• Halaman Awal
  • Diri Sendiri
facebook instagram Email

Anam Sy

Malam ini, 31 Januari 2018 malam yang istimewa. Pertama karena hari ini hari lahir Nahdlotul Ulama ke-92. Kedua, karena malam ini merupakan malam demgan tiga fenomena sekaligus. Super blue blood moon. Untuk yang saya sebut terakhir, itulah yang saya akan bahas.

Apa sih super blue blood moon. Istilahnya kok rumit ruwet pake banget.

Sebelumnya saya juga gak mudeng sebenarnya ada apa, yang saya tahu, malam ini ada gerhana bulan. Itu tok.

Karena tak tahu, sebagai anak muda yang sok tahu, saya akhirnya cari tahu. Tak sulit untuk dapat informasi mengenai ini. Karena hampir seluruh tivi dan media membahas ini. Lengkap dengan penjelasan para ahlinya.

Karena itulah sehingga saya mending mudeng. Super blue blood moon itu adalah istilah gabungan untuk tiga fenomena: super moon, bloe moon, dan blood moon.

Untuk super moon, itu istilah untuk fenomena dimana bulan berada posisi terdekat dengan bumi. Dari berita yang saya lihat, katanya bulan 14% lebih besar dan 30% lebih terang. Kedekatan itulah yang membuatnya menjadi super. Super sekali.

Kalau blue moon, itu julukan untuk purnama kedua dalam satu bulan. Sebelumnya, purnama terjadi pas tahun baru.

Sementara blood moon, artinya gerhana bulan. Tanpa saya jelaskan, pasti pernah diajarkan di sekolah lah. Tau sendiri.

Sampai situ mungkin sudah  sedikit mudeng ya. Tapi pasti anda juga bingung seperti saya, kenapa gerhana tapi warnanya merah. Padahal kan biasanya kalau gerhana itu ya gelap.

Sebentar, saya cari tahu lagi.

Oh, ternyata begini. Semoga tidak salah. Jadi, bulan ditutupi matahari sehingga tampak merah. Kenapa? Karena sinar matahari menembus atmosfer bumi sebelum sampai ke bulan. Gas-gas di atmosfer menyebarkan cahaya biru dan meloloskan cahaya merah. Begitu.

Tambahan, informasi juga bahwa terakhir kali fenomena yang sama terjadi 152 tahun lalu, tepatnya 31 Maret 1866. Tentu saya belum ada.

Karena peristiwa ini amat langka, banyak yang antusias untuk melihat. Saya nonton di tivi, tempat-tempat yang menyediakan teropong banyak dikunjungi orang-orang.

Ditengah pembicaraan hangat fenomena ini di tivi-tivi, lalu bagaimanakah situasi yang ada di desa saya, desa Kebonrowopucang, Karangdadap, Pekalongan. Apakah juga heboh. Atau biasah saja. Berikut saya laporkan.

Sebelum fenomena ini terjadi, ada hal lain yang menyita perhatian penduduk Kebonrowopucang. Yaitu munculnya himbauan untuk sedekah. Sedekah kali ini agak bervariasi, tergantung kemana arah depan rumahnya.

Bagi yang tahu kabar-kabar ini, tak sedikit yang melakukannya. Tetangga saya pada menjalankan. Tentu sebagai tangga dekat, saya pun kena jatah kebagian makanannya. Kan lumayan.

Saya sendiri tak paham kenapa ada himbauan seperti ini. Saya tak mau berspekulasi. Ada yang mengaitkan dengan dewi lanjar. Ada juga yang tak mengaitkannya dengan apapun. Tapi entah benar atau tidak, ada juga yang mengaitkan dengan fenomena bulan malam ini.

Sudah-sudah. Kembali kepembahasan. Di desa saya tak ada kehebohan yang fantastis. Semua tampak biasa saja. Namun begitu, setiap orang setidaknya keluar untuk menengok gerhana meski sebentar.

Lebih jelasnya, ini situasi yang terjadi di desa saya.

Saat awal-awal, jam 8an lebih, cuaca belum mendukung. Banyak awan tebal yang melintas, mungkin mendung. Bulan tak terlihat. Namun dalam waktu tertentu saat awannya telah lewat, bulan terlihat sebentar. Meski kemudian tertutup lagi.

Masuk jam 9, gerimis turun. Alamat tak bisa melihat secara kasap mata. Untungnya, sebentar kemudian gerimis berhenti. Langit mencerah. Bulan terlihat jelas.

