Penjual Tahu

by - Agustus 04, 2022

 

anam sy

Di pelataran rumah, aku menunggu penjual tahu. Biasanya ia akan melewati gang kecil depan rumah sekitar pukul tujuh pagi. Orang-orang mengenalnya sebagai pak Franky. Meski nama sebetulnya bukanlah itu.

Franky dulunya adalah preman pasar. Ia pernah berantem dengan Mat Kohar, sopir bus antar kota. Dalam perkelahian itu, Franky nyaris mati setelah tubuhnya digaprak meja oleh Kohar.

Sejak itu Franky insyaf dan beralih menjadi tukang tahu. Sampai saat ini tidak ada yang tahu pasti apa yang menjadi pemicu dalam perkelahian Franky dan Mat Kohar. Kelak orang mengetahui, perkelahian itu merupakan perkelahian terheboh sejak sepuluh tahun terakhir.

Meski sudah insyaf, Franky masihlah Franky. Ia berpostur gagah tinggi. Di lengannya yang besar, ada tato bermotif harimau. Tubuhnya yang kuat membuat dua keranjang tahu yang dipikul hanya terlihat seperti keranjang tanpa isi.

Meski sudah insyaf janganlah main-main padanya. Masih menjadi kisah hangat di komplek ini jika Franky menjotos seseorang sampai terkapar dua hari. Korbannya adalah Mukti, lelaki pengangguran yang kerjaannya nongkrong di pos ronda.

Tepatnya tiga hari yang lalu. Mukti membeli tahu sepuluh butir. Karena menganggur, Mukti bilang ia akan membayarnya esok hari. Nanti malam ada pertandingan sepak bola, kalau menang langsung kubayar, katanya. Selain pengangguran, Mukti juga seorang penjudi bola ulung. Mungkin karena terbiasa melamun, insting tebakan Mukti sejauh ini nyaris selalu benar.

Yang Mukti tidak tahu adalah jika Franky paling anti dengan pembohong. Malam itu, Mukti untung besar karena menang judi bola. Kemenangannya bisa untuk menghidupi istrinya seminggu dan menghidupi dirinya untuk terus bermain judi. Ketika Franky pagi-pagi menenteng dan menagih, Mukti malah berkelit, “Halah, paling uang 20 ribu kok ditagih.”

Sontak hal itu membuat Franky langsung naik pitam. Ia segera menurunkan pikulan dari pundaknya dan mendekati Mukti seraya mencengkram kerah kaosnya.

“Ini bukan tentang uang 20 ribu. Tapi kamu sudah berbohong sama saya. Jangan main-main sama saya.” Tegasnya.

Warmin yang kebetulan belum pulang dari pos ronda, hanya menyaksikan itu sambil nyengir. Tubuhnya yang kurus tentu membuatnya tidak bisa melerai. Ia hanya mengusulkan Mukti untuk menyerahkan saja uangnya. Namun yang disaksikan Warmin jauh dari dugaannya.

Mukti mendorong Franky, “Apa-apaan kamu. Mantan preman saja gayanya sok-sokan.”

Tensi Franky kemudian makin menjadi-jadi. Tanpa pengantar kata, tangannya langsung mendarat di kepala Mukti berkali-kali. Mukti selalu mencoba menepisnya tapi selalu gagal. Setelah serangkaian aksi pukul, Warmin dengan ragu akhirnya mencoba melerai. Franky sesaat kemudian berhenti, bukan karena dilerai Warmin, tampaknya karena ia sudah cukup puas menyaksikan Mukti babak belur.

“Kalau kamu tidak punya bayi, mungkin kamu sudah mati. Jangan main-main sama saya,” terangnya sambil menjauh bersama keranjang dagangannya.

Aku masih membicarakan cerita itu bersama istri di pelataran rumah. Panjang umur, si penjual yang baru kubicarakan ini akhirnya tampak dari kejauhan menenteng pikulan mendekati rumah kami.

Pagi ini, aku seperti tidak menemukan eskpresi biasanya dari Franky. Karena itu aku mencoba basa-basi untuk mencairkan suasana. “Sudah saya tungguin lho Pak, dari mana saja?”

“Biasa. Ada urusan dulu. Mau beli berapa pak?”

“Sepuluh butir saja.”

“Oiya Pak. Bapak kemarin ya yang katanya mau bayar hutang itu. 50 ribu itu lho. Eh, Bapak bukan sih. Kok saya lupa.”

Dadaku tiba-tiba gemetar. Aku mencoba mengingat-ingat apa yang dikatakannya.

“Oh iya, Pak. Sebentar saya ambilkan dulu.”

Setelah membayar tahu sepuluh biji dan uang 50 ribu, aku segera masuk ke rumah. Mengunci pintu rapat.

Sesungguhnya, aku tidak pernah berhutang pada penjual itu. Aku hanya teringat Mukti.

 

4 Agustus 2022

You May Also Like

0 Respon