• Halaman Awal
  • Diri Sendiri
facebook instagram Email

Anam Sy

 

anam sy

Di pelataran rumah, aku menunggu penjual tahu. Biasanya ia akan melewati gang kecil depan rumah sekitar pukul tujuh pagi. Orang-orang mengenalnya sebagai pak Franky. Meski nama sebetulnya bukanlah itu.

Franky dulunya adalah preman pasar. Ia pernah berantem dengan Mat Kohar, sopir bus antar kota. Dalam perkelahian itu, Franky nyaris mati setelah tubuhnya digaprak meja oleh Kohar.

Sejak itu Franky insyaf dan beralih menjadi tukang tahu. Sampai saat ini tidak ada yang tahu pasti apa yang menjadi pemicu dalam perkelahian Franky dan Mat Kohar. Kelak orang mengetahui, perkelahian itu merupakan perkelahian terheboh sejak sepuluh tahun terakhir.

Meski sudah insyaf, Franky masihlah Franky. Ia berpostur gagah tinggi. Di lengannya yang besar, ada tato bermotif harimau. Tubuhnya yang kuat membuat dua keranjang tahu yang dipikul hanya terlihat seperti keranjang tanpa isi.

Meski sudah insyaf janganlah main-main padanya. Masih menjadi kisah hangat di komplek ini jika Franky menjotos seseorang sampai terkapar dua hari. Korbannya adalah Mukti, lelaki pengangguran yang kerjaannya nongkrong di pos ronda.

Tepatnya tiga hari yang lalu. Mukti membeli tahu sepuluh butir. Karena menganggur, Mukti bilang ia akan membayarnya esok hari. Nanti malam ada pertandingan sepak bola, kalau menang langsung kubayar, katanya. Selain pengangguran, Mukti juga seorang penjudi bola ulung. Mungkin karena terbiasa melamun, insting tebakan Mukti sejauh ini nyaris selalu benar.

Yang Mukti tidak tahu adalah jika Franky paling anti dengan pembohong. Malam itu, Mukti untung besar karena menang judi bola. Kemenangannya bisa untuk menghidupi istrinya seminggu dan menghidupi dirinya untuk terus bermain judi. Ketika Franky pagi-pagi menenteng dan menagih, Mukti malah berkelit, “Halah, paling uang 20 ribu kok ditagih.”

Sontak hal itu membuat Franky langsung naik pitam. Ia segera menurunkan pikulan dari pundaknya dan mendekati Mukti seraya mencengkram kerah kaosnya.

“Ini bukan tentang uang 20 ribu. Tapi kamu sudah berbohong sama saya. Jangan main-main sama saya.” Tegasnya.

Warmin yang kebetulan belum pulang dari pos ronda, hanya menyaksikan itu sambil nyengir. Tubuhnya yang kurus tentu membuatnya tidak bisa melerai. Ia hanya mengusulkan Mukti untuk menyerahkan saja uangnya. Namun yang disaksikan Warmin jauh dari dugaannya.

Mukti mendorong Franky, “Apa-apaan kamu. Mantan preman saja gayanya sok-sokan.”

Tensi Franky kemudian makin menjadi-jadi. Tanpa pengantar kata, tangannya langsung mendarat di kepala Mukti berkali-kali. Mukti selalu mencoba menepisnya tapi selalu gagal. Setelah serangkaian aksi pukul, Warmin dengan ragu akhirnya mencoba melerai. Franky sesaat kemudian berhenti, bukan karena dilerai Warmin, tampaknya karena ia sudah cukup puas menyaksikan Mukti babak belur.

“Kalau kamu tidak punya bayi, mungkin kamu sudah mati. Jangan main-main sama saya,” terangnya sambil menjauh bersama keranjang dagangannya.

Aku masih membicarakan cerita itu bersama istri di pelataran rumah. Panjang umur, si penjual yang baru kubicarakan ini akhirnya tampak dari kejauhan menenteng pikulan mendekati rumah kami.

Pagi ini, aku seperti tidak menemukan eskpresi biasanya dari Franky. Karena itu aku mencoba basa-basi untuk mencairkan suasana. “Sudah saya tungguin lho Pak, dari mana saja?”

“Biasa. Ada urusan dulu. Mau beli berapa pak?”

