• Halaman Awal
  • Diri Sendiri
facebook instagram Email

Anam Sy

Saya baru saja menyantap kenikmatan sepiring Indomie dengan kesadaran penuh lengkap dengan segelas teh hangat agak manis dan kental yang saya seruput sebagai satu paket komplit yang pas di malam ketika saya sedang stak. Saya menyantapnya dengan tenang, khusyuk, dan tanpa gangguan suara apapun.

Aktifitas itu saya lakukan disela-sela kebingungan saat menulis. Memang sebelum itu, saya ingin menulis tetapi selalu saja gagal dan berakhir melamun. Dan setelah saya makan dan minum dengan kehadiran penuh, saya jadi menemukan segenggam ketenangan batin yang saya bawa dalam menulis kali ini.

Dalam lamunan saya setelah menyantap Indomie goreng, saya menemukan kerangka berfikir yang sederhana semacam ini. Tentu masih soal menulis.

Selama ini, saya jarang menulis karena merasa belum menemukan topik yang enak atau topik yang belum saya dalami betul. Sementara, saya cukup jarang pula melakukan riset. Maka, sampai kapanpun, potensi saya untuk menulis sesuatu tidak akan ada.

Ini tentu tidak baik untuk keberlangsungan kepenulisan saya. Saya harus tetap menulis. Dan kenapa pula menulis yang semula menjadi hobi justru saya bikin ribet sendiri dengan patokan-patokan yang saya buat. Saya sadari ini sesuatu yang bertolak belakang. Bagaimana pun, saya harus menulis dengan perasaan merdeka. Kalau saya mau menulis, ya menulis saja. Kenapa saya harus takut jelek. Bukankah memang selama ini tulisan-tulisan saya begitu saja dan cenderung jelek.

Jika begitu, kenapa aktifitas menulis dijadikannya gampang saja. Menulis ya menulis saja. Saya kira dalam konteks ini, tidak jauh dengan stand up comedy kalau menulis juga perlu mengambil materi dari keresahan dan hal-hal yang begitu dekat dengan diri kita. Dan malam ini, saya mempraktekannya dengan menceritakannya bagaimana saya akhirnya menulis catatan ini.

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon
Saya menggaruk kepala keras-keras. Selain gatal, ini adalah ekspresi kekesalan. Kesal setelah saya barusan melewati beberapa menit dengan membuka-tutup hape tanpa tujuan yang jelas.

Beberapa hari yang lalu saya nekat menghapus semua sosial media di ponsel. Keputusan itu saya ambil setelah saya sadar kalau waktu saya sudah terlalu banyak disita untuk scroll hal-hal tidak penting. Menghapusnya adalah cara agar saya bisa fokus hanya untuk hal-hal yang bernilai.

Dan tadi, menemukan diri saya masih tertarik sisa-sisa magnetis sosial media, saya jadi kesal.

Saya menghela nafas panjang. Dalam keadaan masih merebah di atas kasur yang tidak rata, saya memejamkan mata. Sebentar merenung.

Sial. Tidak ada yang bisa saya tangkap dari renungan barusan. Kecuali sebuah kesadaran bahwa ini terjadi dan saya harus hadapi.

Saya kemudian membuka aplikasi note. Saya pikir, waktu yang biasanya saya habiskan untuk bersosial media, bisa saya alihkan untuk menulis.

Bukan hal mudah ketika selanjutnya saya dihadapkan dengan draf kosong. Apa yang harus saya tulis. Saya menatap draf kosong lamat-lamat. Memejamkan mata mencoba menyalakan ruang imajinasi. Menyelam sedalam mungkin.

Oh tidak. Saya tidak menemukan apapun. Saya justru tersedak setelah menemukan kekeringan dalam kedalaman ruang imajinasi saya dan membuat mau tidak mau saya membuka mata. Saya tidak kuat. Saya tidak bisa.

