Mengayuh Sepeda Berangkat Sekolah yang Puitik

by - Maret 07, 2020


Ayub mengayuh sepeda seperti biasa. Sebab ia selalu berangkat lebih awal dari teman-temannya, Ayub bersepeda dengan santai. Pagi ini, Ayub mengayuh seperti tanpa beban.

Dua menit berlalu, Ayub mulai keluar dari gang desa. Jalan raya yang akan dilaluinya sekarang merupakan jalan kabupaten. Sekalipun begitu, tidak bakal ada kemacetan sebab memang daerah ini bukan titik keramaian.

Perjalanan menuju sekolahannya merupakan perjalanan yang menyenangkan untuk dilalui. Hamparan sawah dan jajaran tebu menghiasi samping-samping jalan. Jika beruntung, Ayub berkesempatan menyaksikan kemunculan matahari dari balik pepohonan nan jauh di sana, yang kemudian akan menciptakan bayangan dirinya dan sepeda di samping kanannya. Atau, Ayub akan terkesima melihat gunung Slamet jika kabut tidak menutupi.

Jalanan pagi di kota ini memang asri. Itu karena kecamatan ini merupakan kaki dataran tinggi. Jika ada yang akan ke sana, di kecamatan inilah tanjakan permulaannya.

Enam menit mengayuh di jalanan yang datar, Ayub sampai di desa K. Setelah melewati kantor polisi yang nyaris selalu sepi, Ayub memasuki babak baru perjalanan sepedanya: jalanan menanjak yang akan cukup membuatnya berkeringat.

Ayub terus mengayuh santai, dijumpainya lalu-lintas yang mulai meramai. Ayub kadang iri dan kasihan ketika berpapasan dengan serombongan siswa dari arah berlawanan. Betapa menyenangkannya berangkat sekolah dengan berseluncur dan tak khawatir terlambat sekolah. Dan betapa payahnya pulang sekolah melintasi jalanan tanjakan sementara matahari di atas kepala-kepala mereka. Ayub jelas tak bisa membayangkan.

Beberapa menit kemudian Ayub sampai di perempatan kecamatan. Di sinilah biasanya ia bertemu dengan Bayu dari arah Barat, tapi kali ini, ia tidak kebetulan menjumpai. Karena ini di persimpangan, jalanan akan lebih ramai dan warna-warni. Dan biasanya pula, setelah itu Ayub akan menjumpai bus yang melintas dari arah Selatan menuju Barat. Ayub kadang membayangkan, andaikan jalur bus dibalik, ia tak perlu repot mengayuh sepeda.

Jalanan menuju sekolahannya memang menanjak, tapi tanjakannya masih bisa ramah untuk dilalui sepeda. Tiap akhir pekan, banyak komunitas sepeda yang menghiasi jalanan ini.

Ayub benar-benar menikmati perjalanan berangkatnya pagi ini, tapi kepanikan muncul ketika Ayub sampai di parkiran sekolah. Ia tidak mendapati tas di keranjangnya. Tanpa pikir panjang, Ayub membalikkan sepeda, mengayuhnya dengan gugup dan gesit, melewati gerbang sekolah, dan menuruni jalanan yang panjang. Ia tak sempat menjawab ketika teman-teman yang dijumpainya di jalan bertanya, "kenapa balik?" 

Ayub, sekalipun di turunan, ia tetap menggenjot pedal agar semakin kuat terkayuh. Keringat mengucur deras. Sampai di rumah, ia dapati tasnya di depan pintu. 

Ayub tak bisa membayangkan bagaimana mengulangi perjalanannya lagi. Melihat waktu yang tersisa, ia pasti terlambat. Dengan berat hati, ia mengayuh sepeda, lagi. Matahari sudah perlahan meninggi dan akan sukses menyorot tubuhnya sepanjang jalan. Namun bagaimana lagi, kecerobohan kecil yang mengesalkan ini harus dilalui.

*****

Ayub tidak terlambat. Ayub sampai di sekolah tepat ketika bel masuk berbunyi. Saat beberapa meter keluarnya ia dari gang desa, sepotong kaki kiri panjang mendorong bagian belakang boncengannya. Itu adalah Buya, tetangganya yang sekolah di SMA. Dengan motor bebeknya, Buya menyetep Batu melewati jalan tanjakan sampai sekolahan.

You May Also Like

0 Respon