Di langit Kebonrowopucang ini, seperti juga di daerah lain, saya bisa menyaksikan gerhana. Sayangnya, karena hanya mengandalkan mata telanjang, saya tak melihat bulan yang seperti ditampilkan di tivi-tivi itu. Sayangnya lagi, saya tak jadi mendokumentasikan momen ini. Di kamera, bulan hanya tampak seperti titik kuning. Yah, bagaimana lagi. Hape saya jelek.

Saat terjadi momen ini, saya hanya di rumah, nonton tivi dan main hape. Mungkin saya harusnya agak rugi, di mesjid, sebetulnya ada solat gerhana, solat khusuf, tapi saya tak ikut.

Terakhir, di akhir Januari ini saya mau bersyukur. Saya masih bisa diberi kesempatan untuk menikmati ciptaan Tuhan semua ini. Fenomena super blue blood moon ini menyakinkan saya bahwa Allah Maha Besar. La haula wala quwwata illa billahil aliyyil adhim.

Paling terakhir, saya juga mau bersyukur. Saya bisa menuliskan hal ini. Alhamdulillah.

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon


Sekarang, sudah banyak yang menggunakan hape sebagai media menulis. Menulis disini adalah menulis sesuatu yang panjang. Artikel misalnya. Bahkan saya tahu, ada juga penulis yang nulis buku hanya lewat hape. Iya, buku segluntung itu. Fantastis bukan?

Hape, yang bisa dibawa saat apapun ini tentu memudahkan seseorang untuk menulis. Misal saat di bis, tiba-tiba melihat sesuatu yang menarik, maka sesuatu itu langsung bisa diabadikan lewat tulisan. Atau mungkin lagi BAB, banyak inspirasi datang, langsung buka hape dan segera dituliskan, keburu ide hilang.

Laptop sebenarnya pun media yang tepat untuk menulis. Hanya saja tak seperti hape yang bisa digondol kemana-mana. Memangnya apa iya, kita ke WC bawa laptop.

Disinilah hape menunjukkan kecanggihannya yang mampu mencanggihkan pikiran kita untuk segera langsung menuliskan sesuatu yang ingin ditulis. Dengan cepat dan singkat.

Meski hanya meminjam hape dari kakak, saya merasakan perbedaan yang jauh dalam menulis di hape dibanding saat menulis di media kertas. Nuansanya berbeda. Di kertas, tentu saja jika ada kesalahan dan ingin memperbaiki maka perlu mencoret dan mungkin akan merusak pemandangan, mood bisa saja hilang. Berbeda di hape yang bisa diedit semaunya. Tampilan menjadi rapi dan memunculkan rasa semangat untuk menyelesaikannya.

Bukan cuma itu, perbedaan juga ada pada mengalirnya ide. Kalau menulis di kertas, saya menulis apa yang saya inginkan. Maksudnya begini, saya terus menulis sambil melihat sekilas tulisan/paragraf sebelumnya. Cuma sekilas, ini belum memikirkan bagus atau tidak. Sedangkan kalau pakai hape, setiap menulis sudah langsung mikir bagus tidaknya. Misal masih buat satu paragraf, maka paragraf itu diotak-atik sampai benar-benar bagus lalu lanjut membuat paragraf selanjutnya, dalam artian lebih terstruktur. Sehingga lanjutan menulisnya gampang, sudah ada rancangannya di pikiran.

Sekarang, karena belum punya hape sendiri, saya lebih banyak menulis memakai media kertas. Saking seringnya, bolpoin saya cepat habis. Tapi saya sering juga nulis tulisan untuk blog dan status fesbuk yang tentunya pakai hape. Jadi, menulis di hape itu saduran dari tulisan yang sebelumnya ada di kertas.

Dan karena salah satu itulah saya sudah kebelet pingin punya hape, pingin menulis langsung di hape. Terlebih hape canggih yang spesifik untuk menulis. Kalau sudah punya, saya mau membiasakan nulis disitu. Berangkat dari menulis di hape, semoga bisa menulis di media. Lebih-lebih menulis buku.

Yah... begitulah cara saya untuk terus menghidupkan mimpi.

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon


[ Mimpi adalah kunci
Bagi kita menaklukan dunia
Pahamilah sampai lelah
Warnai hidup di dunia ]

Penggalan lirik lagu laskar pelangi ini sangat pas untuk menjelaskan bahwa mimpi itu penting. Saya, juga anda, pasti pernah dan punya mimpi.

