Cerita Saya Tentang Ramadhan Dulu, Kemarin, dan Sekarang
Ramadhan, sesuatu yang saya rindukan itu akhirnya datang juga. Tetapi pertanyaan sebenarnya adalah benarkah saya benar-benar merindukan Ramadhan.
Bulan Ramadhan tahun ini momennya hampir sama seperti tahun lalu, yaitu setelah UN dan perpisahan, juga waktunya UKK beserta libur panjang. Mungkin, kalau boleh saya menyebut, momen-momen itu berada pada masa yang pas dan kebetulan.
Tahun lalu, Ramadhan saya jalani dengan penuh kehati-hatian. Saya harus mengontrol betul jam main minum obat. Apalagi saya juga melakukan manuver dengan mengganti jadwal siang dengan malam.
Tetapi kehati-hatian itu juga berlanjut pada masa sekarang ini, puasa ini, saya masih tetap minum obat. Berat memang. Tetapi begitulah adanya.
Bertepatan Ramadhan, saya teringat Ramadhan sebelum-sebelumnya yang mana amatlah berkesan dan membekas.
Pertama, Ramadhan dua tahun lalu, ketika saya masih umur 16 dan sedang duduk di bangku MA NU, saat itulah awal-awal gejala sakit mulai terasa yang mana penyakitnya bertahan sampai sekarang ini.
Dulu, masa itu, saya berada pada titik awal mulai menulis, begitu bersemangat. Kegiatan Ramadhan saya jalani penuh kegembiraan dan menyenangkan. Saya rajin solat sunah, baca-baca cerita sufi, juga rajin dzikir. Dan syahdunya adalah setiap malam saya belajar menulis ditemani secangkir kopi.
Namun saat itu pula, keanehan pada tubuh ini mulai muncul dan saya belum nyadar waktu itu. Seperti saya seringkali bermasalah pada pendengaran, bahkan sampai saya budeg nggak dengar apa-apa, pernah juga mimisan, batuk-batuk tiap malam, sering kecapean, dan serasa tak kuat menjalani puasa.
Ramadhan itu begitu menyenangkan sekaligus melelahkan tanpa saya sadari. Imbasnya, saya gagal mengkhatamkan Al-Qur'an, memang sebab ketahanan membaca kala itu amatlah lemah. Kondisiku memburuk dari hari ke hari. Bahkan saat idul Fitri, saya terlihat kurus sekali dengan bawaan wajah yang amat pucat.
Akan tetapi, diluar semua itu, satu hal yang patut saya syukuri yang berawal dari Ramadhan itu, yaitu menulis. 2 tahun yang lalu itulah awal proses saya meniti kepenulisan hingga sampai bisa nulis seperti sekarang ini. Dulu, saya terhipnotis oleh puisi-puisi serta novel yang saya pinjam dari perpus. Sajak itulah saya punya keinginan untuk menulis.
Awal-awal saya memulai menulis, beratnya minta ampun. Saya tak tahu apa yang harus saya tulis, sampai-sampai yang saya tulis adalah 'mau nulis apa ya...' Bahkan karena sulitnya, saya malah lebih sering mencoret-coret buku.
Namun mengingat saat-saat itu, saya sering tersenyum sendiri. Bahwa ternyata apa yang saya lakukan dulu itu membuahkan hasil sekarang. Saya jadi percaya, dalam bidang apapun, kalau saya geluti betul, saya pasti bisa. Saya tak akan lupa pada awal membangun keahlian itu.
Mengenai kepenulisan itu, saya sempat berhenti cukup lama, yaitu ketika sakit itu benar-benar merasuk tubuh saya. Saya tak menulis dari setelah lebaran sampai kondisi mulai membaik sehabis menginap di rumah sakit. Mungkin hampir 7 bulanan. Waktu sepulang dari RS itu, saya juga langsung terjun mengikuti ujian-ujian yang berjejeran. Barulah setelah membaik, dalam masa penyembuhan, saya melanjutkan belajar menulis tipis-tipis.
Sementara Ramadhan kemarin, 2017 kemarin, posisi saya masih pengobatan dan baru saja lulusan dengan hasil yang mengejutkan, rangking 4 UN se-sekolahan. Puasa kemarin tentu saja saya fokus istirahat di rumah. Kelonggaran itulah menyebabkan saya mau tak mau harus melanjutkan menulis lagi sebab tak ada pilihan lain.
