• Halaman Awal
  • Diri Sendiri
facebook instagram Email

Anam Sy


Apakah ada dosa untuk orang yang membengkalaikan blog sepertiku?

Pagi ini menyuguhkan suasana yang pas. Dingin yang tipis, kicau burung dan pitik, dan teh hangat yang mulai mendingin. Pas sekali untukku duduk santai menikmatinya. Sesuatu yang jarang saya lakukan setelah lulus sekolah.

Pada pagi ini, juga biasanya pada waktu lainnya, aku mengecek blog ini. Sungguh kasihan, nasibnya hampir sama seperti aku yang menjomblo: sepi. Blogku memang sepi, dari dulu. Sejak aku memulainya ketika duduk di kelas 12 MA NU.

Terhitung, sudah setahun lebih blog ini berdiri. Sekilas melihatnya, semacam gubuk baru dari anyaman bambu yang beratap welid. Dimana penghuninya miskin, tak memenuhi tiap sudutnya dengan aksesoris umumnya. Sederhana dan minimalis. Lebih tepatnya, minim dana.

Gubuk itu sering dikunjungi pemiliknya. Namun barangkali tampilkan tak menarik, hanya satu dua saja tamu yang berkenaan singgah. Padahal tujuan sang pemilik membangun gubuk, agar seperti rest area, atau toilet umum, banyak dikunjungi orang.

Gubuk itu hampir pantas disebut suwung. Didalamnya, mungkin sudah memulai laba-laba membentuk jaring-jaring. Mungkin juga, langit-langit gubuk itu sudah dihiasi sekumpulan awan, ada yang tipis, dan ada yang tebal. Bukan bukan, bukan awan, itu sawang. Bahkan juga, mulai juga hadir menempati sosok asral.

Dosakah pemilik gubuk itu sebab ketidakbagusan rumahnya? Tak perlu dijawab, membuatnya saja sudah bagus kok.

Dosakah ketakterawatan blog ini?

Diluar perumpamaan tadi, aku kok jadi mengibaratkan blog seperti kekasih. Memperlakukannya harus seperti pacar. Dikasih perhatian dan diperlakukan dengan baik.

Tetapi andaikata blogku adalah pacarku. Apa kata pacarku? Pasti dia sudah marah. Setahun lebih aku pacaran, tapi tak pernah merasakan romantisme sama sekali. Setahun lebih aku tinggalkan dia tanpa kepastian, apalagi perhatian. Pasti kan sakit. Dia harusnya marah. Tetapi dia tidak, dia bilang, aku pasrahkan dan percayakan semuanya kepadamu.

Oh. Seketika, matahari keluar. Cahayanya menembus celah bilik gubuk yang sedang dikunjungi pemiliknya.

Diwaktu bersamaan, kicau pitik dan burung makin nyaring terdengar. Teh sudah dingin. Dan aku telah menyelesaikan satu tulisan ini.

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon
Saya ingin beranjak
Sejak lama, dan sejak dulu sekali, saya menginginkan sekali untuk keluar. Keluar dalam arti banyak hal: keluar rumah, keluar mencari dunia yang sesuai keinginan hati, keluar mencari jati diri, keluar untuk berjumpa dengan banyak hal yang tak terduga, keluar dari kemanjaan, keluar dari kebosanan, keluar dari zona nyaman, dan bentuk keluar lainnya. Intinya, keluar dari satu titik sekarang menuju satu titik ke titik lain. Keluar merubah menjadi lebih baik.

Keluar menjadi lebih baik. Ya' betul. Barangkali persoalan sekarang adalah karena kondisi yang tidak baik itu. Kalau baik, keinginan keluar itu tak terlalu muncul.

Kondisi tidak baik? Memang. Dalam segala hal; secara personal maupun sosial, secara kesehatan, ekonomi, pengetahuan, pengalaman, dan banyak hal lainnya.

Secara personal, saya tumbuh di atas bayang-bayang masa lalu: yang pemalu dan minder. Lebih dari itu satu kejadian masa lalu seperti menjadi aib berlebih yang suatu saat saya khawatirkan meluas. Kejadian itu entah kenapa meruntuhkan segala. Saya yang pemalu bertambah malu. Saya yang minder bertambah minder.

