Jadilah Pemilik Ayam yang Tau Diri
Masyarakat pedesaan sangat lekat kaitannya dengan kekerabatan. Bukan hanya dengan tetangga, melainkan juga dengan makhluk lain seperti ayam. Tak heran kenapa banyak yang memelihara ayam. Ya untuk menjaga hubungan baik dengan makhluk lain tadi.

Namun tak bisa dipungkiri, namanya hubungan, kadang nyenengin dan kadang nyeselin. Seperti pepatah : tak ada jomblo yang tak galau. Eh salah ding, tak ada gajah yang tak retak maksudnya. Disatu sisi ayam adalah alarm waktu subuh, namun disisi lain ayam adalah bajingan yang menodai lantai depan rumah yang masih perawan (alias disingi, tembelek).
Disinilah pemilik ayam mustinya paham hal-hal apa saja yang masuk dalam koridornya. Sehingga memelihara ayam dapat menimbulkan kemaslahatan. Bukan justru sebaliknya, merepotkan tetangga.
Memang sih nggak ada larangan untuk mengikuti ayam. Terlebih karena ayam menjadi investasi paling berharga untuk lebaran idul fitri --dijadikan opor ayam. Apalagi karena kemudahan dalam mengikutinya dengan hanya dilepaskan begitu saja.
Namun perlu diketahui. Kebebasan mutlak yang diberikan ke si ayam untuk mencari makan sendiri tidak serta merta menghilangkan kewajibannya sebagai pemilik.
Kesadaran ini yang nyatanya belum dimiliki oleh hampir seluruh pemilik ayam sedunia, yaitu hak milik terhadap ayam. Kalo mengakui memiliki sih iya. Tapi Mereka lupa --tepatnya tidak mau tau-- kalo mereka juga punya tanggung jawab terhadap apa pun yang dilakukan ayamnya.
Jadi sebetulnya, kalau ayamnya itu ngising nang umahe wong atau nang jok motore
wong, yang punya ayamlah yang harusnya membersihkannya. Kan juga punya hak milik tembelek tho. Bukan malah seakan tidak mau tau dan bersikap masa bodoh. Rapeto kui arane.
Untuk kasus ini saya sendiri adalah korbannya. Tetangga saya punya banyak ayam dan memang dilepas begitu saja. Karena namanya juga ayam jadi ya ngising seenaknya dirumah saya. Bukan sekali dua kali, tapi berkali-kali. Jadi ya harus ngepel tiap sore. Namun anehnya, kok malah rumah si empunya ayam jarang disingi yo (Patut dicurigai, sepertinya memang ada persekongkolan diantara mereka).
Pernah suatu ketika karena saking kesalnya, saya menyindir tetangga yang punya ayam tadi.
"Lek. Iki ayame sopo?" Tanya saya sambil menunjuk satu ayam.
"Ayamku." Jawabnya santai.
"Lha ndok kui wek sopo?" Sembari saya nunjuk telur ayam dikandang.
"Ndogku." Jawabnya dengan santai lagi.
"Lha nek tembelek nangarep umahku kae wek sopo?" Tangan saya nunjuk kedepan rumah.
"Oh kae po. Kae tembeleke ayam." Jawabnya dengan tanpa dosa.
Saya hanya tersenyum kecut. "Oh..." meski sebenarnya hati ini misuh-misuh. 'Dong ayam ayamku, dong ndog ndokku, tapi dong tembelek kok tembelek ayam, tembelek ayam matamu. Kui tembelekmu cuk. Asuuu'.
Melihat hal ini terus berlanjut saban hari. Sebenarnya saya teramat jengkel. Ingin sekali rasanya nyrampang ayam-ayam tadi. Atau ngambil tembelek-tembelek didepan rumah untuk dipopokkan kerumah pemiliknya, kalo perlu kewajahnya sisan. Kesel saya. Namun karena saya baik hati dan tidak sombong. Demi untuk menjaga hubungan baik dengan tetangga, saya selalu mengurungkan niat buruk itu. Menurut saya, apalah arti tembelek dibanding solidnya ukhuwah tetangganiyah.
Maka, saya sangat mengapresiasi sekali jika ada orang yang ngikuti ayam namun tidak merugikan orang lain. Baik itu ayamnya dikurung terus, atau diapakan sajalah selama itu baik dan benar. Atau kalo memang ada juga yang membiarkan ayamnya kluyuran namun tetap dibekali etika untuk tidak e'ek sembarangan. Saya sangat sangat mengapresiasi.
Sedangkan bagi mereka pemilik ayam sedunia yang masih buat tetangga ngedumel. Saya sangat mengharapkan kesediaannya untuk membersihkan setiap tempat yang disingi ayam sebagai bentuk tanggung jawab pemilik. Udah itu aja si. Simpel sebenarnya.
Pesan saya kali ini adalah jadilah pemilik ayam yang bertanggung jawab. Kalau memang tak bisa tanggung jawab. Mentok-mentoknya ya tetangga juga diberi jatah kalo sudah jadi ayam goreng. Ojo mung tembeleke otok.
0 Respon