• Halaman Awal
  • Diri Sendiri
facebook instagram Email

Anam Sy

 

Di bawah terik sinar matahari, sebuah pohon bergoyang-goyang oleh angin siang hari yang kencang. Ke kiri. Ke kanan. Menunduk. Menegak.

Ketahanannya dalam bertahan hidup meski berdiri sendiri di pinggir jalan raya, pasti karena pohon itu tak pernah sambat apalagi marah.

Aku saksinya. Pernah ada orang gila yang lewat dan begitu melihat pohon itu, ia kencing di sana. "Aku sirami kau wahai pohon, tetaplah tumbuh," begitu katanya setelah mendendangkan mantra-mantra.

Bukan hanya itu, setiap kali ada anak-anak main petak umpet, pohon itu selalu jadi andalan bersembunyi. Anehnya, sekalipun pohon itu secara kasat mata ringkih dan dedaunannya sedikit, namun bocah-bocah yang menaikinya tak pernah dibuatnya jatuh, bahkan teman-temannya sulit melihat mereka. Dan biasanya, setelah penantian panjang yang membuat mereka kebelet, tak peduli apapun pasti ada salah satu dari mereka kencing dari atas. Mengencingi pohon itu lagi.

Pohon itu agaknya memang tidak ditakdirkan Tuhan untuk berbuah. Jikapun akan berbuah, benih-benih buah yang dikandungnya selalu gugur. Gugur bukan karena ia tidak bisa menjaga dirinya, tetapi karena lingkungannya yang memang toxic. Bocil-bocil selalu menyerampangi setiap pulang sekolah. Bus dan truk besar juga selalu lewat begitu saja tanpa menundukkan kepala sehingga menyenggol sebagian rantingnya. Bagaimana anak-anak dalam kandungku mau bertumbuh, tanyanya kepada sendiri.

Sebaliknya, pohon itu sepertinya sedang ditakdirkan untuk didzolimi. Tubuhnya sering dipaku dan ditali oleh mmt iklan-iklan kartu perdana, caleg-caleg, bahkan badut dan sedot WC. Namun pohon itu juga ditakdirkan untuk memiliki sifat yang baik hati. Ia tabah dan terus menari diterpa angin siang hari. Baru ketika gerimis turun, biasanya saat malam hari, ia baru berani menangis.

#belajarmenulis #ceritafiksi


Share
Tweet
Pin
Share
No Respon


Adakah malam yang lebih asing dari malam ini, pikirnya.

Bima masih berada di kamarnya saat malam datang. Ia sama sekali belum menyentuh cahaya lain selain cahaya lampu kamarnya yang remang. Di kamarnya yang berantakan, ia melamun, menangkap apa saja yang melintas dalam pikirannya.

Seandainya waktu bisa diputar, ia tentu tidak akan menolak ajakan Mei untuk berpacaran. Dipikirannya dulu, Mei hanya cari perhatian tanpa menjadi dirinya sendiri. Bima tidak suka dengan hal apapun yang tidak apa adanya.

Sekarang, berseliweran di Instagramnya foto-foto Mei bersama suami dan anaknya yang menggemaskan. Mei tampak begitu anggun menjadi seorang ibu dihadapan anaknya, juga sangat patuh di depan suaminya. Bima lupa, siapapun bisa berubah, termasuk Mei. Mei benar-benar menjadi dirinya sendiri sekarang. Ia menyayangkan dirinya sendiri, kenapa ia dulu tidak mengiyakan saja ajakan Mei dan kemudian menuntunnya menjadi dirinya sendiri.

Seandainya waktu bisa diputar, ia tentu lebih memilih kuliah daripada sok idealis berjuang menjadi penyanyi. Jika ditarik waktu yang panjang, harusnya ia sudah sarjana. Barangkali pula, ia sudah berkerja di sebuah perusahaan mentereng karena kecerdasan yang tak diragukan. Bayangkan, saat di sekolahnya dulu dari SD sampai SMA, tidak pernah ia keluar dari rangking tiga besar. Setiap kejuaraan yang diikuti, selalu ada piala yang dibawanya pulang.

