Pengalaman Belajar Naik Sepeda Pertama Kali, Dari Nyungsep, Njungkel, Sampai Kejepit Ruji

by - Oktober 02, 2018


pengalaman sepeda
Kenangan Bersepeda. Gambar ambil dari pixabay


Naik sepeda merupakan tahapan awal seseorang untuk bisa menaiki kendaraan lain secara umum. Boleh dibilang  naik sepeda menjadi syarat wajib yang harus dilalui tiap insan perkendaraan seluruh dunia. Bahkan kerena pentingnya transportasi ini, presiden Jokowi pun sampai bagi-bagi sepeda. Ya kan. Memangnya sampeyan pernah mendengar presiden bagi-bagi motor atau mobil. Tidak pernah tho….

Sebagai seorang yang juga pernah merasakan masa kecil, saya pun dulu merasakan awal-awal belajar naik sepeda. Oiya, saya belajarnya langsung roda dua lho. Tidak seperti umumnya yang pakai empat roda. Untungnya gak ada yang belajar dengan tiga roda, memangnya semen?

Meski demikian, jangan sekali-kali menyebut saya hebat atau apa. Ha wong jaman mbiyen itu begitu itu sudah biasa kok. Tetapi tetap diakui, perjuangan naik sepeda tidaklah mudah. Bahkan banyak tragedi di dalamnya sekaligus kenangan-kenangan menarik yang tetap saya ingat sampai sekarang.

Kali pertama belajar

Saya tak ingat pasti kapan saya belajar bersepeda. Yang pasti waktu itu saya masih umbelen dan selalu mengusapnya dengan lengan kaos. Saya ingat betul itu.

Alasan yang menggerakkan saya untuk belajar naik sepeda adalah karena waktu itu kawan-kawan saya sudah pada bisa bersepeda. Tiap sore ataupun pagi, terutama setiap jumat selalu ada agenda pit-pitan (sepeda-sepedaan). Semacam hengout mengelilingi desa sebelah. Bukan hanya itu, di sepedanya juga ditambahi aksesoris tambahan, yaitu bunyi otok-otok dari gelas ale-ale atau sumpringan bambu. Teman saya dulu juga ada yang buat kenalpot-kenalpotan dari kaleng susu yang di dalamnya ada tepes kelapa yang dibakar. Sampeyan pasti juga pernah merasakan itu. Dan pasti sekarang isih ngguyu ileng-ileng kui. Hayo ngaku.

Berawal dari situlah saya ingin belajar nompak pit. Awal-awalnya saya hanya minjam sepeda temen. Tetapi semua berubah ketika suatu malam bapak saya membelikan sepeda bekas. Hingga esoknya saya tahu, ternyata sepeda itu bapak beli dari bapaknya kawan saya. Sialnya, kawan saya yang sebelumnya punya sepeda ini malah menuduh saya maling. Owalah asem. Ini kalau ditayangkan di Indosiar, judulnya adalah: Ternyata Sepedaku Adalah Sepeda Milik Kawanku yang Dibeli Bapakku dari Bapaknya yang Esoknya Kawanku Itu Menuduhku Mencuri Sepeda Miliknya.

Dengan sepeda itu, saya lalu belajar sepeda ke ngepringan dan sengonan (ngepringan itu bawah pohon bambu. Sengonan itu pepohonan sengon. Pasti paham sendiri ya.) Tempat ini jaman dulu memang rekomended untuk anak-anak. Bukan hanya untuk bersepeda dengan jalur yang dibuat disela-sela jarak antar pohon, namun juga untuk main bantengan, kelereng, lompatan, masak-masakan, dll. Pokoknya tempat ini rame banget.

Cara yang saya lakukan

Karena sepeda saya agak tinggi, untuk bisa duduk di sadel saya harus ke tempat yang agak tinggi dulu supaya ada pijakan. Atau selain itu ya, sepeda harus dipegang seseorang biar tidak ambruk.

Untuk belajarnya, bisa dibilang ini agak ekstream. Bagaimana tidak ekstream, begini lho caranya;

Jadi di ngepringan itu, ada kawan saya yang memegang sepede untuk saya bisa naik. Setelah saya duduk di sadel, saya didorong sekencang-kencangnya. Jadi urusannya saya genjot pedal dan mengimbangkan tubuh. Ekstrimnya adalah belajarnya ini bukan hanya seorang diri, tetapi ramai-ramai. Dengan rute yang melingkar, tabrakan sudah menjadi makanan saya waktu itu. Bukan hanya menabrak teman sendiri, tetapi juga pernah nyungsep dicelah-celah pohon bambu. Tenan lho iki.

