Ketika Hujan
Sejak pukul
setengah sembilan tadi, hujan deras mengguyur kota ini dengan tegas. Tanpa
aba-aba angin mobat-mabit ataupun gerimis panjang, hujan turun begitu saja.
Syahdunya, PLN sepertinya ingin meromantisir
keadaan hingga terjadilah pemadaman listrik.
Dalam hujan yang lebat, sesekali kilatan petir,
dan lampu padam, aku mau tak mau harus menerabas itu semua untuk mengantarkan
jas hujan Bapak yang sedang mengaji di Masjid. Bapak sudah pasti tidak bawa jas
hujan.
Sehabis mengantar, aku mengarahkan motor ke
perempatan jalan. Malam ini malam Sabtu, sudah barang pasti ada pasar tiban dan
sudah pasti pula ada wedang jahe ronde bang Dul Jaker di sana. Aku memesan dua
bungkus.
Di depan rumah, aku menyuguhkan ronde dalam
cangkir hadiah sebuah merek kopi. Saat menyeruputnya, ada kenikmatan yang tak
bisa diungkapkan oleh sebuah kalimat. Yang jelas, tubuhku menjadi hangat
disusul rentetan sendawa yang melegakan.
Menyendiri di depan rumah malam-malam, dengan
hujan yang mulai mengecil dan lampu mati, sangat cocok digunakan untuk melamun,
atau kalau rada jernih bisa untuk merenung atau merancang sesuatu, atau bisa
pula apes jika saja masa lalu tiba-tiba menyergap begitu saja. Lengkap sudah
malam ini untuk menjadi sebuah puisi.
Belum khusyuk benar aku mencoba menikmati
kesyahduan ini, rintik hujan kehilangan suaranya, disusul kemudian lampu-lampu
menyala. Ketika aku melihat lagi ke atas, rembulan sudah ada di sela-sela awan.
Cukup terang.
Kalau sudah begini, artinya adalah: aku memang
tidak ditakdirkan puitis. wkwkwk
0 Respon