Namun, ia lebih memilih menyanyi dan menyanyi, dari panggung ke panggung. Mencoba keberuntungan di setiap audisi. Seperti yang kita tahu, yang selanjutnya menghampiri bukanlah keberuntungan, melainkan pendemi yang membuat idealismenya mulai mati. Tak ada lagi job nyanyi. Di kehidupannya kini, yang tersisa hanyalah bunyi-bunyian token listrik yang sekarat nyaris mati.

Bunyi itulah yang menyadarkannya dari lamunan. Ia segera berdiri dan keluar dari kamar. Akhirnya ia bersinggungan juga dengan cahaya lain selain cahaya kamarnya.

Dengan tenang, ia berjalan memunggungi rumahnya menuju konter yang jauhnya tidak sampai tiga ratus meter. Dalam langkahnya yang tidak ragu, ia melantunkan lagu patah hati bersamaan dengan jemarinya yang membuka Instagram Mei.

#ceritafiksi


Share
Tweet
Pin
Share
No Respon


Sejak pukul setengah sembilan tadi, hujan deras mengguyur kota ini dengan tegas. Tanpa aba-aba angin mobat-mabit ataupun gerimis panjang, hujan turun begitu saja.

Syahdunya, PLN sepertinya ingin meromantisir keadaan hingga terjadilah pemadaman listrik.

Dalam hujan yang lebat, sesekali kilatan petir, dan lampu padam, aku mau tak mau harus menerabas itu semua untuk mengantarkan jas hujan Bapak yang sedang mengaji di Masjid. Bapak sudah pasti tidak bawa jas hujan.

Sehabis mengantar, aku mengarahkan motor ke perempatan jalan. Malam ini malam Sabtu, sudah barang pasti ada pasar tiban dan sudah pasti pula ada wedang jahe ronde bang Dul Jaker di sana. Aku memesan dua bungkus.

Di depan rumah, aku menyuguhkan ronde dalam cangkir hadiah sebuah merek kopi. Saat menyeruputnya, ada kenikmatan yang tak bisa diungkapkan oleh sebuah kalimat. Yang jelas, tubuhku menjadi hangat disusul rentetan sendawa yang melegakan.

Menyendiri di depan rumah malam-malam, dengan hujan yang mulai mengecil dan lampu mati, sangat cocok digunakan untuk melamun, atau kalau rada jernih bisa untuk merenung atau merancang sesuatu, atau bisa pula apes jika saja masa lalu tiba-tiba menyergap begitu saja. Lengkap sudah malam ini untuk menjadi sebuah puisi.

Belum khusyuk benar aku mencoba menikmati kesyahduan ini, rintik hujan kehilangan suaranya, disusul kemudian lampu-lampu menyala. Ketika aku melihat lagi ke atas, rembulan sudah ada di sela-sela awan. Cukup terang.



Kalau sudah begini, artinya adalah: aku memang tidak ditakdirkan puitis. wkwkwk


Share
Tweet
Pin
Share
No Respon
Saat saya dan Nanang sedang melaporkan kasus pencurian motor kami di Polsek, kami mencoba bersikap tenang. Salah satunya dengan mencoba bercanda.

"Wis, gak usah kuatir Nang. Bar iki kita healing. Kita healing ke Dieng," ucap saya di ruang Kasatreskrim disela-sela pak polisi mengetik laporan kami.

"Tapi aku mbonceng awakmu, yo?" saya menambahi.

Untungnya selera humor Nanang bagus juga. Ia langsung menimpali.

"Ojo. Motorku ilang. Motormu wae piye."

Dengan empuk langsung saya sambar, "lho, wekku podo wae sik ilang."