Ruang berpikir saya kosong. Imajinasi saya kering. Saya tidak bisa memaksa. Memaksa hanya akan membuat saya tersiksa. Lantas kalimat apa yang bisa saya tulis sebagai draf pembuka dalam menulis kali ini?

Saya kembali menghela nafas.

Saya kemudian duduk. Menyenderkan punggung ke tembok. Barangkali berganti posisi bisa membuat pikiran saya cair untuk menulis sesuatu.

Random. Saya menulis random. Bebas. Saya pernah mendengar entah dari siapa bahwa draf pertama dibuat memang untuk dibunuh. Entah dengan cara dimutilasi, diperkosa, dicincang, dimasak, atau dengan cara apapun itu. 

Dan benar. Saya menulis draf pertama untuk saya dibunuh. Saya membunuhnya dengan cara menghabisi kalimatnya. Jadinya, saya menulis lalu saya habisi. Menulis lalu habisi. Menulis lalu habisi. Hingga beberapa menit kemudian saya berhenti dan kembali menatap layar. Saya heran. Yang ada, tidak ada draf pertama yang tercipta. Kosong.

Saya jadi kesal. Bosan. Merebah lagi. Lalu keluar dari aplikasi note ini.

Malam ini, saya gagal menulis.

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon
Ia agak genit hari ini. Beberapa kali memainkan matanya dengan centil. Berpakaian pink dengan kerudung pink pula. Membawa tas hitam yang diselempangkannya. Berdandan tipis dan cantik sekali.

Aku memboncengkannya dengan bahagia, melewati posko dan orang-orang. Membayangkan kalau perempuan anggun dibelakangku adalah pasanganku. Membawanya ke rumah seseorang untuk sebentar bertamu. Memasuki pintu bersama seperti layaknya sepasang pengantin muda yang sebulan jalan, dan bersalaman dengan si empunya rumah sambil serasa ingin berucap: kenalkan, ini istriku.

Seharian kami di acara yang sama. Seharian pula aku mengagumi kecantikannya. Aku memandangnya sembunyi-sembunyi beberapa kali, dan dipergokinya pula berkali-kali. 

Beberapa kali aku mengajak foto dengan perempuan di sampingmu, tujuannya agar kamu menawarkan diri dan akhirnya aku punya foto denganmu. Sayangnya tidak, kamu tidak tertarik. Aku ingin sekali memintamu foto berdua bersama, namun selalu tidak berani kulafalkan. 

Kamu cantik hari ini, dan mungkin akan cantik sepanjang waktu. Aku tak bisa memotretmu, dengan apa lagi aku mengabadikan kecantikanmu selain dengan kata-kata.

~27 Mei 2020/4 Syawal 1441 H~
Share
Tweet
Pin
Share
No Respon
Saya sekolah di Madrasah Ibtidaiyah, dilanjut SMP, dan MA di sebuah kecamatan di Pekalongan. Selama dalam masa itu saya menyadari bahwa saya murid yang jarang sakit. Sehingga, saya nyaris tidak pernah absen sekolah. Hal itu berbeda dengan hampir semua siswa sekelas yang dalam satu semester pasti punya catatan sakit, setidaknya meriang atau masuk angin.

Sewaktu di MA, saya punya sahabat namanya Safri. Saya cukup akrab dengannya sehingga rasa-rasanya, apapun obrolan kami pasti nyambung.

Pernah suatu kali, karena kepikiran hal di atas, saya berbincang dengan Safri. Bukan berbincang ding, saya diskusi. Saya kira diskusi juga kurang tepat. Mungkin lebih tepatnya, saya memberi pernyataan. Hmm, mungkin lebih cocoknya lagi saya ngoceh.

"Fri, saya ini heran. Kok orang lain pasti ada saja sakitnya pas masa sekolah. Entah meriang entah masuk angin dll. Sementara saya, nyaris seperti tidak pernah sakit. Makanya saya berangkat terus. Saya gak tau ya, mungkin ada rahasia di balik ini. Mungkin ntar saya sakitnya bakal totalan, tidak nyicil seperti kebanyakan orang."

