Sulitnya Mencari Uang Seratus Rupiah
Pagi tadi, saya berencana menunaikan catatan yang sudah saya tulis di buku agenda. Yaitu mencuci. Aktivitas yang rutin saya lakukan ketika pakaian kotor sudah menggunung. Biasanya tiga hari sekali.
Usai sarapan, saya langsung bergegas ke belakang bermaksud merendamnya lebih dulu. Pakaian kotor yang akan saya cuci saya pilih. Untuk perendamannya saya selalu memakai liquit. Baru setelahnya saya menyikatnya dengan sabun colek.
Oh ya, saya baru sadar kalau liquit yang biasanya menggantung di gantar itu sudah habis. Saya lalu mencoba mencarinya di lantai-lantai, barangkali terjatuh. Juga di kamar mandi. Namun memang sudah habis. Memang untuk stok liquit ini biasanya terkendali. Bapak saya membelinya langsung satu plastik berisi berenteng-renteng dan biasanya dapat piring cantik. Akan tetapi meski cantik, tak membuat mata hati saya terbuka untuk mencintainya, namun tetap saya miliki.
Dengan begitu maka saya harus membelinya. Saya butuh uang. Saya merogoh-rogoh saku baju yang saya pakai, tapi kosong. Saya beranjak ke lemari dimana saya biasa menyelipkan uang di bawah tumpukan baju, tapi juga kosong. Saya mencari ke kolong-kolong, bawah kasur, juga di celah-celah buku, namun juga kosong. Saya baru menemukan uang ketika merogoh di celah bawah tivi. Ada dua koin, seratus dan dua ratus rupiah. Saya menemukan lagi ketika mencari di bawah mesin jahit, dua ratus rupiah. Total terkumpul empat ratus rupiah, kurang seratus rupiah lagi untuk bisa beli satu saset liquit.
Pencarian belum selesai, saya harus menemukan uang saratus rupiah lagi. Saya kembali menelusuri tempat-tempat biasa dimana uang tertaruh begitu saja. Meski sudah agak lama saya cari, namun belum juga saya jumpai.
Aneh memang, uang seratus rupiah yang biasanya dengan mudah saya lihat di rumah, baik di kursi, di kolong meja, di atas tivi, di lantai, namun ketika dalam keadaan dibutuhkan justru menghilang entah kemana.
Kalau tidak dibutuhkan nongol dimana-mana. Tapi kalau dibutuhkan seperti semuanya menghilang. Sifat yang bukan hanya ada pada uang seratus rupiah. Tetapi juga pada benda yang lain, gunting kuku misalnya. Atau karet gelang. Atau cotton bud. Benda-benda begitulah yang sering siluman dan begitu nyeselin.
Ternyata sifat demikian bukan hanya ada pada benda-benda tadi saja, manusia juga ada yang bersifat demikian. Golongan ini adalah tukang parkir. Ya, tukang parkir yang sialan. Pas kita mau parkir, orangnya tidak ada. Tapi pas kita mau keluar, eh... jukirnya nongol minta uang. Dasar siluman.
Akhirnya, setelah cukup lama cari sana-sini yang tak mungaras tenaga ini. Semua membuahkan hasil usai saya membuka kasur. Terdapat uang seratus rupiah disana. Lengkap sudah uang lima ratus untuk membeli liquit. Bisa mencuci deh. Saya langsung menuju warung dan membeli kecap.
Dari kejadian ini, bisa dilihat, betapa sulitnya mencuci hanya karena uang seratus rupiah. Padahal biasanya kita jumpai berserakan dimana-mana. Patutlah ini memberi pelajaran bagi anda untuk tidak meremehkan hal sekecil apapun. Karena kalau sudah dibutuhkan tapi tidak ada. Baru tau sendiri akibatnya. Ini baru perkara uang seratus perak, yang untuk beli permen saja masih kurang. Apalagi perkara yang lebih besar lagi, kesehatan.
Maka dari itu, kalau menjumpai uang recehan berserakan, kumpulkan dan tabunglah. Tetaplah menjadi manusia yang baik hati, tidak sombong, dan rajin menabung. Karena, baju kotor akan terus menumpuk. Semakin menumpuk recehan, samakin mudah untuk beli liquit. Maka semakin mudah untuk mencuci. Rajinlah menabung untuk rajin mencuci.
Sekian, saya mau merendam pakaian dulu. Eh, lha kok saya malah belinya kecap. Sudah cari uang sampai jungkir balik di kolong meja, ha kok malah salah beli. Bajigur tenan.
0 Respon