• Halaman Awal
  • Diri Sendiri
facebook instagram Email

Anam Sy

Siapa idola yang paling disukai anak-anak abad ini. Jawaban paling banyak mungkin adalah dua tokoh panutan kita: Upin Ipin.

Eksistensi Upin Ipin sekarang menyamai eksistensi film anak tahun-tahun sebelumnya. Dulu kita mengenal power ranger, teletabis, cincan, satria baja hitam, atau doraemon yang selalu tayang di tivi tiap minggu. Upin Ipin malah tayang tiap pagi, siang, dan sore.

Keponakan saya tak pernah absen menonton film ini. Sampai bangun tidur pun ingatannya langsung terngiang upin ipin. Sungguh, upin ipin dkk telah membuat keponakan saya rajin nonton tv. Pasti bukan ponakan saya saja, hampir seluruh anak-anak mungkin.

Tapi apakah seringnya anak menonton tv itu bagus?

Menurut saya sah-sah saja, upin ipin kan memang tontonannya anak, apalagi didalamnya kan juga banyak disisipkan pengetahuan, juga nyanyian. Keponakan saya saja biasa ikut nyanyi dan nari. Artinya kan pesan itu masuk. Saya saja bahkan sampai hafal dialognya lho karena sering katutan nonton nemeni ponakan saya.

Tentunya tontonan ini lebih baik daripada saya dulu. Pasti anda juga pernah ngreseni film film siluman di indosiar itu kan. Nah itu ngepasi masa kecil saya. Dulu saya mantengin itu terus. Namun setelah sudah besar kini, saya baru sadar, nonton itu apa faedahnya ya.

Meski begitu, para orang tua merasa terbantu dengan upin-ipin, karena kehadirannya memudahkan ortu untuk momong, jadi ndak perlu repot-repot gendong anak untuk tidak rewel.

Namun diluar itu, seringnya anak nontonin upin ipin berimbas buruk pada kestabilan pertelevisian keluarga. Bagaimana ceritanya? Saya jelaskan.

Dalam keluarga saya, menonton tv merupakan aktivitas rutin tiap anggotanya. Dalam sehari pasti nonton. Dan untuk jam-jam tertentu ada waktu nonton tv bersama, yaitu jam istirahat siang dan sore menjelang maghrib. Selebihnya tv bisa dikuasai secara personal oleh anggota keluarga yang luang.

Pagi-pagi biasanya bapak saya. Dan setelah keponakan saya bangun, tv diambil alih, ya menonton upin ipin itu. Baru sekira jam setengah 8 sampai sebelum kerja jadwalnya saya, itu kalau keponakan saya sudah terlena. Kalau adik saya berkuasa usai pulang sekolah. Dan malamnya bapak lagi, kecuali kalo kakak pertama ndak kerja. Setelah malam betul, kuasanya kakak saya kedua sampai tidur.

Dan untuk jam nonton tv bersama pada siang dan sore hari, selalu ada drama sengit antara keponakan saya vs seluruh anggota keluarga. Ada dua kepentingan berbeda, saya dan keluarga lain menginginkan tayangan yang pluralis, bisa diterima semuanya, sementara keponakan saya dengan nangis memperjuangkan tayangan upin ipin. Tapi antara siang dan sore nasibnya berbeda.

Jika siang, karena ngepasi jam tayang upin ipin, tv dikuasai keponakan saya secara penuh. Saya, bapak, dan kakak kedua saya tidak bisa berbuat banyak, kami mengalah. Dan inilah ketidakbaikan upin ipin, membuat anak menjadi diktator tanpa mempedulikan perasaan anggota keluarga lain yang ingin melengkapi istirahat siang dengan menonton tayangan yang berfaedah sesuai yang diinginkan. Oh... ini sangat berdampak buruk.

Tapi kediktatoran keponakan saya bisa dikalahkan saat sore hari, saat keponakan saya harus melawan seluruh anggota keluarga yang lain, satu versus enam. Keponakan saya mau tak mau harus kalah, meskipun akhirnya ikut menikmati tayangan pluralis pilihan keluarga. Tayangan itu adalah uang kaget.

