Sebuah Keresahan Saya
Saya menulis ini berangkat dari keresahan. Saya pikir, sudah cukup lama saya tidak jujur pada diri sendiri, dan menulis, menurut saya, adalah sebuah bentuk kejujuran. Dan berangkat dari itu pula, saya kira, blog ini akan menjadi semacam diary saya. Sebuah perjalanan hidup dengan berbagai variasi perasaan.
Saya tak tahu, malam ini, saya hambar saja. Rasanya rutinitas yang saya lakukan membosankan dan amat monoton. Sehabis isya, saya mencoba melakukan banyak hal yang mungkin bisa membuat saya sedikit tenang. Berkebalikan dari itu, saya justru tambah resah. Saya mencoba membaca buku, mengambil buku paling atas yang saya punya, membacanya beberapa menit, dan bosan. Saya membuka WhatsApp, tak ada chat yang masuk. Saya ingin memulai bercakap lewatnya, tapi pada siapa. Saya beralih melihat story WhatsApp, muak, isinya kebohongan semua. Saya membuka yutub, mencari yang sekiranya bisa membuat saya tertawa, tapi tetap saja tidak bisa. Saya menyalakan tv, tayangannya biasa saja. Tiduran, ah, monoton juga. Ingin menulis cerpen, sudah sejak lama saya mencobanya dan belum bisa juga.
Semuanya membosankan. Dan baru menjelang 11 malam ketika keresahan mencapai puncaknya, saya coba membuka aplikasi radio online, memilih Prambors sebagai salurannya, dan mencoba menikmati siaran dan lagu-lagu yang diputar. Awalnya tak bisa, beberapa kali saya matikan saluran, tetapi keheningan malam membawaku memutarnya lagi. Kali ini saya memaksa diri menikmati.
Bersama lantunan musik malam yang syahdu, hati dan pikiran saya mulai tenang. Dibawanya saya untuk benar-benar tenang, jari saya dengan sendirinya bergairah mencari aplikasi blogger dan menulislah sekarang ini. Saatnya menumpahkan yang terpendam.
Sudah sejak lama saya berada dalam lingkar keresahan yang dalam. Dan keresahan-keresahan ini, saya pikir memiliki pola yang hampir sama.
Begini, umur saya 20 tahun, dan saya merasa, diumur yang banyak orang bilang produktif ini, saya justru belum menemukan apa yang ingin saya lakukan. Belum banyak hal yang saya mulai, bahkan pada titik parah, mungkin bisa dikatakan saya belum juga mencari. Mencari apa yang saya suka, mencari pengalaman yang banyak, mencari teman yang berkualitas, menemukan lingkup sosial yang sehat, menemukan pekerjaan yang menyenangkan, dan menemukan banyak hal. Saya menyadari, saya terlambat, dan saya, tidak bisa menyalahkan siapa-siapa.
Sebagai seorang anak muda, tentu banyak hal yang ingin saya lakukan, sebagaimana orang lain. Ini mungkin yang membuat saya tidak adil pada diri sendiri, saya, selalu membandingkan diri dengan orang lain, dengan teman-teman saya, yang tentu, mereka memiliki beberapa variabel yang berbeda dalam menjalani hidup.
Saya tak tahu saya ingin membawa tulisan ini ke mana. Yang pasti, saya mengakui saya sedang berada dalam situasi yang dinamakan... krisis mental, mungkin. Posisi di mana saya bingung dengan diri sendiri. Tidak jelas. Saya belum tahu bagaimana formula bangkit dalam posisi ini, tapi yang jelas, satu kejujuran ini cukup membantu menenangkan saya.
Saya seorang yang pemalu, sebetulnya. Tapi semakin bersinggungan dengan orang, terlebih berkomunitas, membuat sifat itu perlahan pudar pudar dan pudar. Sayangnya, kepudaran itu hanya berlaku di lingkungan komunitas itu, tidak di rumah, juga tidak di lingkungan rumah. Jangan heran kalau saya justru tertutup dengan keluarga dan tetangga. Bahkan untuk story wa saja, saya mengecualikan kakak adik untuk melihat, saking pendiamnya. Sebetulnya saya risih juga dengan tindakan saya ini. Saya juga ingin terbuka dengan keluarga, juga dengan tetangga, tetapi kebiasaan yang sudah berlangsung lama ini, juga stereotip yang mungkin sudah melekat dalam diri saya sebagai orang pendiam, membuat saya sulit untuk berubah. Ketimpangan sikap ketika berada di luar dan di dalam inilah yang menjadi keresahan saya. Saya belum bisa membawa sosok aku seutuh dan sebenar-benarnya.