Gerrrrrrr. Saya, Nanang, dan dua polisi di ruang itu tertawa. Tertawa getir tentu saja.

Kemarin, akhirnya kami jadi ke Dieng sekalipun motor kami belum ditemukan. Sudah barang pasti kami mbonceng.

Bersamaan dengan Dieng Culture Festival, kami healing. Bersenang-senang. Bernyanyi. Menyalakan api unggun. Melambungkan lampion bersama harapan. Melupakan segala beban.

Di antara proses healing itu, kami juga berkenalan dengan orang-orang. Termasuk orang-orang baru yang mendirikan tenda di depan tenda kami.

Hingga kemudian, kami mendapati kabar, salah satu teman baru kami kemalingan hape saat berdesakan menuju panggung utama. Hape Samsung A23 kalau tidak salah. Harganya nyaris 4 juta.

Duh, jane konsep healing ki piye ta????? Wkwkwkwk


Share
Tweet
Pin
Share
No Respon

Beberapa waktu yang lalu, lebih tepatnya dua hari menjelang ulang tahun, motor saya kemalingan. Bukan cuma milik saya, melainkan juga milik kawan saya Nanang dan satu motor lain. Ya, dalam semalam itu tiga motor digasak sekaligus.

Cerita dimulai ketika kami main badminton di GOR pinggir jalan raya. Setiap malam Selasa kami memang memiliki rutinan minton di tempat tersebut. Sejauh itu, belum ada kejadian semacam ini dalam waktu lama. Bahkan sebelum-sebelumnya pun aman-aman saja motor terparkir di depan meski sampai dini hari.

Pukul 01.00 dini hari, satu rombongan pulang. Pada saat bersamaan Eko yang sebelumnya menjaga motor di luar, gantian masuk dan ingin bermain. Sebetulnya saya juga sudah berkemas ingin pulang, namun urung ketika mengetahui hanya tinggal beberapa orang di dalam. Total ada 9 orang di dalam, termasuk saya.

Saya mencoba untuk keluar memastikaan motor aman, dan memang aman. Saya masuk kembali dan kemudian bermain setelah sebelumnya hanya menyaksikan saja. Saat bermain, dua teman saya pulang sehingga tersisa 7 orang saja. Dalam permainan yang lemas, tak bergairah, dan asal-asalan, seharusnya sudah menjadi sebuah tanda serius bahwa ada apa-apa, namun kami lebih memilih melanjutkan.

Hingga kemudian, sekitar pukul 01.30 dini hari, depppp, listrik padam. Kami sontak ketakutan karena begitu gelap. Sambil bergegas, kami mencoba mengambil barang-barang kami. Nanang segera ke depan untuk mengecek token listrik, memang habis katanya. Kemudian, ia kembali masuk dan mengabarkan sesuatu dengan nada tidak beres, “eh, sopo sing weruh motorku. Motorku raono.”

Saya melihat kekhawatiran di sana, jarang-jarang Nanang berwajah semacam itu. Kami panik namun tetap mencoba untuk berpikir yang tidak-tidak. Baru ketika saya dan kawan-kawan keluar, ternyata, motor saya juga hilang. Sulit untuk mengatakan bahwa ada orang yang iseng, lha wong motor saya sudah terkunci stang.

Dalam keadaan panik, kami mencoba berpencar. Saya dan Narul ke arah Timur. Nanang dan Zilin ke arah barat. Kami menduga pencurian baru saja dilakukan dan belum jauh dari tempat ini.

Dalam pencarian jejak saya bersama Narul, saya beremu dua kawan kami yang pulang tadi sedang makan di sebuah warung nasgor, saya segera meminta mereka untuk ikut membantu pencarian. Di perempatan Karangdadap, saya bertanya segerombolan orang apakah melihat Vario Putih. Mereka bilang, tadi melihat motor putih di step berbelok ke kiri. Tanpa pikir panjang, saya langsung tancap gas mengikuti arahan. Di Kalilembu, melihat angkringan sedang buka, saya kembali bertanya. Ya, mereka melihat motor distep kencang ke arah utara. Tapi ketika saya di Kebonsari menanyai serombongan pemuda sedang mengecat jalan, mereka tidak melihatnya. Saya menanyai beberapa orang lain, tapi nihil, mereka juga tidak melihatnya.