Mendengar celotehan saya, Safri hanya tersenyum. Tanpa komentar.

Beberapa bulan setelah itu, saya punya masalah. Masalah itu benar-benar masuk pikiran dan menyerang mental saya hingga drop. Dan setelahnya, saya sakit.

Semula saya berfikir ini sakit biasa. Sehingga saya pun menanganinya dengan cara biasa. Seminggu paling juga sembuh.

Tetapi, seminggu lebih saya masih sakit. Tubuh saya melemah. Dan bertambahnya waktu semakin melemah.

Saya kemudian dibawa ke dokter umum. Diperiksa. Dikasih resep. Meminumnya rutin.

Seminggu kemudian saya semakin lemah, tidak ada tanda-tanda perubahan. Saya dibawa lagi ke dokter umum, dengan orang yang berbeda. Diperiksa lagi. Disuntik. Dikasih obat. Katanya, gejala tipes.

Kesembuhan ternyata belum kunjung menghampiri saya. Saya ke dokter lagi, dokter yang lainnya lagi. Barangkali dokter memang cocok-cocokan. Diperiksa lagi. Dikasih resep lagi. Meminumnya lagi seminggu.

Masih belum juga kunjung membaik. Saya ke puskesmas. Diperiksa lagi. Dikasih resep lagi. Dan gagal lagi.

Saya masih saja sakit. Dan semua dokter yang saya kunjungi hanya mentok memberi statment bahwa saya gejala tipes. Sementara itu, tubuh saya makin lemah. Makin memperihatinkan.

Dibawanya lagi saya ke dokter umum, yang lainnya lagi. Dicek lagi. Dikasih resep lagi. Meminumnya lagi. Dan lagi lagi, tidak ada perkembangan.

Disela-sela itu, sebetulnya keluarga saya ingin berupaya memasukkan ke rumah sakit, namun karena soal ekonomi, keputusan ke sana selalu berhenti di angan saja.

Hingga suatu hari, karena melihat saya semakin memprihatinkan dan tidak punya perkembangan, guru-guru saya di MA menjenguk saya dan sekaligus membawa saya ke Puskesmas. Saya di bawa ke puskesmas yang ruangan ruang inap, bukan ruang yang sebelumnya saya ngantri.

Saya sudah sulit berjalan. Dipapahnya saya menuju ruang pemeriksaan. Dicek tensi dan sebagainya. Dan mereka bilang: "kami sudah tidak sanggup, kami buatkan surat rujukan ke rumah sakit."

Surat rujukan dibuatkan, saya dan guru-guru hebat saya kembali ke mobil. Kemudian pulang, mengabari bapak saya, mengumpulkan identitas penting, menuju balai desa untuk mengurus entah surat apa. Sementara saya di rumah, guru-guru saya menuju rumah sakit untuk mengambil antrian.

Dua jam kemudian saya dibawa lagi oleh mereka, kali ini ke rumah sakit. Bapak saya ikut. Dengan tubuh yang tak berdaya, saya pasrah.

Masuk rumah sakit, saya diambilkan kursi roda. Bapak saya mendorong dan saya dibawanya ke antrian poli penyakit dalam. Seusai ngantri beberapa menit, saya masuk. Diperiksa oleh dokter yang berpengalaman. Dia bilang: "kenapa baru di bawa sekarang, sudah parah begini." Plang, saya kaget, itu berarti ada yang serius.

Dengan cepat, dokter mengambil tindakan. Saya lupa, mungkin saat itu saya disuntik.

"Kamu harus rawat inap."

Bapak saya nampak gelagapan. Bapak tidak mengira.

Bersamaan dengan itu, asistennya sedang menelpon bagian lain menanyakan ruang yang tersedia. Dan kebetulan, satu ruang baru saja ditinggalkan.