Dan tiap sore, kebiasaan kami adalah berkumpul bersama di depan tv. Menonton tayangan yang diterima oleh semuanya. Tayangan yang pluralis. Sungguh, kebersamaan keluarga ini lebih indah daripada kebersamaan upin ipin ihsan mey mey mail fizi.

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon

Usai dua hari ini saya tak menulis karena alasan yang begitu monoton, karena malas. Malam ini saya mau menulis lagi dan menghapus catatan buruk itu. Akhir-akhir ini saya memang sedang melatih konsistensi menulis setiap harinya. Dan dua hari itu merupakan dosa besar bagi saya. Saya mau menebusnya. Saya mau kembali menulis. Yah, meskipun tulisan dengan tingkat kemonotan yang itu-itu lagi.

Saya mau curhat.

Ada beberapa hal dan alasan klise yang sering menghambat semangatku untuk menulis.

Pertama, karena tak ada yang baca tulisanku.

Ini mungkin perasaanku saja. Tapi kalau mau lihat statistik hasilnya sungguh 'oh no'. Setiap postingan di fb rata-rata yang like cuma 15. Itupun saya dapati bahwa like itu like buta, hanya like tanpa baca. Kan sama saja bohong.

Sementara blog lebih parah lagi. Tak ada yang baca satu pun. Ya yang baca saya sendiri. Bisa dibilang inilah sebuah kemandirian. Nulis posting baca like komen sendiri. Kan nyesel. Lalu apa gunanya menulis kalau tidak untuk dibaca.

Kedua, blog yang amburadul.

Saya memang belum tau membangun blog yang kokoh, karenanya dari dulu tampilannya ya begitu tok. Gak ada mewahnya sitik pun. Kalau ibarat rumah, ini rumah yang masih pake pager dan welid yang kalo hujan gak bisa tidur.

Sebenarnya sih saya oke-oke saja dengan tampilan blog yang sekarang. Namun hal yang paling mengganggu bagi saya adalah style tulisannya. Secara tampilan, menurut saya style times new roman lebih elegan dan wibawa untuk digunakan. Tapi apa daya yang ada di blog saya ini type arial, yang dari segi tampilan merusak mood membaca. Bisa saja sih saya menggantinya. Tapi ini kendalanya, kendalanya ada di poin berikutnya.

Ketiga, saya belum punya hape canggih ataupun laptop.

Yakin puo, apapun usahanya haruslah gawan. Termasuk menulis, harus gawan ketikan, bisa hp bisa laptop. Dua benda ini yang sejak dulu saya inginkan dan belum saya gapai.

Selama ini mutlak aktivitas menulis saya hanya bertumpu pada bolpoin dan kertas sebelum akhirnya menuliskannya di hp milik mas untuk diposting di fb atau blog.

Dipikiran saya, seandainya saya punya hape, tentu akan meningkatkan kemampuan menulis. Dalam arti saya bisa sering menulis sekali jadi. Jadi saya bisa menulis dimana saja dan kapan saja. Bandingkan dengan kertas, apa iya di tempat ramai kita mau nulis buka buku.

Hape saja tak punya apalagi laptop. Ini dia yang saya begitu inginkan: laptop. Dengannya saya bukan saja mau memperkokoh blog dengan mudah namun juga bisa untuk belajar yang lain semisal potoshop, corel, dll.

Tapi dari kesemua itu, kenyataan memang harus diterima dengan damai. Bahwa saya tak punya hp dan laptop untuk sekarang. Untuk sekarang saja, kelak setelah nulis ini saya tekadkan untuk punya dan pasti punya.

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon

Tepat di samping tempat saya duduk sekarang, yaitu di kursi panjang depan RSI Pekajangan, saya dipertemukan lagi dengan perempuan yang sama seperti yang kujumpai kala kontrol sebelumnya.

Perempuan ini memakai pakaian yang mecing dengan tetap menampakkan aura cantik yang wah. Saya yang tak sengaja duduk disini, kembali ingin berlama-lama disini.