Mimpi adalah kunci. Tiap kunci punya ukuran masing-masing. Kalau sudah punya kunci, selanjutnya ya mencari pintu yang pas. Kalau tidak punya kunci, mana mungkin bisa memasuki pintu, membukanya saja juga tidak bisa. Kecuali, ada yang membukakan. Atau... tetap bisa masuk pintu, dengan catatan: pintu yang tak terkunci. Namun, bukankah yang tak terkunci itu biasanya tak ada barang berharga didalamnya? Toilet, misalnya.

Mimpi itu penting. Maka, penting juga untuk memahami pemahaman yang benar tentang mimpi. Saya sering melihat ketika ada seseorang yang menyatakan mimpinya yang besar, malah justru ditertawakan alih-alih didukung. Saya, juga mungkin anda, pasti sering mendengar quote yang bunyinya:

~nek ngimpi ra usah duwur-duwur, nek tibo lorone nemen~

Entah kenapa, kalimat ini begitu terkenal dan sering diucapkan oleh mereka yang anti-mimpi. Saking seringnya mendengar, kalimat ini bisa membekas dan terngiang-ngiang di kepala. Akibatnya, seseorang bisa saja menjadi malu dan takut bermimpi. Quote ini berbahaya, karena bisa meruntuhkan mimpi.

Dulu, dihadapan teman-teman, saya pernah menyatakan mimpi saya yang pingin ini dan itu, besar pokoknya. Namun mereka hanya menyanggah dengan quote tadi. Bagi saya, tentu itu hal yang menyakitkan. Hanya untungnya, kami sedang bercanda.

Saya tak tahu pasti siapa yang membuat dan memulai quote tadi. Kalau mau minjam istilah perhadisan, quote tadi itu tidak diakui keabsahannya. Pengarangnya tak ada. Quotenya quote dhoif, lemah. Apalagi secara maksud, quote tersebut mengajak kita untuk bermimpi yang kecil-kecil saja. Memang bermimpi juga perlu realistis. Tapi, masak bermimpi besar saja tak berani.

Sebetulnya, kalau mau tau, ada quote yang benar tentang mimpi yang seharusnya banyak didengungkan. Quote ini berbanding terbalik dari quote yang tadi. Quote yang bunyinya adalah:

~ Bermimpilah setinggi langit. Jika engkau jatuh, engkau akan jatuh di antara bintang-bintang ~ Ir. Soekarno

Nah, bagus kan. Ini yang bilang Ir. Soekarno lho. Quote shohih. Harusnya memang kalimat ini yang dipegang.

Sudah. Cukup. Itu saja sih. Saya mau tidur. Selamat bermimpi.

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon

Saya berangkat agak terlambat, pukul tujuh kurang sembilan menit. Ruang kelas pasti sudah ramai.

Sesampainya di sekolah, begitu masuk, seperti publik figur yang tampil di panggung, saya langsung jadi pusat perhatian. Semua yang di kelas menatapku tajam. Beberapa diantara mereka mengucap satu nama yang tertuju kepadaku, tapi bukan namaku. "Laila Laila." Begitulah mereka memanggilku lalu semuanya tersenyum dan tertawa. Saya dibuat bingung. Segera kupercepat langkahku sambil menundukkan kepala.

Dalam bingungku, saya mencoba mencari titik terang pada Slamet, teman sebangkuku yang sudah berangkat lebih dulu.

"Met, iki ono opo?"

"Tak kandeni, wingi kui cah wadok sekelase dewe jujur-jujuran sopo cah lanang sing disenengi. Ha kowe ki disenengi Laila, mugane mau digasaki." Terang Slamet penuh perhatian.

"Oh gara-gara kui to met." Saya mulai paham. Saya bertanya lagi. "Ha kowe disenengi sopo met?"

"Ra ono blas." Jawabnya datar. "Mbati ra digasaki."

"Halah, kui mergo wajahmu elek met." Ledekku.

"Cemet ah." Ia tersenyum.

Selang beberapa detik kemudian, tampak Bejo dari kejauhan sedang berjalan semakin mendekati kelas. Temanku yang lelaki bersiap nggasaki. Mila mengumpat di belakang. Siswi lain mulai tersenyum. Bejo makin mendekat. Tragedi sebentar lagi terjadi, pikirku begitu. Hingga akhirnya Bejo melangkahkan kaki kanannya lebih dulu memasuki kelas.

