Pengalaman Belajar Naik Sepeda Pertama Kali, Dari Nyungsep, Njungkel, Sampai Kejepit Ruji
Naik sepeda merupakan tahapan awal seseorang untuk bisa menaiki kendaraan lain secara umum.
Boleh dibilang naik sepeda menjadi syarat
wajib yang harus dilalui tiap insan perkendaraan seluruh dunia. Bahkan kerena
pentingnya transportasi ini, presiden Jokowi pun sampai bagi-bagi sepeda. Ya
kan. Memangnya sampeyan pernah mendengar presiden bagi-bagi motor atau mobil. Tidak
pernah tho….
Sebagai
seorang yang juga pernah merasakan masa kecil, saya pun dulu merasakan
awal-awal belajar naik sepeda. Oiya, saya belajarnya langsung roda dua lho. Tidak
seperti umumnya yang pakai empat roda. Untungnya gak ada yang belajar dengan tiga roda, memangnya semen?
Meski
demikian, jangan sekali-kali menyebut saya hebat atau apa. Ha wong jaman mbiyen
itu begitu itu sudah biasa kok. Tetapi tetap diakui, perjuangan naik sepeda
tidaklah mudah. Bahkan banyak tragedi di dalamnya sekaligus kenangan-kenangan
menarik yang tetap saya ingat sampai sekarang.
Kali pertama belajar
Saya tak
ingat pasti kapan saya belajar bersepeda. Yang pasti waktu itu saya masih
umbelen dan selalu mengusapnya dengan lengan kaos. Saya ingat betul itu.
Alasan yang menggerakkan
saya untuk belajar naik sepeda adalah karena waktu itu kawan-kawan saya sudah
pada bisa bersepeda. Tiap sore ataupun pagi, terutama setiap jumat selalu ada
agenda pit-pitan (sepeda-sepedaan). Semacam hengout mengelilingi desa sebelah.
Bukan hanya itu, di sepedanya juga ditambahi aksesoris tambahan, yaitu bunyi
otok-otok dari gelas ale-ale atau sumpringan bambu. Teman saya dulu juga ada
yang buat kenalpot-kenalpotan dari kaleng susu yang di dalamnya ada tepes
kelapa yang dibakar. Sampeyan pasti juga pernah merasakan itu. Dan pasti
sekarang isih ngguyu ileng-ileng kui. Hayo ngaku.
Berawal dari
situlah saya ingin belajar nompak pit. Awal-awalnya saya hanya minjam sepeda
temen. Tetapi semua berubah ketika suatu malam bapak saya membelikan sepeda
bekas. Hingga esoknya saya tahu, ternyata sepeda itu bapak beli dari bapaknya
kawan saya. Sialnya, kawan saya yang sebelumnya punya sepeda ini malah menuduh
saya maling. Owalah asem. Ini kalau ditayangkan di Indosiar, judulnya adalah:
Ternyata Sepedaku Adalah Sepeda Milik Kawanku yang Dibeli Bapakku dari Bapaknya
yang Esoknya Kawanku Itu Menuduhku Mencuri Sepeda Miliknya.
Dengan sepeda
itu, saya lalu belajar sepeda ke ngepringan dan sengonan (ngepringan itu bawah
pohon bambu. Sengonan itu pepohonan sengon. Pasti paham sendiri ya.) Tempat ini
jaman dulu memang rekomended untuk anak-anak. Bukan hanya untuk bersepeda
dengan jalur yang dibuat disela-sela jarak antar pohon, namun juga untuk main
bantengan, kelereng, lompatan, masak-masakan, dll. Pokoknya tempat ini rame
banget.
Cara yang saya lakukan
Karena sepeda
saya agak tinggi, untuk bisa duduk di sadel saya harus ke tempat yang agak tinggi
dulu supaya ada pijakan. Atau selain itu ya, sepeda harus dipegang seseorang
biar tidak ambruk.
Untuk
belajarnya, bisa dibilang ini agak ekstream. Bagaimana tidak ekstream, begini
lho caranya;
Jadi di
ngepringan itu, ada kawan saya yang memegang sepede untuk saya bisa naik. Setelah
saya duduk di sadel, saya didorong sekencang-kencangnya. Jadi urusannya saya
genjot pedal dan mengimbangkan tubuh. Ekstrimnya adalah belajarnya ini bukan
hanya seorang diri, tetapi ramai-ramai. Dengan rute yang melingkar, tabrakan
sudah menjadi makanan saya waktu itu. Bukan hanya menabrak teman sendiri,
tetapi juga pernah nyungsep dicelah-celah pohon bambu. Tenan lho iki.
