Draf Pertama yang Kosong
Saya menggaruk kepala keras-keras. Selain gatal, ini adalah ekspresi kekesalan. Kesal setelah saya barusan melewati beberapa menit dengan membuka-tutup hape tanpa tujuan yang jelas.
Beberapa hari yang lalu saya nekat menghapus semua sosial media di ponsel. Keputusan itu saya ambil setelah saya sadar kalau waktu saya sudah terlalu banyak disita untuk scroll hal-hal tidak penting. Menghapusnya adalah cara agar saya bisa fokus hanya untuk hal-hal yang bernilai.
Dan tadi, menemukan diri saya masih tertarik sisa-sisa magnetis sosial media, saya jadi kesal.
Saya menghela nafas panjang. Dalam keadaan masih merebah di atas kasur yang tidak rata, saya memejamkan mata. Sebentar merenung.
Sial. Tidak ada yang bisa saya tangkap dari renungan barusan. Kecuali sebuah kesadaran bahwa ini terjadi dan saya harus hadapi.
Saya kemudian membuka aplikasi note. Saya pikir, waktu yang biasanya saya habiskan untuk bersosial media, bisa saya alihkan untuk menulis.
Bukan hal mudah ketika selanjutnya saya dihadapkan dengan draf kosong. Apa yang harus saya tulis. Saya menatap draf kosong lamat-lamat. Memejamkan mata mencoba menyalakan ruang imajinasi. Menyelam sedalam mungkin.
Oh tidak. Saya tidak menemukan apapun. Saya justru tersedak setelah menemukan kekeringan dalam kedalaman ruang imajinasi saya dan membuat mau tidak mau saya membuka mata. Saya tidak kuat. Saya tidak bisa.
Ruang berpikir saya kosong. Imajinasi saya kering. Saya tidak bisa memaksa. Memaksa hanya akan membuat saya tersiksa. Lantas kalimat apa yang bisa saya tulis sebagai draf pembuka dalam menulis kali ini?
Saya kembali menghela nafas.
Saya kemudian duduk. Menyenderkan punggung ke tembok. Barangkali berganti posisi bisa membuat pikiran saya cair untuk menulis sesuatu.
Random. Saya menulis random. Bebas. Saya pernah mendengar entah dari siapa bahwa draf pertama dibuat memang untuk dibunuh. Entah dengan cara dimutilasi, diperkosa, dicincang, dimasak, atau dengan cara apapun itu.
Dan benar. Saya menulis draf pertama untuk saya dibunuh. Saya membunuhnya dengan cara menghabisi kalimatnya. Jadinya, saya menulis lalu saya habisi. Menulis lalu habisi. Menulis lalu habisi. Hingga beberapa menit kemudian saya berhenti dan kembali menatap layar. Saya heran. Yang ada, tidak ada draf pertama yang tercipta. Kosong.
Saya jadi kesal. Bosan. Merebah lagi. Lalu keluar dari aplikasi note ini.
Malam ini, saya gagal menulis.
0 Respon