Dan benar dugaanku, tragedi benar terjadi. Bejo langsung disoraki, sepertiku sebelumnya, bukan dipanggil nama aslinya, melainkan dipanggil dengan nama seorang wanita yang sedang tersipu malu di bawah meja, bernama Mila. Kata Slamet, Bejo disukai Mila. Mila Mila Mila. Suara sorakan itu memenuhi setiap sudut kelas kami. Mungkin juga terdengar sampai kelas sebelah.

Begitulah suasana kelas pagi itu, begitu ramai dan heboh. Kelas kami seperti bunga yang baru saja bermekaran. Bau bau aroma percintaan tercium pekat. Bagaimana tidak, semua wanita di kelas kami dengan gamblang menyatakan siapa lelaki yang dicintainya. Dari sinilah permulaan dari cinta monyet kami semua, yang kelak nantinya menjadi kenangan buruk nan lucu.

Saya tak habis pikir, bagaimana mungkin perempuan-perempuan polos ini dengan gamblang menyatakan cinta kepada lelaki yang juga masih polos. Apa latar belakangnya. Mungkin memang tak ada kerjaan pada waktu itu. Atau barangkali mereka ingin menunjukkan pada dunia kalau wanita juga bisa menembak duluan. Tak ada yang tahu pasti, yang jelas kejadian ini memecah menjadi beberapa cerita yang berbeda.

Sejak momen itu, banyak yang berubah dari kelas kami. Bejo sering duduk bersebelahan dengan Mila. Gopar dan Andini sering diam-diam temuan di toilet. Rojak yang banyak diam karena tak suka Maryonah. Wariti yang menjadi benci karena ditolak Iwan. Juga Timah yang galau digantung Supeno karena lebih milih Siti. Sedangkan Aku dan Laila lebih memilih surat-suratan meski jarak tempat duduk kami hanya terpaut tiga meja.

Ringkas cerita, seminggu cinta monyet itu terjalin, perlahan demi perlahan cintanya mulai hilang, hanya menyisakan monyetnya saja. Kecuali saya dan Laila, hubungan teman-temanku kandas. Kamilah yang terlama menjalin hubungan. Sebelum akhirnya dua minggu kemudian, tragedi yang berawal pada suatu pagi di kelas itu benar-benar selesai.

Ceritanya, komunikasi yang saya jalin dengan Laila begitu intens, bahkan terkesan romantis. Suatu kali saat jam kosong, saya dilempari dia secarik kertas. Saya tangkap dengan sigap lalu membacanya. Sungguh, hatiku bergetar dag dig dug serrr. Pasalnya, tulisan itu berisi penggalan lirik: semoga cinta kita kekal abadi. Untungnya saya tahu kalau ini adalah lirik lagunya astrid. Sehingga saya langsung nulis balasan: sesampainya akhir nanti, selamanya.... Lalu saya lempar.

Begitu saya melihat dia membuka balasan itu, dia tersenyum lalu memandangku, aku pun jadi tersenyum. Sumpah, saya belum pernah merasakan sesuatu yang dag dig dug serr seperti sekarang ini. Ternyata begini tho rasanya cinta. Saya menyimpulkan.

Kami semakin intens saat saya sudah pegang hape. Dari surat-suratan kami beralih ke sms-smsan. Ada kegilaan yang saya sesali dari komunikasi ini. Bayangkan, bagaimana mungkin kami yang masih kelas 6 itu, sudah berani memanggil dengan panggilan sayang. Pasalnya, saya panggil dia mami, dia panggil saya papi.

Puncak kegilaan panggilan mami-papi ini terjadi ketika keluarga pacarku memergoki komunikasi kami berdua. Sialan. Kami tercyduk. Sungguh gila bukan. Saya mengetahui ketercydukan ini ketika suatu pagi, kujumpai Laila menyendiri dan menangis di kelas. Saat itu juga dia tak pernah sms lagi. Ketika saya dekati, dia malah marah. Bahkan yang semula dia klepek-klepek kepadaku sekarang seperti membenciku. Selalu membuang muka setiap bertemu.

Keganjilan itu membuatku penasaran. Kemudian saya bertanya pada Yonah, sahabatnya. Mulailah saya memahami perubahan drastis ini. Wajar kalau dia marah. Karena sayalah dia dimarahi ibunya. Ibunya marah juga sangat beralasan. Ibu siapapun pasti juga marah ketika memergoki anaknya yang masih SD sudah pacaran.