“Sepuluh butir saja.”

“Oiya Pak. Bapak kemarin ya yang katanya mau bayar hutang itu. 50 ribu itu lho. Eh, Bapak bukan sih. Kok saya lupa.”

Dadaku tiba-tiba gemetar. Aku mencoba mengingat-ingat apa yang dikatakannya.

“Oh iya, Pak. Sebentar saya ambilkan dulu.”

Setelah membayar tahu sepuluh biji dan uang 50 ribu, aku segera masuk ke rumah. Mengunci pintu rapat.

Sesungguhnya, aku tidak pernah berhutang pada penjual itu. Aku hanya teringat Mukti.

 

4 Agustus 2022

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon

 

anam sy

Suatu hati tiba-tiba seseorang mengenalkanku pada Je. Je bukanlah Jeje kawannya Bonge yang terkenal karena Citayam Fashion Week. Je adalah nama siluman yang sengaja dibuat agar membuatku penasaran. Aku pikir, ya… bolehlah. Aku juga sudah mati penasaran sejak lama. Sudah waktunya dihidupkan kembali.

Ini menarik. Siluman itu ternyata benar-benar siluman. Aku tidak sampai jauh menduga bahwa ia masih sejenis ratu pantai selatan. Aku menduganya ia sebagai siluman ratu langit pojok kanan atas. Namun bukan sebangsa Alien.

Tepat saat purnama, ia membalas suratku dengan angkuh. Katanya, ia memang tidak pernah menampakkan wajahnya. Itu sudah masuk wilayah privasi, tegasnya. Aku menjadi sangat yakin bahwa ia benar-benar siluman. Siluman mana yang mau menampakkan wajahnya. Dugaanku nyaris benar, bahwa ia siluman langit pojok kanan atas. Aku jadi penasaran.

Sayang, suratnya yang kedua sangat gamblang menyebut bahwa percakapan ini disudahi saja. Surat-suratku sepertinya membuat ia merasa tidak nyaman karena bisa saja secara perlahan kedoknya tersingkap.

Mulai saat itu aku yakin jika ia memang benar-benar siluman. Siluman langit pojok kanan atas.

 

3 Agustus 2022

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon

 

anam sy

Kamis sudah tiba. Saatnya meregangkan tubuh setelah menjalani seminggu yang melelahkan.

“Katanya tidak kerja?”

Ya. Aku tidak bekerja seminggu ini. Bahkan sudah sebulan. Kaupikir, tidak bekerja artinya aku tidak melakukan sesuatu? Tidak. Aku tetap bergerak meski hanya sedikit. Aku mencoba mengambil job freelance menulis.

Jadi ya, sehari-hari aku menulis. Aku bukan hanya menulis untuk job-ku saja kok. Aku menulis banyak tulisan. Ada tulisan yang kutulis sampai selesai dan ada juga yang tidak.

Aku menulis cerita setiap hari. Cerita-cerita receh. Kadangkala, kalau ceritaku cukup bagus, aku mengunggahnya ke sini. Kalau tidak ya tidak.

Setiap aku bangun jam delapan pagi, mula-mula aku mengecek linimasi medsos. Setelah merasa nyawa sudah terkumpul, aku makan dan mandi. Barulah kegiatan rutinku dimulai. Mengambil laptop dan menulis.

Kamu mungkin bertanya bagaimana bisa aku menulis selama itu, kan, aku tidak bekerja?

Aku tidak menulis full delapan jam sehari juga. Disela-sela itu aku menonton youtube, bikin status, minum, kencing, merebah sebentar, dan kadang menjemput ponakan pulang sekolah. Bisa dibilang, akumulasi menulisku kisaran tiga jam saja kalau tidak terputus-putus.

Kadangkala, aku juga berpikir untuk menulis maraton semacam itu. Menulis delapan jam sehari layaknya jam kerja. Sayangnya, aku belum bisa melakukannya. Bahkan untuk menulis satu cerita saja kadang aku bingung mencari idenya.

Kalau tidak percaya, lihat saja tulisan ini. Tulisanku kali ini begini saja kan. Nyaris tidak ada ide. Ya karena memang aku tidak menemukan ide. Sehingga, yang bisa kutulis ya kepolosanku semacam ini. Tapi, aku tetap tidak malu untuk menuliskannya. Bukankah berhasil menuliskan kepolosan adalah pencapaian seorang penulis.

