• Halaman Awal
  • Diri Sendiri
facebook instagram Email

Anam Sy

Bagi anda pengendara yang pernah melewati Karangdadap. Tentu tak akan kaget lagi dengan jalanan yang bergelombang yang membentang dari depan kayu-kayu kae sampai ngarep warung sebelum MA NU.

Dibalik kerusakan jalannya yang naudzubillah setani. Tetap ada sisi lain yang bisa kita lihat dari sudut pandang yang berbeda.

Ujian kesabaran pengendara

Dalam masyarakat sekarang ini. Menjaga emosi dalam berkendara sangat dibutuhkan. Mengingat apa yang kita saksikan dijalanan sangat memprihatinkan.

Contohnya saja yang masih viral akhir-akhir ini, ibu-ibu yang menyalakan sen kiri tapi belok kanan. Sumpah itu nyeselin dan bisa membuat kita misuh-misuh.

Bayangkan kalau sampeyan yang ada dibelakang ibu-ibu tadi. Sampeyan lagi khusyuk mengendarai motor. Tetiba ibu-ibu tadi cleleng membelok kekanan yang padahal retingnya kekiri. Sampeyan kaget lalu menabrakkan diri kepohon disamping jalan.

Apa yang akan sampeyan lakukan? Jawabannya pasti gini kan? Mau memarahi tapi kok ibu-ibu. Nggak dimarahi ngko tuman. Pas beneran kita marahi, eh... malah dimarahi balik, ngakunya nggak salah. Memang gitu ya, wanita itu sulit dimengerti. Haduh, capek deh (nepuk jidad).

Dari kejadian satu ini saja kita tau betapa pentingnya menjaga emosi dalam berkendara. Kedepannya, saking pentingnya poin ini,  polisi bisa saja menetapkan satu materi tambahan dalam uji praktik saat pembuatan SIM: praktik mengendalikan emosi.

Nah, maka dari itu. Melewati jalan ini merupakan simulasi untuk menahan emosi. Terlebih saat sampeyan melintas disitu ada mantanmu sedang boncengan dengan gebetan barunya.

Meningkatkan skill mengemudi

Tentunya kondisi jalan berlubang dan bergelombang seperti ini membuat kita ada sesuatu yang nggrenjel-nggrenjel bergoyang. Sehingga kita mengerahkan kemampuan bagaimanapun supaya tetap seimbang dan tidak tergoyahkan.

Selain itu, dalam keadaan tertentu, saat sepi misalnya. Si pengendara akan muncul insting raider dengan sendirinya. Yaitu meliuk-liuk melewati celah yang menurutnya jalan terbaik. (Yah.. seperti moto gp gitulah. Atau kelok sembilannya messi. Paham kan?)

Konon, menurut berita hoak yang saya baca. Melewati jalan depan rismil tiga kali sehari dapat meningkatkan kemampuan mengemudi. Dan dalam jangka panjang, jika rutin dilakukan dua atau tiga tahun kedepan. Maka, kemampuannya bisa satu level dengan valentino rossi.

Begitulah katanya. Patut untuk kita istiqomahkan tiap hari. (Istiqomah gundulmu alus)

Tidak berambisi menikung

Dibalik keparahan jalan yang begitu nyata. Tetap ada nilai filosofisnya.

Analoginya seperti ini. Jalan yang rusak tadi memaksa kita berhati-hati tho. Nah, untuk keamanan diri sendiri juga pengendara lain pastinya kita menghindari yang namanya menikung.

Jelas tikung menikung sangat tidak dianjurkan dijalan ini. Alih-alih mau menikung, nanti malah dikampleng truk lewat, gandengan lagi. Kan sakit. Dobel lagi. Ya kan.

Jadi nilai filosofisnya adalah jangan sekali-kali nikung, apalagi temen sendiri. Resikonya berbahaya. Pertama sampeyan ngrusak kebahagiaan orang lain. Kedua, pertemanan sampeyan dengan teman anda bisa bubar.

Nah, kalo analogi dikampleng truk tadi. Maksudnya itu peringatan agar jangan sekali-kali nikung saya. Awas kalo nikung, rugi sampeyan.  Wong nyong ra ndue pacar je... lha nek sampeyan nikung aku. Arane penghinaan kui. Penghinaan terhadap jomblo. Asuu koe.

Bicara tikung menikung. Saya jadi inget kata pak mario teguh supaya gak mudah ditikung. Caranya adalah jaga baik-baik saat ditikungan. Cara yang tidak kita pikirkan sama sekali. Amazing.

Itulah sisi lain yang bisa kita lihat untuk mengomentari jalan yang naudzubillah setani itu. Sebetulnya banyak lagi yang bisa digali. Namun hanya orang-orang yang kurang kerjaanlah yang akan membahas ini.

Terakhir, saya akan menutup tulisan ini dengan sebuah quote yang cukup familiar: hidup ini penuh rintangan dan tantangan, hadapi dan lewati dengan senyuman.