Sejak ketercydukan itulah, meski tanpa kata putus, hubungan kami selesai. Untungnya kasus ini tidak sampai di acara rumah Uya. Kalau iya, betapa malunya saya. Sekarang inipun saya sudah malu. Saya tak bisa membayangkan betapa merosotnya derajat kelelakianku saat tercyduk karena kasus mami-papi.

Kemarin, mantanku ini memulai komunikasi lagi, kali ini lewat fesbuk. Pastinya bukan dengan panggilan mami-papi, pakai nama biasa. Sedikit bingung sebenarnya, mau ngomong apa. Yasudah ngomong apa saja. Basa-basi. Namun seperti terbawa ke masa lalu, ingatan dan trauma itu ada.

Saya kemudian teringat, ending dari cinta monyet kami berdua dulu berakhir bubar begitu saja, tanpa penegasan. Maka kemudian saya membawa ingatannya ke kenangan itu lagi. Saya katakan padanya, bahwa sudah waktunya tragedi yang bermula pada pagi hari itu harus diakhiri sekarang. Dengan penegasannya.

Namun dia malah tertawa. Bilang kalau saya ini ada-ada saja. Saya pura-pura tertawa juga. Pikirku, bukannya itu sudah membuat masing-masing dari kita merasa bersalah dan malu, terutama pada keluargamu.

Kemudian saya mengajaknya kompromi dan diskusi. Kalau tidak mau mengakhiri ya dilupakan. Saya menawarkan padanya kalau kenangan itu perlakukan seperti tidak pernah terjadi. Artinya, kita serasa tak pernah pacaran, tak pernah panggil mami-papi, tak pernah surat-suratan. Ibaratnya, tragedi pagi hari tempo itu hanyalah sandiwara saja. Hanya sebuah episod dalam sinetron cinta monyet.

Dengan tertawa juga, dia mengiyakan. Maka selesailah tragedi pagi tempo dulu dan jadilah ia seperti sandiwara saja. Kami tak lagi menyebut mantan. Laila hanya teman.

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon

Penulis lepas. Taukah kau apa penulis lepas itu? Bagi yang tak tahu pasti bingung kala mendengar penulis lepas. Biasanya kan penulis saja. Nah ini penulis lepas, memangnya apanya yang lepas. Bukan bukan. Penulis lepas atau istilah londonya freelance writer ini adalah orang yang menjual jasa kepenulisannya.

Di jaman serba online sekarang ini, penulis lepas menjadi peluang menghasilkan uang dengan mudah. Caranya tentu hanya dengan menulis konten sesuai permintaan dari klien. Permintaan jasa ini semakin banyak, mengingat merebaknya kebutuhan konten untuk banyak ruang, dari iklan sampai artikel di media.

Bagi yang suka menulis, tentu hal ini merupakan suguhan yang menggiurkan. Pasalnya, penghasilannya lumayan. Satu konten bisa dibayar 5ribu, 10ribu, bahkan bisa juga sampai setengah juta, tergantung. Tidak ada yang pasti memang dalam pendapatan dari jasa ini. Namun bisa dibilang pekerjaan inilah yang adil. Kenapa? Semakin disiplin dalam pengerjaan semakin banyak penghasilan, dan sebaliknya. Hasil sesuai dengan perjuangan. Bukankah ini sudah lebih dari lumayan.

Melihat fakta yang demikian, saya kok tertarik jadi freelance writer. Bagi saya, ceruk inilah yang paling tepat saya tempati. Itu karena saya memang suka menulis dan ingin meningkatkan level kepenulisan. Menjadi penulis lepas adalah pilihan bagus untuk menempa diri. Sekaligus hal ini sangat bagus untuk mengukur sampai dimana kemampuan menulis ini.

Selain itu, kegiatan ini akan menjadi suatu kesibukan. Mengingat, kondisi saya masih begini. Maksudnya saya sedang berada dalam dua posisi, tidak bekerja dan tidak belajar (kuliah). Menjadi penulis lepas, berarti saya belajar dan bekerja.

Sebab nantinya ini pengalaman kali pertama, mungkin akan terlihat sulit. Ini wajar, sesuatu yang biasanya pertama kali memang sulit. Lama-lama pasti biasa dan mudah. Namun bukankah yang sulit-sulit itu adalah tantangan. Dan saya menyukai tantangan.

Karena juga saya masih pemula, belum pantas saja kalau saya bicara penghasilan. Berapapun bayaran, saya pasti terima. Semuanya kan masih dalam proses. Yang terpenting proses ini bisa mendorong kaki untuk menginjak ke lantai yang lebih tinggi lagi.

