Monolog Diri (2)
Apa yang terjadi seandainya
kamu menganggur dan tidak tahu harus melakukan apa. Sementara yang ada hanya
dua buku yang belum selesai dibaca dan laptop yang sekrupnya sedang hilang dua.
Aku berada dalam kebingungan itu.
Dua minggu aku menganggur.
Untungnya, aku cukup tahan untuk bisa membaca satu buku setebal 800 halaman.
Sisanya, aku menulis melalui laptop. Sayangnya, setelah mengetahui bahwa sekrup
laptop hilang dua, aku menunda untuk membuka laptop sampai aku menempelkan
sekrup baru. Jadilah aku full membaca.
Dalam masa menganggur ini,
aku hanya di rumah. Tak sekalipun keluar. Tak sekalipun melihat dunia luar. Aku
kuat berada dalam kamar 24 jam. Bahkan mungkin aku bisa kuat dua bulan hanya di
kamar.
Aku tidak mengerti apakah
memang begini jalan hidupku. Maksudku, aku tahu kerjaanku sejak dulu tidak
pernah ramai, tapi aku menerima begitu saja jalannya. Padahal aku tahu, aku
bisa lebih dari apa yang aku lakukan sekarang. Entah dalam hal apapun, andai
aku mau.
Aku mau. Tapi motorku
hilang. Aku kehilangan satu senjata untuk bergerak. Itu kendala. Sehingga mau
tak mau, aku masih bertahan. Sebetulnya ada sebagian diriku yang bergejolak
untuk keluar dari tekanan ini. Aku ingin meraih kebebasanku. Aku ingin memilih
sendiri jalan hidupku.
Untuk saat ini, jawabnya
adalah menulis. Aku ingin menjadi penulis. Untuk saat ini, itulah satu-satunya
kemampuan yang aku miliki. Dengan segala kekurangan yang ada dalam kemampuan
ini, aku harus kembali belajar dan percaya diri dengan kepenulisanku.
Mau apa lagi. Mau bertahan
dengan motong? Tidak menjamin. Satu, karena aku tidak suka. Dua, itu di luar
kontrolku. Segalanya dikontrol oleh bosku. Berapa banyak bahan yang bisa aku
potong, tergantung bosku. Bos juga tergantung dengan pasar. Jadilah satu orang
dengan satu orang lain menjadi bergantung. Ini tidak sehat untuk kelancaran
finansial diri sendiri. Aku harus mencari jalan lain.
Dan kenapa aku memilih
menjadi penulis, karena aku cinta dan semuanya di bawah kendaliku. Aku mau
menulis apa, menulis kapan, seberapa banyak, itu semua terserahku. Aku bisa
memperjuangkan sendiri kemampuan ini. Tidak ada yang akan menyuruhku. Tidak ada
yang membuatku jadi budak. Menulis membuatku merdeka. Menulis membuatku
berdaya.
Yang aku inginkan tentu saja
bagaimana agar aku bisa menulis puluhan ribu kata dalam sehari. Menulis
beberapa artikel yang belum pernah aku tulis. Atau membuat cerita pendek
seperti para penulis kesukaanku. Ada banyak pilihan untuk aku menulis apa.
Dan karena aku menganggur,
seharusnya aku bisa menulis setiap saat. Tapi ini yang belum aku bisa. Aku
ingin menulis setiap saat, tetapi aku lebih sering kebingungan untuk menulis
apa lagi. Aku sedang berpikir, apakah aku harus keluar dari cara kebiasaan
menulisku selama ini.
Ya. Mungkin aku perlu
merubah sedikit strategi itu. Aku akan mencoba keluar dari cara menulisku.
Selama ini, aku menulis apa yang aku pikirkan saja. Termasuk tulisan semacam
ini. Untuk menulis begini, biasanya aku menunggu bingung dulu.
Sebagai penulis, aku perlu
banyak variasi menulis. Aku harus menjemput ide. Ibaratnya, aku harus menjemput
bola daripada hanya menunggu diberi umpan. Aku menentukan dulu hal apa yang
ingin aku tulis tentang tema tertentu. Jika sudah, aku bisa eksplorasi tulisan
dari sana.
Ini kelihatannya
menyenangkan. Aku tidak sabar untuk menulis banyak jenis tulisan. Tidak sabar
untuk memiliki kesibukan baru dengan mencari referensi tulisan. Tidak sabar
menulis artikel apapun di blog pribadi. Pokoknya aku tidak sabar bergelut
dengan tulis menulis.
Ini sudah tahun kelima sejak
pertama kali aku menulis--kalau tidak salah. Akan biasa-biasa saja kalau tidak
ada gebrakan yang bombastis. Aku harus menunjukkan progres dan proses yang
meningkat. Sudah waktunya kemampuan menulis ini muncul dipermukaan. Orang-orang
harus tahu kalau aku penulis. Penulis yang hidup dari menulis. Penulis yang
kaya dari karya.
Kapan lagi. Kapan lagi dalam
hidupku aku punya ambisi besar akan sesuatu. Hanya kali ini. Dan hanya kepada
menulis. Sebelumnya, aku tidak pernah tahu aku ingin jadi apa dan aku bisa apa.
Sudah waktunya. Sudah
waktunya aku berdiri di atas kaki sendiri dengan kemampuan menulisku. Aku ingin
berproses dengan pilihanku sendiri. Terseok-seok di atas pilihanku sendiri.
Keras kepala dengan pilihanku sendiri.
Tidak pernah dalam 23 tahun
hidupkan, aku punya semangat dan ambisi besar semacam ini. Aku mengapresiasi
diriku sendiri saat ini.
0 Respon