Sebulan ini, nyaris tidak ada pemasukan yang masuk ke dompetku yang kosong. Padahal sesuatu yang kosong biasanya siap untuk diisi. Parkiran yang kosong saja memungkinkan mobil Ferrari untuk masuk. Kok aku tidak?

Untungnya tidak punya uang adalah pengalaman yang sudah berkali-kali terjadi. Ini seperti de javu saja. Tidak sampai membuatku gila.

Maklum saja lah ya. Aku sudah mumet mikir duit. Kok ya masih mikir untuk menulis. Kan nggak imbang. Kalau bahasa gaule munu nggak work life balance. Meski gak sedang work.

Menulis ya kudu plong. Lhos. Ati lego. Pikiran plong. Ora kudu ndakik-ndakik.

 

3 Agustus 2022

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon

 

Anam Sy

Sudah kujumpai hari pertama di Agustus tahun ini. Pertengahan tahun. Hampir berusia 23 tahun.

Di pagi ketika aku menyadari ini, aku masih menganggur dan melihat kosong dompetku sejak tiga hari yang lalu. Selalu berat untuk menempuh hidup dengan energi finansial yang belum memadai. Sehingga selanjutnya adalah bagaimana bertahan dengan situasi yang ada.

Aku sedang miskin, tak akan kubiarkan jiwa dan kreatifitasku ikut miskin. Pagi ini aku makan lahap, mandi, dan membuka dunia dalam satu tarikan ringan: laptop.

Sulit untuk menebak apakah orang sepertiku ini kelak akan kaya. Tidak bisa melakukan apapun selain menulis. Apakah menulis bisa dijadikan sebuah profesi?

Aku sendiri tidak terlalu paham apakah memang benar ada profesi yang namanya penulis. Aku yakin saja bahwa kelak aku bisa menghasilkan uang dari menulis. Keyakinan yang sering kali benar.

Aku memang merasa sangat beruntung punya skill menulis semacam ini, terlepas bahwa kemampuan ini perlu dilatih lagi. Tapi ketika berhadapan dengan dunia, apalagi sebagai pemain baru, sulit untuk berbicara keberuntungan.

Mutlak yang perlu aku lakukan yaitu kerja keras. Kerja keras dalam menulis sialnya tidak memiliki penjelasan tunggal. Apakah kerja keras diwujudkan dengan menulis sebanyak-banyaknya atau bagaimana, aku belum paham hal itu.

Aku ingin menarik pembahasan ini jauh.

Sejujurnya belakangan ini aku minder dengan diri sendiri. Insecure. Rasa tidak aman dan nyaman. Ini tidak lebih karena apa yang aku lihat dari sekitar selalu menampakkan hal dan pencapaian besar. Aku tidak memiliki itu.

Aku sadar, kalau ukurannya orang lain, sampai kapanpun aku akan tetap insecure. Yang ada ini hanya akan membuatku jauh lebih terpuruk.

Fokusku sekarang menciptakan definisi sendiri tentang hal apapun. Tentang sukesku. Tentang kekayaanku. Tentang kehidupan terbaikku. Sesuatu yang lebih fokus untuk melihat diri sendiri ketimbang di luar diri sendiri.

Suksesku sekarang adalah aku menulis setiap hari dengan selesai dengan hasil yang lebih membuatku puas dari hari kemarin.

Kekayaanku adalah bisa makan hari ini dan esok, serta cukup untuk rekreasi sesekali.

Sudah jelas bahwa yang perlu aku lakukan sekarang adalah bekerja keras untuk menulis lebih baik dari kemarin. Mengasah ketajaman berpikir lebih dalam. Dan peka pada kehidupan sekitar untuk dijadikan bahan tulisan.

Yang menjadi pertanyaanku selanjutnya mungkin soal pekerjaan. Apakah aku hanya menulis sampai mendapatkan pekerjaan dari menulis?

Mungkin saja. Bahkan sekarang ketika aku bingung mau melakukan apa, aku sendiri sedang proses menyelesaikan job tulisan freelance. Ngomong-ngomong, ini adalah job pertama saya sebagai freelancer.

