![]() |
Gambar : islamidia.com |
Saya
agak sebal dengan orang yang tak mengindahkan barisan saff. Hal ini karena
banyak jamaah yang tak mengikuti patokan tanda saff yang sudah diberikan. Ha
ndak sebal bagaimana, solat yang seharusnya dilakukan dalam keadaan tenang,
justru menjadikan saya khawatir karena takut kesundul ataupun menyundul jamaah
lain saat prosesi berdiri dari sujud sebab jarak terlalu sepit.
Tadi siang, seperti biasa sebagai
muslim pada umumnya saya beranjak ke Masjid. Apalagi kalau bukan untuk solat
jumat. Sudah menjadi kebiasaan juga bagi saya datang sebelum adzan jumat
berkumandang. Jadi ketika datang, saya bisa memilih tempat yang sekiranya
nyaman dan strategis –kadang supaya biar khusyuk berdzikir, kadang juga biarkhusyuk untuk tidur.
Sebab datang awal, saya tentu
menyaksikan kehadiran jamaah satu persatu; mengambil posisi, lalu melakukan
solat sunah. Nah disinilah kadang awal mula ketidakindahan barisan tercipta. Ya
memang karena sebagian sedikit saja yang mengambil posisi dengan sebelumnya
melihat tanda saff.
Sekadar
informasi. Kalau di Masjid saya tanda saff terpatri di dinding. Kalau Masjid
lain mungkin pakai lakban, atau sajadah yang ada garisnya.
#
Adzan berkumandang dan jamaah berdiri
melakukan solat sunah qobliyah jumat.
Saat-saat orang berdiri mengambil
posisi inilah barisan mulai lurus. Kalau bicara lurus pasti lurus. Namun yang
biasanya terjadi adalah barisan lurus tetapi tidak sesuai tanda saff. Dan orang
yang berpengaruh dalam hal ini adalah orang yang berada di bagian paling ujung.
Mengapa? Ya karena sadar tidak sadar deret tengah dan selanjutnya otomatis
mengikuti baris paling ujung.
Kalau di Masjid desa saya, jarak satu
saff depan dengan belakangnya adalah tiga keramik, atau sekira satu meter.
Ukuran segitu untuk sujud masih sisa. Berbeda dengan saat di musolla saya
misalnya, jarak antar saff hanya sebatas sajadah pas. Tak heran kalau tragedinyundul bokong jamaah di depannya ketika mau berdiri dari sujud bisa terjadi.
Ketika di masjid, saya pribadi lebih
suka berada di posisi paling kanan. Tidak tahu, enak saja. Sebagai orang yang
peka pada tanda, tentu saya senantiasa mengikutinya. Saya selalu diposisi yang
sesuai tanda saff.
Namun anehnya adalah, terkadang saya
gagal menjadi rujukan. Ini biasanya sebab barisan di kiri saya sudah menjadi
barisan yang menyatu. Jadi saya yang mau tak mau harus menyesuaikan.
Oke Oke. Kalau masih tetap berjarak
tiga keramik saya oke saja. Tapi terkadang jaraknya kurang dari itu. Kadang
Berjarak dua keramik, pernah juga hanya space dua keramik. Kan sebal. Ini
sangat tidak menguntungkan bagi saya yang mempunyai postur 170 cm lebih.
Bukan hanya itu, saya seringkali
bingung juga dengan barisan jamaah lain. Pernah waktu itu barisan saya dan
depan saya sudah sesuai petunjuk saff. Kalau begitu tentu terlihat rapi. Namun
ketika saya melihat kebelakang, saya menjadi bingung. Pasalnya, barisan
belakang saya lebih maju setengah keramik dari tanda saff. Saya sebal kalau ini
terjadi. Saya dihadapkan dengan dua pilihan: sedikit memajukan barisan, atau
tetap dalam barisan semula.
Tetapi dua pilihan ini juga sama-sama
berpeluang tidak enaknya. Seandainya saya majukan sedikit, bisa jadi nanti saya
nyundul jamaah di depan. Kalau saya tetap, saya harus siap-siap disundul. Dalam
persoalan ini, disundul dan menyundul bukanlah perkara yang menyenangkan.
Nah, jadi bagi sampeyan-sampeyan yang
baca tulisan ini, pahamilah bahwa perkara saff perlu diperhatikan. Bukan hanya
karena ini menyangkut kerapian dan ketertiban, tetapi juga menyangkut
kenyamanan bersama. Perkara saff memang perkara yang kelihatan sepele, tetap
jangan sekali-kali menyepelekannya. Kita tidak tahu, bisa jadi barangkali
posisi saff kita ternyata membuat jamaah lain tidak nyaman.