Semakin sering melewati jalan situ berarti semakin terbiasa menghadapi tantangan dan rintangan. Dan semakin mendekatkan anda dengan kesuksesan. Super sekali.

Tapi kalo saya sih. Lebih sering lewat njero kampung. Lha bagaimana lagi. Kalo lewat sana miris melihatnya. Saya takut saja kalau sampai misuh 'asssuuuuuu'.

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon

Tahun 2013 saya mengakhiri pendidikan di SMP NU Karangdadap dengan perolehan nilai UN yang lumayan mentereng, peringkat 6 UN se-sekolahan (kalo ndak salah). Ulalalalala umpan LDR antar benua jebret ulalalala

Membanggakankah? Tidak juga. Saya tidak mendapat manfaat sedikitpun hasil dari pencapaian itu. Selain mendapat cap 'Murid pintar' yang justru menjadi beban. Dobol og.

Pilihan melanjutkan

Melunturnya biru putih menjadi putih abu-abu mengharuskan semua bergerilya mencari sekolah mana yang cocok. Saat itu SMK N 1 Karangdadap menjadi pilahan paling favorit.

Ada dua alasan utama. Pertama, jaraknya mung sak nil dari  SMP NU dan kedua banyak lulusan sana yang sukses kerja diperusahaan ternama. Tak heran, hampir separuh teman seangkatanku lari kesana semua sambil bawa betadin. Kali aja ada yang jatuh dijalan bergelombang yang naudzubillah setani itu.

Lalu kemana temanku yang lain. Yak benar. Semua mencar kesekolahan yang berbeda. Ada yang ke Smandung, Mass Proto, MAN 1 Kedungwuni, dan SMK Maarif NU Doro.

Ada juga lho yang menukik tajam melanjutkan ke SMK Muhammadiyah (Wah.. nek iki arane hijau luntur dadi biru). Sebuah keputusan yang berbahaya menurut saya. Iyalah.. secara tidak langsung hal ini jadi kegagalan guru ke-NU-an dalam mendoktrin muridnya untuk tetap NU. Yasudah kita doakan saja semoga keputusannya kesana cuma ingin membuktikan kalau NU memang nomer satu.

Pilihan teman-temanku yang berbeda-beda ini menurut saya akan memberi warna tersendiri bagi bahan perbincangan ketika suatu saat reuni. Yang terpenting, dimanapun dan bagaimanapun sekolahnya minumnya teh botol sosro.

Pilihan paling iklimis

Apakah semua temanku melanjutkan sekolah? ternyata tidak. Ada juga sebagian yang memutuskan kerja jadi penjahit. Sepengamatan saya ada tiga faktor kenapa mereka tidak mau melanjutkan sekolah.

Pertama, karena melanjutkan tradisi keluarga -- yang semuanya tamatan SMP.

Kedua, karena punya anggapan "sekolah ra sekolah bakale podo wae njaet". Alasan ini menurut saya sangat pas untuk menyindir keras mereka yang sekolah di SMK namun nasibnya mengenaskan.

Dan ketiga, karena tidak punya uang. Alasan ini alasan yang sangat klasik dan tidak bisa diterima oleh saya. Padahal kita semua kan tau, tak jauh dari situ ada sekolah yang murah meriah paket paling hemat (tau sendirilah). Tapi kita lihat sendiri bagaimana faktanya. Sepertinya memang saya perlu memasukkan satu alasan lagi, yaitu gengsi.

Bagaimana dengan pilihanku?

Ditengah hiruk-pikuk pilah pilih sekolah. Saya tidak mau ambil pusing dan memilih tenang saja. Karena sedari awal saya sudah punya pandangan untuk melanjutkan ke MA NU Karangdadap yang jaraknya sak centi otok dari SMP NU.

Namun juga perlu diketahui. Memilih MANU sebagai sekolah pilihan merupakan keputusan yang berat. Kenapa? Yah... namanya juga sekolah baru. Banyak yang meremehkan. Saya memaklumi saja lah. Mereka yang meremehkan, hanya belum tahu saja kalau dari sinilah akan muncul seorang legenda. Dan dia adalah saya sendiri hehe.

Kenapa MA NU?

Untuk pertanyaan satu ini saya akan menjawab sepenuhnya dari faktor non-fisik. Sebab kalau faktor fisik, jelas nggak ono sing biso tak sombongke babar blas. Kecuali tempe mendoane wo Yatin. Itupun sebenarnya masih kalah sama ondol ndoge pak Yen di MI WS Kebonrowopucang.

Kembali kepembahasan. Keputusan lanjut ke MANU sudah saya pertimbangan dengan matang. Pertimbangan ini secara tidak langsung sebetulnya menjawab keraguan teman saya yang menganggap kalau yang sekolah disini hanya karena alasan tidak punya duit saja.

Setidaknya ada lima alasan saya memilih MANU. Kelima alasan ini saling memiliki hubungan dan saling berkaitan. Tak seperti aku dan kamu yang saling mencintai namun gengsi mengakui. Disitu kadang saya merasa alay.