Merasa tidak ada lagi jejak yang kami temukan, kami mengabari kawan lain. Nanang mendapat informasi, kakaknya yang berada di Angkringan Sabro melihat motor itu dinaiki seseorang ke arah Kedungwuni. Jejaknya hanya itu, selebihnya nihil.

Akhirnya kami berkumpul lagi. Sebelum itu, saya meminta Narul untuk mengantarkan saya ke Masjid dulu, saya mau sholat. Barulah setelah saya sholat, saya kemudian tersadar, saya sebetulnya sudah sholat isya sebelum berangkat minton.

Setelahnya saya ke tempat semula. Di sana sudah ada beberapa orang. Ketika tiba di sana, tepatnya di toko kelontong depan GOR, ternyata ada CCTV. Ketika masuk ke sana, Eko tampak sedang menaiki kursi plastik melihat rekaman detik-detik pencurian.

Sebelum itu, mungkin saya perlu bercerita mengapa Eko sampai bisa melihat rekaman CCTV. Saya baru tahu cerita ini tiga hari setelah kejadian.

Ketika saya, Narul, Nanang, dan Zilin berpencar, Eko yang kala itu memegang kunci tentunya berusaha untuk membereskan GOR dulu. Setelah menutup pintu GOR, Eko melihat ada CCTV yang mengarah ke GOR di toko kelontong tak jauh dari TKP.

Bersama Anam Biola dan Fuad, Eko mencoba mengetuk pintu rumah pemilik tersebut. Berkali-kali diketuk, pemilik tampaknya sedang tertidur pulas. Eko yang mempunyai ketenangan batiniyah, kemudian melihat ada nomor telepon di spanduk toko. Ditelponnya pemilik itu dan setelah beberapa kali akhirnya diangkat. Yang mengangkat adalah ibu-ibu. Eko menjelaskan panjang lebar kronologinya.

Beberapa menit kemudian, ibu-ibu tadi bersama suaminya keluar. Yang membuat Eko, Fuad, dan Anam Biola terkejut adalah si suami membawa pentungan. Hal itulah yang membuat Eko merasa perlu menjelaskan lagi.

Setelah penjelasan itu, si pemilik toko minta maaf. Katanya, mereka kan tidak kenal, tiba-tiba malam-malam ada yang nelpon, dikiranya Eko dkk mau merampok atau apa sehingga dibawanya pentungan untuk berjaga-jaga.

Eko dkk akhirnya dipersilahkan untuk menunggu dan beberapa waktu kemudian pintu toko dibuka dan rekaman diputarkan. Pada saat bersamaan, pemilik GOR datang dan Eko kembali menjelaskan lagi kronologi untuk kesekian kali. Pemilik GOR ternyata juga melihat hal yang mencurigakan di rumah tetangganya. Ia memergoki seseorang sedang duduk di atas motor tetangganya, yang dideheminya dan membuat dua orang itu kabur. Setelah beberapa jam setelahnya, saya mendapat kabar, satu motor tetengganya itu juga hilang. Bisa dipastikan, kepergoknya oleh pemilik GOR adalah percobaan pencurian yang kedua di rumah itu.

Setelah menunggu beberapa menit, video CCTV akhirnya menampilkan detik-detik aksi pencurian dilakukan. Sebuah motor matik, tidak jelas jenis apa, melintas pelan dari barat dan berhenti di depan GOR. Seorang lelaki berbaju merah yang membonceng, kemudian turun dan berjalan pelan menuju rentetean motor yang terparkir. Sebentar kemudian, tidak sampai hitungan menit, satu motor dibobol, dituntunnya, dan setelah cukup berjarak dari pintu yang terbuka, motor di-gas bersama kawannya ke arah timur. Itu adalah motor saya, Vario 125 bernomor polisi G 4113 DH.