Puasa kemarin saya mulai mencoba menggunakan blog. Saya bahkan mengimpikan menjadi blogger sebelum akhirnya impian itu harus ditunda dulu karena tak ada komputer untuk ngotak-ngatik. Dan setahun lalu itu, saya bahagia sekali, saya mampu membuat tulisan untuk blog pribadi. Tulisan yang panjang-panjang. Itu kebanggan tersendiri bagi saya.
Dan untuk Ramadhan kali ini, soal kepenulisan tidak lagi terasa berat. Saya hanya perlu menambah jam terbang lebih banyak lagi supaya senantiasa terasah. Tetapi tantangan Ramadhan kali ini, tentulah beda dari sebelum-sebalumnya. Ini lebih kompleks lagi. Lebih meluas lagi. Lebih serius lagi.
Sebelumnya, maafkanlah saya yang membahas Ramadhan bukan dalam aspek ibadah. Urusan saya masih remeh temeh sekali. Urusan duniawi.
Puasa ini, saya berada pada titik-titik krusial. Saya hampir sembuh, saya makin muda, dan tentunya saya butuh uang. Persoalan yang umum sekali.
Kegamangan saya kali ini ada pada pekerjaan. Sebagai anak muda, saya perlu mandiri dong... Dan saya baru akan bisa mandiri kalau saya punya uang. Dan saya baru punya uang kalau saya kerja. Iya dong. Ini logika yang paling mudah.
Tetapi siapa sangka, disinilah sulitnya, saya belum dapat pekerjaan yang saya benget. Sebenarnya saya dapat tawaran berbisnis, tetapi saya tunda karena perlu modal. Sekarang, dengan terpaksa, saya bekerja nglempiti. Pekerjaan yang mudah namun amat beresiko bagi saya yang sedang dalam jalur finis dari sakit. Adalah debu-debu jin yang berkeliaran sembarangan. Ini tentunya bahaya sekali bagi pernafasan. Sementara sakit saya, ya bagian itu.
Tetapi bagaimana lagi, mau tak mau, saya harus menjalaninya. Posisiku terjepit. Kalau tidak kerja, saya tak punya duit, sekaligus mungkin dimarahi. Sementara kerja, resikonya bisa dibilang berbahaya. Saya tahu, semua harus susah-susah dulu, harus berproses dulu. Tetapi berproses dalam sesuatu yang bukan tujuannya, bukankah justru namanya sia-sia.
Sudah-sudah, jalan hidupku memang terjal. Saya memahami keterjalan ini. Dan mestinya karena cuma saya sendiri yang paham saya harusnya diberi keleluasaan dan dukungan terhadap apa yang saya inginkan. Hidup saya, pikiran saya, hati saya, tentulah berbeda dengan yang lain. Ini yang mesti dipahami.
Saya agak kecut memandang beberapa hari kedepan dimana saya harus kerja malam hari sampai menjelang sahur. Lantas saya kecapean, lalu tak punya waktu leluasa untuk tadarus, dan malas-malasan. Saya tak bisa membayangkan hal itu. Semoga tidak terjadi. Tetapi, inilah kehidupan. Bukan berarti saya mendoakan demikian.
Sebetulnya, saya tak mau memikirkan terlalu dalam hal ini. Tetapi selalu muncul dan harus dimuntahkan. Dan saya memuntahkannya dalam tulisan ini.
Ah, sepertinya saya terlalu alay menghitung kemungkinan-kemungkinan itu. Ini masih Ramadhan tanggal pertama. Mestinya selow saja ya...
Diluar pembahasan itu, saya juga perlu kasih tahu, ini agak menyedihkan, yaitu pohon jambu yang biasanya bulan puasa panen raya, sekarang hanya masih pentil-pentil, sedikit lagi. Jadi, harapan untuk buka puasa menyantap jambu air yang segar tahun ini harus saya hilangkan.
Tetapi soal makan-memakan secara umumnya, tidak perlu saya risaukan. Ramadhan ini adalah waktunya dimana takjil-takjil bertebaran seperti tak berguna lagi saking banyaknya. Apalagi, khusus musholla dukuh saya, Lek Nuhdi masih Istiqomah menyalurkan hidangan terbaiknya untuk disantap para petadarus. Barokalloh.
Ramadhan masih ada 29 lagi, marilah kita lalui dengan selow meskipun sebetulnya banyak persoalan yang sedang dihadapi. InsyaAllah, jika kita terus berpuasa, kita akan senantiasa merasakan rasanya buka puasa.
Sekian penutup yang berfaedah dari saya. Selamat menjalankan ibadah puasa, solat, syahadat, zakat, dan haji bagi yang mampu.
0 Respon