• Halaman Awal
  • Diri Sendiri
facebook instagram Email

Anam Sy



Pagi ini, saya bangun lebih cepat dari biasanya. Jam 06.45 saya terbangun dan merasakan pusing yang luar biasa. Saya mencoba meneruskan tidur, tapi upaya saya gagal sehingga memaksa saya bangun d jam 06.50.

Saya memasukkan kasur dan bantal ke kamar, karena saya tidur di ruang depan. Selepas itu ngecas hape yang sudah lowbet dan memutuskan untuk ke depan rumah mencari cahaya matahari. Barangkali berjemur lumayan meredakan pusing.

Saya melakukan peregangan ringan dari tangan, kaki, kepala, pinggul, sampai kaki. Sekitar 20 menit dan akhirnya saya masuk lagi. Saya tiduran dan malah tertidur kembali. Bangun lagi sebelum jam 08.00.

Hari ini, saya sudah berjanji dengan diri sendiri untuk main ke rumah pacar. Saya merasa perlu minta maaf sebab semalam tidak bisa menemaninya. Sementara, pusing semakin menjadi-jadi. Paling nanti sembuh, pikir saya. 

Saya lalu makan meski lidah masih sariawan, juga meski tenggorokan sulit menelan karena pusing. Selesai makan duduk-duduk dulu, memberi waktu untuk nasi bisa turun diproses.

Sebuah notif masuk, datang dari cuitan pacar saya, ia bilang ingin potong rambut lagi. Saya jadi ingat kumis dan janggut saya, yang memang sudah lebat. Saya lalu memotongnya untuk saya tunjukkan ke pacar saya. Ia pasti akan senang sebab ia akan menjadi orang pertama yang melihat itu.

Saya lalu mengabari akan ke rumahnya sehabis mandi. Tanpa menunggu balasannya, saya bergegas ke kamar mandi. Di kamar mandi, pusingnya makin kerasa. Saya punya firasat buruk. Begitu saya selesai gosok gigi, saya muntah. Sarapan saya keluar.

Selesainya mandi, saya segera mengecek balasan. Tidak seperti biasanya, ia bilang tidak bisa. Saya tanya kenapa, ia jawab akan ada temannya yang main. Saya masuk angin. Perut kembung dan kepala cekot-cekot.

Saya menduga pacarku sedang marah. Ia pasti perlu waktu dengan dirinya sendiri. Oke tidak masalah. Barangkali saya bisa vc. Ketika saya ijin untuk vc, ia menolak. Fix, ia sedang sangat kesal dengan saya.

Saya mencoba bertanya-tanya kenapa, tapi ia bilang tidak usah dipikir. Saya jadi semakin bingung dalam bersikap. Balasan terakhirnya sudah saya baca namun belum saya buka: 'cape ya', 'kadang mikir ga si ngapain pacaran?'

Saya sengaja untuk menunda menjawab. Ia sedang kesal. Dan kekesalannya, akan mempengaruhi jawaban-jawaban selanjutnya jika saya jawab seketika. Kekesalannya harus netral dahulu, agar saya bisa membicarakan baik-baik.

Saya tidak tahu ia sedang main bersama teman ke mana. Saya ingin tahu, tapi tidak ingin menambah kekesalannya. Saya sedang menunggu kapan ia selesai mainnya, saya ingin vc dan ingin bertemu. Saya kangen, dan pasti ia juga. Tapi paling penting, saya ingin mengatakan saya sangat mencintainya.

Saya mengetik tulisan ini masih dengan kepala yang pusing dan keringat yang gembrojos. Semoga kabar baik darinya membuat sakit saya juga mereda.


Share
Tweet
Pin
Share
No Respon


Mencoba Bikin Video

Seminggu terakhir, saya belajar sesuatu yang baru dalam hidup saya: merekam video dan mengunggahnya di media sosial. Kamu bisa melihatnya di Tiktok. Di sana, sudah ada dua postingan video saya.

Ada alasan kenapa saya akhirnya berani take video bahkan mengunggahnya. Sebab, saya tertarik untuk belajar storytelling. Karena itu, mau tak mau, saya harus berhadapan dengan kamera.


Tidak Punya Pengalaman Serupa

Saya berangkat justru dari sifat pemalu, apalagi di depan kamera. Foto selfi saja sudah tantangan bagi saya. Saya bahkan tidak punya foto-foto sendiri di galeri. Foto-foto saya yang dulu-dulu tidak pernah sendiri, selalu bersama teman atau rombongan.

Belum sampai di situ, setiap ada telepon masuk saja takutnya bukan main. Tentu saja untuk urusan telepon saja ciut, apalagi video call. Saya tak pernah melakukannya sama sekali.


Berubah

Namun semua berubah ketika saya punya pacar. Waktu awal-awal pacaran, saya sering dikirimi foto pap setiap hari selama beberapa waktu. Di tengah perjalanan, pacar saya merasa iri karena saya tidak kasih pap balasan.

Saya menjelaskan padanya kalau saya malu, juga tidak pernah foto-foto begituan. Pacar saya terus mendesak. Dia menawarkan akan mengajari beberapa pose dengan mengikuti gaya foto yang dikirimnya. Atas dasar kasih sayang dan rasa keadilan, saya bersedia melakukannya.

