Sakit TBC Jalur Kecelakaan Ucapan! Apa Iya?

by - Maret 14, 2021

Saya sekolah di Madrasah Ibtidaiyah, dilanjut SMP, dan MA di sebuah kecamatan di Pekalongan. Selama dalam masa itu saya menyadari bahwa saya murid yang jarang sakit. Sehingga, saya nyaris tidak pernah absen sekolah. Hal itu berbeda dengan hampir semua siswa sekelas yang dalam satu semester pasti punya catatan sakit, setidaknya meriang atau masuk angin.


Sewaktu di MA, saya punya sahabat namanya Safri. Saya cukup akrab dengannya sehingga rasa-rasanya, apapun obrolan kami pasti nyambung.

Pernah suatu kali, karena kepikiran hal di atas, saya berbincang dengan Safri. Bukan berbincang ding, saya diskusi. Saya kira diskusi juga kurang tepat. Mungkin lebih tepatnya, saya memberi pernyataan. Hmm, mungkin lebih cocoknya lagi saya ngoceh.

"Fri, saya ini heran. Kok orang lain pasti ada saja sakitnya pas masa sekolah. Entah meriang entah masuk angin dll. Sementara saya, nyaris seperti tidak pernah sakit. Makanya saya berangkat terus. Saya gak tau ya, mungkin ada rahasia di balik ini. Mungkin ntar saya sakitnya bakal totalan, tidak nyicil seperti kebanyakan orang."

Mendengar celotehan saya, Safri hanya tersenyum. Tanpa komentar.

Beberapa bulan setelah itu, saya punya masalah. Masalah itu benar-benar masuk pikiran dan menyerang mental saya hingga drop. Dan setelahnya, saya sakit.

Semula saya berfikir ini sakit biasa. Sehingga saya pun menanganinya dengan cara biasa. Seminggu paling juga sembuh.

Tetapi, seminggu lebih saya masih sakit. Tubuh saya melemah. Dan bertambahnya waktu semakin melemah.

Saya kemudian dibawa ke dokter umum. Diperiksa. Dikasih resep. Meminumnya rutin.

Seminggu kemudian saya semakin lemah, tidak ada tanda-tanda perubahan. Saya dibawa lagi ke dokter umum, dengan orang yang berbeda. Diperiksa lagi. Disuntik. Dikasih obat. Katanya, gejala tipes.

Kesembuhan ternyata belum kunjung menghampiri saya. Saya ke dokter lagi, dokter yang lainnya lagi. Barangkali dokter memang cocok-cocokan. Diperiksa lagi. Dikasih resep lagi. Meminumnya lagi seminggu.

Masih belum juga kunjung membaik. Saya ke puskesmas. Diperiksa lagi. Dikasih resep lagi. Dan gagal lagi.

Saya masih saja sakit. Dan semua dokter yang saya kunjungi hanya mentok memberi statment bahwa saya gejala tipes. Sementara itu, tubuh saya makin lemah. Makin memperihatinkan.

Dibawanya lagi saya ke dokter umum, yang lainnya lagi. Dicek lagi. Dikasih resep lagi. Meminumnya lagi. Dan lagi lagi, tidak ada perkembangan.

Disela-sela itu, sebetulnya keluarga saya ingin berupaya memasukkan ke rumah sakit, namun karena soal ekonomi, keputusan ke sana selalu berhenti di angan saja.

Hingga suatu hari, karena melihat saya semakin memprihatinkan dan tidak punya perkembangan, guru-guru saya di MA menjenguk saya dan sekaligus membawa saya ke Puskesmas. Saya di bawa ke puskesmas yang ruangan ruang inap, bukan ruang yang sebelumnya saya ngantri.

Saya sudah sulit berjalan. Dipapahnya saya menuju ruang pemeriksaan. Dicek tensi dan sebagainya. Dan mereka bilang: "kami sudah tidak sanggup, kami buatkan surat rujukan ke rumah sakit."