Barangkali faktor itulah yang menghambat saya berubah. Ya sebab itu. Lingkungan ini seakan sudah menghakimi kalau saya adalah pemalu dan minder. Sehingga andaikata saya berubah menjadi pemberani dan percaya diri, seolah-olah membentur kebiasaan itu. Sulit jadinya.

Lebih menjabar lagi, sifat pemalu saya ini berimbas pada hubungan sosial. Sejak kecil saya memang jarang berkomunikasi, juga jarang bermain bersama dengan teman sebaya. Saya lebih banyak menyendiri. Sebab itulah, saya tumbuh dengan sedikit teman -ini yang saya sesalkan sekarang. Makanya diusia yang sekarang ini, bisa dibilang hubungan sosial saya lemah. Sialnya, hal itu menjalar lagi ke bagian lain.

Keberlanjutan itu tampak pada kengenesan saya. Sejauh ini saya jarang jalan-jalan. Jarang sekali. Saya tak tahu apakah itu yang membuat saya mudah sekali meriang. Mungkin karena kurang piknik itu ya.

Lantas apakah saya menyalahkan masa lalu sepenuhnya? Tidak. Sepenuhnya tidak. Mungkin sebagian saja. Justru saya menyalahkan diri sendiri. Kok saya bisa sebegitunya ya! Kadang saya memang heran sendiri.

Makanya rasa bersalah itu ingin saya tunaikan dengan mengubah statement bahwa saya bisa bangkit. Saya bisa mengubah kehidupan yang belum menarik ini menuju sebuah kehidupan yang penuh warna. Dan itu perlu waktu. Pasti. Saya pikir, jalan perubahan itu adalah saya harus keluar. Saya mesti menempatkan diri dalam lingkungan yang membuat saya menjadi manusia, yang membuat saya mengenal dimana jati diri saya sebenarnya.

Jauh sebelum berfikir untuk keluar, saya sudah pernah dan selalu mencoba memperbaiki rasa pemalu saya di depan umum. Itu yang saya lakukan saat di sekolah. Bisa dibilang saya aktif organisasi, bahkan saya pernah menjadi Pradana Pramuka. Dari situ sebenarnya banyak hal yang kemudian saya bisa: jadi MC, pidato, ngisi waterbreak, bahkan ngisi materi. Di sekolahan saya merasa menjadi manusia: berguna.

Tetapi selesainya sekolah, selesai juga kemampuan semua itu. Barangkali tak ada yang melihat kebisaanku ini, saya tak berdaya sama sekali saat terjun ke masyarakat. Sebenarnya saya ingin juga ngemsi, ngisi sambutan, atau apalah, namun kepercayaan itu belum diberikan.

Kembali kepembahasan, selain secara personal dan sosial, kekurangbaikan -yang menjadi pelajaran bagi saya- juga ada pada kesehatan, bersambung pada ekonomi, pendidikan, pengetahuan, juga pengalaman. Kesemua ini saling berkesinambungan.

Dalam kesehatan, ini adalah titik poin paling tegas. Parah sekali. Sudah setahun lebih saya pengobatan namun belum kunjung sembuh. Saya menderita penyakit TBC kelenjar yang saat inipun masih tetap saya obati. Saya tak mau membahas ini lebih panjang, terlalu pahit untuk diceritakan.

Sakit ini membuat saya harus banyak istirahat. Tak melakukan sesuatu yang membebani fisik dan mental. Kasarnya, sakit ini membuat saya terpenjara, terbatasi. Aktivitas apapun menjadi terhambat.

Karena itu, apalagi sakit ini bertepatan saat UN dan berlanjut usai lulus, beberapa bulan setelah lulus itu saya nganggur. Benar-benar nganggur disaat teman-teman seangkatan saya sudah memulai konsisten kerja.

Sehingga tiap kali ada semacam sebuah reunian, saya malu sendiri. Yang lain pegang duit dan hape bagus-bagus. Saya tak pegang apa-apa. Momen paling ihik bagi saya adalah tatkala dalam kerumunan itu mendadak tak ada yang dibicarakan, semua akan fokus pada hepenya, sedang saya, menelan ludah saja. Untung sekarang sudah punya.