Foto pap saya awal-awal selalu dikomentarinya. Terlalu dekat, dan sebagainya. Saya tidak marah, saya justru senang karena merasa diperhatikan. Jadilah kami sering berbagi foto pap saban hari, sampai sekarang. Jika ditanya apakah bosan, sama sekali tidak.

Perubahan juga terjadi karena pacar saya dalam hal video call. Seperti yang saya jelaskan tadi, saya cenderung takut dan menghindar jika ada yang telpon apalagi sampai vc. Awal-awal, pacar memaklumi. Namun saya kasihan juga, hingga akhirnya keberanian saya untuk vc muncul. Saya masih ingat betul pertama kali saya melakukan vc, yakni malam lebaran. Lambat laun, saya jadi sering VC, nyaris saban hari juga.

Transformasi dari yang semula malu untuk foto dan takut menerima telepon menjadi rajin eksis di depan kamera dan video call setiap waktu, membuat saya tidak lagi punya masalah dalam urusan tersebut. Saya tidak takut lagi kalau disuruh selfi dan tidak lagi takut menerima telepon maupun vc masuk.


Hingga Kemudian Bikin Video

Kemudian muncul keinginan untuk berlatih berbicara di depan kamera, saya jadi merasa, pacar saya punya peran besar di sini. Keinginan ini akhirnya bisa saya wujudkan segera tanpa perlu berlatih sepenuhnya dari nol. Karena saya sudah setiap hari video call menceritakan apa saja di depan kamera ditonton olehnya. Jika ditarik kesimpulan, take video belajar story telling nuansanya tidak jauh beda dari apa yang saya lakukan sehari-hari bersama pacar.



Share
Tweet
Pin
Share
No Respon


Ini mungkin adalah hari ke-45 saya menganggur. Saya seperti sudah di ujung tanduk keputusasaan. Selama 45 hari itu saya hanya di rumah saja. Terkadang menulis, terkadang merenung, terkadang bengong, dan terkadang pula menangis sendiri.


Tapi berada di titik nadir, membuat saya banyak bercengkrama dengan pikiran sendiri. Yang pada akhirnya, sedikit membuat saya perlahan mengenal diri sendiri.


Dengan memiliki banyak waktu sendiri, membuat saya kemudian merenung tentang perjalanan yang saya lalui. Terkhusus soal kepenulisan. Saya jadi merubah pandangan saya soal kepenulisan.


Jika selama ini menulis adalah harga mati di mana saya harus menjadi penulis, ambisi itu kini perlahan saya revisi. Saya tidak lagi ingin menjadikan menulis sebagai tujuan utama. Saya melihatnya, kemampuan menulis yang saya miliki bertugas sebagai senjata untuk mengarungi pelayaran lainnya.


Saya ingin mengajak sedikit flashback soal hobi menulis yang saya geluti. Saya mulai belajar menulis sejak 2018 dan berlangsung sampai sekarang. Sudah lebih dari 5 tahun saya belajar menulis. Dan sejauh 5 tahun itu, saya belum kunjung membuat karya entah berupa buku maupun tulisan prestisius yang tembus media terkenal. Sepertinya akan terlalu menjadi beban jika kepenulisan yang saya jalani ditargetkan untuk hal semacam itu.


Saya ingin kemampuan saya dalam menulis tidak terbebani. Namun justru sebaliknya, saya ingin menjadikan hobi menulis sebagai sesuatu yang menyenangkan untuk dijalani. Maka saya membuat keputusan untuk menjadikan kemampuan menulis sebagai senjata dan bukan tujuan utama.


Pertanyaan berikutnya, senjata untuk apa? Jawaban ini akan saya paparkan dengan satu babak cerita tambahan.


Selain menulis, salah satu potensi kemampuan yang bisa saya kembangkan adalah berbicara di depan umum. Menjadi ketua IPNU di sebuah ranting, sedikit banyak membuat saya punya keberanian tampil di depan khalayak ramai. Pada kenyataannya, kemampuan semacam ini tidak mudah sehingga tidak banyak orang yang bisa melakukannya.


Akhirnya lahirlah satu ide baru: saya ingin menekuni belajar berbicara story telling. Jadi mulai hari ini, saya mulai ngonten latihan story telling di Tiktok. Ini adalah eksperimen yang saya lakukan untuk sarana belajar. Eksperimen ini akan menunjukkan bagaimana saya latihan berbicara setiap harinya. Saya ingin tahu bagaimana rasanya merekam video diri sendiri dan belajar mengeditnya.


Di sinilah kepenulisan hadir sebagai senjata yang bisa saya gunakan. Dalam setiap ngonten, saya akan bikin script-nya dahulu. Menyiapkan dan mematangkan materi sebelum take video. Kita lihat bagaimana hasilnya nanti. 


Karena ini namanya juga eksperimen, saya tidak ingin terbebani oleh ekspektasi. Saya siap dengan segala kegagalan yang bakal terjadi. Salah satunya adalah saya siap menghasilkan video story telling yang jelek di awal-awal.

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon


Sebulan ini, saya menganggur. Meskipun agak malu mengakui, tapi inilah yang terjadi.

Tidak ada yang masalah dalam masa pengangguran ini, kecuali bahwa saya telah melewatkan banyak hari dengan sia-sia. Saya terjebak dalam algoritma sosial media yang membuat saya lagi dan lagi, membuka Twitter, Instagram, dan YouTube.

