Tragedi Pagi Hari
Saya berangkat agak terlambat, pukul tujuh kurang sembilan menit. Ruang kelas pasti sudah ramai.
Sesampainya di sekolah, begitu masuk, seperti publik figur yang tampil di panggung, saya langsung jadi pusat perhatian. Semua yang di kelas menatapku tajam. Beberapa diantara mereka mengucap satu nama yang tertuju kepadaku, tapi bukan namaku. "Laila Laila." Begitulah mereka memanggilku lalu semuanya tersenyum dan tertawa. Saya dibuat bingung. Segera kupercepat langkahku sambil menundukkan kepala.
Dalam bingungku, saya mencoba mencari titik terang pada Slamet, teman sebangkuku yang sudah berangkat lebih dulu.
"Met, iki ono opo?"
"Tak kandeni, wingi kui cah wadok sekelase dewe jujur-jujuran sopo cah lanang sing disenengi. Ha kowe ki disenengi Laila, mugane mau digasaki." Terang Slamet penuh perhatian.
"Oh gara-gara kui to met." Saya mulai paham. Saya bertanya lagi. "Ha kowe disenengi sopo met?"
"Ra ono blas." Jawabnya datar. "Mbati ra digasaki."
"Halah, kui mergo wajahmu elek met." Ledekku.
"Cemet ah." Ia tersenyum.
Selang beberapa detik kemudian, tampak Bejo dari kejauhan sedang berjalan semakin mendekati kelas. Temanku yang lelaki bersiap nggasaki. Mila mengumpat di belakang. Siswi lain mulai tersenyum. Bejo makin mendekat. Tragedi sebentar lagi terjadi, pikirku begitu. Hingga akhirnya Bejo melangkahkan kaki kanannya lebih dulu memasuki kelas.
Dan benar dugaanku, tragedi benar terjadi. Bejo langsung disoraki, sepertiku sebelumnya, bukan dipanggil nama aslinya, melainkan dipanggil dengan nama seorang wanita yang sedang tersipu malu di bawah meja, bernama Mila. Kata Slamet, Bejo disukai Mila. Mila Mila Mila. Suara sorakan itu memenuhi setiap sudut kelas kami. Mungkin juga terdengar sampai kelas sebelah.
Begitulah suasana kelas pagi itu, begitu ramai dan heboh. Kelas kami seperti bunga yang baru saja bermekaran. Bau bau aroma percintaan tercium pekat. Bagaimana tidak, semua wanita di kelas kami dengan gamblang menyatakan siapa lelaki yang dicintainya. Dari sinilah permulaan dari cinta monyet kami semua, yang kelak nantinya menjadi kenangan buruk nan lucu.
Saya tak habis pikir, bagaimana mungkin perempuan-perempuan polos ini dengan gamblang menyatakan cinta kepada lelaki yang juga masih polos. Apa latar belakangnya. Mungkin memang tak ada kerjaan pada waktu itu. Atau barangkali mereka ingin menunjukkan pada dunia kalau wanita juga bisa menembak duluan. Tak ada yang tahu pasti, yang jelas kejadian ini memecah menjadi beberapa cerita yang berbeda.
Sejak momen itu, banyak yang berubah dari kelas kami. Bejo sering duduk bersebelahan dengan Mila. Gopar dan Andini sering diam-diam temuan di toilet. Rojak yang banyak diam karena tak suka Maryonah. Wariti yang menjadi benci karena ditolak Iwan. Juga Timah yang galau digantung Supeno karena lebih milih Siti. Sedangkan Aku dan Laila lebih memilih surat-suratan meski jarak tempat duduk kami hanya terpaut tiga meja.
Ringkas cerita, seminggu cinta monyet itu terjalin, perlahan demi perlahan cintanya mulai hilang, hanya menyisakan monyetnya saja. Kecuali saya dan Laila, hubungan teman-temanku kandas. Kamilah yang terlama menjalin hubungan. Sebelum akhirnya dua minggu kemudian, tragedi yang berawal pada suatu pagi di kelas itu benar-benar selesai.
