Dibawah Hujan

by - Maret 17, 2018



Malam ini hujan. Aku hujan-hujanan. Dalam sendiriku, kutatapi tiap hujan yang merintik jatuh ke tanah. Air hujan ini lalu menggenang.

Aku benci hujan. Kesunyian yang tercipta karenanya, selalu membawaku kejauhnya masa lalu. Memaksaku untuk mengingat. Dan aku tak bisa menghindar.

Aku bergetar kedinginan. Tapi aku tak bisa pulang kerumah. Aku tak tau jalan. Aku hanya bisa menatap genangan itu. Lebih tepatnya, aku menatap kenangan. Genangan itu seperti membentangkan kisah yang pernah kualami. Dalam dingin, aku khusyuk menonton pertunjukan ini.

Aku adalah anak kesayangan ayah dan ibu. Saking sayangnya mereka, teman-temanku sampai menyebutku anak mami. Sampai sekarang, aku benci sebutan itu. Aku anak satu-satunya, maka kata ibu, aku satu-satunya harapan bagi mereka.

Sejak kecil, aku banyak di rumah, bermain seperlunya. Sedangkan teman-teman seumuranku, mereka selalu menggerombol bermain bersama. Jika hujan, mereka mencari batang pohon pisang lalu membawanya ke kali untuk kemudian menghanyut mengikuti arus. Atau saat malam bulan puasa, mereka biasa tidur di luar dan main koprekan saat sahur. Dan tiap sore, mereka main bola bahkan sampai maghrib. Asik betul kegiatan mereka. Aku pingin ikut, tapi ayahku melarang. Katanya, semua demi kebaikanku. Yasudah.

Masuk SMA, awalnya tak ada masalah saat aku memilih beberapa ekskul. Namun sejak aku banyak kegiatan dan ayahku melihat aku pulang selalu kelelahan. Ayahku jadi melarangku ikut ekskul lagi. Aku bergeming, namun kata ayah, ini demi kesehatanku. Aku nurut.

Lulus SMA, Ayah memasukkanku ke Kampus terkenal dan menyuruhku masuk jurusan ekonomi. Aku terpaksa nurut. Padahal, aku ingin masuk jurusan seni budaya.

Sudah banyak sekali permintaan ayah yang aku turuti. Aku selalu percaya, orang tuaku melakukan semua ini demi masa depanku. Aku selalu nurut dan tak pernah membentak. Kecuali setelah satu kejadian terjadi.

Suatu malam, aku mengajak Irin pacarku untuk main ke rumah. Aku mengenalkannya pada ayah dan ibu. Syukur, mereka kulihat sudah langsung akrab.

Irin adalah perempuan pantura. Aku bertemu pertama kalinya saat di kafe. Saat itu ia sedang manggung bersama bandnya. Irin merupakan penyanyi. Ia cantik. Rambutnya panjang. Ia tak berjilbab. Sebetulnya saya heran kenapa Ayah tak melarang karena hal ini. Ini pertama kalinya saya disetujui oleh ayah dan ibu.

Hari bahagia itu lalu kami tutup dengan pamit. Waktu sudah mulai larut malam. Irin harus pulang. Aku mengantarnya ke rumah lalu aku pulang ke rumah lagi.

Sampainya aku di rumah, ayah dan ibuku sudah menunggu di ruang tamu. Pasti ada hal penting yang akan dibicarakan. Aku duduk dan mulai mendengar. Sialan, ayah dan ibuku memintaku untuk mengakhiri hubungan dengan Irin. Seperti yang kuduga, masalahnya karena ia tak berjilbab. Kali ini aku tak memenuhi permintaan mereka seperti biasanya. Aku marah dan membentak.

Sejak itu, aku merasa kebebasanku mulai terenggut. Mereka selalu mengaturku dalam setiap hal. Meski mereka berdalih semua untuk kebaikanku, namun aku tak suka. Aku mulai berfikir bagaimana agar bisa keluar dari pengaruh mereka. Aku bukan anak kecil lagi.

Malam itu juga, aku mengemasi barang-barang ke dalam tas besar. Aku mau kabur dari rumah. Cuma itu satu-satunya cara agar aku bisa menghirup aroma kebebasan. Tidak disuruh-suruh lagi.

Aku keluar lewat jendela dan menuju ke mobil. Namun, suara starter yang kunyalakan membuat ayah dan ibuku penasaran. Mereka langsung keluar dan menyetopku sesaat sebelum aku jalan.

Dua tahun sudah kejadian itu berlalu. Aku begitu rindu ayah dan ibu. Sekarang, aku sendiri dan sedang menangis. Aku menangis di bawah tangisan keluargaku. Aku, satu-satunya harapan ayah ibu, justru berlaku sebaliknya. Aku berdosa pada mereka.

Seandainya saja saat itu aku sedikit saja menahan kemarahanku, semua tak bakal begini. Aku salah. Kukira saat kuinjak gas dan mobil perlahan maju, ayah ibuku akan menghindar. Namun tidak, mereka masih tetap menghadang mobil. Aku memberi perintah dengan nada tegas untuk minggir karena aku mau pergi. Mereka tetap mencoba menghalangiku. Sekali lagi aku memerintah dan mengancam. Namun mereka tetap saja. Dan entah bisikan dari mana, sekelebat saya menginjak gas kencang. Bencana dimulai. Aku menabrak kedua orang tuaku. Ayahku terpental, sedang ibu berhasil menghindar. Aku terkejut, kepala ayah berdarah, terbentur batu besar.

Aku panik, apa yang harus aku lakukan. Ini tak seperti yang kubayangkan. Aku sangat merasa tidak enak dan berdosa. Itu ayahku, begitu karena aku. Aku sangat malu. Karenanya, aku kabur. Sementara ibu kudengar menangis hebat sambil menggerak-gerakkan tubuh ayah. Aku benar-benar panik, aku tak sanggup melihat ini.

Dalam kaburku, aku sengaja mematikan hape. Aku tak kuat menghadapi semua ini. Sampai pada hari keempat pelarianku akhirnya polisi menemukanku. Aku tak melakukan perlawanan sama sekali. Aku sadar, aku salah. Aku juga sedih, penangkapan ini mengisyaratkan bahwa aku tersangka. Sejak itu aku ketahui bahwa ayahku meninggal.

Aku tak bisa berkata apa-apa. Apalagi saat bertemu ibu dalam pengadilan. Aku hanya bisa memeluk dan menangis tanpa henti. Bagaimana mungkin perhatian besar mereka padaku kubalas dengan sesuatu yang fatal.

Aku menangis, termasuk pada waktu sekarang aku dipenjara ini.

Aku hujan-hujanan. Hujan-hujanan air mata.


You May Also Like

0 Respon