Sadar akan hal itu sejak awal, saya ingin melawan, tetapi kebiasaan selalu mengalahkan saya. Saya tahu ini tidak sehat, jadi satu-satunya hal  yang bisa saya lakukan sekarang adalah mengalihkan perhatian ke hal yang produktif. Maka malam ini, saya membuka google dokumen, menulis, dan mengunggahnya di sini. Saya kembali ingin menjadikan menulis sebagai kegiatan rutin.

Sebenarnya, hari-hari ini adalah hari yang saya tunggu, tepatnya 10 November kemarin. Hari di mana saya demisioner sebagai ketua IPNU ranting Kebonrowopucang. Tugas saya sebagai ketua telah selesai, dan kini sudah digantikan yang lain. Saya bersyukur dan merasa lega.

Sudah lama saya punya rencana, bahwa setelah tidak menjadi ketua lagi, saya akan fokus bekerja. Namun ketika masa purna itu tiba, saya justru mendapati diri dalam keadaan menganggur. Realita yang cukup anomali untuk dirasakan.

Mungkin saya agak bermalas-malasan belakangan ini. Saya pikir, setidaknya malas-malasan ini sebagai hadiah untuk diri sendiri yang sudah bertahan selama dua tahun, dan juga sebagai persiapan untuk melesat kencang setelahnya. Makanya dalam masa pengangguran ini, saya benar-benar menganggur. Tiap hari saya cuma tiduran, berselancar sosial media, dan sesekali keluar. Saking bosannya, saya sampai mengunduh game di ponsel saya—sesuatu yang jarang saya lakukan.

Saat ini, saya sedang mencari pekerjaan baru. Bagi orang yang tidak punya pendidikan tinggi dan keterampilan tertentu, mencari pekerjaan tentu tidak mudah. Mungkin masa pengangguran saya akan berlanjut sebelum saya menemukan pekerjaan yang sesuai. Namun sekarang saya tahu, saat ada waktu luang, saya bisa mengusahakan sesuatu. Dan sesuatu itu adalah menulis, suatu kegiatan yang sudah saya lakukan selama lima tahun.

Jika diberi pilihan, saya sangat ingin menjadi penulis, apapun jenisnya. Barangkali, menulis adalah kemampuan satu-satunya yang saya miliki dan berpotensi untuk dikembangkan. Oleh karena itu, sekarang saya ingin kembali menjalani rutinitas lama: menulis sesuatu saban hari. Berbagai kemungkinan masih terbuka. Dengan cara ini, mungkin saya dapat memantaskan diri mendapatkan pekerjaan yang saya impikan.



Share
Tweet
Pin
Share
No Respon


Siang edisi 8 September 2023 ini panas sekali. Kamis yang biasanya menjadi yaumul hisab hari perhitungan untuk pocoan, kali ini saya harus absen dulu karena sedang menganggur. Jadilah cuacanya semakin gerah.

Seharian ini saya hanya berada di atas kasur saja. Berselancar di atas papan ketik. Scrolling medsos dan menulis random. Tidak ada gairah untuk melakukan hal lain entah pergi atau melakukan apa. Malas yang sungguh sistematis. Sebetulnya saya benci kemalasan semacam ini. Tapi pekerjaan sekarang lah yang membentuknya. Apa boleh buat.

Terik cahaya matahari menembus jendela kamar dan menyorot ke sisi kasur. Menjelma panas dan pengap. Mengundang keringat. Di kamar ini, tak ada kipas. Tak ada udara. Juga tidak ada ruang lain untuk saya beranjak. Saya masih tetap di sini. Mendekap bosan dalam pengap yang menggerahkan.

Dalam kondisi semacam ini, saya cenderung merasa tidak berguna sebagai manusia. Orang-orang punya jadwal padat dalam pekerjaan mereka. Punya rutinitas dan pemasukan yang stabil. Sedangkan saya seperti seorang yang terlantar. Tak punya pandangan untuk di dan ke mana.

Saya jadi kembali meragukan pekerjaan saya lagi. Sering sekali pekerjaan ini membuat saya berdiam diri di rumah untuk jangka waktu yang lama. Lima tahun saya bekerja di sana. Selama lima tahun itu, jumlah liburnya saya kira menyamai jumlah berangkatnya. Saking seringnya pekerjaan ini sepi.

Loyalitas yang saya berikan, toh nyatanya tidak sebanding dengan apa yang saya dapatkan. Pekerjaan ini memang sudah mengibarkan bendera kuning sejak lama. Tetapi karena loyalitas tadi, entah bendera kuning atau merah yang berkibar, saya masih memilih bertahan.

Lama kelamaan, semakin seringnya saya nganggur, saya mulai bersiap angkat kaki dari pekerjaan ini. Saya sadar, saya sudah dewasa. Saya memiliki banyak kebutuhan yang harus dipenuhi sekarang. Dan mohon maaf, pekerjaan ini sudah tidak bisa membekingi itu.

Kalau mau hitung-hitungan, dan saya memang punya catatannya, rata-rata penghasilan saya dari pekerjaan ini adalah 1,3 juta per bulan. Atau kalau mau di hitung per minggu berkisar 300 ribu per minggu. Kecil? Jangan kaget, angka itu terjadi karena saya lebih banyak nganggurnya. Misalnya saja bulan Juni dan Juli tahun ini, percaya atau tidak, saya tidak kerja sama sekali. Dan hal semacam ini juga terjadi di tahun-tahun sebelumnya.

