Ketika Hujan Mengerjai Saya
Hujan tak hanya membawa kesan ketenangan, kesedihan, atau kengerian saja. Namun hujan juga membawa kesan lucu nan wagu, terlebih bagi saya.
6 tahun silam saat mau berangkat ke sekolah, hujan mengguyur deras pagi itu. Tak mungkin bagi saya memegang payung selama perjalanan sambil genjot sepeda, pasti pegal. Saya pun akhirnya terpaksa memakai jas hujan lowoh yang begitu lebar itu. Karena saya pake sepeda, tentu saja agak aneh ketika memakai jas udan ini. Tapi bagaimana lagi, saya harus memakainya. Bisa dibayangkan sendiri bagaimana bentuk kewaguannya.
Saya berangkat seorang diri. Mantel yang lebar ini sangat mampu menghalau saya dari hujan. Saking lebarnya, mantel ini juga bisa saya selempangkan sampai ke keranjang menutupi tas saya. Setengah perjalanan saya lalui menuju sekolah ditemani hujan.
Hingga akhirnya, saya sampai di Karangdadap. Perasaan saya mulai berbeda. Disini hanya gerimis saja. Bahkan semakin kesana semakin terang dan benar-benar terang. Saya lihat di Karangdadap ini tidak ada sisa hujan sama sekali. Langit pun saya lihat tak mendung. Sudah saya pastikan bahwa cuaca disini cerah.
Tapi bagaimana lagi, saya sudah terlanjur memakai mantel yang amat wagu bagi saya yang memakai sepeda. Keterlanjuran ini yang membuat saya abai dan terus melanjutkan perjalanan dengan tetap memakai jas udan lowoh.
Sebetulnya agak malu juga saat perjalanan setelah Karangdadap ini. Orang-orang tampak memandangi saya. Mungkin juga sebenarnya mereka tertawa karena passion yang wagu dan begitu tidak cocok dengan kendaraan yang saya pakai. Tapi saya tetap tak acuh.
Semakin mendekati sekolahan, intensitas suhu tubuh saya mulai agak berbeda. Jika tadi saya merasa dingin, justru sekarang malah gerah. Keringat mulai bercucuran perlahan.
Sampai sekolahan saya langsung buka jas udan lowoh ini. Keringat saya amat banyak sampai membasahi seragam. Beberapa teman saya tertawa melihat ini. Ora udan kok mantelan, kringetan maneh. Begitu kata mereka. Saya hanya bisa tersenyum kecut sambil hati saya bilang: awas koe.
Nyatanya, kejadian ini bukan sekali saja terjadi. Setelahnya, sewaktu saya di MA. Hal demikian biasa terjadi. Sama persis, namun bedanya hanya waktunya. Kalau pas di MA seringnya siang hari sepulang sekolah. Jadi, ketika saya sudah pake mantel lowoh menaiki motor (nah, kalo ini pantes) dan meluncur pulang. Eh, pas sampai di Kalilembu cerah-cerah saja. Lagi-lagi ada saja yang nyeluk: hi ora udan anggo jas udan.
Ah. Begitulah hujan. Berani-beraninya mengerjai saya sampai saya jadi objek ketawaan orang-orang di jalanan karena pake mantel lowoh sedangkan saya mengendarai pit. Tapi tak apa-apa. Setidaknya ini menunjukkan bahwa bagaimanapun saya adalah manusia biasa yang bisa diajak bercanda. Hujan saja bisa mencandai saya, masak kamu tidak.
0 Respon