Sekarang aku jadi punya pilihan ke depan: menjadi penulis freelance. Setidaknya itu pandanganku sekarang.

Lalu bagaimana dengan pekerjaan sekarang. Ya, tidak menutup fakta bahwa sebetulnya saya masih bekerja di bos saya sekarang. Tapi saya jadi mikir lebih jauh, pekerjaan ini tidak saya nikmati. Di samping itu, pekerjaan ini juga tidak stabil, kadang ramai kadang sepi. Sekarang saja saya libur sudah sebulan. Itupun tidak jelas kapan saya berangkat lagi.

Pendapatan dari pekerjaan ini bagiku sudah cukup untuk membuatku memenuhi kebutuhan sebulan dan nabung. Saya hanya eman kepada waktu saja, pekerjaan ini menghabiskan banyak waktuku dengan imbalan yang tidak imbang. Maksudku, aku tidak bisa menjalani hal yang aku suka ketika bekerja di sana.

Pertanyaan selanjutnya menarik. Apakah menulis bisa membuat pendapatan lebih besar?

Tidak ada pendapatan paten sebagai seorang penulis. Ada yang bisa kaya. Dan ada lebih banyak yang hidup biasa saja. Saya mungkin saja yang kedua. Tapi, sekecil apapun hasilnya, ketika saya melakukannya dengan hati, rasanya sangat berharga. Mungkin itu akan lebih berkah. Dan lagi pula, masak pendapatannya bakal sedikit terus, sih? Seiring berjalannya pengalaman, kualitas saya kan juga semakin bertambah. Pasti ada masanya saya panen apa yang sedang saya rawat.

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon
Newer Posts
Older Posts

Info

Tayang seminggu dua kali

Mutualan, Yuk

  • facebook
  • instagram
  • youtube

Kategori

IPNU

Postingan Viral

Catatan

Sementara kosong dulu, seperti hatiku

Facebook

Isi Blog

  • ►  2024 (15)
    • ►  Apr 2024 (1)
    • ►  Mar 2024 (4)
    • ►  Feb 2024 (1)
    • ►  Jan 2024 (9)
  • ►  2023 (11)
    • ►  Des 2023 (3)
    • ►  Nov 2023 (1)
    • ►  Sep 2023 (3)
    • ►  Jul 2023 (4)
  • ▼  2022 (46)
    • ►  Nov 2022 (7)
    • ►  Okt 2022 (7)
    • ►  Sep 2022 (6)
    • ▼  Agu 2022 (4)
      • Penjual Tahu
      • Cerita Singkat 'Je' Siluman Ratu Langit Pojok Kana...
      • Apa Itu Work Life Balance?
      • Satu Agustus
    • ►  Jul 2022 (9)
    • ►  Mei 2022 (4)
    • ►  Jan 2022 (9)
  • ►  2021 (22)
    • ►  Des 2021 (5)
    • ►  Sep 2021 (3)
    • ►  Agu 2021 (6)
    • ►  Jun 2021 (1)
    • ►  Mar 2021 (7)
  • ►  2020 (14)
    • ►  Des 2020 (1)
    • ►  Nov 2020 (2)
    • ►  Jul 2020 (2)
    • ►  Jun 2020 (1)
    • ►  Mei 2020 (1)
    • ►  Apr 2020 (1)
    • ►  Mar 2020 (2)
    • ►  Feb 2020 (4)
  • ►  2019 (3)
    • ►  Mar 2019 (1)
    • ►  Feb 2019 (1)
    • ►  Jan 2019 (1)
  • ►  2018 (57)
    • ►  Okt 2018 (7)
    • ►  Sep 2018 (5)
    • ►  Jul 2018 (11)
    • ►  Jun 2018 (3)
    • ►  Mei 2018 (4)
    • ►  Apr 2018 (2)
    • ►  Mar 2018 (5)
    • ►  Feb 2018 (12)
    • ►  Jan 2018 (8)
  • ►  2017 (71)
    • ►  Des 2017 (7)
    • ►  Nov 2017 (20)
    • ►  Okt 2017 (10)
    • ►  Sep 2017 (8)
    • ►  Agu 2017 (8)
    • ►  Jul 2017 (9)
    • ►  Jun 2017 (5)
    • ►  Mei 2017 (4)

Created with by ThemeXpose | Distributed by Blogger Templates