Tragedi yang terjadi

Percayalah, untuk bisa naik sepeda perlu jatuh bangun berkali-kali. Ini yang saya rasakan. Tidak heran kalau saya sering babak di lutut ataupun di sikut karena terjatuh. Tetapi ini belum seberapa. Tragedi paling kecil.

Yang lebih ekstrim tentu saja kecepit ruji (kejepit rantai). Saya berkali-kali kejepit ruji. Sekarang memang hampir punah kejadian kecepit ruji. Namun dulu dalam seminggu, selalu ada saja tragedi ini. Saya hampir lupa bagaimana rasanya kecepit ruji, namun pastinya kaki sakit sekali. Sakitnya itu melebihi sakit hati ditolak seseorang. Kalau tidak percaya, buktikan.

Namun diluar tragedi yang benar-benar tragedi itu, saya juga mengalami tragedi yang sekaligus komedi. Begini ceritanya;

Ketika baru-baru bisa, saya ingin meningkatkan kualitas bersepeda; yaitu bisa njamping. Jadi setiap hari itu saya belajar njamping. Untuk media njampingnya, saya memanfaatkan akar sengon yang menjumbul di permukaan tanah. Saya melakukan itu terus-menurus.

Hingga saya kemudian ingin njamping tinggi. Saya ancang-ancang dari jauh, ngebut, dan… saya melayang ke udara sambil membayangkan seperti naik tril sedang merintangi satu tanjakan. Krrrrrreekkkkkk. Tiba-tiba sepeda saya putus. Tepatnya besi yang melintang dari sadel sampai setang. Saya langsung njungkal ndak karuan. Saya begitu kesakitan. Saya tengok kanan-kiri, sepi. Lalu saya meringis. Kalau saya tuliskan, bunyinya adalah: he he he.

Namun sejak kejadian itu, perlahan tapi pasti kemampuan bersepeda saya meningkat. Saya sudah bisa ucul setang. Ini adalah prestasi tertinggi dalam bersepeda. Dengan bertambahnya usia dan tinggi badan, sepeda saya juga ganti. Dari sepeda yang sialan itu menuju sepeda dengan merk internasional. Bukan main-main sepeda saya sekarang adalah sepeda Jepang. Saya juga tidak tahu si kenapa dinamakan sepeda Jepang, padahal bapak saya belinya di pasar. Entahlah.

Sepeda itulah yang kemudian saya pakai untuk berangkat sekolah sehari-hari. Namun ternyata, sepeda itu tidak terlalu menarik. Yang menarik adalah sepeda jengki milik bapak saya. Saya punya pengalaman unik dengan jengki ini.

Suatu hari sepeda Jepang saya bocor. Mau tak mau saya harus pakai sepeda jengkinya bapak. Awalnya ragu dan malu, tetapi begitu bokong saya nempel, saya merasa ada sensasi yang berbeda. Jiwa kelelakian saya seakan muncul. Jadi sepanjang perjalanan, saya begitu PD. Apalagi ketika melewati perempuan cantik di jalanan.

Puncaknya adalah ketika saya sampai gerbang sekolah. Begitu masuk, saya menjadi sorotan siswa-siswi yang sedang nongkrong menunggu bel masuk. Seharusnya saya malu, namun entah kenapa seperti ada yang menggerakkan, saya melambai-lambai ke mereka dan lalu melempar cium ke mereka. Seketika, saya serasa menjadi pahlawan yang baru pulan dari medan perang. Berwibawa.

Senangnya kalau saya mengingat masa-masa itu. Perjalanan kisah persepedaan yang panjang dan menarik. Dan senangnya lagi, saya bisa menuliskan kenangan ini. Rasanya saya kembali di bawa ke jauhnya masa lalu itu.

Diluar semua itu, persepedaan telah mengajarkan saya tentang sebuah perjuangan. Saya harus ingat-ingat itu selalu. Pengalaman belajar sepeda yang menyenangkan.

Eh, kok tiba-tiba saya pingin kecepit ruji ya?

You May Also Like

2 Respon

  1. orang jawa ya? mantap, kayak saya dulu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Apakah pernah kejepit rantai juga. Tetapi begitulah mas, sepeda telah mengajarkan kita untuk punya mental pantang menyerah. Dan saya rasakan ini penting dipraktikan saat ditolak cewek. Hixhix

      Hapus