1. Jarak

MA NU jelas sangat strategis jika ditinjau dari rumahku di Rowobulus. Sangat mudah dan cepat untuk kesana. Kalau naik sepeda butuh 25 menit perjalanan. Kalau motor lebih cepat lagi, 10 menit bisa.

Yang memudahkan lagi, saya bisa nebeng temen yang arahnya mengidul, soalnya banyak juga tanggaku yang sekolah di SMK.

Bicara soal jarak, sebenarnya ada MASS Proto yang tak kalah dekat. Namun sayang, saya sudah cinta sama MANU. Maafkan saya MASS Proto, saya tidak diajari selingkuh apalagi poligami oleh bapak saya. Maafkan aku ya... kita sahabatan saja ya. (Huh.. saya jadi nangis)

2. Biaya

Saya paham betul kenapa ada MANU Karangdadap didirikan. Salah satu alasannya karena ingin menyelamatkan mereka yang pingin sekolah namun terkendala biaya. Bukan... bukan..., bukan berarti saya masuk sini karena saya miskin.

Begini, didalam AD ART keluarga saya ada poin yang menyatakan untuk berusaha sebisa mungkin untuk hemat. Menurut hemat saya, MANU adalah pilihan paket hemat yang tepat.

Tapi alasan yang kuat sebenarnya adalah karena saya yakin, MANU pasti memegang teguh prinsip 4. Salah satunya prinsip 'tasamuh'. Jadi, urusan satu ini bisa ditoleransikan hehehe.

3. Ke-ke-NU-annya

MA NU. Mendengar namanya saja kita sudah bisa menyimpulkan. Ada nama NU-nya. Wis... kalau soal ini tak perlu saya jelaskan lagi.

Lha piye.. wis kadung fanatik og sama yang berbau NU.

4. Digondeli pak Khoirun

Jujur, alasan paling kuat ini ya ini. Dari awal saya sudah ditawari melanjutkan ke MANU. secara, beliyo adalah kepseknya.

Untuk meyakinkan, beliyo pun tak segan untuk datang kerumah ngomong sama bapak saya. Siapa sih yang ndak luluh melihat perjuangan beliyo yang luar biasa itu. (Saya pun pasti luluh kalo ditembak Lesti academy terus-terusan)

5. Dapat uang gambar Soekarno

Untuk poin terakhir ini memang kelihatannya saya agak metrealistis memang. Tapi ya bagaimana lagi, wong setiap murid SMP NU yang lanjut ke MA NU dijanjikan dapat duit kok. Padahal saya lanjut kesini iklas lillahi ta'ala.

Awalnya saya nggak mau ketika disodori uang seratus ribu rupiah. Tapi kok dipaksa terus. Yasudah saya terima saja. Saya tidak tega kalau ada yang mau berbuat baik namun saya tidak memberi jalannya (heleh... sok lu).

Itu tadi lima alasan kenapa saya memilih MA NU Karangdadap dibanding sekolah lain. 

Cinta tidak harus memiliki. Namun terhadap apa yang kita miliki, harus kita cintai.

Cintaku pada MA NU, seperti cintamu pada sekolahanmu. Yang pasti tidak akan rela jika kekasih hati dilukai.

Bagaimana? Sudah tau siapa saya kan? Masih ngeyel mau meremehkan sekolahanku lagi? Tak jitak durung koe.

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon

Banyak yang tanya apa pekerjaanku sekarang. Saya jawab jujur saja nganggur. Tapi lawan bicaraku ini sok tau dan ngeyel membantah. "Ah ra mungkin. Mosok rung kerja. Koe kan mbiyen sekolahe pinter." Kalau sudah ada jawaban seperti ini, saya bisa apa.

Dari kejadian yang saya alami ini saya bisa menarik kesimpulan bahwa: masih banyak orang yang beranggapan 'yang dulu sekolahnya pintar, seharusnya nasibnya lebih baik dari teman yang goblok, sangat goblok, atau setengah pinter'.

Saya tidak setuju anggapan ini. Melihat kenyataan kehidupan sekolah yang beda jauh dengan kehidupan setelah sekolah. Sekali lagi saya tidak setuju blas. Kasihan mereka dong yang pinter, yang rangking tiga dua satu. Mereka jadi punya beban untuk lebih baik dari kamu kamu kamu.

Yaiyalah saya tegas tidak setuju. Lha wong saya dianggap pintar. Dobol.

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon

Amin menyarankan saya jadi komika saja katanya. Entah alasannya apa kok saya disarankan jadi stand up komedian. Jauh sebelumnya kalau ndak salah mbak feni juga menyarankan hal sama. Memang sih saya punya banyak keresahan hidup. Konon itu senjata pamungkas menjadi komika. Tapi ya apa mungkin.

Saya yakin saran mereka pada saya lewat fesbuk tempo hari hanya sekedar canda basa-basi belaka. Tapi usulan mereka bagus juga, saya patut mengapresiasi dan kali ini akan saya tanggapi.