Sampai saat ini, meski saya kerja, saya belum menemukan apa pekerjaan yang saya banget. Sekarang saya kerja di finishing, alias nglempiti. Sebenarnyapun saya cukup berat menyebut ini sebagai sebuah pekerjaan. Pasalnya saya tak menikmati yang saya lakukan itu. Semata-mata hanya karena: timbang pak opo.

Sementara itu, dalam buku agenda saya, sebetulnya waktu sekarang adalah momentum bagi saya untuk bekerja dengan pendapatan yang banyak untuk kemudian pada tahun ajaran baru bisa kuliah. Saya ingin sekali kuliah. Tapi melihat kondisi ekonomi sekarang ini, tampaknya pendidikan masih butuh waktu lagi.

Belum terwujudnya kuliah, meski bukan satu-satunya faktor, pengetahuan dan pengalaman saya tetap sedikit. Padahal dalam benak saya, usai bisa kuliah, saya punya banyak teman, belajar banyak dari mereka, dan jalan-jalan bersamanya menyusuri apapun yang belum saya ketahui. Barangkali belum waktunya bagi saya. Barangkali juga ini bukan jalan yang tepat untuk saya.

Maka dari itulah sekali lagi, saya harus keluar. Saya ingin sekali keluar. Keluar dan berjalan mengikuti apa kata hati.

Ya. Keluar. Sesuatu yang jarang sekali bahkan tak pernah saya lakukan sama sekali. Sampai umur 18 ini, hampir tiap hari saya habiskan di rumah saja. Kakak saya pun mungkin agak bosen melihat saya terus-terusan di rumah, berbeda dengan tetangga saya yang biasa keluar, meski tak jauh-jauh amat.

Kadangkala, bahkan sering sih, saya niat sekali keluar. Tapi melulu kendalanya adalah: mau keluar kemana? Saya tak tahu jalan dan tempat apapun. Kan sialan. Lebih sialnya lagi, saya mau keluar sama siapa. Saya tak punya teman setel.

Selalu hadirnya kendala ini, membuat saya berfikir. Apakah kendala ini muncul karena saya tak pernah keluar. Tapi disisi lain, saya mau keluar, tapi ya itu. Saya jadi bingung.

Tuhan, saya mau keluar.

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon
Dalam hal apapun, sesuatu yang baru selalu punya harapan-harapan baru. Tahun baru, baju baru, gaya rambut baru. Selalu.

Namun tidak untuk seorang yang jiwanya sedang melankolis. Entah apa yang dimelankoliskan, barangkali sesuatu itu tak layak dimelankoliskan.

Manusia satu ini meski punya hape baru, tak ada kegembiraan juga kebahagiaan yang tampak pada lembayung wajahnya. Justru kebingungan yang dijumpai.

Kecanggihan androidnya, tak diimbangi oleh kecanggihan otaknya yang masih rendah. Hal itulah musabab kenapa ia bingung. Pertanyaan yang selalu keluar dalam benaknya, melulu soal bagaimana menggunakan hape ini dengan sesuai namanya: dengan canggih.

Ia pun sebenarnya tahu, untuk mengimbangi butuh waktu. Perlu intim lebih dulu. Tapi sekali lagi, ini bicara sekarang. Bukan nanti.

Terpampangnya layar yang lebar di depan matanya membuat jarinya grogi untuk memencet. Jangankan memencet, untuk mengusap agar menyala saja ia takut. Ia tahu, justru kebingunganlah yang akan muncul. Untuk apa ia membuka hape.

Baginya, memiliki hape yang menurutnya mahal ini selain sebuah kebanggaan, juga beban. Beban sebab mahal. Mahal itu besar. Sesuatu yang besar, untuk sesuatu yang besar. Maka, beban baginya kalau hape yang besar itu tak menghasilkan sesuatu yang besar.

Tiba-tiba ingatannya menjurus menuju tetangga-tetangganya yang juga memiliki hape, yang juga canggih. Dia pikir, alangkah mubadzirnya yang dilakukan orang-orang itu.

Pasalnya, dari apa yang ia lihat. Banyak sekali yang punya hape canggih namun hanya untuk digunakan secara sederhana tanpa melibatkan kecanggihannya. Lihat saja, hape bagus hanya untuk sekedar medsosan saja. Untuk game saja. Atau untuk selfi saja. Itu amatlah tak berfaedah menurutnya. Memang semua kembali kepada si empunya. Tapi ya agak wagu. Kalau begitu, beli yang murahan saja yang manfaatnya juga tak jauh berbeda.