Surat rujukan dibuatkan, saya dan guru-guru hebat saya kembali ke mobil. Kemudian pulang, mengabari bapak saya, mengumpulkan identitas penting, menuju balai desa untuk mengurus entah surat apa. Sementara saya di rumah, guru-guru saya menuju rumah sakit untuk mengambil antrian.

Dua jam kemudian saya dibawa lagi oleh mereka, kali ini ke rumah sakit. Bapak saya ikut. Dengan tubuh yang tak berdaya, saya pasrah.

Masuk rumah sakit, saya diambilkan kursi roda. Bapak saya mendorong dan saya dibawanya ke antrian poli penyakit dalam. Seusai ngantri beberapa menit, saya masuk. Diperiksa oleh dokter yang berpengalaman. Dia bilang: "kenapa baru di bawa sekarang, sudah parah begini." Plang, saya kaget, itu berarti ada yang serius.

Dengan cepat, dokter mengambil tindakan. Saya lupa, mungkin saat itu saya disuntik.

"Kamu harus rawat inap."

Bapak saya nampak gelagapan. Bapak tidak mengira.

Bersamaan dengan itu, asistennya sedang menelpon bagian lain menanyakan ruang yang tersedia. Dan kebetulan, satu ruang baru saja ditinggalkan.

Saya kemudian disiapkan untuk rawat inap. Dan setelah selesai, saya dibawa keluar bersama asisten tadi dengan infus yang sudah menempel. Saya langsung dibawa ke ruang ronsen, disuruh merebah, disuruh berdiri, discan dengan alat yang baru saya lihat.

Dan kemudian saya dibawa ke sebuah ruang. Saya memasukinya, dan di ruang itu tampak penuh pasien lain. Dipojok ruangan itulah akhirnya saya ditempatkan.

Beberapa hari kemudian hasil ronsen muncul, dan ternyata, saya sakit TBC Paru-paru. Gila, pikir saya. Saya sakit serius. Bukan lagi sekadar sakit meriang, melainkan sakit TBC. Tuberculosis. Penyakit yang setelah saya cek di google, merupakan penyakit mematikan di dunia. Saya menangis. Menangis bukan karena sakit, namun menangis kenapa saya merepotkan keluarga semacam ini.

Saya rawat inap di sana selama 8 hari. Dan syukurnya, semua biaya ditanggung BPJS. Saya pulang, lega.

Tapi kelegaan saya hanya sebentar. Saya tetap saja sakit. TBC adalah penyakit yang harus diobati dalam kurun waktu minimal 6 bulan secara terus-menerus. Itu sebabnya saya harus bolak-balik rawat jalan.

Diumur ke 3 bulan pengobatan, saya muncul penyakit lain. Dan itu adalah kelenjar di leher. Setelah diperiksa, ternyata, virus TBC dalam paru-paru saya sudah merambat ke kelenjar saya. Saya kembali menangis. Ini apa lagi ya Tuhan.

Kelenjar di leher itu ternyata tidak cukup setia bertempat di satu tempat. Saat kelenjar di leher tengah sudah hampir sembuh, muncul kelenjar di leher bagian lain, begitu seterusnya selama berbulan-bulan. Jujur, saya stres.

Tiga bulan. Empat bulan. Enam bulan. Sembilan bulan. Dan berbulan-bulan. Saya belum kunjung sembuh.

Saya bolak-balik setiap sebulan dua kali ke rumah sakit untuk rawat jalan. Dan saya baru sembuh setahun setengah kemudian. Perjuangan yang begitu melelahkan dalam hidup saya.

Dan setelah menjalani semua itu, saya sadar saya pernah berkata sesuatu. Dan perkataan itu benar. Seakan doa yang terkabul. Saya sakit totalan. Sakit panjang berbulan-bulan.

You May Also Like

0 Respon