Kebohongan yang Menyenangkan Sekaligus Menyebalkan
Dalam sejarah kehidupan saya dalam
berhablumminannas, berbohong menjadi hal menyenangkan sekaligus menyebalkan
yang pernah saya lakukan.
Dalam beberapa kasus, berbohong
menjadi kisah menarik yang sulit untuk saya lupakan. Hal inilah pernah saya
lakukan suatu hari sepulang sekolah sewaktu MI. Bagi yang belum tahu, MI
merupakan singkatan dari Madrasah Ibtidayah, setara dengan SD. Sama halnya
seperti Mts yang setara dengan SMP. Sama halnya juga seperti wajahmu yang
setara dengan mantanku.
Kejadian itu kalau tidak salah terjadi
kelas 5 sewaktu piket. Di kelas saya dulu, sudah menjadi keputusan bersama
kalau piket harus dilakukan setelah pulang sekolah. Pada jadwal waktu itu, saya
piket bersama tiga siswi. Sebenarnya ada satu kawan saya yang juga piket, namun
karena tidak berangkat, saya harus menerima kenyataan menjadi orang yang
terganteng di ruangan itu.
Sebagai seorang lelaki yang kaffah,
tugas piket saya bukan menyapu. Saya dan beberapa kawan lain sudah terlanjur
sepakat mempunyai prinsip: kalau lelaki menyapu maka jiwa kejantannya turun
36%. Sungguh prinsip yang menyebalkan untuk diterima oleh seorang manusia
ganteng namun krempeng macam saya. Kau tahu, sebab prinsip sialan ini, tugas
lelaki dalam piket menjadi agak berat. Pertama, harus mengangkat kursi untuk
dinaikkan ke meja. Dan kedua, membuang sampah yang sudah terkumpul selama
sehari tersebut. Untuk poin yang terakhir hanya opsional saja.
Tugas berat ini menjadi bertambah
berat karena saya harus melakukannya seorang diri. Bedebah betul kawan saya
yang tidak berangkat itu. Yasudah, untuk menjaga harga diri sebagai lelaki baik
hati dan tidak sombong, saya melakukan tugas mulia nan berat: mengangkat kursi.
Meski ngos-ngosan, pada akhirnya saya berhasil mengangkat semua kursi yang
berjumlah sekitar 40an. Namun karena saya berhadapan dengan tiga siswi lain,
rasa ngos-ngosan itu saya tutupi dan pendam dalam-dalam.
Tugas saya belum selesai. Karena waktu
itu sekolahan sudah sepi, saya diminta tiga siswi yang piket untuk menunggu
sampai mereka selesai menyapu. Pulang yang saya impikan harus tertunda sampai
waktu yang belum ditentukan. Dalam penantian, agar piket cepat selesai
terbersit dalam benak saya untuk melakukan pekerjaan yang belum dilakukan.
Sampai akhirnya saya melihat papan tulis yang masih tertera tulisan materi
pelajaran IPS sisa pelajaran terakhir tadi. Dengan spontan saya mengambil
penghapus dan langsung menghapus tulisan-tulisan yang tergores dari kapur
tersebut. Hingga bersih.
Dan disinilah awal mula permulaan
kebohongan itu dimulai, dengan tanpa sengaja. Ketika posisi papan tulis sudah
bersih, dalam waktu bersamaan saya teringat jika besok jam pertama ada pelajaran
bahasa Jawa yang saya ingat memang ada PR. Dengan iseng saya langsung menulis
kalimat yang berbunyi: “PR dikumpulkan di kantor pukul 07.00 Ttd. Bu Afifi.” Kenapa saya menulis hal ini,
sebab beberapa kawan saya melihat tulisan saya mirip dengan tulisannya Bu
Afifi.
Esok hari
setelah piket itu. Saya dikagetkan dengan kesibukan kawan sekelas yang mondar-mandir membawa buku tulis. Saya yang
waktu itu datang belakangan langsung menanyakan situasi apa yang sedang terjadi
sehingga semuanya sibuk kesana-kemari. Saya begitu terkejut ketika seorang kawan
langsung menunjukkan saya tulisan di papan tulis. Seketika saya langsung
tertawa terbahak-bahak.
Dihadapan semua murid sekelas, saya
langsung mengakui kalau yang menulis kalimat untuk mengumpulkan tugas PR Bahasa
Jawa itu adalah saya. Bukan Bu Afifi seperti yang kawan sekelas kira. Situasi
berubah menjadi lebih santai. Saya tertawa terbahak dan menertawai diri yang
sanggup membohongi –lebih tepatnya mengerjai- kawan sekelas hanya karena
tulisan saya mirip dengan bu Afifi. Beberapa kawan saya lega, beberapa kawan
lain menyumpahi saya dengan sumpah serapah, dan ada satu siswi mengejar saya
saking kesalnya. Kelak, siswi yang mengejar saya itu menjadi mantan saya.
Cerita belum sampai disitu. Setelah
pengakuan yang begitu membuat perut saya sakit itu, saya menjadi seorang yang
sedikit dimusuhi beberapa kawan karena keterlaluan ini. Setelahnya, saya harus
menerima konsekuensi kalau nilai bahasa jawa saya dibawah rata-rata. Musababnya
adalah: kawan sekelas mengerjai balik dengan tidak memberikan jawaban PR kepada
saya. Disitulah seakan balas dendam kawan sekelas dimulai, sebab beberapa hari
setelahnya, saya pernah tidak mendapatkan nilai suatu pelajaran karena tidak
ada satupun yang memberi tahu saya kalau hari itu ada PR. Sungguh, air tuba
dibalas dengan air tuba.
