Sebuah Bisikan: Keluarlah!
![]() |
Saya ingin beranjak |
Keluar menjadi lebih baik. Ya' betul. Barangkali persoalan sekarang adalah karena kondisi yang tidak baik itu. Kalau baik, keinginan keluar itu tak terlalu muncul.
Kondisi tidak baik? Memang. Dalam segala hal; secara personal maupun sosial, secara kesehatan, ekonomi, pengetahuan, pengalaman, dan banyak hal lainnya.
Secara personal, saya tumbuh di atas bayang-bayang masa lalu: yang pemalu dan minder. Lebih dari itu satu kejadian masa lalu seperti menjadi aib berlebih yang suatu saat saya khawatirkan meluas. Kejadian itu entah kenapa meruntuhkan segala. Saya yang pemalu bertambah malu. Saya yang minder bertambah minder.
Barangkali faktor itulah yang menghambat saya berubah. Ya sebab itu. Lingkungan ini seakan sudah menghakimi kalau saya adalah pemalu dan minder. Sehingga andaikata saya berubah menjadi pemberani dan percaya diri, seolah-olah membentur kebiasaan itu. Sulit jadinya.
Lebih menjabar lagi, sifat pemalu saya ini berimbas pada hubungan sosial. Sejak kecil saya memang jarang berkomunikasi, juga jarang bermain bersama dengan teman sebaya. Saya lebih banyak menyendiri. Sebab itulah, saya tumbuh dengan sedikit teman -ini yang saya sesalkan sekarang. Makanya diusia yang sekarang ini, bisa dibilang hubungan sosial saya lemah. Sialnya, hal itu menjalar lagi ke bagian lain.
Keberlanjutan itu tampak pada kengenesan saya. Sejauh ini saya jarang jalan-jalan. Jarang sekali. Saya tak tahu apakah itu yang membuat saya mudah sekali meriang. Mungkin karena kurang piknik itu ya.
Lantas apakah saya menyalahkan masa lalu sepenuhnya? Tidak. Sepenuhnya tidak. Mungkin sebagian saja. Justru saya menyalahkan diri sendiri. Kok saya bisa sebegitunya ya! Kadang saya memang heran sendiri.
Makanya rasa bersalah itu ingin saya tunaikan dengan mengubah statement bahwa saya bisa bangkit. Saya bisa mengubah kehidupan yang belum menarik ini menuju sebuah kehidupan yang penuh warna. Dan itu perlu waktu. Pasti. Saya pikir, jalan perubahan itu adalah saya harus keluar. Saya mesti menempatkan diri dalam lingkungan yang membuat saya menjadi manusia, yang membuat saya mengenal dimana jati diri saya sebenarnya.
Jauh sebelum berfikir untuk keluar, saya sudah pernah dan selalu mencoba memperbaiki rasa pemalu saya di depan umum. Itu yang saya lakukan saat di sekolah. Bisa dibilang saya aktif organisasi, bahkan saya pernah menjadi Pradana Pramuka. Dari situ sebenarnya banyak hal yang kemudian saya bisa: jadi MC, pidato, ngisi waterbreak, bahkan ngisi materi. Di sekolahan saya merasa menjadi manusia: berguna.
Tetapi selesainya sekolah, selesai juga kemampuan semua itu. Barangkali tak ada yang melihat kebisaanku ini, saya tak berdaya sama sekali saat terjun ke masyarakat. Sebenarnya saya ingin juga ngemsi, ngisi sambutan, atau apalah, namun kepercayaan itu belum diberikan.
Kembali kepembahasan, selain secara personal dan sosial, kekurangbaikan -yang menjadi pelajaran bagi saya- juga ada pada kesehatan, bersambung pada ekonomi, pendidikan, pengetahuan, juga pengalaman. Kesemua ini saling berkesinambungan.
Dalam kesehatan, ini adalah titik poin paling tegas. Parah sekali. Sudah setahun lebih saya pengobatan namun belum kunjung sembuh. Saya menderita penyakit TBC kelenjar yang saat inipun masih tetap saya obati. Saya tak mau membahas ini lebih panjang, terlalu pahit untuk diceritakan.
Sakit ini membuat saya harus banyak istirahat. Tak melakukan sesuatu yang membebani fisik dan mental. Kasarnya, sakit ini membuat saya terpenjara, terbatasi. Aktivitas apapun menjadi terhambat.
Karena itu, apalagi sakit ini bertepatan saat UN dan berlanjut usai lulus, beberapa bulan setelah lulus itu saya nganggur. Benar-benar nganggur disaat teman-teman seangkatan saya sudah memulai konsisten kerja.
Sehingga tiap kali ada semacam sebuah reunian, saya malu sendiri. Yang lain pegang duit dan hape bagus-bagus. Saya tak pegang apa-apa. Momen paling ihik bagi saya adalah tatkala dalam kerumunan itu mendadak tak ada yang dibicarakan, semua akan fokus pada hepenya, sedang saya, menelan ludah saja. Untung sekarang sudah punya.
Sampai saat ini, meski saya kerja, saya belum menemukan apa pekerjaan yang saya banget. Sekarang saya kerja di finishing, alias nglempiti. Sebenarnyapun saya cukup berat menyebut ini sebagai sebuah pekerjaan. Pasalnya saya tak menikmati yang saya lakukan itu. Semata-mata hanya karena: timbang pak opo.
Sementara itu, dalam buku agenda saya, sebetulnya waktu sekarang adalah momentum bagi saya untuk bekerja dengan pendapatan yang banyak untuk kemudian pada tahun ajaran baru bisa kuliah. Saya ingin sekali kuliah. Tapi melihat kondisi ekonomi sekarang ini, tampaknya pendidikan masih butuh waktu lagi.
Belum terwujudnya kuliah, meski bukan satu-satunya faktor, pengetahuan dan pengalaman saya tetap sedikit. Padahal dalam benak saya, usai bisa kuliah, saya punya banyak teman, belajar banyak dari mereka, dan jalan-jalan bersamanya menyusuri apapun yang belum saya ketahui. Barangkali belum waktunya bagi saya. Barangkali juga ini bukan jalan yang tepat untuk saya.
Maka dari itulah sekali lagi, saya harus keluar. Saya ingin sekali keluar. Keluar dan berjalan mengikuti apa kata hati.
Ya. Keluar. Sesuatu yang jarang sekali bahkan tak pernah saya lakukan sama sekali. Sampai umur 18 ini, hampir tiap hari saya habiskan di rumah saja. Kakak saya pun mungkin agak bosen melihat saya terus-terusan di rumah, berbeda dengan tetangga saya yang biasa keluar, meski tak jauh-jauh amat.
Kadangkala, bahkan sering sih, saya niat sekali keluar. Tapi melulu kendalanya adalah: mau keluar kemana? Saya tak tahu jalan dan tempat apapun. Kan sialan. Lebih sialnya lagi, saya mau keluar sama siapa. Saya tak punya teman setel.
Selalu hadirnya kendala ini, membuat saya berfikir. Apakah kendala ini muncul karena saya tak pernah keluar. Tapi disisi lain, saya mau keluar, tapi ya itu. Saya jadi bingung.
Tuhan, saya mau keluar.
0 Respon