Seperti saya, perempuan ini fokus menatap hape. Tampak dari samping garis wajahnya yang eksotis. Wajahnya putih, putih bedak pastinya. Bibirnya pun mempesona, merah lipstik menyala. Andaikan saya diciumnya, pasti meninggalkan cap merah sexy di pipi saya, tapi itu tak mungkin. Saya saja tak berani dengan tegas menatapnya kok, apalagi kenalan.

Perempuan ini sungguh anggun, kaki kanannya ditindih silangkan di atas kaki kirinya yang membentuk siku. Sementara tubuhnya, ia majukan supaya memeluk tasnya yang cukup besar. Ia tak berkacamata seperti kemarin. Tetapi tetap secantik kemarin, bahkan lebih.

Dari bawah, ia memakai sepatu yang ujungnya lancip, saya tak tau nama sepatunya apa, atau malah mungkin itu masih jenis sandal. Tetapi yang pasti warnanya merah, merah yang agak pudar, bukan seperti merah bibirnya yang membuat mata saya ikut memerah.

Atasnya lagi, ia tak memakai rok, tetapi jeans. Mungkin itu jenis pensil, karena bagian bawahnya sampai mencekik kakinya yang putih. Warnanya coklat muda, coklat ranting jambu air depan rumah saya. Warnanya seperti itu.

Sementara bajunya, perempuan ini mengenakan batik merah terang, tetapi lebih terang merah bibirnya. Batik yang sepertinya baru, semoga itu bukan batik hadiah dari pacarnya. Semoga saja. Namun bagaimanapun saya suka. Saya yakin apapun yang dikenakan perempuan ini pasti cantik. Ah, seandainya saja dia pacar saya, saya sudah bilang: batik kamu bagus lho, ayo kawin.

Beralih ke kerudungnya, yang melingkari kepalanya adalah kerudung jenis segi empat yang ia utak-utik sedemikian rupa. Kerudung ini bewarna seperti coklat seperti crem. Beruntung sekali kerudung ini bisa menjadi bagian dari hidup perempuan cantik ini. Saya iri.

Keseluruhan, perempuan ini cuantik sekali, perpaduan warna yang dikenakannya sangat mecing. Makin menambah cantiknya. Oh iya, satu lagi, tasnya, tasnya ukuran sedang dengan warna hijau tua kalem, sehijau seragam tni. Tas ini sungguh beruntung, selain biasa digendong, juga biasa dipeluk. Aduh, saya jadi pingin berubah menjadi tas.

Sebetulnya saya sempat terbersit pikiran untuk memotret lewat hape supaya apa yang saya tuliskan ini memang ril, tidak mengada-ada, namun apa daya, hape saya tak secanggih hape perempuan ini. Saya tak jadi mempoto dia. Tetapi kemudian saya mikir, pokoknya saya harus poto meski hasilnya akan buram, hitung-hitung untuk kenangan. Tanpa pikir panjang lagi, saya buka menu foto, tinggal siap menekan. Eh, saat sudah ambil posisi meski sembunyi-sembunyi dan miring-miring, perempuan cantik ini malah berdiri, lalu pergi. Tau aja dia ini kalau mau dipoto.

Seperginya dia dari kursi panjang ini, saya pikir dia akan kembali ke saya. Saya tunggu kedatangannya. Tapi lama-lama, perempuan cantik ini tak kunjung balik juga. Saya menyesal belum memfotonya, kalo sudah kan bisa saya pamerkan ke fesbuk. Maka akhirnya, saya putuskan pulang. Saat berjalan saya membayangkan perempuan itu mengejar saya dan bilang: tunggu mas, jangan tinggalkan saya. Iya kok, saya mau kawin sama mas.

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon

Ketika saya masuk, saya heran kenapa mereka sudah pada kenal. Maka, tak ada pilihan lain bagi saya selain diam.

Waktu itu, ketika pertama kali berangkat sekolah dan masuk kelas, saya tak tahu apa yang harus saya lakukan. Semua yang saya lihat adalah sesuatu yang baru: suasananya, orang-orangnya, dan perasaannya.