Dari itulah ia berpikir dua kali untuk menggunakan hape dengan melibatkan kecanggihannya. Saat ini ia sedang belajar. Sebab katanya, dengan hape barunya itu, ia akan mencipta banyak tulisan. Ia memang suka dunia kepenulisan.

Kita doakan saja semoga itu terwujud. Sehingga, rasa melankolis karena tak tau apa yang dimelankoliskan itu segera sirna.

Kita memang perlu mengapresiasi orang langka seperti dia. Barangkali kita adalah saksi. Saksi kesuksesannya kelak. Memang perlu diapresiasi, kemampuan itu harus muncul ke permukaan. Bukan didiamkan dan jadi makin tenggelam.

Selamat menulis kawan.

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon

Hari ini ada hal yang sangat penting yang akan saya paparkan. Usai kemarin-kemarin saya butuh sekali akan hape terlebih untuk aktivitas menulis saya. Maka hari ini adalah sebuah kabar gembira untuk itu. Ya saya punya hape sekarang.

Saya ingat sekali kalau saya pernah menulis bahwa salah satu kendala menulis saya adalah alat penunjang: hape. Melihat pernyataan itu, maka adabnya adalah saya harus menunjukkan kalau saya akan mampu banyak menulis.

Sekarang, saya sudah punya hape. Bagus lagi. Bukan main, adalah xiomi resmi 5a. Hp ini sangat fantastis bagi saya. Mengapa? Karena ini merupakan pertama kalinya punya hape semahal ini. Saya beli ini senilai 1.325 ribu. Mahal kan. Tetapi kata orang yang saya lihat reviewnya di internet, redmi 5a ini murah melihat kualitasnya. Bagi saya sih murah mahal itu relatif. Seperti kecantikankanmu lah. Relatif.

Mempunyai hp ini membuat saya optimis, terutama dalam aktivitas kepenulisan. Entah kenapa hp ini enak sekali untuk digunakan. Untuk menulis saja, sangat mudah.

Dalam menulis, saya selalu menggunakan aplikasi bernama simpan catatanku. Ketika saya pegang hape inipun saya langsung ndonlot aplikasi ini. Menurut saya amat simpel dan enak di mata.

Barangkali faktor hp, penggunaan aplikasi ini jauh lebih mudah. Tiap kali nulis beberapa kata awal sudah langsung ada opsi kata yang akan saya tulis. Alhasil menulis sebanyak apapun terasa singkat. Saya suka ini. Tujuan punya hape untuk menulis, tertunaikan sudah.

Melihat kemudahan ini agaknya saya tak perlu mengkhawatirkan blog. Akhir-akhir ini memang saya agak minder untuk merawat blog sebab saya jarang nulis konten lagi. Kehawatiran itu hilang sekarang. Lebih dari itu, mungkin saja saya bisa mosting tulisan tiap hari.

Terakhir, saya hanya mau mengingat bahwa banyak orang diluar sana yang ingin menulis namun terkendala alat penunjang. Maka saya yang sudah punya itu, bagaimanapun harus bisa mewujudkan aktivitas menulis.

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon


Malam ini hujan. Aku hujan-hujanan. Dalam sendiriku, kutatapi tiap hujan yang merintik jatuh ke tanah. Air hujan ini lalu menggenang.

Aku benci hujan. Kesunyian yang tercipta karenanya, selalu membawaku kejauhnya masa lalu. Memaksaku untuk mengingat. Dan aku tak bisa menghindar.

Aku bergetar kedinginan. Tapi aku tak bisa pulang kerumah. Aku tak tau jalan. Aku hanya bisa menatap genangan itu. Lebih tepatnya, aku menatap kenangan. Genangan itu seperti membentangkan kisah yang pernah kualami. Dalam dingin, aku khusyuk menonton pertunjukan ini.

Aku adalah anak kesayangan ayah dan ibu. Saking sayangnya mereka, teman-temanku sampai menyebutku anak mami. Sampai sekarang, aku benci sebutan itu. Aku anak satu-satunya, maka kata ibu, aku satu-satunya harapan bagi mereka.