Sekali lagi, saya pingin jadi freelance writer. Akan saya lakukan dengan senang hati. Ayo ayo. Siapa yang membutuhkan jasa saya. Saya siap. Ha kok ndak ada ya. Saya siap ini.

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon

Baru saja saya baca tulisan-tulisan lama dan membandingkannya dengan tulisan sekarang. Jujur, saya tak melihat ada perbedaan yang mencolok, levelnya seperti masih sama. Tapi saya tak mau memberi kesimpulan sesuai penilaian diri. Yang seharusnya menilai memang sepatutnya pembaca. Namun karena tidak ada pembaca, yang otomatis tidak ada yang menilai, maka  terpaksa saya menerima kesimpulan yang saya buat sendiri. Terus bagaimanalagi, ya harus begini. Kasihan sekali memang tak ada yang baca tulisan saya. Sialan.

Mumpung saya masih pegang hape, saya mau luangkan waktu untuk ngetik. Biasanya saya nulis di kertas soalnya. Ijinkan saya untuk sedikit menuangkan uneg-uneg dalam tulisan ini. Banyak sekali yang ingin saya muntahkan.

Untuk nulis kali ini saya mau membahas latihan menulisku. Bagi yang pernah baca semua tulisan di blog ini pasti tahu apa yang saya impikan. Ya, saya bercita-cita menjadi penulis.

Menjadi penulis, hal mutlak yang dibutuhkan pastinya yaitu bisa menulis. Paham terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan kepenulisan. Oleh karena itu, saya selalu berusaha mungkin untuk menulis setiap waktu, dan memang saya lakukan. Saya menyebutnya hal ini sebagai proses. Dan tentunya berproses adalah sesuatu yang wajib.

Namun dalam praktiknya, meskipun saya rutin menulis dan melulu berhadapan dengan bolpoin dan kertas, saya tak merasakan kemajuan dalam menulis. Saya memang menulis, namun tulisan yang jadi tak jelas kemana arahnya. Bahkan seringkali menjumpai ide yang kosong, tak ada ide. Tentu saya mau tau, kenapa selalu begini. Apakah ada kekeliruan yang saya lakukan. Lantas bagaimana memperbakinya. Itu yang belum saya tahu dan tak ada yang ngasih tau.

Lebih dari itu saya belum pernah sekalipun mendapat tanggapan dalam tulisanku, entah pujian atau cacian. Padahal ini penting sekali untuk saya bisa tahu seberapa kualitas kepenulisanku dan bisa saya perbaiki setelahnya. Saya tak punya ukuran menulis. Hal demikian yang semakin membuat saya masih menulis dengan cara yang sama. Saya bahkan tak tahu, adakah yang membaca tulisanku selama. Jangan-jangan tak ada.

Selama ini saya habiskan waktu luang untuk menyendiri dan menulis. Karena belum pengalaman, tulisan pun hanya ala kadarnya. Saya lebih fokus untuk memperbanyak menulis, membiasakan menulis. Untuk memperbanyak pengalaman nulis. Saya tahu, kepenulisan ini soal pengalaman.

Tentu ada yang saya harapkan dari kepenulisan ini nantinya, yaitu uang. Saya ingin sekali kerja yang berurusan dengan dunia tulis-menulis. Kelihatannya enak, tinggal nulis dapat gaji. Nantinya juga saya ingin sekali bisa menghitung uang royalti dari buku dan novel yang saya terbitkan. Itulah mimpi saya, entah terlalu berlebihan atau bagaimana, namun memang begitulah sejujurnya.

Hanya saja kalau melihat sekarang ini, kesemua impian itu masih jauh. Sangat jauh. Untuk blog pribadiku ini saja, saya masih bingung untuk menuliskan konten apa. Padahal saya sangat berharap sekali dapat uang dari blog ini. Apa daya, blogku sepi tanpa pengunjung sama sekali. Lalu saya nulis semua ini untuk apa?

Begitulah, ditengah berproses ini kadang  optimis kadang pesimis. Namun ibarat pertarungan, akan tetap saya lanjutkan. Mengingat, saya mung hanya bisa menulis. Tidak bisa melakukan yang lain. Menjadi penulis satu-satunya harapan yang tepat bagi dan menurut saya.

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon

Jam terakhir mata pelajaran hanya dikasih tugas saja. Sedangkan kami sudah selesai mengerjakannya setengah jam sebelum bel pulang. Alhasil, karena cuaca juga mendung, saya dan kawan lelaki lain pulang lebih dulu.

