Ketika Hujan

by - September 13, 2022


Sejak pukul setengah sembilan tadi, hujan deras mengguyur kota ini dengan tegas. Tanpa aba-aba angin mobat-mabit ataupun gerimis panjang, hujan turun begitu saja.

Syahdunya, PLN sepertinya ingin meromantisir keadaan hingga terjadilah pemadaman listrik.

Dalam hujan yang lebat, sesekali kilatan petir, dan lampu padam, aku mau tak mau harus menerabas itu semua untuk mengantarkan jas hujan Bapak yang sedang mengaji di Masjid. Bapak sudah pasti tidak bawa jas hujan.

Sehabis mengantar, aku mengarahkan motor ke perempatan jalan. Malam ini malam Sabtu, sudah barang pasti ada pasar tiban dan sudah pasti pula ada wedang jahe ronde bang Dul Jaker di sana. Aku memesan dua bungkus.

Di depan rumah, aku menyuguhkan ronde dalam cangkir hadiah sebuah merek kopi. Saat menyeruputnya, ada kenikmatan yang tak bisa diungkapkan oleh sebuah kalimat. Yang jelas, tubuhku menjadi hangat disusul rentetan sendawa yang melegakan.

Menyendiri di depan rumah malam-malam, dengan hujan yang mulai mengecil dan lampu mati, sangat cocok digunakan untuk melamun, atau kalau rada jernih bisa untuk merenung atau merancang sesuatu, atau bisa pula apes jika saja masa lalu tiba-tiba menyergap begitu saja. Lengkap sudah malam ini untuk menjadi sebuah puisi.

Belum khusyuk benar aku mencoba menikmati kesyahduan ini, rintik hujan kehilangan suaranya, disusul kemudian lampu-lampu menyala. Ketika aku melihat lagi ke atas, rembulan sudah ada di sela-sela awan. Cukup terang.


Kalau sudah begini, artinya adalah: aku memang tidak ditakdirkan puitis. wkwkwk


You May Also Like

0 Respon