Sejak kecil, aku banyak di rumah, bermain seperlunya. Sedangkan teman-teman seumuranku, mereka selalu menggerombol bermain bersama. Jika hujan, mereka mencari batang pohon pisang lalu membawanya ke kali untuk kemudian menghanyut mengikuti arus. Atau saat malam bulan puasa, mereka biasa tidur di luar dan main koprekan saat sahur. Dan tiap sore, mereka main bola bahkan sampai maghrib. Asik betul kegiatan mereka. Aku pingin ikut, tapi ayahku melarang. Katanya, semua demi kebaikanku. Yasudah.

Masuk SMA, awalnya tak ada masalah saat aku memilih beberapa ekskul. Namun sejak aku banyak kegiatan dan ayahku melihat aku pulang selalu kelelahan. Ayahku jadi melarangku ikut ekskul lagi. Aku bergeming, namun kata ayah, ini demi kesehatanku. Aku nurut.

Lulus SMA, Ayah memasukkanku ke Kampus terkenal dan menyuruhku masuk jurusan ekonomi. Aku terpaksa nurut. Padahal, aku ingin masuk jurusan seni budaya.

Sudah banyak sekali permintaan ayah yang aku turuti. Aku selalu percaya, orang tuaku melakukan semua ini demi masa depanku. Aku selalu nurut dan tak pernah membentak. Kecuali setelah satu kejadian terjadi.

Suatu malam, aku mengajak Irin pacarku untuk main ke rumah. Aku mengenalkannya pada ayah dan ibu. Syukur, mereka kulihat sudah langsung akrab.

Irin adalah perempuan pantura. Aku bertemu pertama kalinya saat di kafe. Saat itu ia sedang manggung bersama bandnya. Irin merupakan penyanyi. Ia cantik. Rambutnya panjang. Ia tak berjilbab. Sebetulnya saya heran kenapa Ayah tak melarang karena hal ini. Ini pertama kalinya saya disetujui oleh ayah dan ibu.

Hari bahagia itu lalu kami tutup dengan pamit. Waktu sudah mulai larut malam. Irin harus pulang. Aku mengantarnya ke rumah lalu aku pulang ke rumah lagi.

Sampainya aku di rumah, ayah dan ibuku sudah menunggu di ruang tamu. Pasti ada hal penting yang akan dibicarakan. Aku duduk dan mulai mendengar. Sialan, ayah dan ibuku memintaku untuk mengakhiri hubungan dengan Irin. Seperti yang kuduga, masalahnya karena ia tak berjilbab. Kali ini aku tak memenuhi permintaan mereka seperti biasanya. Aku marah dan membentak.

Sejak itu, aku merasa kebebasanku mulai terenggut. Mereka selalu mengaturku dalam setiap hal. Meski mereka berdalih semua untuk kebaikanku, namun aku tak suka. Aku mulai berfikir bagaimana agar bisa keluar dari pengaruh mereka. Aku bukan anak kecil lagi.

Malam itu juga, aku mengemasi barang-barang ke dalam tas besar. Aku mau kabur dari rumah. Cuma itu satu-satunya cara agar aku bisa menghirup aroma kebebasan. Tidak disuruh-suruh lagi.

Aku keluar lewat jendela dan menuju ke mobil. Namun, suara starter yang kunyalakan membuat ayah dan ibuku penasaran. Mereka langsung keluar dan menyetopku sesaat sebelum aku jalan.

Dua tahun sudah kejadian itu berlalu. Aku begitu rindu ayah dan ibu. Sekarang, aku sendiri dan sedang menangis. Aku menangis di bawah tangisan keluargaku. Aku, satu-satunya harapan ayah ibu, justru berlaku sebaliknya. Aku berdosa pada mereka.

Seandainya saja saat itu aku sedikit saja menahan kemarahanku, semua tak bakal begini. Aku salah. Kukira saat kuinjak gas dan mobil perlahan maju, ayah ibuku akan menghindar. Namun tidak, mereka masih tetap menghadang mobil. Aku memberi perintah dengan nada tegas untuk minggir karena aku mau pergi. Mereka tetap mencoba menghalangiku. Sekali lagi aku memerintah dan mengancam. Namun mereka tetap saja. Dan entah bisikan dari mana, sekelebat saya menginjak gas kencang. Bencana dimulai. Aku menabrak kedua orang tuaku. Ayahku terpental, sedang ibu berhasil menghindar. Aku terkejut, kepala ayah berdarah, terbentur batu besar.