Roman-romannya, melihat perjalanan pekerjaan ini dari awal hingga sekarang, saya memang harus mulai memutuskan untuk hengkang. Kalau tidak, saya akan terjebak dalam kelindan yang sama. Progres pekerjaan ini tidak signifikan. Ditambah, owner malah mencoba keberuntungan lain dengan berjualan online. Kalau dia saja sampai pegang yang lain, itu artinya ada yang tidak baik-baik saja dari pekerjaan ini.

Saya tidak mau lagi terus-menerus terjebak dalam situasi ketidakjelasan. Karenanya, saya perlu berhenti dari pekerjaan ini secepatnya dan mencari kerja pengganti. Saya tahu, ini akan jadi PR besar mengingat saya tidak punya skill keahlian apapun. Tapi kalau saya tidak memutuskan hal ini, persoalannya akan mbulet terus dan semakin kompleks. Pertanyaannya sekarang adalah, lebih baik pengangguran atau bekerja di suatu pekerjaan tetapi libur terus?



Share
Tweet
Pin
Share
No Respon


Hari ini pacarku sedang sibuk dengan aktivitas bikin buket yang harus selesai sore ini. Selain itu, di kepalanya, terngiang banyak tugas di depan mata. Mulai tugas kuliah, ulangan ngaji, dan ada pemeriksaan buku ngaji.

Sebagai pacar, saya hanya menawarkan diri untuk jadi pelampias kalau-kalau dia kesal. Saya ikhlas, tulis pesan saya. Saya kira ini sudah cukup aman untuk membuatnya tenang dan diperhatikan. Namun belum selesai di situ, tiba-tiba dia mengirim pesan balasan yang cukup menohok.

"Memangnya nggak ada keinginan untuk bantu apa?"

Pertanyaan yang sangat menjebak. Saya berkunjung ke rumahnya bisa dihitung dengan jari. Itu saja setengahnya terjadi ketika bapak ibunya keluar, biasanya di malam hari. Sementara, latar waktu sekarang adalah pagi hari. Yang notabene bapaknya sudah di rumah.

Hari ini adalah hari Kamis. Waktu biasanya orang-orang ngebut bekerja sebelum sore dapat upah. Apa yang bisa dilakukan oleh saya di hari Kamis yang nganggur. Tentu saja saya ingin datang ke rumah pacar saban hari kalau bisa, tetapi hal itu tentu saja tidak etis. Ada norma yang berlaku.

Termasuk hari ini, kalau mau, saya bisa saja datang ke rumahnya sejak pagi tadi. Membantunya membuat buket untuk deadline sore hari. Namun, apa yang bisa muncul dari kehadiran saya di sana. Termasuk tetangga-tetangganya yang secara tidak langsung bertindak sebagai kontrol sosial. Pasti akan ada omongan yang tidak-tidak. Sejak awal saya sudah mengatakan pada pacar, saya belum siap untuk itu.

Hubungan yang saya jalani sekarang adalah hubungan yang privasi dan rahasia. Sebisa mungkin begitulah yang kami usahakan. Saya memang belum siap jika banyak orang yang secara gamblang tahu hubungan kami. Meski kemudian orang bakal tahu, itu pasti. Tapi setidaknya hubungan ini tidak membuat geger lingkungan sana secara tiba-tiba. Seperti bunga, saya menginginkan di mata orang hubungan ini mekar perlahan. Lalu tercium oleh mereka satu-persatu. Semoga pacarku tahu hal ini. 

"Mas bisa bantu apa, Sayang?"

Itu adalah balasan saya. Secara narasi, memang agak blunder. Saya tahu itu. Mestinya saya tidak perlu tanya bisa bantu apa. Saya tahu, yang dibutuhkannya adalah kehadiran saya untuk menenangkannya dari hari-hari yang padat seperti sekarang.

Tapi kami baru saja vc. Dia memperlihatkan aktivitasnya merangkai buket. Setengahan jam lebih saya melihat tangannya bergerak ke kanan kiri menyobek solasi dan selebihnya suara kresek-kresek. Beberapa saat kemudian selesai juga buketnya.

Dia lantas berbaring. Matanya agak sendu. Dia harus berangkat kuliah setelah ini. Tiba-tiba, dia menangis. Saya menenangkannya. Memang berat menjadi dirinya. Selain harus fokus kuliah juga harus fokus ngaji. Menangislah dulu sampai tenang, kata saya. Sepuluh menit berlalu, dia menghapus air matanya. Mau siap-siap berangkat, ujarnya. Saya ucapkan kalimat penenang sekali lagi, juga untuk hati-hati di jalan. Vc kemudian mati.

Menjadi pacar perempuan yang memiliki kesibukan belajar memang harus ekstra bisa menguatkan. Sebab itulah salah satu tujuan mengapa dia mau berpacaran. Saya memahami hal itu. Pasti akan ada lagi hal-hal yang mengganggu pikiran dan mentalnya. Peran itulah yang mesti saya ambil. Peran untuk menguatkan, menenangkan, dan mendampingi masa sulitnya.



