Musyawarah Bangsa Tanah (Asal usul adanya batu bata)
Siapa pencipta batu bata? Jawabannya adalah mbah thu batha. Ia adalah seorang yang berwibawa dan disegani siapa saja. Punya banyak jurus, salah satunya jurus mhe ok. Kemampuan menghabiskan makanan dalam sekejap. Tak khayal kemudian Mbah Thu Batha ini ditunjuk oleh bangsa tanah sebagai guru mereka sesuai keputusan saat musyawarah akbar bangsa tanah. Hal itu sebagai pemulus atas tujuan mereka, revolusi tanah.
Cerita ini tidak sengaja saya buat setelah melihat batu bata dibelakang rumah dan melihat penderitaannya yang amat menyiksa. Bagaimana ceritanya. Berikut saya sajikan untuk anda. Masih banyak kekurangan dalam cerita ini nantinya, jadi mohon masukannya juga.
Musyawarah Bangsa Tanah
Dulu sekali. Ketika negeri ini masih jarang yang namanya pembangunan. Disebuah desa bernama kebonrowopucang, banyak lahan kosong yang nganggur, tidak digunakan sama sekali. Kondisi ini berlangsung bertahun-tahun lamanya.
Pada suatu ketika, para tanah ini resah karena belum bisa bermanfaat bagi lingkungan sekitarnya. Belum menjadi bangsa "sebaik-baik tanah". Sehingga dikumpulkanlah seluruh tanah ini menindaklanjuti kekosongan fungsi tanah. Maka diadakanlah musyawarah besar-besaran, Musyawarah Bangsa Tanah.
Setelah tiga hari tiga malam melakukan perundingan. Tercetuslah satu keputusan besar bernama revolusi tanah. Sebuah perubahan besar guna menjadikan bangsa tanah bangsa yang bermanfaat. Selaras dengan tujuan mereka: menjadi "sebaik-baik tanah".
Untuk memuluskan tujuan mulia tersebut ditunjuklah seorang bernama Mbah Thu Batha sebagai guru yang akan menggembleng dan melatih mereka. Sebagai catatan, Mbah Thu Batha adalah seorang guru yang disegani oleh siapapun. Tubuhnya hitam kekar, rambutnya gondrong dengan 7 helai uban. Konon disitulah letak kekuatannya. Mbah Thu Batha ini punya banyak jurus. Diantaranya jurus mhe ok, yaitu kemampuan menghabiskan makanan dalam sekejap. Prestasi terbaiknya tentu saja adalah juara 1 lomba makan krupuk nasional.
Setelah perwakilan bangsa tanah menyampaikan maksud tersebut. Sang guru Thu Batha pun menyanggupi dengan syarat harus menjalankan apapun perintah yang diberikan olehnya. Disepakatilah perjanjian tersebut dalam sebuah surat perjanjian dan tertandatangani. Menjadi permulaan terjadinya hubungan guru dengan murid.
Dimulainya revolusi.
Para tanah berbaris rapi, memadat, memanjang, dan meninggi. Dihari pertama ini sang guru tidak memberi pelajaran apa pun. Ia hanya melihat-lihat dulu dan kira-kira dengan apa dan bagaimana ia mengeksekusinya nanti.
Hari kedua. Sang guru kali ini membawa cangkul. Tentu untuk mencangkuli para tanah ini. Yang tadinya barisan padat rapi, kini menjadi barisan yang amburadul, bercerai berai, berantakan. Para tanah tak bisa mengelak akan tindakan ini. Mereka percaya saja kalau sang guru melakukan sesuatu atas dasar sesuatu.
Sampai semua tanah tercangkul, Mbah Thu Batha kemudian menyirami air ketubuh mereka. Juga menginjak-injaki mereka agar semua basah samarata. Sebagian tanah hanya pasrah. Namun sebagian mulai gelisah dan marah. Setengah golongan ini merasa mereka sudah dianiaya dan melanggar peri ketanahan.
"Apa-apaan ini, kita ini ingin sebuah revolusi menuju bangsa tanah yang maju dan berlandaskan fungsi kemanfaatan. Kenapa malah kita diberlakukan seperti ini, diinjak-injak bak tak ada harga diri." Ujar sebutir debu pada debu lain.
"Iya. Keterlaluan"
"Dasar guru tak tau diri"
"Diam kalian. Bukankah kita memang ditakdirkan untuk diinjak-injak. Kita itu bangsa tanah bukan bangsa emas. Berhentilah untuk mengharap dihormati." Sebutir debu lain menanggapi.
"Lantas untuk apa revolusi, jika malah membuat kita semakin tak dihargai."
"Berhenti berdebat," Sebutir debu yang sudah sepuh melerai, "bukankah kita tahu, bahwa guru Thu Batha disegani dimanapun dan siapapun. Dan apa yang dilakukannya diluar batas kemampuan kita untuk mencernanya. Percayalah padanya. Dia guru kita. Dan kita sudah berjanji padanya untuk menuruti apa pun perintah yang diberikan. Ini demi kebaikan kita semua, bangsa tanah."