Begini, mbak feni dan mas amin (cie.. ehm ehm). Stand up komedy itu tak semudah yang kita lihat. Banyak tahap yang musti dilalui, dari mulai menentukan tema, observasi materi, hal-hal absrud, mental, sampai perform saat pentas. Jelas itu semua perlu kecerdasan. Maka saya tak heran kalo kalian menganggap saya bisa, karena kalian menganggap saya cerdas kan. Oke, terimakasih.

Stand up komedy memang sulit, satu level dibawah sulitnya memahami wanita. Memang kita nggak boleh mengatakan sulit sebelum kita mencoba. Tapi yo mbok pandeng raiku ini lho... apa iya wajahku ada bakat ngelawak semisal tukul arwana, dede, atau bopak gitu. Tidak kan, saya terlalu ganteng untuk itu. Jadi ya nggak pantes aja hehe.

Apalagi saya itu paling ndak tega kalo memberi harapan palsu, terutama wanita. Iya ndak fen? Nah kalo seumpama saya jadi komika dan penonton mengharapkan tawa lantas saya gagal. Kan sama saja artinya PHP. Iya kan?

Kecuali kalo kalian punya acara, Pernikahan kalian misalnya. Dan saya dipaksa nyeten ap saat resepsi kalian dan dibayar. Saya pasti mau. Misal saja lho ya... misal

Saya paham kok apa yang ada dipikiran kalian kalo hidup perlu ditertawakan. Dengan stend ap salah satunya. Makanya saya nolak jadi komika. Takutnya menertawakan hidup malah jadi beban. Jadinya blunder kan.

Yaudah gini aja. Kalo mau ketawa-ketawa tetep bisa kok. Kita bisa ketemu ngopi bareng. Ndak ada stend ap stend apan. Kita ngopot saja sampai malam.

Terimakasih atas sarannya lho ya. Tapi saya tolak ini.. hehe

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon

Menulis, tentu siapapun bisa menulis. Menulis yang saya maksudkan disini yaitu menulis asli sebagai aktivitas menuangkan gagasan dengan merangkai kalimat yang padu.

Hanya sedikit orang yang mahir menulis. Padahal dengan menulis kita bisa mengungkapkan gagasan kita secara terkonsep. Dalam derajat tertentu menulis secara perlahan dapat memunculkan kehebatan kita yang tersembunyi. Menjadikan kita berfikir kritis, punya sudut pandang luas, dan bisa mencerdaskan.

Kemampuan menulis tidak keluar begitu saja dan ujug-ujug bisa. Perlu belajar sebagai prosesnya. Hal ini bisa dimulai dengan cara paling sederhana: mencatat kejadian dibuku harian atau menulis status difesbuk.

Awal saya tertarik untuk menulis hadir setelah membaca buku-buku diperpustakaan saat SMP dulu. Buku-buku berisi cerpen, puisi, atau novel. Dari situlah muncul keinginan untuk berkarya. Saat itu juga saya beranikan menulis untuk pertama kalinya. Pas pertama nulis jelas bingung apa yang mau ditulis. Yang ada saya malah coret-coret ra nggenah, alih-alih nulis.

Tapi semakin kesini saya mulai menemukan enaknya. Apa yang saya pikirkan bisa langsung saya tuangkan dalam bentuk tulisan. Menulis perlahan mencerdaskan. Saya mulai bisa mikir dan sok kritis terhadap apa yang ada dilingkungan.

Meskipun belum ahli-ahli amat. Setidaknya saya sudah dikenal sebagian teman dengan keahlian menulis tadi. Saya akui bangga dengan hal itu, karena dapat meningkatkan rasa percaya diri saya. Bukan apa-apa, setiap ada kumpul-kumpul kebawaannya selalu minder dan cuma diam saja tanpa ikut terlibat dalam perbincangan. Maka dengan kemampuan menulis yang lumayan ini saya yakin mempermudah saya berbaur dengan orang lain, kan sudah punya nama hehe.

Sekarang saya mencoba memperbanyak konten tulisan diblog pribadi sebagai sarana meluweskan tangan dan pikiran. Kamampuan apa pun memang perlu diasah untuk bisa tajam. Bukan tak mungkin, saya bisa menemukan ketajamannya 4 atau 5 tahun kedepan. Pastinya dengan terus belajar.

Semenjak saya menyadari ada bakat menulis. Saya langsung tegas memutuskan untuk bercita-cita menjadi penulis. Terkadang kita memang kudu tegas mengambil keputusan agar pandangan kita kedepan itu ada. Punya perencanaan yang jelas. Dalam hal ini mungkin saya lebih unggul dari yang lain, punya tujuan dan mulai menemukan jati diri. Seumuran saya hampir semua masih tahap mencari. Besok mau jadi apa saja masih bingung. Kalau tidak jawabannya lihat saja nanti.

Dari kemampuan ini, banyak manfaat yang saya dapatkan. Pengalaman saat kecil bisa saya abadikan kembali. Bisa nyindir sesorang dengan halus dan santun. Timbul kepuasan ketika melihat pembaca senang dengan tulisan yang kita sajikan. Dan masih banyak lagi.

