Di pelataran rumah, aku
menunggu penjual tahu. Biasanya ia akan melewati gang kecil depan rumah sekitar
pukul tujuh pagi. Orang-orang mengenalnya sebagai pak Franky. Meski nama
sebetulnya bukanlah itu.
Franky dulunya adalah
preman pasar. Ia pernah berantem dengan Mat Kohar, sopir bus antar kota. Dalam
perkelahian itu, Franky nyaris mati setelah tubuhnya digaprak meja oleh Kohar.
Sejak itu Franky insyaf
dan beralih menjadi tukang tahu. Sampai saat ini tidak ada yang tahu pasti apa
yang menjadi pemicu dalam perkelahian Franky dan Mat Kohar. Kelak orang
mengetahui, perkelahian itu merupakan perkelahian terheboh sejak sepuluh tahun
terakhir.
Meski sudah insyaf,
Franky masihlah Franky. Ia berpostur gagah tinggi. Di lengannya yang besar, ada
tato bermotif harimau. Tubuhnya yang kuat membuat dua keranjang tahu yang
dipikul hanya terlihat seperti keranjang tanpa isi.
Meski sudah insyaf
janganlah main-main padanya. Masih menjadi kisah hangat di komplek ini jika
Franky menjotos seseorang sampai terkapar dua hari. Korbannya adalah Mukti, lelaki
pengangguran yang kerjaannya nongkrong di pos ronda.
Tepatnya tiga hari yang
lalu. Mukti membeli tahu sepuluh butir. Karena menganggur, Mukti bilang ia akan
membayarnya esok hari. Nanti malam ada pertandingan sepak bola, kalau menang
langsung kubayar, katanya. Selain pengangguran, Mukti juga seorang penjudi bola
ulung. Mungkin karena terbiasa melamun, insting tebakan Mukti sejauh ini nyaris
selalu benar.
Yang Mukti tidak tahu
adalah jika Franky paling anti dengan pembohong. Malam itu, Mukti untung besar
karena menang judi bola. Kemenangannya bisa untuk menghidupi istrinya seminggu
dan menghidupi dirinya untuk terus bermain judi. Ketika Franky pagi-pagi
menenteng dan menagih, Mukti malah berkelit, “Halah, paling uang 20 ribu kok
ditagih.”
Sontak hal itu membuat
Franky langsung naik pitam. Ia segera menurunkan pikulan dari pundaknya dan
mendekati Mukti seraya mencengkram kerah kaosnya.
“Ini bukan tentang uang
20 ribu. Tapi kamu sudah berbohong sama saya. Jangan main-main sama saya.”
Tegasnya.
Warmin yang kebetulan
belum pulang dari pos ronda, hanya menyaksikan itu sambil nyengir. Tubuhnya
yang kurus tentu membuatnya tidak bisa melerai. Ia hanya mengusulkan Mukti untuk
menyerahkan saja uangnya. Namun yang disaksikan Warmin jauh dari dugaannya.
Mukti mendorong Franky, “Apa-apaan
kamu. Mantan preman saja gayanya sok-sokan.”
Tensi Franky kemudian
makin menjadi-jadi. Tanpa pengantar kata, tangannya langsung mendarat di kepala
Mukti berkali-kali. Mukti selalu mencoba menepisnya tapi selalu gagal. Setelah
serangkaian aksi pukul, Warmin dengan ragu akhirnya mencoba melerai. Franky
sesaat kemudian berhenti, bukan karena dilerai Warmin, tampaknya karena ia
sudah cukup puas menyaksikan Mukti babak belur.
“Kalau kamu tidak punya
bayi, mungkin kamu sudah mati. Jangan main-main sama saya,” terangnya sambil
menjauh bersama keranjang dagangannya.
Aku masih membicarakan
cerita itu bersama istri di pelataran rumah. Panjang umur, si penjual yang baru
kubicarakan ini akhirnya tampak dari kejauhan menenteng pikulan mendekati rumah
kami.
Pagi ini, aku seperti
tidak menemukan eskpresi biasanya dari Franky. Karena itu aku mencoba basa-basi
untuk mencairkan suasana. “Sudah saya tungguin lho Pak, dari mana saja?”
“Biasa. Ada urusan dulu. Mau
beli berapa pak?”
“Sepuluh butir saja.”
“Oiya Pak. Bapak kemarin
ya yang katanya mau bayar hutang itu. 50 ribu itu lho. Eh, Bapak bukan sih. Kok
saya lupa.”
Dadaku tiba-tiba gemetar.
Aku mencoba mengingat-ingat apa yang dikatakannya.
“Oh iya, Pak. Sebentar saya
ambilkan dulu.”
Setelah membayar tahu
sepuluh biji dan uang 50 ribu, aku segera masuk ke rumah. Mengunci pintu rapat.
Sesungguhnya, aku tidak
pernah berhutang pada penjual itu. Aku hanya teringat Mukti.
4 Agustus 2022