Semua terdiam. Mereka tersadar akan perjanjian yang sudah disepakati.
Penggemblengan berlanjut. Thu Batha kembali merapatkan dan memadatkan lagi, namun ditempatkan dicetakan yang berbentuk persegi panjang. Lalu didiamkan sampai setengah kering. Jika sudah, mereka akan diratakan tiap sisinya. Entah dengan sebilah bambu, atau bisa juga pisau.
Sesudah itu bangsa tanah yang sudah mbentuk kotak-kotak. Ditumpuk meninggi untuk sebuah penderitaan selanjutnya: dijemur. Proses penjemuran ini memakan waktu berhari-hari sampai benar-benar kering.
Saat proses ini bangsa tanah benar-benar diuji kesabarannya. Satu persatu mulai berkeluh kesah pada yang lain. "Sial, mau sampai kapan kita tumpang tindih dibawah terik matahari" "air mana air" "huh.. panas panas."
Setelah berhari-hari lamanya. mereka kering juga. Lalu dibawanya kesebuah tempat (tobong) untuk ditumpuk lagi sedemikian rupa. Tampak mereka sedikit lega, menikmati sepoi angin siang itu.
Puncak penderitaan
Malam datang, sang guru Thu Batha pun datang. Didepan tumpukan bangsa tanah ia menyampaikan beberapa hal.
"Murid-muridku para tanah. Kalian pasti heran kenapa saya berlaku sekejam itu pada kalian. Mulai dari pertama saya buat kalian cerai berai, terinjak-injak, sampai penjemuran berhari-hari lamanya. Itu tidak lain untuk menjadikan kalian bangsa yang kuat, tidak cengeng, dan bermanfaat untuk sesama. Menjadikan kalian golongan "sebaik-baik tanah". Dan malam ini adalah malam puncak atas penderitaan yang kalian harus hadapi. Yaitu pembakaran. Ini bukan sembarang asal bakar. Proses ini adalah menghilangkan ego yang masih ada dalam tiap diri kalian. Sebagian atau bahkan semua dari kalian mungkin akan mati. Kuharap semuanya dapat mengerti."
Dengan sigap Thu Batha kemudian memasukkan kayu bakar diantara barisan itu. Sampai rapat dan memenuhi setiap celah yang ada. Kemudian sang guru mengeluarkan korek api. Sontak seluruh tanah kotak-kotak itu panik. Ada yang memejamkan mata. Ada yang menangis. Ada yang berdoa memohon kekuatan. Ada juga yang meronta ingin keluar dari barisan.
Api dinyalakan. Mbah Thu Batha pun melemparkannya kebarisan tadi. Api langsung merambat kebagian lain dengan cepat. Menjadi bara yang panas luar biasa. Jeritan para tanah sangat kencang. Membuat siapa saja yang mendengarnya pasti akan iba. "Tolong...!" "Sakit..." "Panas..." "Ampuni aku Tuhan..." "Emak...!" "Nyerah..."
Nyawa beribu debu melebur, menyatu menjadi satu nyawa kesatuan dalam setiap kotak.
12 jam berlalu, jeritan lenyap. Api mati. Penderitaan selesai. Terlihatlah mereka menjadi sesuatu yang berbeda. Sekotak persegi berwarna merah dengan satu nyawa. Mereka terheran-heran, "kok kita jadi begini" "wah... tubuhmu merah. Keren." Heran mereka melihat diri sudah menjadi.
"Guru, apakah dengan bentuk yang berbeda ini ada kemanfaatan dijiwa kami." Tanya sekotak tanah merah pada sang guru.
"Hmmm... Lihat saja nanti." Jawab Thu Batha santai.
Sang guru pun lantas membawa mereka kealun-alun. Memperkanalkan kekhalayak ramai mengenai golongan tanah dengan aliran baru ini. Banyak yang antusias dan terkagum-kagum. Bahkan berita ini juga sampai ketelinga sang walikota.
Ringkas cerita, Mbah Thu Batha mendapat penghargaan karena menciptakan inovasi baru untuk pembangunan dinegeri ini. Sebagai bentuk penghormatan atas jasa Thu Batha, maka sang walikota menamai sekotak tanah merah ini dengan sebutan batu bata, plesetan dari nama aslinya.
Sementara disaat bersamaan, bangsa tanah lainnya merayakan kabar gembira ini. Revolusi yang mereka lakukan berhasil dan menjadikan mereka bangsa kuat dan bermanfaat. Menjadi golongan sebaik-baik tanah. Yah... meskipun masih diinjak-injak. Setidaknya bisa menjadi tokoh penting dalam pembangunan negeri ini.
Hidup batu bata.
0 Respon