![]() |
Aku memutuskan untuk tidak bekerja hari ini dan menikmati
hari pertama di usiaku ke-22 dengan santai. Kupikir aku akan memulai banyak
produktifitas hari ini, namun tetap saja ada kebingungan yang muncul dan
berakhir pada: “ini sebenarnya aku melakukan apa, sih”.
Namun tak mengapa, aku harus menikmati momentum ini sebagai
awalan. Ke depan, aku akan melewati masa-masa panjang yang akan terasa berat. Jika
bukan dengan keberanian, dengan apa lagi aku harus menjalaninya.
Melangkahnya aku diusia ke-22 ini adalah sebuah pencapaian. Betapa
aku masih bisa bertahan sejauh ini. Bertahan dari hal apapun yang pernah
kulewati. Bahkan aku menganggap, inilah momen terbaikku.
Kusebut ‘momen terbaik’ karena banyak hal yang tidak kusadari
membawaku sampai juga di titik sekarang. Perubahan demi perubahan.
Keberuntungan demi keberuntungan. Dan segala hal baik yang memihak padaku.
Aku paham aku belum menjadi diriku seperti yang kuharapkan.
Tapi proses beberapa tahun belakang membuatku cukup bangga. Rasanya aku tidak
percaya bahwa aku sekarang adalah aku yang semacam ini.
Dulu, aku khawatir akan menjadi dewasa dengan sifat pemalu,
terisolasi dari dunia luar, dan merasa sendiri dan sepi setiap waktu. Terlebih
2016 ketika aku sakit, itulah masa terberat dalam hidup yang membuatku terpuruk
nyaris tanpa menyisakan harapan.
Aku digiring untuk melewati takdir demi takdir. Lamat-lamat
aku tumbuh juga. Seperti bunga matahari ketika pagi, ada naluri dalam diriku
untuk bergerak menemukan cahaya.
Meski begitu, aku merasa belum pernah benar-benar melakukan
hal terbaik bagi diriku sendiri. Semacam belum totalitas untuk menggapai mimpi
demi mimpi. Aku sadar setiap waktuku berharga, tapi aku juga sadar, banyak
waktuku selama ini terbuang sia-sia. Kemalasan sering menjadi faktor utama. Dan
dorongan untuk malas, adalah terlalu lama mengakses sosial media.
Poin itu yang kupegang. Lalu kuurai di mana titik
menyebalkannya. Setelah kuusut, media sosial memang dirancang agar penggunanya
betah berlama-lama. Setiap kali scrool, semakin ke bawah kontennya semakin
menarik perhatian. Semula hanya lima menit, hingga tak terasa sudah satu jam
saja mengaksesnya.
Karenanya aku mulai membatasi mengakses media sosial. Aku
sudah membuang aplikasi Instagram dan Facebook dari gawai. Tanpa sadar,
ternyata aku sudah meng-uninstall itu sejak lima bulan yang lalu. Bayangkan
kalau aplikasi itu masih ada. Barangkali aku juga akan tidak sadar kalau
ternyata aku juga akan mengakses itu setiap hari selama lima bulan.
Mencengangkan. Belajar dari itu aku kemudian juga melakukan hal sama dengan
Twitter.
Kini, ketika usiaku tepat menginjak 22 tahun, aku sudah tidak
ada beban itu. Aku jadi punya waktu banyak untuk melakukan hal produktif sehari
penuh. Selanjutnya, keputusan sepenuhnya ada dalam kendaliku.
Bismillah tanjcap gas….