Cerita di atas hanya satu diantara
cerita kebohongan yang saya lakukan. Cerita selanjutnya ini tak kalah menarik
untuk dibaca khalayak ramai. Cerita kebohongan yang langsung dibalas dengan
azab yang pedih.
Suatu siang saat liburan sekolah.
Mandi di sungai menjadi rutinitas yang tak boleh dilewatkan bersama kawan
sepermainan. Seperti kita ketahui, kali pada jaman dahulu tentu masih asri.
Masih mudah menemui ikan pitak maupun
sruwet di pinggiran sungai. Berbeda dengan kini yang sudah banyak bercampur limbah
serta kondisi alam sekeliling yang sudah jauh berbeda.
Ada tiga kali yang biasa dijadikan
saya dan kawan-kawan untuk mandi. Ketiga kali tersebut adalah kali Kedung, kali
Mak Luwi, dan kali Brok. Ketiga kali ini masih dalam satu aliran. Untuk kali yang
saya sebutkan pertama letaknya di atas. Di atas yang saya maksud berarti kali
yang pertama. Di kali Kedung ini banyak sekali kijeng yang bisa dimakan. Namun
saya dan kawan-kawan saya beberapa kali saja mandi di sana. Konon, di sana itu singit (angker). Dari kabar yang beredar
pernah ada yang melihat hantu saat masa tengagi,
waktu saat para hantu berlalu lalang untuk pulang ke rumah setelah
beraktivitas.
Di bawah kali Kedung beberapa meter
setelahnya ada Kali Mak Luwi. Kali inilah yang paling dekat dengan rumah saya,
sekaligus tempat beberapa ibu biasa mencuci baju. Di kali inilah biasanya saya
dan beberapa kawan mandi bersama. Sebenarnya kali di bawah Brok (jembatan) juga
favorit untuk mandi, namun kali itu sudah diakusisi oleh bocah setempat.
Kita lupakan dua kali dan fokus ke
kali tempat Kami biasa mandi: kali Mak Luwi. Kali ini memiliki kedalaman yang
lumayan. Cocok untuk anak-anak waktu itu. Ada satu prosesi yang begitu wajib
dilakukan oleh setiap yang mandi di sana. Yaitu melompat dari atas –karena untuk
ke sungai perlu menuruni beberapa anak tangga. Ketinggian melompat berkisar
sekira 2 meter. Cukup untuk memberi
sensasi berenang yang menyengkan.
Namun bukan tanpa resiko mandi di
sungai. Sebab banyak sekali beling yang di dasar kali yang bisa saja menancap
di kaki. Bukan tanpa alasan, kali masih sering menjadi pembuangan beling paling
sering dilakukan. Beberapa kawan saya saking takutnya selalu memakai sandal
saat mandi. Bisa ditebak, sandal sangat berpeluang putus, atau setidaknya mudah
lepas dari cengkaman jari kaki.
Situasi sungai yang mungkin banyak
beling ini seringkali dijadikan gurauan beberapa kawan. Tak ketinggalan saya
sendiri. Setelah meluncur dan melompat, biasanya saya membohongi kawan saya
dengan pura-pura terkena beling. “Aduh aduh, kena beling. Kena beling.” Sambil pura-pura
menangis. Lalu setelah beberapa kawan melihat saya, dengan spontan saya
langsung bilang, “tapi bohong.” Gurauan ini saya lakukan beberapa kali.
Hingga pada masanya, tepat ketika
meluncur dan kaki mendarat ke dasar kali, ada sesuatu yang dengan tegas
langsung menancap di kaki. Bukan tidak dan bukan lain itu adalah beling. Saya
langsung kelonjatan tak karuan dan meminta bantuan kawan-kawan. Namun sama
sekali tidak ada yang menanggapi. Mau tak mau saya harus berenang ke tepian
seorang diri sambil menangis tersedu-sedu.
Sampainya di tepi kali, darah sudah
banyak bercucuran. Saya tak berani melihat nemun jelas sangat sakit sekali. Untungnya,
beling itu tidak menancap di kaki namun hanya tergores. Setelah melihat ada
darah, kawan saya baru percaya kalau saya beneran kecojok. Ini bukan kali pertama saya mengalami kecelakaan saat
mandi di sungai. Jauh sebelum itu saya sering
kemasukan kerikil kecil yang menancap di kaki dan sulit dikeluarkan,
atau istilahnya kami menyebut: suzuben.
Begitulah kisah kebohongan saya yang
memiliki dua sisi. Kadangkala kebohongan saya menjadi kebahagiaan bagi saya,
kadangkala yang lain menjadi sebuah hal yang menyebalkan. Untuk cerita yang
terakhir mengajarkan kepada kita semua untuk tidak sering berbohong. Jangan
berbohong, kalau berbohong niscaya kamu akan menjadi aktor utama dalam serial “Azab
pembohong yang kecojok beling di kali
dan tidak ada satu kawanpun yang menolongi.”
0 Respon