Bakatku Bukan Tukang Cukur

by - Januari 07, 2018

Jam terakhir mata pelajaran hanya dikasih tugas saja. Sedangkan kami sudah selesai mengerjakannya setengah jam sebelum bel pulang. Alhasil, karena cuaca juga mendung, saya dan kawan lelaki lain pulang lebih dulu.

Esok harinya, tanpa dinyana, kami langsung disuguhi kemarahan kepsek. Apa yang kemarin kami lakukan ternyata masuk kategori bolos. Sebagai hukumannya, semua lelaki sekelas termasuk saya, dipotong rambut depannya. Sumpah, jadinya jelek. Jelek banget.

Cerita ini memang betul pernah saya rasakan. Teman-temanku semasa MI pasti masih ingat. Kali ini saya mau menceritakan itu kembali. Pastinya melibatkan insting saya sebagai penulis (amatiran). Baiklah, cerita ini saya kasih judul: bakatku bukan tukang cukur.

Bakatku Bukan Tukang Cukur
#belajarbercerita

Setiap orang pastilah punya cita-cita, tak terkecuali pak Arif. Cita-cita dari kecilnya adalah ingin menjadi tukang cukur. Tentu segala hal beralasan. Dan alasan pak Arif terobsesi menjadi tulang cukur ini sebab sebuah momen yang pernah ia alami. Dulunya, di depan kelas ia pernah ngomong bahwa cita-citanya pingin jadi presiden. Bukannya diapresiasi, teman-temannya malah menertawakan. Ngimpine ojo duwur-duwur, nek tibo lorone nemen. Begitulah banyak temannya mengejek.

Meski awalnya marah dengan sikap temannya yang tak menghargai impiannya sedikitpun. Akhirnya ia terpaksa harus sadar, ingatannya kembali kepada kondisi keluarganya. Ibunya sedang sakit keras. Bapaknya hanyalah seorang pemulung. Dan di rumah cuma ada sandal swallow, itupun sangklir.

Alasan itulah sehingga ia merubah cita-citanya menjadi tukang cukur. Alasannya sangat berbobot, membuat siapa saja yang mendengarnya bisa njengkang. Pak Arif ingin berprofesi yang bisa mengatur presiden. Ia ingin jadi tukang cukur presiden. Sungguh, pekerjaan yang amat mulia.

Namun beginilah hidup, bukan soal suka atau tidak suka, namun soal pilihan. Pak Arif sekarang tak sedikitpun bersinggungan dengan gunting dan rambut. Ia menjadi kepala sekolah di suatu kota di Jawa Tengah.

Dalam suatu siang yang mendung menjelang bel pulang sekolah. Ia melamun di kantor, ia tak menyangka sekarang menjadi kepsek. Namun ia rindu akan cita-citanya dulu, menjadi tukang cukur.

Lamunan pak Arif kemudian terhenti. Pak Toha datang mengabari bahwa semua murid lelaki kelas enam sudah bolos.

Seketika ia kaget, diam sejenak, lalu melamun lagi. Bibirnya tiba-tiba tersenyum. Ia merasa menemukan ide. Hatinya bilang: aha, ini kesempatan bagus untuk melunasi mimpi saya menjadi tukang cukur.

Esok harinya, ia langsung menghampiri siswa kelas enam yang bolos. Tanpa lama, ia langsung memotong rambut semua siswa.

Selesai mengeksekusi, ia melihat satu persatu rambut muridnya. Ia berbalik ke kantor. Ia melamun dan tersenyum lagi. Ia bilang: ternyata saya tidak bakat menjadi tukang cukur.

You May Also Like

0 Respon