Share
Tweet
Pin
Share
No Respon

Kendati sudah pernah ngeblog sejak 2018 bukan berarti saya bisa dengan mudah untuk melakukannya lagi. Saya sudah seringkali bilang, konsistensi itu sulitnya minta ampun.

Sebetulnya sudah berkali-kali saya mengatakan akan fokus menulis di blog ini. Beberapa tulisan tentang tekad itu bahkan sudah tayang di sini. Tapi apa yang terjadi, tidak ada yang benar-benar mulus. Saya menulis di blog ini hanya beberapa kali saja dalam setahun. Bahkan lebih banyak tidak menulisnya daripada menulisnya.

Bagaimana dengan sekarang?

Lagi-lagi saya tidak menjanjikan akan sering menulis di blog ini. Menulis hanya jika ingin menulis saja. Yang jelas, pertanyaan saya di atas setidaknya sudah menepuk bahu saya bahwa ada blog yang bisa diisi.

Ada perbedaan pandangan soal blog ini dulu dan sekarang. Dulu saya berambisi sekali blog ini muncul iklannya dan saya bisa dapat uang dari adsense. Tapi berjalannya waktu, apa yang saya kerahkan belum bisa memantaskan diri berharap sebesar itu.

Sekarang mari lihat saja, blog saya saja masih berdomain gratisan. Maka saya katakan memang belum layak untuk bisa berharap banyak dari sini.

Lalu apa yang saya lihat dari blog saya sekarang?

Sama sekali saya sudah membuang jauh keinginan bisa dapat uang dari adsene. Terlalu muluk menurut saya. Saya melihat blog ini sekarang lebih sederhana. Bahwa blog ini adalah media yang bisa saya gunakan untuk menaruh tulisan-tulisan saya. 

Melihat perkembangan blog dari awal yang memang sepi pengunjung, maka di sini saya seharusnya bisa menuliskan apa saja yang saya suka. Toh tidak ada yang melihat. Bahasa sederhananya adalah blog ini tempat saya belajar menulis.

Dengan pandangan yang lebih sederhana soal blog ini, maka saya tidak menuntut apapun. Ibarat lahan kosong di belakang rumah, saya bisa bermain apa saja tanpa perlu rasa malu. Jika pun ada yang melihat, paling sekadar lewat dan tidak sengaja. Itupun tetangga.

Kalau berpikirnya sudah sederhana seperti ini, mungkin saya akan banyak menulis di blog ini. Saya akan lebih banyak bereksperimen menulis.

Dan agaknya saya perlu menceritakan hal ikhwal kenapa saya bisa menulis begini. Beberapa hari ini, saya menganggur. Memiliki kecenderungan menghabiskan waktu seharian hanya untuk scrooling medsos membuat saya merasa menyesal dan tidak memanfaatkan waktu dengan baik.

Akhirnya, saya bertekad untuk fokus menulis kembali. Tapi kali ini dengan trik yang berbeda. Biasanya saya menulis dengan salah satu dari tiga cara ini. Pertama, menulis di laptop. Kedua, menulis di buku. Atau ketiga, menulis di hape.

Cara pertama adalah cara yang dulu pernah lakukan. Namun berhubung laptop sedang error dan belum punya uang untuk memperbaiki, menulis di laptop belum bisa dilakukan. 

Cara yang kedua juga tidak lagi saya gunakan. Menulis di buku ternyata merepotkan. Saja lebih sering coret-coret tidak jelas alih-alih menulis itu sendiri. Jikapun ada tulisan di buku yang bagus dan ingin saya posting di Instagram ataupun blog, saya perlu menulis ulang lagi di hape. Sehingga pilihan yang tepat agar tidak menulis dua kali, tentu saja menulis langsung di hape.

Ini adalah cara ketiga. Menulis di hape. Tapi seperti yang saya katakan di atas, ada perbedaan. Sebelum-sebelumnya, ketika saya menulis di hape saya selalu menggunakan kedua jempol untuk mengetik.

Tapi sekarang, saya menemukan cara baru yang agak tricky. Cara tersebut adalah saya menggunakan jari telunjuk dan jari tengah kedua tangan untuk mengetik. Sensasi yang saya rasakan mirip-mirip seperti mengetik tombol keyboard laptop. Percayalah, hal ini menstimulasi saya untuk menulis dengan cepat dan fokus.  

Ada perbedaan memang. Menggunakan jari tengah dan jari telunjuk memberi sinyal pikiran bahwa aktivitas yang akan saya lakukan adalah menulis. Karena saya punya pengalaman menulis di laptop lumayan sering. Ingatan itu membantu pikiran bahwa 'oh sekarang waktunya menulis'. 

Berbeda dengan jika menggunakan jempol. Jika menulis dengan jempol, pikiran bawah sadar akan mengingatkan saya pada aktivitas scrolling media sosial. Semula ingin menulis malah jadi melipir melihat Instagram atau YouTube short dan tenggelam di sana. Sampai lupa menulis.

Dengan cara baru yang bisa membuat saya fokus ini, saya sekarang lebih percaya diri dalam menulis. Mari kita lihat akan seberapa banyak tulisan yang saya bikin setelah ini. Kalau ternyata masih jarang juga, berarti fix, saya memanglah pemalas.

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon

Salah satu hal tersulit yang dilakukan cah enom sekarang adalah bangun subuh dan tidak melanjutkan tidur lagi. Sepengamatanku, hanya 2 dari 10 temanku yang bisa melakukannya. Aku, sudah barang pasti tidak masuk barang langka itu.

