Di bawah terik
sinar matahari, sebuah pohon bergoyang-goyang oleh angin siang hari yang
kencang. Ke kiri. Ke kanan. Menunduk. Menegak.
Ketahanannya dalam bertahan hidup meski berdiri
sendiri di pinggir jalan raya, pasti karena pohon itu tak pernah sambat apalagi
marah.
Aku saksinya. Pernah ada orang gila yang lewat dan
begitu melihat pohon itu, ia kencing di sana. "Aku sirami kau wahai pohon,
tetaplah tumbuh," begitu katanya setelah mendendangkan mantra-mantra.
Bukan hanya itu, setiap kali ada anak-anak main
petak umpet, pohon itu selalu jadi andalan bersembunyi. Anehnya, sekalipun
pohon itu secara kasat mata ringkih dan dedaunannya sedikit, namun bocah-bocah
yang menaikinya tak pernah dibuatnya jatuh, bahkan teman-temannya sulit melihat
mereka. Dan biasanya, setelah penantian panjang yang membuat mereka kebelet,
tak peduli apapun pasti ada salah satu dari mereka kencing dari atas. Mengencingi
pohon itu lagi.
Pohon itu agaknya memang tidak ditakdirkan Tuhan
untuk berbuah. Jikapun akan berbuah, benih-benih buah yang dikandungnya selalu
gugur. Gugur bukan karena ia tidak bisa menjaga dirinya, tetapi karena
lingkungannya yang memang toxic. Bocil-bocil selalu menyerampangi setiap pulang
sekolah. Bus dan truk besar juga selalu lewat begitu saja tanpa menundukkan
kepala sehingga menyenggol sebagian rantingnya. Bagaimana anak-anak dalam
kandungku mau bertumbuh, tanyanya kepada sendiri.
Sebaliknya, pohon itu sepertinya sedang
ditakdirkan untuk didzolimi. Tubuhnya sering dipaku dan ditali oleh mmt
iklan-iklan kartu perdana, caleg-caleg, bahkan badut dan sedot WC. Namun pohon
itu juga ditakdirkan untuk memiliki sifat yang baik hati. Ia tabah dan terus
menari diterpa angin siang hari. Baru ketika gerimis turun, biasanya saat malam
hari, ia baru berani menangis.