Seiring jam terbang nantinya, sangat besar kemungkinan bertambahnya manfaat tadi. Mungkin bisa dapat penghasilan dari nulis. Diundang jadi pembicara seminar. Atau mungkin juga dapat istri soleha hasil nembak pakai surat cinta hehe. Entahlah.

Begitulah pikirannya kalau sudah sedikit mahir menulis. Pikirannya luas dan kadang keblalasan. Lihatlah betapa kemakinya saya meski baru bisa nulis kemarin sore. Kalau mau nulis ya menulis saja ya. Nggak perlu embel-embel kaya gini. Maafkanlah ke-kemaki-an saya ini. Maklumlah, insting penulisnya belum ada.

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon

Siapa pencipta batu bata? Jawabannya adalah mbah thu batha. Ia adalah seorang yang berwibawa dan disegani siapa saja. Punya banyak jurus, salah satunya jurus mhe ok. Kemampuan menghabiskan makanan dalam sekejap. Tak khayal kemudian Mbah Thu Batha ini ditunjuk oleh bangsa tanah sebagai guru mereka sesuai keputusan saat musyawarah akbar bangsa tanah. Hal itu sebagai pemulus atas tujuan mereka, revolusi tanah.

Cerita ini tidak sengaja saya buat setelah melihat batu bata dibelakang rumah dan melihat penderitaannya yang amat menyiksa. Bagaimana ceritanya. Berikut saya sajikan untuk anda. Masih banyak kekurangan dalam cerita ini nantinya, jadi mohon masukannya juga.

Musyawarah Bangsa Tanah

Dulu sekali. Ketika negeri ini masih jarang yang namanya pembangunan. Disebuah desa bernama kebonrowopucang, banyak lahan kosong yang nganggur, tidak digunakan sama sekali. Kondisi ini berlangsung bertahun-tahun lamanya.

Pada suatu ketika, para tanah ini resah karena belum bisa bermanfaat bagi lingkungan sekitarnya. Belum menjadi bangsa "sebaik-baik tanah".  Sehingga dikumpulkanlah seluruh tanah ini menindaklanjuti kekosongan fungsi tanah. Maka diadakanlah musyawarah besar-besaran, Musyawarah Bangsa Tanah.

Setelah tiga hari tiga malam melakukan perundingan. Tercetuslah satu keputusan besar bernama revolusi tanah. Sebuah perubahan besar guna  menjadikan bangsa tanah bangsa yang bermanfaat. Selaras dengan tujuan mereka:  menjadi "sebaik-baik tanah".

Untuk memuluskan tujuan mulia tersebut ditunjuklah seorang bernama Mbah Thu Batha sebagai guru yang akan menggembleng dan melatih mereka. Sebagai catatan, Mbah Thu Batha adalah seorang guru yang disegani oleh siapapun. Tubuhnya hitam kekar, rambutnya gondrong dengan 7 helai uban. Konon disitulah letak kekuatannya. Mbah Thu Batha ini punya banyak jurus. Diantaranya jurus mhe ok, yaitu kemampuan menghabiskan makanan dalam sekejap. Prestasi terbaiknya tentu saja adalah juara 1 lomba makan krupuk nasional.

Setelah perwakilan bangsa tanah menyampaikan maksud tersebut. Sang guru Thu Batha pun menyanggupi dengan syarat harus menjalankan apapun perintah yang diberikan olehnya. Disepakatilah perjanjian tersebut dalam sebuah surat perjanjian dan tertandatangani. Menjadi permulaan terjadinya hubungan guru dengan murid.

Dimulainya revolusi.

Para tanah berbaris rapi, memadat, memanjang, dan meninggi. Dihari pertama ini sang guru tidak memberi pelajaran apa pun. Ia hanya melihat-lihat dulu dan kira-kira dengan apa dan bagaimana ia mengeksekusinya nanti.

Hari kedua. Sang guru kali ini membawa cangkul. Tentu untuk mencangkuli para tanah ini. Yang tadinya barisan padat rapi, kini menjadi barisan yang amburadul, bercerai berai, berantakan. Para tanah tak bisa mengelak akan tindakan ini. Mereka percaya saja kalau sang guru melakukan sesuatu atas dasar sesuatu.

Sampai semua tanah tercangkul, Mbah Thu Batha kemudian menyirami air ketubuh mereka. Juga menginjak-injaki mereka agar semua basah samarata. Sebagian tanah hanya pasrah. Namun sebagian mulai gelisah dan marah. Setengah golongan ini merasa mereka sudah dianiaya dan melanggar peri ketanahan.

"Apa-apaan ini, kita ini ingin sebuah revolusi menuju bangsa tanah yang maju dan berlandaskan fungsi kemanfaatan. Kenapa malah kita diberlakukan seperti ini, diinjak-injak bak tak ada harga diri." Ujar sebutir debu pada debu lain.

