    • ►  Sep 2022 (6)
    • ►  Agu 2022 (4)
    • ►  Jul 2022 (9)
    • ►  Mei 2022 (4)
    • ►  Jan 2022 (9)
  • ►  2021 (22)
    • ►  Des 2021 (5)
    • ►  Sep 2021 (3)
    • ►  Agu 2021 (6)
    • ►  Jun 2021 (1)
    • ►  Mar 2021 (7)
  • ►  2020 (14)
    • ►  Des 2020 (1)
    • ►  Nov 2020 (2)
    • ►  Jul 2020 (2)
    • ►  Jun 2020 (1)
    • ►  Mei 2020 (1)
    • ►  Apr 2020 (1)
    • ►  Mar 2020 (2)
    • ►  Feb 2020 (4)
  • ▼  2019 (3)
    • ▼  Mar 2019 (1)
      • Kebohongan yang Menyenangkan Sekaligus Menyebalkan
    • ►  Feb 2019 (1)
      • Sensasi Membaca Tulisan Lama
    • ►  Jan 2019 (1)
      • Menulis Itu Sulit
  • ►  2018 (57)
    • ►  Okt 2018 (7)
    • ►  Sep 2018 (5)
    • ►  Jul 2018 (11)
    • ►  Jun 2018 (3)
    • ►  Mei 2018 (4)
    • ►  Apr 2018 (2)
    • ►  Mar 2018 (5)
    • ►  Feb 2018 (12)
    • ►  Jan 2018 (8)
  • ►  2017 (71)
    • ►  Des 2017 (7)
    • ►  Nov 2017 (20)
    • ►  Okt 2017 (10)
    • ►  Sep 2017 (8)
    • ►  Agu 2017 (8)
    • ►  Jul 2017 (9)
    • ►  Jun 2017 (5)
    • ►  Mei 2017 (4)

Created with by ThemeXpose | Distributed by Blogger Templates