Aku panik, apa yang harus aku lakukan. Ini tak seperti yang kubayangkan. Aku sangat merasa tidak enak dan berdosa. Itu ayahku, begitu karena aku. Aku sangat malu. Karenanya, aku kabur. Sementara ibu kudengar menangis hebat sambil menggerak-gerakkan tubuh ayah. Aku benar-benar panik, aku tak sanggup melihat ini.

Dalam kaburku, aku sengaja mematikan hape. Aku tak kuat menghadapi semua ini. Sampai pada hari keempat pelarianku akhirnya polisi menemukanku. Aku tak melakukan perlawanan sama sekali. Aku sadar, aku salah. Aku juga sedih, penangkapan ini mengisyaratkan bahwa aku tersangka. Sejak itu aku ketahui bahwa ayahku meninggal.

Aku tak bisa berkata apa-apa. Apalagi saat bertemu ibu dalam pengadilan. Aku hanya bisa memeluk dan menangis tanpa henti. Bagaimana mungkin perhatian besar mereka padaku kubalas dengan sesuatu yang fatal.

Aku menangis, termasuk pada waktu sekarang aku dipenjara ini.

Aku hujan-hujanan. Hujan-hujanan air mata.


Share
Tweet
Pin
Share
No Respon
Newer Posts
Older Posts

Info

Tayang seminggu dua kali

Mutualan, Yuk

  • facebook
  • instagram
  • youtube

Kategori

IPNU

Postingan Viral

Catatan

Sementara kosong dulu, seperti hatiku

Facebook

Isi Blog

  • ►  2024 (15)
    • ►  Apr 2024 (1)
    • ►  Mar 2024 (4)
    • ►  Feb 2024 (1)
    • ►  Jan 2024 (9)
  • ►  2023 (11)
    • ►  Des 2023 (3)
    • ►  Nov 2023 (1)
    • ►  Sep 2023 (3)
    • ►  Jul 2023 (4)
  • ►  2022 (46)
    • ►  Nov 2022 (7)
    • ►  Okt 2022 (7)
    • ►  Sep 2022 (6)
    • ►  Agu 2022 (4)
    • ►  Jul 2022 (9)
    • ►  Mei 2022 (4)
    • ►  Jan 2022 (9)
  • ►  2021 (22)
    • ►  Des 2021 (5)
    • ►  Sep 2021 (3)
    • ►  Agu 2021 (6)
    • ►  Jun 2021 (1)
    • ►  Mar 2021 (7)
  • ►  2020 (14)
    • ►  Des 2020 (1)
    • ►  Nov 2020 (2)
    • ►  Jul 2020 (2)
    • ►  Jun 2020 (1)
    • ►  Mei 2020 (1)
    • ►  Apr 2020 (1)
    • ►  Mar 2020 (2)
    • ►  Feb 2020 (4)
  • ►  2019 (3)
    • ►  Mar 2019 (1)
    • ►  Feb 2019 (1)
    • ►  Jan 2019 (1)
  • ▼  2018 (57)
    • ►  Okt 2018 (7)
    • ►  Sep 2018 (5)
    • ►  Jul 2018 (11)
    • ►  Jun 2018 (3)
    • ►  Mei 2018 (4)
    • ►  Apr 2018 (2)
    • ▼  Mar 2018 (5)
      • Dosa membengkalaikan blog
      • Sebuah Bisikan: Keluarlah!
      • Ia gelisah, otaknya tak secanggih hapenya.
      • Punya Hape Baru, Ya Nulis Lagi
      • Dibawah Hujan
    • ►  Feb 2018 (12)
    • ►  Jan 2018 (8)
  • ►  2017 (71)
    • ►  Des 2017 (7)
    • ►  Nov 2017 (20)
    • ►  Okt 2017 (10)
    • ►  Sep 2017 (8)
    • ►  Agu 2017 (8)
    • ►  Jul 2017 (9)
    • ►  Jun 2017 (5)
    • ►  Mei 2017 (4)

Created with by ThemeXpose | Distributed by Blogger Templates