"Iya. Keterlaluan"

"Dasar guru tak tau diri"

"Diam kalian. Bukankah kita memang ditakdirkan untuk diinjak-injak. Kita itu bangsa tanah bukan bangsa emas. Berhentilah untuk mengharap dihormati." Sebutir debu lain menanggapi.

"Lantas untuk apa revolusi, jika malah membuat kita semakin tak dihargai."

"Berhenti berdebat," Sebutir debu yang sudah sepuh melerai, "bukankah kita tahu, bahwa guru Thu Batha disegani dimanapun dan siapapun. Dan apa yang dilakukannya diluar batas kemampuan kita untuk mencernanya. Percayalah padanya. Dia guru kita. Dan kita sudah berjanji padanya untuk menuruti apa pun perintah yang diberikan. Ini demi kebaikan kita semua, bangsa tanah."

Semua terdiam. Mereka tersadar akan perjanjian yang sudah disepakati.

Penggemblengan berlanjut. Thu Batha kembali merapatkan dan memadatkan lagi, namun ditempatkan dicetakan yang berbentuk persegi panjang. Lalu didiamkan sampai setengah kering. Jika sudah, mereka akan diratakan tiap sisinya. Entah dengan sebilah bambu, atau bisa juga pisau.

Sesudah itu bangsa tanah yang sudah mbentuk kotak-kotak. Ditumpuk meninggi untuk sebuah penderitaan selanjutnya: dijemur. Proses penjemuran ini memakan waktu berhari-hari sampai benar-benar kering.

Saat proses ini bangsa tanah benar-benar diuji kesabarannya. Satu persatu mulai berkeluh kesah pada yang lain. "Sial, mau sampai kapan kita tumpang tindih dibawah terik matahari" "air mana air" "huh.. panas panas."

Setelah berhari-hari lamanya. mereka kering juga. Lalu dibawanya kesebuah tempat (tobong) untuk ditumpuk lagi sedemikian rupa. Tampak mereka sedikit lega, menikmati sepoi angin siang itu.

Puncak penderitaan

Malam datang, sang guru Thu Batha pun datang. Didepan tumpukan bangsa tanah ia menyampaikan beberapa hal.

"Murid-muridku para tanah. Kalian pasti heran kenapa saya berlaku sekejam itu pada kalian. Mulai dari pertama saya buat kalian cerai berai, terinjak-injak, sampai penjemuran berhari-hari lamanya. Itu tidak lain untuk menjadikan kalian bangsa yang kuat, tidak cengeng, dan bermanfaat untuk sesama. Menjadikan kalian golongan "sebaik-baik tanah". Dan malam ini adalah malam puncak atas penderitaan yang kalian harus hadapi. Yaitu pembakaran. Ini bukan sembarang asal bakar. Proses ini adalah menghilangkan ego yang masih ada dalam tiap diri kalian. Sebagian atau bahkan semua dari kalian mungkin akan mati. Kuharap semuanya dapat mengerti."

Dengan sigap Thu Batha kemudian memasukkan kayu bakar diantara barisan itu. Sampai rapat dan memenuhi setiap celah yang ada. Kemudian sang guru mengeluarkan korek api. Sontak seluruh tanah kotak-kotak itu panik. Ada yang memejamkan mata. Ada yang menangis. Ada yang berdoa memohon kekuatan. Ada juga yang meronta ingin keluar dari barisan.

Api dinyalakan. Mbah Thu Batha pun melemparkannya kebarisan tadi. Api langsung merambat kebagian lain dengan cepat. Menjadi bara yang panas luar biasa. Jeritan para tanah sangat kencang. Membuat siapa saja yang mendengarnya pasti akan iba. "Tolong...!" "Sakit..." "Panas..." "Ampuni aku Tuhan..." "Emak...!" "Nyerah..."

Nyawa beribu debu melebur, menyatu menjadi satu nyawa kesatuan dalam setiap kotak.

12 jam berlalu, jeritan lenyap. Api mati. Penderitaan selesai. Terlihatlah mereka menjadi sesuatu yang berbeda. Sekotak persegi berwarna merah dengan satu nyawa. Mereka terheran-heran, "kok kita jadi begini" "wah... tubuhmu merah. Keren." Heran mereka melihat diri sudah menjadi.

"Guru, apakah dengan bentuk yang berbeda ini ada kemanfaatan dijiwa kami." Tanya sekotak tanah merah pada sang guru.

"Hmmm... Lihat saja nanti." Jawab Thu Batha santai.

Sang guru pun lantas membawa mereka kealun-alun. Memperkanalkan kekhalayak ramai mengenai golongan tanah dengan aliran baru ini. Banyak yang antusias dan terkagum-kagum. Bahkan berita ini juga sampai ketelinga sang walikota.

Ringkas cerita, Mbah Thu Batha mendapat penghargaan karena menciptakan inovasi baru untuk pembangunan dinegeri ini. Sebagai bentuk penghormatan atas jasa Thu Batha, maka sang walikota menamai sekotak tanah merah ini dengan sebutan batu bata, plesetan dari nama aslinya.