Di kelas 1 MI WS Kebonrowopucang itu, cuma saya murid yang masuk tanpa melalu ijazah TK karena memang tak sekolah TK, apalagi PAUD. Barangkali dulu saya memang tak mau sekolah TK, atau sebab alasan ekonomis, mengingat saat itu rumah saya masih pake pager dan welid yang kalau hujan alas yang belum mengenal keramik itu jadi becek. Saya tidak ingat.

Karena saya bukan lulusan TK, saya harus belajar lebih ekstra dari siswa lain. Saya datang dengan tanpa keterampilan dasar belajar sama sekali. Saya tidak bisa nulis, saya tidak bisa menghitung, saya tak bisa menggambar, dan saya tak bisa menyanyi. Bisa dipastikan saya menjalani hari-hari itu dengan berat.

Saya tidak bisa menulis, karenanya saya selalu tertinggal mencatat apa yang ditulis ibu guru. Seringkali saya harus membawa pulang buku teman agar saya bisa menyelesaikan tulisannya di rumah.

Saya tak bisa menghitung, kalau hanya mengurutkan saya bisa. Satu, dua, tiga, dan seterusnya. Jika materinya penjumlahan, saya punya alat bantu yaitu jari, saya tinggal mengacungkan berapa nilai yang ditanyakan. Tetapi jari tangan hanya bisa sampai sepuluh saja, maka saya tidak bisa menjawab seumpama 8+7, kadangkala saya harus meminjam tangan teman. Tetapi agak kualahan juga ketika pas ulangan, sebab yang ditanyakan adalah 27+29. Berapa potong tangan yang harus saya pinjam. Maka kalau menjumpai pertanyaan sulit itu, saya menggunakan imajinasi saya. Karena hanya imajinasi, maka hasilnya tak sesuai realita yang ada. Itu belum perkalian, ataupun perpangkatan.

Saya juga tidak bisa menggambar. Maka ketika pelajaran menggambar, yang melulu saya gambar hanyalah mobil mobil dan mobil. Namun kelak jika sudah kelas 2, saya sudah mulai menggambar rumah dan pemandangan gunung. Meski dari kesemua itu, nilainya rendah semua. Waktu itu saya tidak punya pensil warna, dan kalau memulas ya harus pinjam. Hal itulah yang membuat saya memulas dengan warna seadanya, sesuai yang dipinjamkan teman saya.

Menyanyi pun saya tak bisa. Setiap hari di kelas itu, hampir selalu ada menyanyi. Ini sesuatu yang saya tak sukai. Mengingat, saya kan tidak TK, mana tau lagu-lagu naik-naik ke puncak gunung, pelangi, naik delman. Kelak ketika saya sudah besar saja masih salah lirik kok. Maka satiap ada nyanyi, meskipun saya tak tahu dan memang tak tahu semua, saya tetap antusias, yah walaupun cuma mangap-mangap.

Dan hal yang paling mengerikan sebab ketidakbisaan itu, adalah kala semesteran. Saya selalu panik. Untungnya saya punya teman-teman baik yang memperlihatkan jawabannya kepada saya. Meski kemudian, kebaikan itu tak ada gunanya karena nilainya njeblok. Kelak dari situ saya akan selalu curiga, bahwa yang mudah memberikan jawaban kepada orang lain adalah segolongan siswa goblok. Tapi meskipun goblok, mereka tetap baik. Tetapi percuma baik, percuma ngasih jawaban ke saya, kalau jawabannya salah, itu sama saja jahat. Tapi... kenapa saya ngurusin mereka goblok atau tidak. Atau jangan-jangan yang goblok itu saya.

Itulah pengalaman pertama kali merasakan sekolah. Begitulah rasanya. Hal itu mustahil saya rasakan kembali. Jika dibandingkan dengan sekarang, semua sudah berbalik. Bukan cuma saya, yang lain pun pasti sama. Hanya saja terkadang saya ini aneh, saya ingin kembali ke masa-masa itu tetapi dengan kemampuan yang saya miliki sekarang.