Ada banyak faktor. Tapi tidur malam adalah pemicu utamanya. Orang-orang jaman dulu masih banyak yang bisa tidur jam 10 karena tidak ada distraksi. Sehingga bisa bangun pagi dengan keadaan bugar. Beda halnya jaman sekarang dengan banyaknya distraksi mulai dari handphone sampai tv yang menjadikan jam tidur menjadi sangat malam.

Aku sendiri bangun kurang lebih jam 8. Habis subuhan pasti tidur. Bagaimana tidak begitu jika jam tidurku saja selalu diatas jam 12 malam. Kadang jam 1 kadang jam 2, dan tak sekali dua sampai jam 3. Dulu ketika masih covid malah sering begadang dan baru tidur menjelang subuh.

Tapi ada sebuah masa, di mana habis subuhan, aku tidak tidur dan punya produktivitas pagi. Itu terjadi bertahun-tahun yang lalu. Aku lupa persis kapannya. Yang jelas, produktivitas itu menjadi masa lalu yang bisa ditarik lagi menjadi masa kini.

Saat masih sekolah, terlebih ketika SMP dan MA, aku nyaris tidak pernah tidur habis subuhan. Apa yang aku lakukan? Aku ngliwet nasi. Percaya atau tidak, aku bisa ngliwet nasi. Dulu. Tidak tahu kalau sekarang.

Aku selalu bangun subuh dan berjamaah di mushola. Tapi sebelum ke mushola, aku menjarang air lalu kutinggal ke mushola—kalau dipikir-pikir, berani juga ya aku meninggalkan kompor dalam keadaan nyala.

Balik dari mushola pasti air sudah mendidih. Sebagian air aku gunakan untuk buat teh satu ceret. Air sisanya untuk ngliwet. Menaruh sarangan ke triyum, lalu memasukkan beras yang sudah kucuci. Setelahnya aku meninggalkankan liwetan dan darusan sebentar membaca surat alwaqiah atau arrohman. Omong-omong, aku bercerita kok seperti Jejak Si Gundul, ya?

Begitu rutinitasku pada subuh pagi hari masa sekolah. Aku lebih punya waktu untuk melakukan banyak hal. Memastikan tidak ada buku pelajaran yang tertinggal. Dan bisa berangkat sekolah dengan tenang tanpa gugup.

Namun semenjak terkena sakit yang cukup lama, terlebih ketika sedang parah-parahnya, tak ada lagi rutinitas semacam itu. Baru setelah beberapa bulan perawatan, ada aktifitas lagi sehabis subuh. Yakni jalan kaki di lapangan bola dan berjemur sebagai terapi. Aku melakukannya berminggu-minggu.

Setelah melewati dua tahun dalam perawatan dan sembuh, sehabis subuhan aktifitasku lebih sering tidur lagi. Tapi ada masa-masa di mana aku mendobrak kemalasan dan memaksa bangun pagi. Seperti jalan kaki, olahraga, dan baca buku pagi. Tapi hanya bertahan beberapa minggu saja dan kembali ke setelan awal.

Kebiasaan itu masih bertahan hingga kini. Aku selalu tidur lagi sehabis subuhan. Tentu saja, ada keinginan dalam diriku untuk kembali melakoni rutinitas pagi yang memaksaku untuk tidak tidur lagi habis subuhan.


17 Juli 2023

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon


Masih tidak habis pikir dengan kemampuan yang tak banyak kumiliki, tapi selalu saja dapat mandat yang tidak mudah. Seperti tidak ditakdirkan untuk menjadi manusia biasa. Mulai dari jadi guru ngaji Madin, jadi ketua suatu organisasi, dan sekarang, jadi ketua pemuda dukuh.

Setiap sesuatu pasti ada sesuatu. Barangkali itu yang belum aku mengerti. Sikap yang aman yang bisa aku lakukan adalah menerima dan menjalaninya tanpa perlu banyak tanya. Sebab, kalau mau melihat diri sendiri, aku banyak kekurangan. Sangat banyak.

Yang paling terasa adalah kecenderunganku yang sering nganggur. Selama 5 tahun lebih, aku masih bertahan di pekerjaan yang sama. Selama itu, masa menganggur sering terjadi. Kalau mau dibilang, pekerjaan ini tidak ada progresivitas. Gitu-gitu aja dari dulu. Makanya berkali-kali pula aku ingin keluar. Meski sampai sekarang selalu tidak punya keberanian untuk mewujudkan itu.

Pertama, karena kekosongan waktu yang terjadi bisa kumanfaatkan untuk kepentingan di organisasi. Partnerku (ketua yang perempuan) bekerja di sebuah pabrik. Sementara jajaran pengurusku, terlebih wakil dan PH, sama-sama tak memiliki fleksibilitas soal waktu. Mungkin ini agak berlebihan. Tapi terus terang, kalau bukan aku bakal siapa lagi? Makanya aku tidak (menunda) untuk keluar dari pekerjaan sekarang.

Alasan kedua lebih ke area personal. Kalau mau keluar, pekerjaan apa yang bisa aku masuki. Sementara, aku masih belum memiliki skil tertentu. Kalau nekat memutuskan keluar lalu akhirnya menganggur, pasti akan lebih tidak jelas. Sekalipun, sekali lagi, bekerja ditempat sekarang saja sudah sering menganggur.