Esok harinya, tanpa dinyana, kami langsung disuguhi kemarahan kepsek. Apa yang kemarin kami lakukan ternyata masuk kategori bolos. Sebagai hukumannya, semua lelaki sekelas termasuk saya, dipotong rambut depannya. Sumpah, jadinya jelek. Jelek banget.

Cerita ini memang betul pernah saya rasakan. Teman-temanku semasa MI pasti masih ingat. Kali ini saya mau menceritakan itu kembali. Pastinya melibatkan insting saya sebagai penulis (amatiran). Baiklah, cerita ini saya kasih judul: bakatku bukan tukang cukur.

Bakatku Bukan Tukang Cukur
#belajarbercerita

Setiap orang pastilah punya cita-cita, tak terkecuali pak Arif. Cita-cita dari kecilnya adalah ingin menjadi tukang cukur. Tentu segala hal beralasan. Dan alasan pak Arif terobsesi menjadi tulang cukur ini sebab sebuah momen yang pernah ia alami. Dulunya, di depan kelas ia pernah ngomong bahwa cita-citanya pingin jadi presiden. Bukannya diapresiasi, teman-temannya malah menertawakan. Ngimpine ojo duwur-duwur, nek tibo lorone nemen. Begitulah banyak temannya mengejek.

Meski awalnya marah dengan sikap temannya yang tak menghargai impiannya sedikitpun. Akhirnya ia terpaksa harus sadar, ingatannya kembali kepada kondisi keluarganya. Ibunya sedang sakit keras. Bapaknya hanyalah seorang pemulung. Dan di rumah cuma ada sandal swallow, itupun sangklir.

Alasan itulah sehingga ia merubah cita-citanya menjadi tukang cukur. Alasannya sangat berbobot, membuat siapa saja yang mendengarnya bisa njengkang. Pak Arif ingin berprofesi yang bisa mengatur presiden. Ia ingin jadi tukang cukur presiden. Sungguh, pekerjaan yang amat mulia.

Namun beginilah hidup, bukan soal suka atau tidak suka, namun soal pilihan. Pak Arif sekarang tak sedikitpun bersinggungan dengan gunting dan rambut. Ia menjadi kepala sekolah di suatu kota di Jawa Tengah.

Dalam suatu siang yang mendung menjelang bel pulang sekolah. Ia melamun di kantor, ia tak menyangka sekarang menjadi kepsek. Namun ia rindu akan cita-citanya dulu, menjadi tukang cukur.

Lamunan pak Arif kemudian terhenti. Pak Toha datang mengabari bahwa semua murid lelaki kelas enam sudah bolos.

Seketika ia kaget, diam sejenak, lalu melamun lagi. Bibirnya tiba-tiba tersenyum. Ia merasa menemukan ide. Hatinya bilang: aha, ini kesempatan bagus untuk melunasi mimpi saya menjadi tukang cukur.

Esok harinya, ia langsung menghampiri siswa kelas enam yang bolos. Tanpa lama, ia langsung memotong rambut semua siswa.

Selesai mengeksekusi, ia melihat satu persatu rambut muridnya. Ia berbalik ke kantor. Ia melamun dan tersenyum lagi. Ia bilang: ternyata saya tidak bakat menjadi tukang cukur.

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon


Sejak mengenal menulis dan bisa menulis, saya merasa disinilah dunia saya. Dunia dimana saya merasa sangat nyaman dan tenang. Saya tidak mau alay, namun begitulah memang yang sebenarnya saya rasakan. Saya bahkan menebak mungkin inilah jati diri saya, bergumul dengan tulisan. 

Sejak dulu, saya mengidamkan pertemanan yang produktif, berkenalan dengan orang-orang hebat, berwawasan tinggi, dan segala kelebihan lain. Saya mengharapkan pertemanan yang demikian karena saya percaya pengaruh positif. Berkumpul dengan oreang produktif pastinya bisa membuat saya juga produktif. Namun semua masih sebatas mimpi, sampai sekarang saya belum pernah menemukan pertemanan seperti ini. Bahkan lebih dari itu saya merasa tak memiliki teman. Ya pasti perasaan ini salah. Tapi yang saya rasakan lebih banyak sendiri dan menyendiri daripada ramai dan keramaian.