Sementara disaat bersamaan, bangsa tanah lainnya merayakan kabar gembira ini. Revolusi yang mereka lakukan berhasil dan menjadikan mereka bangsa kuat dan bermanfaat. Menjadi golongan sebaik-baik tanah. Yah... meskipun masih diinjak-injak. Setidaknya bisa menjadi tokoh penting dalam pembangunan negeri ini.

Hidup batu bata.

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon

Tetangga hajatan, sebuah kebahagiaan atau kesedihan

"Aduh.. nggon Wariti pak ono gawean. Mbiyen wis disumbang sarimi sak dus. Piye iki, aku ra ndue duit"

Saya sering risih kalau mendengar kalimat semacam diatas. Tak bisa dipungkiri, sumbang menyumbang kini sudah seperti menjadi utang piutang. Sesuatu harus dikembalikan sama persis. Nyumbang beras kembali beras. Nyumbang gula kembali gula. Yang hanya nyumbang do'a juga akan kembali do'a. Kan kasihan orang miskin yang ndak mampu nyumbang ya.

Menurut saya kalau mau nyumbang ya nyumbang saja. Selain murni untuk membantu si punya hajat juga supaya tidak menambah beban si hajat untuk mengembalikannya suatu saat. Kalau tidak mau ya bilangnya jangan nyumbang namun ngutangi. Jadi jelas, sehingga si hajat mau tak mau harus siap mengembalikan utangnya tersebut.

Pernah sih terbersit tanya "sopo sih seng marahi koyo ngene? Nyumbang dihitung piutang.  Kan kokiye dadine.Yang punya hajat senang-senang. Tangga samping kanan kiri sampai ngutang biar bisa nyumbang."

Tapi ya bagaimana lagi. Semuanya sudah mentradisi. Mau salahkan siapa coba.

Tapi mboh kabeh ding. Nyong cah cilik sing rareti opo-opo. Lagipula kui urusane wong tuo. Kok yo tak pikiri?.

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon

Ngopot malam ini. (Teruntuk sing gelem moco)

Menulis dalam perjalanannya selalu ada batu sandung yang akan menjagal kita. Dan hal itu adalah ketika datang masalah bernama kemalasan. Terlebih bagi penulis pemula seperti saya yang bisa menulis saja itu sudah istimewa. Saya tertarik menulis karena memang kelihatannya mudah dan menyenangkan. Ternyata betul juga, tapi itu bagi yang sudah susah payah berproses belajar yang panjang. Bagi saya penulis kemarin sore menulis adalah sebuah hal yang harus dipaksa agar bisa.

Dalam pemaksaan itu tentu tidak enak. Namanya juga paksaan. Bukan kecintaan. Disitulah proses menggembleng diri sendiri agar bagaimanapun harus menulis. Disinilah tumpah darah. Titik perjuangan yang nyata melawan kemalasan dan hal negatif lain. Ini tidak mudah. Karena saat itulah menulis menampakkan dirinya yang sulit. "Nulis apa ya" "Apa yang musti saya tulis" "kok susah banget sih."

Saat itulah akan terlihat betul apakah menulis itu betul-betul kita inginkan. Dua pilihan melintas: memilih berhenti menulis atau lanjut menulis. Kita akan dipusingkan dua pertanyaan menjebak ini. Kalau pilih berhenti berarti kita tidak ingin menulis. Kalau milih lanjut berarti harus terus menulis. Sementara kita masih menerka-nerka apa yang bisa kita tulis.

Oleh saya dua pilihan itu secara bergantian saya pilih. Pertama saya memilih untuk melanjutkan menulis. Motivasi saya masih kuat saat itu. Setiap pagi, sore, dan malam selalu hadapannya bolpoin dan kertas. Menulis yang bisa saya tulis. Apa saja, sederhana, dan masih sebatas sebisanya. Catatan itu juga masih ada sampai sekarang dilemari. Tulisannya memang tidak bagus sama sekali tapi lumayan buat hiburan kalau saya sedang luang. Struktur kalimatnya kacau jadi terlihat lucu. Sesekali kita memang harus menertawakan diri sendiri.

Sampai pada suatu waktu saya melihat tulisanku kok begitu-begitu saja. Tidak ada progres yang signifikan. Rasanya pingin muntah saking bosannya membaca gaya tulisan sendiri. (Plis kamu jangan muntah. Nanti kena hapemu). Sejak itulah intensitas menulisku menurun dan menurun. Sampai pada kenyataan saya berhenti menulis. Awalnya hanya berhenti untuk refresing seminggu. Eh malah keenakan dan keblablasan jauh dan akhirnya benar-benar berhenti menulis. Pilihan dari dua pilihan tadi.

