Aku Ingin Menjadi Penulis

by - Juni 10, 2017

Sewaktu kecil ketika ditanya cita-cita, rasanya tak mampu menjawab bibir ini. Bingung dan hanya diam. Terpaksa menjadi guru adalah pilihan bagiku dan pilihan umum teman-temanku. Sisanya mengimpikan menjadi orang sukses, sebuah cita-cita yang masih perlu penafsiran mendalam. Tentunya pilihan menjadi guru adalah pilihan tanpa memilih, menurutku inilah satu-satunya paling tinggi dan realistis. Pilihan cita-cita menjadi insinyur, dokter, presiden, DPR, atau semacamnya hanya akan mengundang tawa teman-temanku saja. Memang dilingkungan sekitarku ada anggapan kalau cita-cita tinggi hanya akan membuat sakit sekali bila terjatuh. Anggapan yang menurutku mengecilkan mental untuk bermimpi. Kita memang terkenal tidak berani menghadapi hal-hal yang besar. Termasuk aku dulu, cita-citaku menjadi guru hanya sebuah jawaban belaka tanpa murni terucap dari hati paling dalam.

Semakin kesini semakin lebih dewasa memaknai kehidupan. Disinilah kemudian mulai merenungkan apa yang akan terjadi dalam jangka panjang, yaitu masa depan. Perenungan inilah yang menyadarkanku akan pentingnya cita-cita. Bagaimanapun, hidup harus punya perencanaan dan impian. Hasil memang sepenuhnya milik Tuhan, namun impianlah yang akan menentukan strategi dalam mengarungi perjalanan kedepan. Saya tidak bisa membayangkan kalau saja seseorang tidak punya impian, akan bagaimana hidupnya. Melangkah tanpa arah dan memandang tanpa pandangan. Mungkin rasanya begitu membingungkan. Sekarang aku baru tau kenapa guruku selalu bertanya mengenai cita-cita. Karena kalau dicermati betul, ini merupakan sesuatu yang amat penting.

Beberapa tahun, bulan, dan hariku habis hanya untuk memikirkan apa impianku. Sampai aku berfikir kalau aku ini manusia yang tak tau diri, masak urusan impian saja aku tidak tau. Bagaimana aku ini. Memunculkan kegelisahan demi kegelisahan yang perlahan menghinggapi diriku dan hampir menggiringku untuk putus asa. Aku sendiri sampai bosan menghadapi situasi ini.

Kegelisahan inilah yang kemudian menyuruhku untuk curhat. Bukan curhat kepada teman dekat, namun curhat kepada sebuah kertas kosong. Aku menceritakan kegelisahanku kepada diriku sendiri dalam bentuk tulisan. Melalui menulislah sedikit bebanku terkurangi, lebih tepatnya berganti, tidak lagi dalam jiwa tapi dalam buku. Dan jadilah menulis sebagai kebiasaanku. Sampai aku merasa hal inilah yang mungkin menjadi pilihan bagi masa depanku, menjadi penulis.

Hampir setiap hari aku menulis apa saja yang kubisa. Setidaknya minimal satu hari satu paragraf. Tanpa terasa tulisan-tulisan ini sekarang sudah menumpuk. Mungkin sampai menembus ratusan lembar lebih, dan masih ada berlembar-lembar kertas kosong yang harus kuisi setiap harinya lagi. Aku menyadari kalau aku ini sekarang begitu semangat menekuni kepenulisan. Aku sendiri memusingkan ini. Apakah karena cita-citaku menjadi penulis sehingga aku rajin menulis. Atau karena seringnya aku menulis menjadikan aku memimpikan menjadi penulis. Entahlah bagaimana mulanya, yang kutau menulis itu sesuatu yang asyik dan menyenangkan. Bahkan saat aku sendiripun tak lagi merasa kesepian. Bolpoin dan kertas inilah yang mampu menghiburku dan terus mengajakku berbincang.

Berkaca dari mereka yang sukses dalam dunia kepenulisan.  Baik dari mencipta buku, blogger, penulis lepas, atau profesi semacamnya, semakin memotivasiku untuk terus menulis dan berkarya lebih baik lagi. Aku menaruh harapan besar dari kebisaan dan impianku ini. Beberapa upaya kucoba untuk mengasah keahlianku dan mencoba menemukan instingku sebagai bakal penulis hebat. Diantaranya dengan membuat blog, dengan ini tentunya dapat memicuku untuk menulis sesuatu dengan sedikit lebih berkualitas, meski memang kendalaku sekarang adalah ketidakpunyaan alat penunjangnya, handphone dan laptop.

Keberanianku membuat blog berarti memasukkan diri sendiri dalam situasi genting. Dibilang demikian karena hal ini menuntut untuk terus diberdayakan. Aku memang punya pengalaman bagus saat dihadapkan dengan situasi ini. Aku masih ingat betul bagaimana dulu ketika masih pemalu dihadapkan dengan situasi genting, kelasku mendapat jatah memimpin doa dihadapan ratusan siswa lain, teman-temanku tak ada yang mau, alhasil saya sebagai ketua terpaksa yang maju menjadi pemimpin doa. Itu adalah pengalaman pertama berhadapan dengan manusia lain yang begitu banyak. Namun siapa sangka, hal kecil inilah yang membuatku seperti sekarang ini, tidak lagi pemalu. Terkadang, perubahan itu lahir dari kegentingan dan keterdesakan.

Intinya, menulis adalah kebiasaanku, adalah impianku. Dengan menulislah aku bisa menemukan diriku sebagai manusia. Menulis mampu mengubah hidupku. Menulis mampu memahamkanku terhadap apa yang kulihat, karena insting penulis ada dalam setiap diri penulis. Menulis adalah hidupku, aku menghidupkan tulisan, dan suatu saat tulisanlah yang berbalik menghidupiku. Sampai kapanpun aku akan tetap menulis, menulis, dan menulis. Selamat menulis.

Salam kreatifitas


You May Also Like

1 Respon

  1. Artikelnya bagus, semoga yang mempunyai cita-cita terinspirasi dan menjadi semangat untuk menggapai impian tersebut.
    Ngomong soal cita-cita tentunya ada resolusi yang harus direncakan, terlebih untuk hal keuangan. ga usah jauh-jauh.. dari tahun 2019 ini juga bisa kok!
    resolusi keuangan 2019

    BalasHapus