Satu hal yang bisa saya lakukan untuk bisa bertemu dengan orang hebat itu adalah dengan menjadikan saya sendiri hebat lebih dulu. Dan saya tahu kehebatan saya adalah dalam menulis ini.
Saya berani mengatakan hebat dalam menulis, ini bukan sombong, namun karena saya yakin inilah kemampuan yang bisa menghidupi. Sejak bisa menulis saya langsung memantapkan diri menjadi penulis. Ini tentu perjuangan yang berat. Mengingat, hanya saya sendirilah yang menggeluti dunia ini di lingkungan saya. Artinya saya harus benar-benar berjuang sendiri, mengandalkan kemampuan ini dengan maksimal.

Bahkan apa yang saya lakukan ini menerjang kebiasaaan orang-orang disekitarku. Saya kasih tahu, hampir seluruh pemuda didesa saya bekerja sebagai penjahit. Hari-hari mereka bergelut di konveksi. Tentu kebiasaanku di rumah yang hanya sibuk menulis saja menimbulkan prasangka yang tidak-tidak. Dibilang pemalas misalnya. Mereka tidak tahu kalau dengan menulis inilah saya mampu menemukan ketenangan jiwa yang luar biasa. Dan dengan menulis ini saya mampu kenal dengan siapa saya ini. Menulis menyadarkan saya pada sebuah permenungan yang dalam.

Sampai saat ini saya belum kerja dan tak bernafsu bekerja yang jauh dari aktivitas menulis. Saya ingin menjadi penulis. Ini yang saya suka. Sudah, jangan dipaksa-paksa. Saya suka. Akan saya buktikan sesuatu yang dikerjakan dengan kecintaan akan menghasilkan sesuatu yang berkesan. Dan aku akan menjadi penulis. Percayalah.
Share
Tweet
Pin
Share
No Respon
Newer Posts
Older Posts

Info

Tayang seminggu dua kali

Mutualan, Yuk

  • facebook
  • instagram
  • youtube

Kategori

IPNU

Postingan Viral

Catatan

Sementara kosong dulu, seperti hatiku

Facebook

Isi Blog

  • ►  2024 (15)
    • ►  Apr 2024 (1)
    • ►  Mar 2024 (4)
    • ►  Feb 2024 (1)
    • ►  Jan 2024 (9)
  • ►  2023 (11)
    • ►  Des 2023 (3)
    • ►  Nov 2023 (1)
    • ►  Sep 2023 (3)
    • ►  Jul 2023 (4)
  • ►  2022 (46)
    • ►  Nov 2022 (7)
    • ►  Okt 2022 (7)
    • ►  Sep 2022 (6)
    • ►  Agu 2022 (4)
    • ►  Jul 2022 (9)
    • ►  Mei 2022 (4)
    • ►  Jan 2022 (9)
  • ►  2021 (22)
    • ►  Des 2021 (5)
    • ►  Sep 2021 (3)
    • ►  Agu 2021 (6)
    • ►  Jun 2021 (1)
    • ►  Mar 2021 (7)
  • ►  2020 (14)
    • ►  Des 2020 (1)
    • ►  Nov 2020 (2)
    • ►  Jul 2020 (2)
    • ►  Jun 2020 (1)
    • ►  Mei 2020 (1)
    • ►  Apr 2020 (1)
    • ►  Mar 2020 (2)
    • ►  Feb 2020 (4)
  • ►  2019 (3)
    • ►  Mar 2019 (1)
    • ►  Feb 2019 (1)
    • ►  Jan 2019 (1)
  • ▼  2018 (57)
    • ►  Okt 2018 (7)
    • ►  Sep 2018 (5)
    • ►  Jul 2018 (11)
    • ►  Jun 2018 (3)
    • ►  Mei 2018 (4)
    • ►  Apr 2018 (2)
    • ►  Mar 2018 (5)
    • ►  Feb 2018 (12)
    • ▼  Jan 2018 (8)
      • Super Blue Blood Moon di Langit Pekalongan
      • Hape, Media Menulis Paling Recomended
      • Tentang Mimpi
      • Tragedi Pagi Hari
      • Saya kok tertarik jadi freelance writer ya
      • Curhat: Tulisanku kok itu-itu saja ya
      • Bakatku Bukan Tukang Cukur
      • Mencintai Apa yang Saya Sukai
  • ►  2017 (71)
    • ►  Des 2017 (7)
    • ►  Nov 2017 (20)
    • ►  Okt 2017 (10)
    • ►  Sep 2017 (8)
    • ►  Agu 2017 (8)
    • ►  Jul 2017 (9)
    • ►  Jun 2017 (5)
    • ►  Mei 2017 (4)

Created with by ThemeXpose | Distributed by Blogger Templates