Tragedi yang terjadi
Percayalah,
untuk bisa naik sepeda perlu jatuh bangun berkali-kali. Ini yang saya rasakan. Tidak
heran kalau saya sering babak di lutut ataupun di sikut karena terjatuh. Tetapi
ini belum seberapa. Tragedi paling kecil.
Yang lebih
ekstrim tentu saja kecepit ruji (kejepit rantai). Saya berkali-kali kejepit
ruji. Sekarang memang hampir punah kejadian kecepit ruji. Namun dulu dalam
seminggu, selalu ada saja tragedi ini. Saya hampir lupa bagaimana rasanya
kecepit ruji, namun pastinya kaki sakit sekali. Sakitnya itu melebihi sakit
hati ditolak seseorang. Kalau tidak percaya, buktikan.
Namun diluar
tragedi yang benar-benar tragedi itu, saya juga mengalami tragedi yang
sekaligus komedi. Begini ceritanya;
Ketika
baru-baru bisa, saya ingin meningkatkan kualitas bersepeda; yaitu bisa
njamping. Jadi setiap hari itu saya belajar njamping. Untuk media njampingnya,
saya memanfaatkan akar sengon yang menjumbul di permukaan tanah. Saya melakukan
itu terus-menurus.
Hingga saya
kemudian ingin njamping tinggi. Saya ancang-ancang dari jauh, ngebut, dan… saya
melayang ke udara sambil membayangkan seperti naik tril sedang merintangi satu
tanjakan. Krrrrrreekkkkkk. Tiba-tiba sepeda saya putus. Tepatnya besi yang melintang
dari sadel sampai setang. Saya langsung njungkal ndak karuan. Saya begitu
kesakitan. Saya tengok kanan-kiri, sepi. Lalu saya meringis. Kalau saya
tuliskan, bunyinya adalah: he he he.
Namun sejak
kejadian itu, perlahan tapi pasti kemampuan bersepeda saya meningkat. Saya sudah
bisa ucul setang. Ini adalah prestasi tertinggi dalam bersepeda. Dengan bertambahnya
usia dan tinggi badan, sepeda saya juga ganti. Dari sepeda yang sialan itu
menuju sepeda dengan merk internasional. Bukan main-main sepeda saya sekarang
adalah sepeda Jepang. Saya juga tidak tahu si kenapa dinamakan sepeda Jepang,
padahal bapak saya belinya di pasar. Entahlah.
Sepeda
itulah yang kemudian saya pakai untuk berangkat sekolah sehari-hari. Namun ternyata,
sepeda itu tidak terlalu menarik. Yang menarik adalah sepeda jengki milik bapak
saya. Saya punya pengalaman unik dengan jengki ini.
Suatu hari
sepeda Jepang saya bocor. Mau tak mau saya harus pakai sepeda jengkinya bapak. Awalnya
ragu dan malu, tetapi begitu bokong saya nempel, saya merasa ada sensasi yang
berbeda. Jiwa kelelakian saya seakan muncul. Jadi sepanjang perjalanan, saya
begitu PD. Apalagi ketika melewati perempuan cantik di jalanan.
Puncaknya adalah
ketika saya sampai gerbang sekolah. Begitu masuk, saya menjadi sorotan
siswa-siswi yang sedang nongkrong menunggu bel masuk. Seharusnya saya malu,
namun entah kenapa seperti ada yang menggerakkan, saya melambai-lambai ke
mereka dan lalu melempar cium ke mereka. Seketika, saya serasa menjadi pahlawan
yang baru pulan dari medan perang. Berwibawa.
Senangnya
kalau saya mengingat masa-masa itu. Perjalanan kisah persepedaan yang panjang
dan menarik. Dan senangnya lagi, saya bisa menuliskan kenangan ini. Rasanya
saya kembali di bawa ke jauhnya masa lalu itu.
Diluar semua
itu, persepedaan telah mengajarkan saya tentang sebuah perjuangan. Saya harus
ingat-ingat itu selalu. Pengalaman belajar sepeda yang menyenangkan.
Eh, kok
tiba-tiba saya pingin kecepit ruji ya?
2 Respon
orang jawa ya? mantap, kayak saya dulu
BalasHapusApakah pernah kejepit rantai juga. Tetapi begitulah mas, sepeda telah mengajarkan kita untuk punya mental pantang menyerah. Dan saya rasakan ini penting dipraktikan saat ditolak cewek. Hixhix
Hapus