Suatu hal lain yang mengganjal di hati saya salah satunya mengenai sebetulnya apa sih yang ingin saya inginkan. Sejak kecil, dari MI sampai MA, sebetulnya kekhawatiran soal itu selalu muncul. Saya seperti tidak ingin menjadi apa-apa dan siapa-siapa. Saya orang Jawa, dan memiliki impian tinggi bukankah sebuah kebiasaan.
Di lingkungan saya, mayoritas pekerjaannya ialah sebagai penjahit. Dan disinilah mungkin awal mula keresahan dalam persoalan ini muncul, saya tidak ingin menjadi penjahit. Alasannya cukup kemaki, saya tidak ingin hidup seperti kebanyakan orang.
Barangkali, saya ialah orang yang tidak realistis dalam memandang kehidupan. Dipikiran saya, saya membayangkan, seusai lulus MA, saya kuliah. Saya terlalu percaya diri dengan kecerdasan yang saya miliki. Saya yakin saja saya bisa kuliah, bagaimanapun jalannya.
Tapi semua bayangan dan harapan itu menjadi omong kosong terlebih ketika sebuah kebodohan menghampiri saya dengan kejamnya. Dijatuhkannya saya serendah-rendahnya, dan inilah masa di mana saya hilang asa, seperti semuanya sudah selesai. Sebuah titik terpuruk paling menyesakkan dada, menjadi manusia yang tidak berguna sama sekali. Kejadian itu yang membuat saya luka pikir dan akhirnya jatuh sakit, sakit berat, hampir dua tahun. Dan itu, membuat saya dari yang terpuruk semakin menjadi terpuruk, dari yang semula menyusahkan bertambah menyusahkan. Saya benar-benar kehilangan kepercayaan diri. Hilang harga diri. Saya mengasihi diri. Memendam dendam pada nasib buruk. Membenci semuanya. Tak ada yang mengerti perasaanku.
Di saat yang lain memulai membangun kesuksesan mereka, dengan pekerjaannya, dengan relasi yang banyak, dengan pengalaman, dengan pendidikan, dan dengan lainnya, saya, justru sendirian memikirkan bagaimana keluar dari kebodohan dan semakin monotonnya kehidupan saya.
Memang saya bekerja, sepanjang ini saya bekerja di dua tempat. Saya sekarang bekerja di tempat pembuatan puring setelah sebelumnya bekerja finishing konveksi, ya, melipat celana dan membungkusnya. Sejujurnya, keduanya bukan keinginan saya. Tapi mau tak mau, saya, harus menerimanya. Kalau tidak itu, apa lagi yang bisa saya lakukan. Bukan saya tidak bersyukur, tetapi begitulah realitanya.
Di pekerjaan yang sekarang pun, tidak selalu ada. Kadang minggu ini ada, minggu berikutnya tidak ada. Tidak jelas. Itu juga yang membuat saya resah. Dalam sebulan, upah saya tidak sampai sejuta. Tapi syukurnya, pengeluaran saya tidak melebihi itu. Ya memang saya bisa saja keluar mencari pekerjaan yang lebih menyenangkan dan meyakinkan, mungkin. Tapi, rasanya, ah, pikiran saya kacau. Bukan saya membandingkan, diantara kawan saya mungkin hanya saya yang tidak jelas; kerja kadang-kadang, tidak punya banyak kawan, jarang melihat dunia luar, tarasing, dsb. Puncaknya, saya merasa saya belum menemukan diri saya. Belum menjadi diri saya seutuhnya. Dan itu yang membuat saya malu. Kepada keluarga utamanya. Masak saya begini terus, sih?
Untuk menutupi semua kekurangan itu, saya memilih untuk menulis. Dan menulis, inilah sesuatu yang saya sadari menyenangkan. Ini mungkin terlihat agak mustahil, tapi terkadang saya membayangkan kelak bisa punya pekerjaan yang berkaitan dengan penulis.
Tapi keresahan lain datang ketika menulis yang saya yakini bakal merubah hidup saya, justru berkembang tidak jelas. Inilah yang memunculkan keraguan baru, apakah saya bisa? Sementara rasanya kepenulisan saya ini begini-begini saja.
Di luar memang saya terlihat ceria, tapi ya beginilah yang sebenarnya terjadi.
Mungkin itu saja yang bisa saya keluarkan dari kejujuran diri saya. Sudah lumayan agak plong meski masih saja resah.
Terakhir: bantu saya, dong! Ajak kerjasama kek, atau apa. Dan percayalah, saya tidak serapuh ini. Meski, ya, begini.
# Selesai ditulis 6 Februari malam hari
0 Respon