Aku masih takut akan masa depan. Tapi aku juga tahu, kalau aku tidak membuat keputusan krusial dalam hidup, aku akan begini-begini saja sampai tua. Aku mulai memikirkan jalan tengah. Maka beginilah skenarionya.

Dua bulan lagi, masa jabatanku sebagai ketua akan purna. Itu artinya, alasan pertama tetap bertahan di pekerjaan ini sudah gugur. Tersisa satu alasan yakni soal 'apa pekerjaanku setelahnya'.

Dalam lingkunganku, rata-rata pekerjaan yang dilakukan adalah penjahit. Ini bahkan sudah turun temurun. Keluargaku saja semuanya penjahit—kecuali bapak yang kini jadi kuli bangunan. Tapi tidak bagiku, aku tidak menginginkan menjadi penjahit. Sehingga aku tidak pernah belajar untuk bisa menjadi penjahit. Kalau mau cari aman sejak dulu, aku pastinya memilih itu. Kenyataannya, aku tidak memilih itu.

Lalu apa yang bisa aku perbuat? Pertanyaan menarik dan sulit. Aku tidak bisa dengan mudah menjawabnya.

Bayanganku sejak dulu adalah bekerja sebagai penulis. Tapi aku sadar diri, menjadikan menulis sebagai pekerjaan bukan sesuatu yang mudah. Aku bisa memulainya dengan menulis freelance. Aku pernah melakukannya setahun yang lalu. Meski baru satu projek yang pernah aku dapatkan yang nominal upahnya 150.000 dari menulis 5 artikel, tapi itu sudah cukup untuk melihat cara kerjanya seperti apa.

Kalau mau sedikit nekat untuk mencoba sesuatu yang baru, aku akan memanfaatkan sedikit kemampuan yang kumiliki. Misalnya sedikit kemampuanku dalam berbicara. Belakangan ini sedang gencar-gencarnya bisnis online memasarkan produknya dengan live baik di Tiktok maupun di Shopee. Sepertinya ada peluang untukku di sana. Aku merasa bisa untuk (setidaknya) mencobanya.

Pada akhirnya, pandanganku saat ini adalah bekerja freelance. Bisa freelance live produk, bisa freelance menulis, dan tidak menutup kemungkinan freelance bentuk lain.

Plan ini sudah seharusnya aku pikirkan sejak sekarang. Aku akan pikirkan matang-matang setelah kegiatan akbar organisasi 28 Juli nanti selesai. Sudah seharusnya aku berani untuk mengambil satu keputusan.


15 Juli 2023

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon

Hari ini, kekasihku untuk kali pertama tak mengucapkan selamat pagi meski aku tahu ia sudah bangun lebih dulu. Juga untuk pertama kali tidak membalas pesanku hingga berjam-jam. 

Semalam, ia kesal denganku. Muak. Begitu katanya. Aku menanyakan beberapa kali kenapa alasannya. Tapi selalu dijawabnya tidak apa-apa. Menjelang tidur aku bertanya lagi, yang kemudian ia balas: pikir saja sendiri. Aku sempat menduga kekesalannya gara-gara komentar saya dengan seseorang di live Instagram seorang kawan, tapi ternyata bukan.

Ia baru mengutarakan alasan kekesalannya di penghujung malam ketika aku sudah tidur. Aku membacanya sehabis bangun tidur subuh-subuh.

Aku membalasnya langsung, berharap ia membacanya ketika bangun. Tapi hingga jam 10.30, ia belum kunjung online. Sesuatu yang pasti disengaja. Barangkali agar aku tahu rasanya pesan yang tak kunjung dibalas.

Sekarang, aku sudah tau apa yang ia rasakan. Maafkan aku sayang. I love tv one. I love Dewi Persik. I love Perindo. I love you.


Update:

Ternyata, kekasihku sedang jalan-jalan sama temennya. Kepastian itu aku dapat dari live Instagram miliknya. Have fun sayang.



15 Juli 2023



Share
Tweet
Pin
Share
No Respon


Akhir-akhir ini saya sedang kelimpungan untuk bikin naskah drama untuk pementasan Gebyar Muharram di desa saya Kebonrowopucang. Ternyata, tidak mudah untuk membuat satu rangkaian cerita untuk disuguhkan ke masyarakat. Yang paling sulit adalah menyajikan sesuatu yang bukan hanya menjadi tontonan namun juga tuntunan.

Sejauh ini, saya masih merangkai gimick-gimicknya saja. Belum sampai menemukan esensi ide cerita. Mengemas isi dibalur humor memerlukan kecerdasan intiliktuil. Intiliktuilitas inilah yang belum saya miliki.

Setiap kali menggarap naskah, saya selalu gagal menyelesaikannya dalam sekali duduk. Setiap berusaha menulis, selalu mandek berkali-kali kehabisan ide.

Bahkan sampai H-17 sekarang, masih dua babak yang sudah tergambar nyata di pikiran, itupun belum saya tulis semua. Artinya, masih belum sampai separuh. Idealnya, butuh lima babak cerita agar durasi tidak terlalu panjang dan tidak pula terlalu pendek.