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon

Menjadi nakal adalah impian saya. Tetapi orangtua membentuk saya menjadi seorang penurut.

Sejak kecil saya dididik oleh bapak saya yang mungkin bisa disebut keras, tetapi saya menyebutnya sebagai ketegasan. Artinya kalau bapak bilang tidak boleh, ya tidak boleh.

Barangkali karena hal itu, saya tumbuh agak berbeda dari anak-anak lain yang menurut saya mereka beruntung. Beruntung karena mereka punya kesempatan nakal. Jujur, itu yang saya impikan sejak dulu dan belum kesampaian.

Bapak saya selalu membatasi setiap hal dari saya. Pokoknya banyak sekali, dari pulang sekolah harus langsung pulang, dzuhur sudah di rumah dan makan, jam 4 sore harus sudah mandi, tidak boleh keluar malam, sampai tidak boleh main PS. Kalau sampai saya melanggar aturan itu, saya harus siap-siap menghadapi kemarahan besar bapak.

Karena saya paham karakter bapak bagaimana, saya selalu nurut. Tetapi terkadang sebagai manusia, saya juga pernah melanggar, itupun tak sengaja. Misalnya pulang kesorean, untuk pelanggaran satu ini sebetulnya bukan karena faktor saya secara pribadi, namun karena situasi. Jadi tiap sore itu saya dan teman-teman biasa balbalan yang bubarnya tak tentu. Permainan baru akan bubar kalau ada salah satu pemain yang pulang dan itu yang memancing pemain lain ikut pulang. Dan orang yang memulai pulang pasti akan dibully. Karena itulah saja hanya berani pulang kalau sudah ada yang pulang. Ya karena saya takut dibully. Jadi kadang memang terpaksa pulang sore.

Lalu apakah sepulangnya dirumah dimarahi? Oh ya tentu saja. Bapak saya pasti marah. Tetapi sebagai anak, saya paham kenapa bapak selalu marah tiapkali saya pulang sore. Itu karena supaya tidak menjadi terbiasa. Ora tuman. Yang saya sadari juga hal itu ada benarnya. Mungkin kalau dari dulu saya boleh pulang sore, saya pasti sekarang pun mau pulang sore terus.

Tetapi dalam beberapa hal, saya sengaja melanggarnya. Waktu itu pas liburan, karena bingung mau ngapaian, saya akhirnya main PS sama Bahul, teman saya. Dan ternyata, PS-an itu enak juga. Sejak itu saya jadi sering main PS. Untuk yang satu ini bapak ndak tahu sama sekali. Kalau misal tahu, pasti....

Pernah juga sengaja dan ketahuan. Ini parah banget. Kejadiannya pas perpisahan kelas 6. Awalnya saya berangkat, tetapi di sekolahan yang ada hanya orangtua wali, yasudah saya pulang, apalagi saya tanya temen-temen juga mereka tak mau berangkat.

Barulah satu jam kemudian, bapak dengan wajah merah menemui saya dirumah menyuruh saya berangkat. Saya berangkat lagi. Disana saya melihat guru-guru bingung karena murid lelakinya belum ada semua. Karena memang tak ada info sebelumnya untuk berangkat. Ya maklumlah, kan masih anak-anak.

Sepulangnya dari perpisahan itu, bagai petir halilintar yang menyambar, bapak marah besar. Sulit saya jelaskan. Pokoknya marah besar, sampai saya hanya bisa njekutut di pojokan.

Namun dari sederet aturan itu, pada akhirnya semua demi kebaikan saya dan itu membentuk kedisiplinan saya sampai sekarang. Seperti misalnya saya sering berjamaah di musolla, kemudahan ini tak terlepas dari kebiasaan bapak yang selalu menyuruh saya jamaahan dulu.

Meski begitu, terkadang, saya agak risih. Pasalnya aturan-aturan itu tetap melekat saya sampai sekarang. Inilah yang membuat saya merasa belum menjadi anak muda, apalagi yang mandiri. Masih jauh. Saya belum merasakan kebebasan.