Saya kemudian disiapkan untuk rawat inap. Dan setelah selesai, saya dibawa keluar bersama asisten tadi dengan infus yang sudah menempel. Saya langsung dibawa ke ruang ronsen, disuruh merebah, disuruh berdiri, discan dengan alat yang baru saya lihat.

Dan kemudian saya dibawa ke sebuah ruang. Saya memasukinya, dan di ruang itu tampak penuh pasien lain. Dipojok ruangan itulah akhirnya saya ditempatkan.

Beberapa hari kemudian hasil ronsen muncul, dan ternyata, saya sakit TBC Paru-paru. Gila, pikir saya. Saya sakit serius. Bukan lagi sekadar sakit meriang, melainkan sakit TBC. Tuberculosis. Penyakit yang setelah saya cek di google, merupakan penyakit mematikan di dunia. Saya menangis. Menangis bukan karena sakit, namun menangis kenapa saya merepotkan keluarga semacam ini.

Saya rawat inap di sana selama 8 hari. Dan syukurnya, semua biaya ditanggung BPJS. Saya pulang, lega.

Tapi kelegaan saya hanya sebentar. Saya tetap saja sakit. TBC adalah penyakit yang harus diobati dalam kurun waktu minimal 6 bulan secara terus-menerus. Itu sebabnya saya harus bolak-balik rawat jalan.

Diumur ke 3 bulan pengobatan, saya muncul penyakit lain. Dan itu adalah kelenjar di leher. Setelah diperiksa, ternyata, virus TBC dalam paru-paru saya sudah merambat ke kelenjar saya. Saya kembali menangis. Ini apa lagi ya Tuhan.

Kelenjar di leher itu ternyata tidak cukup setia bertempat di satu tempat. Saat kelenjar di leher tengah sudah hampir sembuh, muncul kelenjar di leher bagian lain, begitu seterusnya selama berbulan-bulan. Jujur, saya stres.

Tiga bulan. Empat bulan. Enam bulan. Sembilan bulan. Dan berbulan-bulan. Saya belum kunjung sembuh.

Saya bolak-balik setiap sebulan dua kali ke rumah sakit untuk rawat jalan. Dan saya baru sembuh setahun setengah kemudian. Perjuangan yang begitu melelahkan dalam hidup saya.

Dan setelah menjalani semua itu, saya sadar saya pernah berkata sesuatu. Dan perkataan itu benar. Seakan doa yang terkabul. Saya sakit totalan. Sakit panjang berbulan-bulan.
Share
Tweet
Pin
Share
No Respon
Saya pernah menanyakan hal ini pada bapak-bapak tetangga samping rumah saya.

Beginilah percakapannya.

"Mbah, enak mana jamannya Soeharto dengan jamannya Jokowi hari ini?"

Sambil menghembuskan asap rokok, dengan tenang Simbah itu menimpali. "Ya jelas enak jamannya Soeharto."

Dari wajahnya, Simbah ini seperti punya pengalaman masa lalu yang panjang dan berat. Garis-garis di wajahnya membuat saya yakin, dia akan bercerita banyak kenapa jaman Soeharto lebih baik daripada kepemimpinan masa ini?

"Memangnya kenapa Mbah? Bukannya jaman pak Jokowi ini banyak pembangunan?"

Simbah itu diam sejenak, sebentar kemudian mengambil kopi yang nyaris habis dan menyeruputnya pelan. "Bukan itu nak. Alasannya sederhana: karena ketika jamannya pak Soeharto, istri saya masih muda dan cantik," tandasnya sehabis menghabiskan sisa kopi.

Alasan yang masuk akal.
Share
Tweet
Pin
Share
No Respon
Sudah lama sekali saya punya blog dan ngeblog. Sudah bukan rahasia juga kalau saya bisa menulis. Menulis dan ngeblog. Dua hal yang sangat sederhana.