Setelah itu tak ada tulisan lagi yang kutulis. Bahkan hanya untuk menulis status difesbuk saja sungkan. Hari-hariku menjadi kosong tanpa kata tak seperti hari sebelumnya. Entah kenapa kemudian muncul kerinduan untuk menulis. Saya dan bolpoin seakan memiliki ikatan yang kuat. Meski secara fisik kami memang berjauhan. Tapi secara batin seperti berhubungan. Aku dan bolpoin seperti sedang merasakan LDR. Jauh dimata namun begitu terasa. Oh beginikah rasanya LDR.

Karena sepertinya aku punya rasa. Maka saya berinisiatip untuk mengungkapnya keesokan harinya. Dan betul, esok harinya memang aku tembak. "I love you". Sejak itu aku resmi berhubungan dengannya. Tapi saya tidak berfikir untuk menikahinya. Itu mustahil. Dalam hubungannya, kami selalu memusyawarahkan apa saja dan menghasilkan tulisan. Alhamdulillah sampai saat ini hubungan kami baik-baik saja. Eh.. lha kok malah ceritanya ngawur begini. Kembali kembali. Sampai mana tadi.

Saat pemberhentian tadi saya mulai mikir. Eman kalau kebiasaan menulis yang sudah lumayan itu berhenti begitu saja. Rasanya seperti mengkhianati perjuangan yang sudah dilakukan. Aku tidak mau hal demikian. Bagaimanapun aku menemukan siapa diriku dalam menulis. Sehingga saya putuskan untuk menulis kembali.

Karena antara aku dengannya sudah akrab. Semakin lama semakin kuat kemistri yang terjalin. (Kemistri apa ya? Kok sepertinya tepat saja penggunaanya). Saya kembali menulis lagi. Namun kali ini juga diimbangi membaca tulisan yang ringan, renyah, sekaligus juga berkualitas. Seperti tulisannya agus mulyadi dkk disitus mojokdotco. Menurut saya tulisan seperti itulah yang pantas saya jadikan panutan. Saya melihat kalau menulis itu memang sesederhana itu. Ya seperti itu. Gurih gurih nyoi.

Ngomong-ngomong menulis. Sekali lagi saya penulis yang lahir kemarin sore. Bisanya mung nulis koyo ngene kui. Ngopot malam ini cukup itu saja. Elek yo ben.

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon
Newer Posts
Older Posts

Info

Tayang seminggu dua kali

Mutualan, Yuk

  • facebook
  • instagram
  • youtube

Kategori

IPNU

Postingan Viral

Catatan

Sementara kosong dulu, seperti hatiku

Facebook

Isi Blog

  • ►  2024 (15)
    • ►  Apr 2024 (1)
    • ►  Mar 2024 (4)
    • ►  Feb 2024 (1)
    • ►  Jan 2024 (9)
  • ►  2023 (11)
    • ►  Des 2023 (3)
    • ►  Nov 2023 (1)
    • ►  Sep 2023 (3)
    • ►  Jul 2023 (4)
  • ►  2022 (46)
    • ►  Nov 2022 (7)
    • ►  Okt 2022 (7)
    • ►  Sep 2022 (6)
    • ►  Agu 2022 (4)
    • ►  Jul 2022 (9)
    • ►  Mei 2022 (4)
    • ►  Jan 2022 (9)
  • ►  2021 (22)
    • ►  Des 2021 (5)
    • ►  Sep 2021 (3)
    • ►  Agu 2021 (6)
    • ►  Jun 2021 (1)
    • ►  Mar 2021 (7)
  • ►  2020 (14)
    • ►  Des 2020 (1)
    • ►  Nov 2020 (2)
    • ►  Jul 2020 (2)
    • ►  Jun 2020 (1)
    • ►  Mei 2020 (1)
    • ►  Apr 2020 (1)
    • ►  Mar 2020 (2)
    • ►  Feb 2020 (4)
  • ►  2019 (3)
    • ►  Mar 2019 (1)
    • ►  Feb 2019 (1)
    • ►  Jan 2019 (1)
  • ►  2018 (57)
    • ►  Okt 2018 (7)
    • ►  Sep 2018 (5)
    • ►  Jul 2018 (11)
    • ►  Jun 2018 (3)
    • ►  Mei 2018 (4)
    • ►  Apr 2018 (2)
    • ►  Mar 2018 (5)
    • ►  Feb 2018 (12)
    • ►  Jan 2018 (8)
  • ▼  2017 (71)
    • ►  Des 2017 (7)
    • ►  Nov 2017 (20)
    • ►  Okt 2017 (10)
    • ▼  Sep 2017 (8)
      • Melihat Jalan Bergelombang di Karangdadap dari Sud...
      • Kenapa Memilih MA NU Karangdadap?
      • Yang Pintar Belum Tentu Goblok
      • Diberi Saran Jadi Komika
      • Kenapa Saya Suka Nulis?
      • Musyawarah Bangsa Tanah (Asal usul adanya batu bata)
      • Nyumbang nyumbang aja
      • Ngopot tentang tulisanku
    • ►  Agu 2017 (8)
    • ►  Jul 2017 (9)
    • ►  Jun 2017 (5)
    • ►  Mei 2017 (4)

Created with by ThemeXpose | Distributed by Blogger Templates