Saat di MA misalnya, setiap saya pulang sore karena ikut ekskul, saya pun dimarahi. Saya bahkan harus melewatkan kegiatan-kegiatan besar diluar semacam kemah pramuka.

Dan disaat saya merasa kebebasan saya terbatasi, saya diuji yang malah membuat kebebasan saya makin terbatasi, bahkan mungkin hilang. Diakhir 2016, saya terkena penyakit tbc yang sampai sekarang belum sembuh.

Sejak menderita penyakit ini saya seperti merasa tidak ditakdirkan untuk bebas, bergerak leluasa, nakal. Saya seperti ditakdirkan untuk menjadi seorang yang penurut, pasrah pada kenyataan.

Sekarang, saya hanya di rumah. Barangkali ini jawaban bagi bapak yang menginginkan saya untuk selalu makan tepat waktu, tidak pernah pulang sore, tidak keluar malam, selalu jamaah, tidak main PS, dan mandi jam 4 sore.

Yaiyalah, ha wong saiki aku rung mari, mung nangumah, ra tau metu, pengangguran, ra ndue duit, ra ono kesibukan.

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon

"Jika memang jodoh. Kelak kita pasti dipertemukan lagi." Ucapmu kepadaku lalu kau memelukku.

8 tahun setelah perpisahan itu, akhirnya aku dipertemukan denganmu lagi.

"Inikah yang kau sebut jodoh?" Tanyaku kepadamu datar.

Kau jawab dengan lesu. "Maaf."

Aku lalu pergi, meninggalkan gedung pernikahanmu.

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon

Bisa dikatakan saya adalah murid paling pemalu di sekolahan. Malu dalam segala hal. Bahkan karena saking malunya, saya harus pulang lebih dulu saat kebelet mau pipis. Karena malu inilah saya tumbuh menjadi murid pendiam yang biasa menyendiri di pojokan. Barangkali karena malu itu juga, sampai sekarang teman saya sangat sedikit.

Tapi inilah kehidupan, ada dua sisi yang bertolak belakang. Selalu ada hal yang membuat kita harus menaklukan apa yang menjadi kekurangan kita. Termasuk pada kepemaluanku.

Dulu semasa Madrasah Ibtidaiyah, kalau tidak salah kelas 4, dengan tega pak kepsek menunjuk saya untuk lomba pidato se-kecamatan mewakili sekolah. Waktu itu bertempat di SDN Njrebeng. Saya kaget, kenapa saya yang ditunjuk. Padahal saya belum pernah sekalipun bicara di depan umum, saya pun tidak pernah dapat rangking, kecuali pada kelas 3 semester ganjil dimana saya dapat rangking 5, itupun dari belakang. Meski akhirnya, dengan terpaksa saya terima, hanya karena saya malu untuk mprotes.

Sebelum perlombaan, saya tak diberi persiapan apapun. Saya hanya dikasih tahu kalau pidatonya tidak boleh bawa teks. Saya pikir, yowislah nek kokui. Saya pun berangkat dengan membawa diri saya yang pemalu, dengan tanpa persiapan sedikitpun, kecuali rambutku yang lumayan rapi dengan gaya sisir piyak miring ke kanan.

Hingga tibalah disana, disebuah ruang kelas yang menciutkan nyaliku. Disana, terlihat wajah-wajah meyakinkan dari peserta pidato. Saya lalu masuk, tak seperti peserta lain yang didampingi gurunya, saya hanya sendiri, guru saya hanya mengantar sampai pintu dan setelah itu tak terlihat lagi. Duduklah saya diantara peserta lain.

Saya, dengan kenekatan tinggi berkenalan kepada peserta yang duduk persis disamping saya, namanya husain, asal SDN Impres pucang. Kepadanya saya bertanya, bagaimana mekanisme lombanya nanti. Katanya, setelah nama dipanggil, maju, lalu terlebih dulu ngambil klintingan yang isinya tema yang harus dibawakan untuk maju, barulah tampil.

