Monolog Diri (2)

by - November 28, 2022

 


Apa yang terjadi seandainya kamu menganggur dan tidak tahu harus melakukan apa. Sementara yang ada hanya dua buku yang belum selesai dibaca dan laptop yang sekrupnya sedang hilang dua. Aku berada dalam kebingungan itu.

Dua minggu aku menganggur. Untungnya, aku cukup tahan untuk bisa membaca satu buku setebal 800 halaman. Sisanya, aku menulis melalui laptop. Sayangnya, setelah mengetahui bahwa sekrup laptop hilang dua, aku menunda untuk membuka laptop sampai aku menempelkan sekrup baru. Jadilah aku full membaca.

Dalam masa menganggur ini, aku hanya di rumah. Tak sekalipun keluar. Tak sekalipun melihat dunia luar. Aku kuat berada dalam kamar 24 jam. Bahkan mungkin aku bisa kuat dua bulan hanya di kamar.

Aku tidak mengerti apakah memang begini jalan hidupku. Maksudku, aku tahu kerjaanku sejak dulu tidak pernah ramai, tapi aku menerima begitu saja jalannya. Padahal aku tahu, aku bisa lebih dari apa yang aku lakukan sekarang. Entah dalam hal apapun, andai aku mau.

Aku mau. Tapi motorku hilang. Aku kehilangan satu senjata untuk bergerak. Itu kendala. Sehingga mau tak mau, aku masih bertahan. Sebetulnya ada sebagian diriku yang bergejolak untuk keluar dari tekanan ini. Aku ingin meraih kebebasanku. Aku ingin memilih sendiri jalan hidupku.

Untuk saat ini, jawabnya adalah menulis. Aku ingin menjadi penulis. Untuk saat ini, itulah satu-satunya kemampuan yang aku miliki. Dengan segala kekurangan yang ada dalam kemampuan ini, aku harus kembali belajar dan percaya diri dengan kepenulisanku.

Mau apa lagi. Mau bertahan dengan motong? Tidak menjamin. Satu, karena aku tidak suka. Dua, itu di luar kontrolku. Segalanya dikontrol oleh bosku. Berapa banyak bahan yang bisa aku potong, tergantung bosku. Bos juga tergantung dengan pasar. Jadilah satu orang dengan satu orang lain menjadi bergantung. Ini tidak sehat untuk kelancaran finansial diri sendiri. Aku harus mencari jalan lain.

Dan kenapa aku memilih menjadi penulis, karena aku cinta dan semuanya di bawah kendaliku. Aku mau menulis apa, menulis kapan, seberapa banyak, itu semua terserahku. Aku bisa memperjuangkan sendiri kemampuan ini. Tidak ada yang akan menyuruhku. Tidak ada yang membuatku jadi budak. Menulis membuatku merdeka. Menulis membuatku berdaya.

Yang aku inginkan tentu saja bagaimana agar aku bisa menulis puluhan ribu kata dalam sehari. Menulis beberapa artikel yang belum pernah aku tulis. Atau membuat cerita pendek seperti para penulis kesukaanku. Ada banyak pilihan untuk aku menulis apa.

Dan karena aku menganggur, seharusnya aku bisa menulis setiap saat. Tapi ini yang belum aku bisa. Aku ingin menulis setiap saat, tetapi aku lebih sering kebingungan untuk menulis apa lagi. Aku sedang berpikir, apakah aku harus keluar dari cara kebiasaan menulisku selama ini.

Ya. Mungkin aku perlu merubah sedikit strategi itu. Aku akan mencoba keluar dari cara menulisku. Selama ini, aku menulis apa yang aku pikirkan saja. Termasuk tulisan semacam ini. Untuk menulis begini, biasanya aku menunggu bingung dulu.

Sebagai penulis, aku perlu banyak variasi menulis. Aku harus menjemput ide. Ibaratnya, aku harus menjemput bola daripada hanya menunggu diberi umpan. Aku menentukan dulu hal apa yang ingin aku tulis tentang tema tertentu. Jika sudah, aku bisa eksplorasi tulisan dari sana.

Ini kelihatannya menyenangkan. Aku tidak sabar untuk menulis banyak jenis tulisan. Tidak sabar untuk memiliki kesibukan baru dengan mencari referensi tulisan. Tidak sabar menulis artikel apapun di blog pribadi. Pokoknya aku tidak sabar bergelut dengan tulis menulis.

Ini sudah tahun kelima sejak pertama kali aku menulis--kalau tidak salah. Akan biasa-biasa saja kalau tidak ada gebrakan yang bombastis. Aku harus menunjukkan progres dan proses yang meningkat. Sudah waktunya kemampuan menulis ini muncul dipermukaan. Orang-orang harus tahu kalau aku penulis. Penulis yang hidup dari menulis. Penulis yang kaya dari karya.

Kapan lagi. Kapan lagi dalam hidupku aku punya ambisi besar akan sesuatu. Hanya kali ini. Dan hanya kepada menulis. Sebelumnya, aku tidak pernah tahu aku ingin jadi apa dan aku bisa apa.

Sudah waktunya. Sudah waktunya aku berdiri di atas kaki sendiri dengan kemampuan menulisku. Aku ingin berproses dengan pilihanku sendiri. Terseok-seok di atas pilihanku sendiri. Keras kepala dengan pilihanku sendiri.

Tidak pernah dalam 23 tahun hidupkan, aku punya semangat dan ambisi besar semacam ini. Aku mengapresiasi diriku sendiri saat ini.

You May Also Like

0 Respon