Ada hal menarik yang perlu saya singgung soal ini. Saya memang tidak pernah jauh dari menulis. Namun anehnya, sepanjang 2021 ini saya hanya mengunggah tulisan di blog ini cuma sekali. Pertanyaannya, lalu mana tulisan saya selama ini dalam hari-hari di bulan Januari dan Februari? Di mana Anam? Di mana tulisannya? Mana wujudnya?

Sampai detik ini saya masih heran sendiri. Saya punya kecenderungan untuk tidak mempublikasikan tulisan hanya khawatir ada yang baca unek-unek saya. Ya saya pikir ini sesuatu yang aneh. Kalau begitu, ngapain menulis?

Ada lagi. Saya juga heran ketika misalnya saya posting sebuah tulisan di blog, saya punya kekhawatiran bakal tidak akan ada yang baca. Ini kan aneh juga.

Maksud saya, kalau saya sudah tau tidak akan ada yang baca tulisan di blog ini, lantas kenapa saya takut orang-orang bakal melihat unek-unek saya. Dan lagipula kenapa saya takut mengunggah ke blog. Takut siapa? Kan memang tidak ada siapa-siapa.

Saya akhirnya jadi sadar. Hubungan saya dengan blog ini memang saya bikin ribut dan ribet sendiri. Padahal persoalan menulis dan mengunggah adalah hal yang sederhana. Ini yang saya sadari.

Dan berangkat dari kesadaran ini, ke depan saya bakal lebih sering posting tulisan di blog. Saya harus selalu mengingatkan diri sendiri kalau blog ini adalah tempat curahan hati saya. Juga tempat saya belajar mengasah kemampuan menulis.

Jadi, kenapa takut. Kenapa ragu. Menulis dan mengunggahnya ke blog itu sesuatu yang gampang. Kalau semisal tidak menemukan gambar yang mewakili tulisan, ya sudah jangan pakai gambar.

Sesuatu yang dari awal sudah merepotkan, biasanya tidak akan bertahan lama. Dan saya tidak ingin hal itu terjadi dalam kebiasaan menulis dan ngeblog ini. 

Selamat kembali diri saya di blog. Selamat menulis lagi.

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon

7 Maret 2021, dengan penuh sadar dan dengan pertimbangan yang matang, saya menghapus media sosial dari handphone saya. Saya menghapus Instagram, Facebook, dan Massager. Saya juga menghapus aplikasi yang sudah tidak banyak saya gunakan lagi, yakni aplikasi Dana dan Bukalapak.

Bukan hal mudah untuk menghapus aplikasi-aplikasi tersebut, setidaknya saya perlu mengumpulkan niat seminggu lebih.

Keinginan saya untuk jauh dari sosial media memang sudah muncul sejak lama. Saya merasa media sosial telah menyita waktu saya sedemikian nyata. Tidak ada yang saya dapat darinya. Kecuali saya mendapati bahwa saya tidak berkembang dengan positif.

Sebetulnya pun, saya mengakses media sosial hanya sebentar-sebentar. Masalahnya, dalam waktu sebentar itu tidak terasa ternyata saya sudah sejam saja. 

Sejak tidak lagi mengunggah tulisan di media sosial, saya hanya membuka media sosial untuk keperluan iseng-iseng. Hiburan semata. Dan sepertinya juga digerakkan oleh kebiasaan yang sulit dihentikan. Setiap kali melihat satu video menarik di sana, saya memutarnya, dan ketika selesai, di bawahnya berderet video sejenis yang membuat jari ingin memutar lagi dan lagi. Tidak IG tidak FB, sama saja.

Saya pikir, hal ini tidak sehat untuk hidup saya. Saya begitu kecanduan hingga tidak bisa lepas dari media sosial. Maka satu-satunya cara pintas adalah menghapusnya. Dan saya melakukannya.

Saya ingin cerita kenapa akhirnya saya berani menghapus sosial media tadi.