Ceritanya, komunikasi yang saya jalin dengan Laila begitu intens, bahkan terkesan romantis. Suatu kali saat jam kosong, saya dilempari dia secarik kertas. Saya tangkap dengan sigap lalu membacanya. Sungguh, hatiku bergetar dag dig dug serrr. Pasalnya, tulisan itu berisi penggalan lirik: semoga cinta kita kekal abadi. Untungnya saya tahu kalau ini adalah lirik lagunya astrid. Sehingga saya langsung nulis balasan: sesampainya akhir nanti, selamanya.... Lalu saya lempar.
Begitu saya melihat dia membuka balasan itu, dia tersenyum lalu memandangku, aku pun jadi tersenyum. Sumpah, saya belum pernah merasakan sesuatu yang dag dig dug serr seperti sekarang ini. Ternyata begini tho rasanya cinta. Saya menyimpulkan.
Kami semakin intens saat saya sudah pegang hape. Dari surat-suratan kami beralih ke sms-smsan. Ada kegilaan yang saya sesali dari komunikasi ini. Bayangkan, bagaimana mungkin kami yang masih kelas 6 itu, sudah berani memanggil dengan panggilan sayang. Pasalnya, saya panggil dia mami, dia panggil saya papi.
Puncak kegilaan panggilan mami-papi ini terjadi ketika keluarga pacarku memergoki komunikasi kami berdua. Sialan. Kami tercyduk. Sungguh gila bukan. Saya mengetahui ketercydukan ini ketika suatu pagi, kujumpai Laila menyendiri dan menangis di kelas. Saat itu juga dia tak pernah sms lagi. Ketika saya dekati, dia malah marah. Bahkan yang semula dia klepek-klepek kepadaku sekarang seperti membenciku. Selalu membuang muka setiap bertemu.
Keganjilan itu membuatku penasaran. Kemudian saya bertanya pada Yonah, sahabatnya. Mulailah saya memahami perubahan drastis ini. Wajar kalau dia marah. Karena sayalah dia dimarahi ibunya. Ibunya marah juga sangat beralasan. Ibu siapapun pasti juga marah ketika memergoki anaknya yang masih SD sudah pacaran.
Sejak ketercydukan itulah, meski tanpa kata putus, hubungan kami selesai. Untungnya kasus ini tidak sampai di acara rumah Uya. Kalau iya, betapa malunya saya. Sekarang inipun saya sudah malu. Saya tak bisa membayangkan betapa merosotnya derajat kelelakianku saat tercyduk karena kasus mami-papi.
Kemarin, mantanku ini memulai komunikasi lagi, kali ini lewat fesbuk. Pastinya bukan dengan panggilan mami-papi, pakai nama biasa. Sedikit bingung sebenarnya, mau ngomong apa. Yasudah ngomong apa saja. Basa-basi. Namun seperti terbawa ke masa lalu, ingatan dan trauma itu ada.
Saya kemudian teringat, ending dari cinta monyet kami berdua dulu berakhir bubar begitu saja, tanpa penegasan. Maka kemudian saya membawa ingatannya ke kenangan itu lagi. Saya katakan padanya, bahwa sudah waktunya tragedi yang bermula pada pagi hari itu harus diakhiri sekarang. Dengan penegasannya.
Namun dia malah tertawa. Bilang kalau saya ini ada-ada saja. Saya pura-pura tertawa juga. Pikirku, bukannya itu sudah membuat masing-masing dari kita merasa bersalah dan malu, terutama pada keluargamu.
Kemudian saya mengajaknya kompromi dan diskusi. Kalau tidak mau mengakhiri ya dilupakan. Saya menawarkan padanya kalau kenangan itu perlakukan seperti tidak pernah terjadi. Artinya, kita serasa tak pernah pacaran, tak pernah panggil mami-papi, tak pernah surat-suratan. Ibaratnya, tragedi pagi hari tempo itu hanyalah sandiwara saja. Hanya sebuah episod dalam sinetron cinta monyet.
Dengan tertawa juga, dia mengiyakan. Maka selesailah tragedi pagi tempo dulu dan jadilah ia seperti sandiwara saja. Kami tak lagi menyebut mantan. Laila hanya teman.
0 Respon