Kurang dari 10 menit, dua orang itu datang lagi berboncengan dari arah timur. Dan kembali, pria berbaju merah lah yang melancarkan aksinya untuk kedua kali. Setelah berjalan pelan dan memastikan keadaan lengang, motor Beat milik Nanang dibobol, dituntun kaluar, dan di-gas menuju arah Barat, berbeda arah dengan motor saya.

Setelahnya, kami berkumpul. Kesimpulannya, segera bertanya orang pintar mumpung masih hangat. Kami kembali dibagi dua kelompok, ada yang berkunjung ke kyai A dan ada yang berkunjung ke kyai B. Saat itu juga.

Ringkas cerita, setelah menemui kyai, kami ke pak Lurah untuk melaporkan kejadian ini. Baru setelah itu kami ke kantor polisi. Di sana, setelah menceritakan kejadian, polisi menyuruh saya dan Nanang untuk kembali esok paginya dengan membawa dokumen surat kendaraan motor.

Hingga saat ini, kasus ini belum ada titik terang. Apa yang saya rasakan sekarang adalah ya… ya tidak merasakan apa-apa. Saya sudah di titik pasrah. Apa yang terjadi itulah yang sebenarnya terjadi.


Share
Tweet
Pin
Share
No Respon

 

18 Agustus 2022

Tepat di hari ulang tahunku hari ini, aku harus menerima kenyataan pahit. Selasa dini hari, motorku dicuri bersama motor miliknya Nanang. Sama sekali tidak ada rasa marah, kecewa, atau bersedih yang aku rasakan. Aku sudah berada dalam tahap pasrah. Sehingga, kejadian ini sama sekali tidak bisa mengusik ketenangan hidupku. Aku tetap bersikap seperti biasanya.

Tentunya kejadian ini menjadi pelajaran besar bagiku untuk melangkah ke depan. Apalagi usiaku sudah beranjak dewasa, 23 tahun, sudah waktunya untuk menata ulang merancang semuanya lagi dari nol.

Aku gemas dengan nasibku yang semacam ini. Tapi aku tahu ke mana aku akan melampiaskan kegemasan ini. Aku ingin menempa diri sekeras mungkin untuk menjadi pribadi yang lebih baik.

Tidak ada yang mudah. Aku hanya ingin meningkatkan kualitas hidupku dengan mengusahakan cara apapun. Aku ingin menunaikan apa kebutuhanku, apa keinginanku, apa yang ingin aku miliki dalam kehidupanku.

Aku ingin berat badan naik, aku ingin hidup sederhana dan santai, aku ingin punya kekasih yang asik, aku ingin bisa menularkan semangat kepada orang-orang, aku ingin bermanfaat bagi diri sendiri. Kehidupanku harus diliputi dengan kebahagiaan dan kebahagiaan. Membaca buku, menulis cerita, berolahraga, beropini akan sesuatu, dan lain halnya.

Sudah 23 tahun. Kapan lagi waktunya untuk membangun semuanya lagi dari awal kalau bukan sekarang. Tuhan memang sedang menjewerku agar aku segera bersungguh-sungguh kalau ingin sesuatu. Bukan hanya diam di tempat dan cuma menunggu kesempatan datang. Justru aku harus bersiap-siap untuk menunggangi segera jika kesempatan datang.