Ini bermula ketika suatu hari, ada teman saya yang cukup aktif Twitter dan Instagram-an tiba-tiba pamit. Akhirnya saya tahu, ternyata teman saya ini sudah unistall Instagram dan Twitter dari hapenya. Kalau Facebook, teman saya ini memang sudah lama sekali tidak bermain Facebook.

Teman saya ini namanya Naili Wirdatul Muna, teman dekat sekaligus sahabat saya. Nah, karena saya memang sudah ada keinginan menghapus media sosial sejak lama, akhirnya saya tanya-tanya sama Wirda. Bagaimana rasanya setelah menghapus aplikasi-aplikasi tersebut. Saya tentu penasaran.

Katanya, setelah unistall aplikasi-aplikasi tersebut, sekarang ia justru bingung harus ngapain. Biasanya ia mengisi waktunya untuk mengakses media sosial, dan ketika media sosial sudah tidak ada, ia belum menemukan kesibukan lain. Padahal, tujuan awalnya untuk memfokuskan diri menggarap skripsi. Saya sih memaklumi. Barangkali memang perlu transisi untuk beranjak dari kebiasaan lama menuju kebiasaan baru.

Kabar terakhir dari Wirda, karena ruang kosong itu belum terisi dengan baik, dia menumpahkannya untuk ikut jaga kedai milik IPPNU yang berada di belakang ITS NU kalau tidak salah.

Dari pengalamannya ini, saya jadi banyak berdiskusi dengannya. Menariknya, ternyata saya dan Wirda ini punya kesamaan untuk belajar meningkatkan kemampuan diri. Kami banyak mengobrol soal konsep minimalis, buku-buku pengembangan diri, dan hal menarik lain.

Hingga pada tepat pukul 00.00 Ahad, 7 Maret 2021, tidak ada angin tidak ada hujan, Wirda mengirimi saya sebuah link yutub. Menurut pengakuannya, ia menemukannya secara kebetulan.


Saya baru membukanya esok harinya, dan barulah saya ketahui, link tersebut merupakan link Youtube yang isinya seseorang sedang monolog menerangkan satu hal. Sesuatu menarik perhatian saya ketika saya melihat judul video yutub itu: digital minimalism. Dari deskripsi, yang membawakan adalah seorang perempuan hebat bernama Marissa Anita. Seseorang yang kemudian karena auranya, saya langsung memasukkannya ke dalam daftar tokoh inspirasi saya, bergabung dengan Dian Sastro, Maya Septa, Najwa Shihab, dll.



Karena video inilah saya akhirnya menghapus banyak aplikasi yang tidak bermanfaat bagi saya. Saya ingin menciptakan ruang bosan saya dan membiarkan pikiran saya berkelana ke sudut-sudut kreatif. Setidaknya begitu salah satu isi video tadi.

Ini adalah hari ketiga saya terbebas dari media sosial. Saya memang belum menemukan ketenangan seperti yang saya harapkan. Namun setidaknya, saya sudah tidak lagi sedikit sedikit menengok beranda Facebook dan Instagram apa fenomena yang sedang hits saat ini.

Tujuan lain kenapa saya menghapus media sosial adalah karena saya ingin fokus pada hal yang saya minati: menulis. Dulu, saya bermedia sosial salah satunya karena ingin membagikan tulisan saya. Namun setelah saya keluar jalur, saya lebih banyak mengamati kehidupan orang lain.

Ada satu aplikasi yang sebenarnya tidak saya hapus. Adalah Twitter. Saya kira ini media sosial yang aman karena saya tidak bakal banyak melihat kehidupan orang lain. Mengingat, justru disinilah orang-orang low budget bangga dengan statusnya.

Tapi setelah dipikir-pikir, saya juga kecanduan untuk mengamati kerecehan demi kerecehan yang disajikan warga Twitter. Semula saya masih bertahan dengan cara unfollow orang-orang yang tidak memberi value bagi saya. Namun setelah didalami lagi, saya tidak banyak menyerap manfaat juga di media ini. Karena tidak tega sampai unistall, saya hanya logout. Dan selesailah saya dengan pikiran-pikiran negatif yang mungkin masuk dari media sosial. Saya sudah berjarak dengannya.