Sepagi tadi, saya merancang untuk bisa memulai menuliskan semuanya secara spontan. Beberapa kali cara ini berhasil mendobrak kebuntuan ide. Tapi kali ini sepertinya belum waktunya. Saya masih mandek juga. Padahal saya sudah niatkan untuk menulis naskah 6 jam berturut-turut.

Saat saya sedang menulis ini, waktu sudah dhuhur. Yang berhasil saya tulis masih sebagian dari babak pertama. Saya putuskan untuk break siang dulu barang satu jam sebelum saya memutuskan untuk tancap gas menulis lagi sampai sore.


Naskah Drama Sebelum-sebelumnya

Sejak adanya Gebyar Muharram, drama menjadi satu hal yang tak bisa dipisahkan. Ketika menyebut Gebyar Muharram, ingatan yang paling dulu muncul adalah drama. Menjadi sangat ikonik kemudian ketika drama selalu menjadi pijakan pengingat waktu akan periode siapa waktu hal itu terjadi. Sejauh ini, drama paling ikonik adalah drama perjuangan melawan penjajah. Drama sewaktu periodenya mas Abdullah.

Selama pelaksanaan Gebyar Muharram, naskah drama selalu dibuat oleh Pak Misbah. Paling terakhir adalah drama 'anak polah wong tuo kepradah' Gebyar Muharram tahun 2019 silam.

Untuk edisi kali ini, sebetulnya saya dan rekan-rekan lain sudah sowan ke beliau untuk meminta dibuatkan drama. Beliau mengiyakan namun sekaligus tidak menjanjikan. Menurut pengakuannya, drama yang dulu-dulu selalu muncul saat-saat yang tidak terduga. Misal lagi duduk-duduk, tiba-tiba muncul ide. Saat saya berkunjung lagi di satu kesempatan, beliau mengaku sempat ada gambaran ide, namun sayangnya, tidak dicatatnya.

Di satu sisi, kami mencoba untuk bikin naskah sendiri. Sekali lagi, mencoba. Mencoba untuk membuat naskah sendiri. Pada percobaan pertama, umumnya hasilnya pasti gagal. Masih ada 16 hari lagi untuk tahu apakah percobaan ini akan berhasil atau gagal. Kita lihat saja.

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon
Newer Posts
Older Posts

Info

Tayang seminggu dua kali

Mutualan, Yuk

  • facebook
  • instagram
  • youtube

Kategori

IPNU

Postingan Viral

Catatan

Sementara kosong dulu, seperti hatiku

Facebook

Isi Blog

  • ►  2024 (15)
    • ►  Apr 2024 (1)
    • ►  Mar 2024 (4)
    • ►  Feb 2024 (1)
    • ►  Jan 2024 (9)
  • ▼  2023 (11)
    • ▼  Des 2023 (3)
      • Hari yang .....
      • Mencoba Bikin Video dan Keberanian yang Menyertainya
      • Ganti Strategi: Dari Menulis Menuju ke Story Telling
    • ►  Nov 2023 (1)
      • Melodi Hampa
    • ►  Sep 2023 (3)
      • Terik Matahari Dan Kibar Bendera Kuning Pekerjaan
      • Tangisan Kekasih dan Peran Untuk Menenangkan
      • Ngeblog Lagi? Memangnya Berani?
    • ►  Jul 2023 (4)
      • Duh, Habis Subuhan Kok Tidur!
      • Sebuah Plan Biar nGgak Nganggur Terus
      • Kekasihku Kesal
      • Bikin Naskah Drama Gebyar Muharram Kebonrowopucang
  • ►  2022 (46)
    • ►  Nov 2022 (7)
    • ►  Okt 2022 (7)
    • ►  Sep 2022 (6)
    • ►  Agu 2022 (4)
    • ►  Jul 2022 (9)
    • ►  Mei 2022 (4)
    • ►  Jan 2022 (9)
  • ►  2021 (22)
    • ►  Des 2021 (5)
    • ►  Sep 2021 (3)
    • ►  Agu 2021 (6)
    • ►  Jun 2021 (1)
    • ►  Mar 2021 (7)
  • ►  2020 (14)
    • ►  Des 2020 (1)
    • ►  Nov 2020 (2)
    • ►  Jul 2020 (2)
    • ►  Jun 2020 (1)
    • ►  Mei 2020 (1)
    • ►  Apr 2020 (1)
    • ►  Mar 2020 (2)
    • ►  Feb 2020 (4)
  • ►  2019 (3)
    • ►  Mar 2019 (1)
    • ►  Feb 2019 (1)
    • ►  Jan 2019 (1)
  • ►  2018 (57)
    • ►  Okt 2018 (7)
    • ►  Sep 2018 (5)
    • ►  Jul 2018 (11)
    • ►  Jun 2018 (3)
    • ►  Mei 2018 (4)
    • ►  Apr 2018 (2)
    • ►  Mar 2018 (5)
    • ►  Feb 2018 (12)
    • ►  Jan 2018 (8)
  • ►  2017 (71)
    • ►  Des 2017 (7)
    • ►  Nov 2017 (20)
    • ►  Okt 2017 (10)
    • ►  Sep 2017 (8)
    • ►  Agu 2017 (8)
    • ►  Jul 2017 (9)
    • ►  Jun 2017 (5)
    • ►  Mei 2017 (4)

Created with by ThemeXpose | Distributed by Blogger Templates