Sederhana saja sebenarnya mempersiapkan itu semua. Pertama, aku hanya perlu bangun lebih pagi dan melakukan olahraga seminggu setidaknya tiga kali. Berlanjut bekerja dengan pikiran senang. Sore hari atau malam tinggal membaca buku dan menulis sebanyak-banyaknya. Sesekali beropini akan sesuatu. Segalanya harus berjalan rutin untuk mencapai target terbaik pencapaian yang ingin aku raih. Hidup bisa berjalan sesuai rencana kalau aku bahagia menjalani setiap waktu yang berjalan.

Tidak kok. Aku sama sekali tidak membenci diriku sendiri. Pun tidak membenci kehidupan ini. Semakin ke sini aku merasa semakin memiliki spiritualitas yang tinggi untuk memaknai kehidupan apapun peristiwa di dalamnya. Pikiranku sekarang jauh lebih sederhana, masih hidup dan bisa makan setiap hari saja sudah menjadi hal besar yang patut disyukuri. Bahwa hidup tidak perlu punya pencapaian yang wah atau apa. Ya yang rileks rileks saja.

Soal masa depan, aku kok begitu yakin kelak kaya raya, punya lingkup pertemanan yang sehat, punya istri yang cantik dan cerdas, dan dipenuhi dengan keberuntungan. Yakin sekali aku.


Share
Tweet
Pin
Share
No Respon
Newer Posts
Older Posts

Info

Tayang seminggu dua kali

Mutualan, Yuk

  • facebook
  • instagram
  • youtube

Kategori

IPNU

Postingan Viral

Catatan

Sementara kosong dulu, seperti hatiku

Facebook

Isi Blog

  • ►  2024 (15)
    • ►  Apr 2024 (1)
    • ►  Mar 2024 (4)
    • ►  Feb 2024 (1)
    • ►  Jan 2024 (9)
  • ►  2023 (11)
    • ►  Des 2023 (3)
    • ►  Nov 2023 (1)
    • ►  Sep 2023 (3)
    • ►  Jul 2023 (4)
  • ▼  2022 (46)
    • ►  Nov 2022 (7)
    • ►  Okt 2022 (7)
    • ▼  Sep 2022 (6)
      • Sebuah Pohon yang Bergoyang
      • Malam yang Asing Di Sebuah Kamar
      • Ketika Hujan
      • Usaha Healing yang Gagal
      • Kemalingan Motor
      • Tulisan Saat Pergantian Usia
    • ►  Agu 2022 (4)
    • ►  Jul 2022 (9)
    • ►  Mei 2022 (4)
    • ►  Jan 2022 (9)
  • ►  2021 (22)
    • ►  Des 2021 (5)
    • ►  Sep 2021 (3)
    • ►  Agu 2021 (6)
    • ►  Jun 2021 (1)
    • ►  Mar 2021 (7)
  • ►  2020 (14)
    • ►  Des 2020 (1)
    • ►  Nov 2020 (2)
    • ►  Jul 2020 (2)
    • ►  Jun 2020 (1)
    • ►  Mei 2020 (1)
    • ►  Apr 2020 (1)
    • ►  Mar 2020 (2)
    • ►  Feb 2020 (4)
  • ►  2019 (3)
    • ►  Mar 2019 (1)
    • ►  Feb 2019 (1)
    • ►  Jan 2019 (1)
  • ►  2018 (57)
    • ►  Okt 2018 (7)
    • ►  Sep 2018 (5)
    • ►  Jul 2018 (11)
    • ►  Jun 2018 (3)
    • ►  Mei 2018 (4)
    • ►  Apr 2018 (2)
    • ►  Mar 2018 (5)
    • ►  Feb 2018 (12)
    • ►  Jan 2018 (8)
  • ►  2017 (71)
    • ►  Des 2017 (7)
    • ►  Nov 2017 (20)
    • ►  Okt 2017 (10)
    • ►  Sep 2017 (8)
    • ►  Agu 2017 (8)
    • ►  Jul 2017 (9)
    • ►  Jun 2017 (5)
    • ►  Mei 2017 (4)

Created with by ThemeXpose | Distributed by Blogger Templates