Belum lengkap sampai di situ, WhatsApp pun menjadi target selanjutnya untuk mengurangi kecanduan saya dengan hape. Sama seperti Twitter, saya tidak sampai hati untuk menghapus. Yang saya lakukan adalah membisukan semua story orang-orang. Saya merasa damai telah melakukannya. Tidak ada lagi celah untuk membandingkan diri dengan orang lain.

Setelah menghapus semua media sosial dan aplikasi yang sudah minim manfaat, sekarang saatnya saya menjalani hidup dengan sehat. Fokus dan sadar penuh melakukan hal yang ada di depan mata. Bahagia ada dalam kendali saya. Dan saya berhak melakukan apa yang saya suka sekarang tanpa lagi membanding-bandingkan.

Selaras dengan ucapan Wirda: selamat datang kehidupan nyata.

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon
Newer Posts
Older Posts

Info

Tayang seminggu dua kali

Mutualan, Yuk

  • facebook
  • instagram
  • youtube

Kategori

IPNU

Postingan Viral

Catatan

Sementara kosong dulu, seperti hatiku

Facebook

Isi Blog

  • ►  2024 (15)
    • ►  Apr 2024 (1)
    • ►  Mar 2024 (4)
    • ►  Feb 2024 (1)
    • ►  Jan 2024 (9)
  • ►  2023 (11)
    • ►  Des 2023 (3)
    • ►  Nov 2023 (1)
    • ►  Sep 2023 (3)
    • ►  Jul 2023 (4)
  • ►  2022 (46)
    • ►  Nov 2022 (7)
    • ►  Okt 2022 (7)
    • ►  Sep 2022 (6)
    • ►  Agu 2022 (4)
    • ►  Jul 2022 (9)
    • ►  Mei 2022 (4)
    • ►  Jan 2022 (9)
  • ▼  2021 (22)
    • ►  Des 2021 (5)
    • ►  Sep 2021 (3)
    • ►  Agu 2021 (6)
    • ►  Jun 2021 (1)
    • ▼  Mar 2021 (7)
      • Indomie, Teh Hangat, dan Lamunan Sederhana
      • Draf Pertama yang Kosong
      • Seorang Perempuan di Suatu Syawal
      • Sakit TBC Jalur Kecelakaan Ucapan! Apa Iya?
      • Enak Mana Jaman Soeharto atau Jokowi?
      • Menulis Gakusah Dibikin Ribet Deh?
      • Menghapus Sosial Media Untuk Kedamaian Diri
  • ►  2020 (14)
    • ►  Des 2020 (1)
    • ►  Nov 2020 (2)
    • ►  Jul 2020 (2)
    • ►  Jun 2020 (1)
    • ►  Mei 2020 (1)
    • ►  Apr 2020 (1)
    • ►  Mar 2020 (2)
    • ►  Feb 2020 (4)
  • ►  2019 (3)
    • ►  Mar 2019 (1)
    • ►  Feb 2019 (1)
    • ►  Jan 2019 (1)
  • ►  2018 (57)
    • ►  Okt 2018 (7)
    • ►  Sep 2018 (5)
    • ►  Jul 2018 (11)
    • ►  Jun 2018 (3)
    • ►  Mei 2018 (4)
    • ►  Apr 2018 (2)
    • ►  Mar 2018 (5)
    • ►  Feb 2018 (12)
    • ►  Jan 2018 (8)
  • ►  2017 (71)
    • ►  Des 2017 (7)
    • ►  Nov 2017 (20)
    • ►  Okt 2017 (10)
    • ►  Sep 2017 (8)
    • ►  Agu 2017 (8)
    • ►  Jul 2017 (9)
    • ►  Jun 2017 (5)
    • ►  Mei 2017 (4)

Created with by ThemeXpose | Distributed by Blogger Templates