Menghapus Sosial Media Untuk Kedamaian Diri

by - Maret 11, 2021


7 Maret 2021, dengan penuh sadar dan dengan pertimbangan yang matang, saya menghapus media sosial dari handphone saya. Saya menghapus Instagram, Facebook, dan Massager. Saya juga menghapus aplikasi yang sudah tidak banyak saya gunakan lagi, yakni aplikasi Dana dan Bukalapak.

Bukan hal mudah untuk menghapus aplikasi-aplikasi tersebut, setidaknya saya perlu mengumpulkan niat seminggu lebih.

Keinginan saya untuk jauh dari sosial media memang sudah muncul sejak lama. Saya merasa media sosial telah menyita waktu saya sedemikian nyata. Tidak ada yang saya dapat darinya. Kecuali saya mendapati bahwa saya tidak berkembang dengan positif.

Sebetulnya pun, saya mengakses media sosial hanya sebentar-sebentar. Masalahnya, dalam waktu sebentar itu tidak terasa ternyata saya sudah sejam saja. 

Sejak tidak lagi mengunggah tulisan di media sosial, saya hanya membuka media sosial untuk keperluan iseng-iseng. Hiburan semata. Dan sepertinya juga digerakkan oleh kebiasaan yang sulit dihentikan. Setiap kali melihat satu video menarik di sana, saya memutarnya, dan ketika selesai, di bawahnya berderet video sejenis yang membuat jari ingin memutar lagi dan lagi. Tidak IG tidak FB, sama saja.

Saya pikir, hal ini tidak sehat untuk hidup saya. Saya begitu kecanduan hingga tidak bisa lepas dari media sosial. Maka satu-satunya cara pintas adalah menghapusnya. Dan saya melakukannya.

Saya ingin cerita kenapa akhirnya saya berani menghapus sosial media tadi.

Ini bermula ketika suatu hari, ada teman saya yang cukup aktif Twitter dan Instagram-an tiba-tiba pamit. Akhirnya saya tahu, ternyata teman saya ini sudah unistall Instagram dan Twitter dari hapenya. Kalau Facebook, teman saya ini memang sudah lama sekali tidak bermain Facebook.

Teman saya ini namanya Naili Wirdatul Muna, teman dekat sekaligus sahabat saya. Nah, karena saya memang sudah ada keinginan menghapus media sosial sejak lama, akhirnya saya tanya-tanya sama Wirda. Bagaimana rasanya setelah menghapus aplikasi-aplikasi tersebut. Saya tentu penasaran.

Katanya, setelah unistall aplikasi-aplikasi tersebut, sekarang ia justru bingung harus ngapain. Biasanya ia mengisi waktunya untuk mengakses media sosial, dan ketika media sosial sudah tidak ada, ia belum menemukan kesibukan lain. Padahal, tujuan awalnya untuk memfokuskan diri menggarap skripsi. Saya sih memaklumi. Barangkali memang perlu transisi untuk beranjak dari kebiasaan lama menuju kebiasaan baru.

Kabar terakhir dari Wirda, karena ruang kosong itu belum terisi dengan baik, dia menumpahkannya untuk ikut jaga kedai milik IPPNU yang berada di belakang ITS NU kalau tidak salah.

Dari pengalamannya ini, saya jadi banyak berdiskusi dengannya. Menariknya, ternyata saya dan Wirda ini punya kesamaan untuk belajar meningkatkan kemampuan diri. Kami banyak mengobrol soal konsep minimalis, buku-buku pengembangan diri, dan hal menarik lain.

Hingga pada tepat pukul 00.00 Ahad, 7 Maret 2021, tidak ada angin tidak ada hujan, Wirda mengirimi saya sebuah link yutub. Menurut pengakuannya, ia menemukannya secara kebetulan.


Saya baru membukanya esok harinya, dan barulah saya ketahui, link tersebut merupakan link Youtube yang isinya seseorang sedang monolog menerangkan satu hal. Sesuatu menarik perhatian saya ketika saya melihat judul video yutub itu: digital minimalism. Dari deskripsi, yang membawakan adalah seorang perempuan hebat bernama Marissa Anita. Seseorang yang kemudian karena auranya, saya langsung memasukkannya ke dalam daftar tokoh inspirasi saya, bergabung dengan Dian Sastro, Maya Septa, Najwa Shihab, dll.


Karena video inilah saya akhirnya menghapus banyak aplikasi yang tidak bermanfaat bagi saya. Saya ingin menciptakan ruang bosan saya dan membiarkan pikiran saya berkelana ke sudut-sudut kreatif. Setidaknya begitu salah satu isi video tadi.

Ini adalah hari ketiga saya terbebas dari media sosial. Saya memang belum menemukan ketenangan seperti yang saya harapkan. Namun setidaknya, saya sudah tidak lagi sedikit sedikit menengok beranda Facebook dan Instagram apa fenomena yang sedang hits saat ini.

Tujuan lain kenapa saya menghapus media sosial adalah karena saya ingin fokus pada hal yang saya minati: menulis. Dulu, saya bermedia sosial salah satunya karena ingin membagikan tulisan saya. Namun setelah saya keluar jalur, saya lebih banyak mengamati kehidupan orang lain.

Ada satu aplikasi yang sebenarnya tidak saya hapus. Adalah Twitter. Saya kira ini media sosial yang aman karena saya tidak bakal banyak melihat kehidupan orang lain. Mengingat, justru disinilah orang-orang low budget bangga dengan statusnya.

Tapi setelah dipikir-pikir, saya juga kecanduan untuk mengamati kerecehan demi kerecehan yang disajikan warga Twitter. Semula saya masih bertahan dengan cara unfollow orang-orang yang tidak memberi value bagi saya. Namun setelah didalami lagi, saya tidak banyak menyerap manfaat juga di media ini. Karena tidak tega sampai unistall, saya hanya logout. Dan selesailah saya dengan pikiran-pikiran negatif yang mungkin masuk dari media sosial. Saya sudah berjarak dengannya.

Belum lengkap sampai di situ, WhatsApp pun menjadi target selanjutnya untuk mengurangi kecanduan saya dengan hape. Sama seperti Twitter, saya tidak sampai hati untuk menghapus. Yang saya lakukan adalah membisukan semua story orang-orang. Saya merasa damai telah melakukannya. Tidak ada lagi celah untuk membandingkan diri dengan orang lain.

Setelah menghapus semua media sosial dan aplikasi yang sudah minim manfaat, sekarang saatnya saya menjalani hidup dengan sehat. Fokus dan sadar penuh melakukan hal yang ada di depan mata. Bahagia ada dalam kendali saya. Dan saya berhak melakukan apa yang saya suka sekarang tanpa lagi membanding-bandingkan.

Selaras dengan ucapan Wirda: selamat datang kehidupan nyata.

You May Also Like

0 Respon