Sungguh, nyali saya yang ciut makin menciut. Apalagi setelah saya melihat semua peserta tampak membawa teks dan komat-kamit menghafalkannya, termasuk kenalan saya, husain. Sementara saya tak bawa catatan apapun. Sejak itu saya merasa seperti dijebak pak kepsek. Sialan.

Hingga kemudian nama saya dipanggil. Kakiku gemetar, tapi saya paksakan untuk melangkah maju. Lalu saya mengambil klintingan, saya buka, dan... saya dapat tema 'wajib belajar 12 tahun'. Ah, apapun temanya, bagi saya sama saja, sama-sama tak tahu materinya.

Didepan, kaki saya tetap gemetar. Saya tak tahu harus ngomong apa. Saya grogi. Bertambah grogi saat mengetahui juri, peserta, dan berpotong-potong kepala di jendela meyorotkan matanya kepada saya. Dalam hati saya bilang, sing penting ndongeng, sing penting ndongeng, ben cepet kelar.

Hingga akhirnya saya menyelesaikan detik-detik mendebarkan itu. Saya tak tahu apa yang saya ucapkan, pokoknya singkat, mungkin hanya lima kalimat. Itupun kalau ditulis dan dibaca lagi, tak nyambung sama sekali. Namun yang penting, saya lega.

Sejak ikut lomba pidato itu, alih-alih hilang rasa malu, saya tetap menjadi murid pemalu. Namun meski tak sedikitpun memperbaiki rasa malu, pengalaman ini tetaplah bermanfaat. Setidaknya untuk saya tuliskan sekarang. Karena tak menutup kemungkinan, berangkat dari pidato yang memilukan ini, kelak saya bisa pidato di istana, pidato kenegaraan.

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon

"Aku nembe ngembung cah wadok Nam." Wadul Amin suatu sore kepada saya sambil mesem-mesem.

"Wah, seneng tah. Piye rasane? Mesti koe njingklak-njingklak." Saya penasaran.

"Njingklak-njingklak wudelmu. Rasane panas." Amin menceritakan dengan muka cemas. Saya seperti melihat gelagat yang tak beres pada temanku yang sok imut ini.

"Oh, kok bisa?" Saya bingung sambil kukur-kukur rambut. Biasane kan ngembung cah wadok ki seneng, ha kok iki ora, kan aneh. Iyo tah, senajan aku ra tau.

"Mau ki aku ngomong karo cah wadok sing tak senengi 'lah... aku sayang koe' namane romlah."

"Terus." Saya makin penasaran.

"Dijawab 'aku ra butuh ucapan, butuhe bukti'. Krungu okui cangkemku langsung nyosor ngembung pipine karo ngomong 'iki tanda sayangku'. Lebar kui aku dikampleng sak kenceng-kencenge. Aku ditolak. Asem." Jelas Amin sementara tangannya ngelus-ngelus pipinya yang masih memerah, sambil sesekali mengusap air matanya.

"Modiyar. Rasain koe." Sebetulnya saya mau njawab begitu. Tetapi tentu saja saya tahan, karena amin bagaimanapun teman saya yang baik hati dan tidak sombong. Saya harus respek.

"Ha kok koe langsung nyosor kui piye." Saya kembali bertanya, kali ini dengan wajah serius, meski hati sebenarnya tertawa ngakak.

"Ha mbiyek simakku nek ngembung aku mesti cangkeme munine sayang sayang. Mugakno kui aku mbuktike sayangku karo romlah yo kokui, dengan ngembung. Ha kok malah dikampleng." Amin menuntaskan penjelasannya.

"Oh, kokui tho." Saya pura-pura mantuk-mantuk. Padahal sekali lagi, atiku ngakak dan bilang  'bocah gemblung'"

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon


Hari ini aku begitu terkejut. Seeokor ikan di dasar kolam kulihat tak bergerak sama sekali dengan keadaan miring tepat menghadap kiblat. Aku menduga, ikan itu sakit.

Sepotong tanganku lalu kumasukkan ke dasar kolam, mencoba menemukan kepastian apa yang sebenarnya terjadi. Ternyata, sesuatu yang tidak beres terjadi dengan ikan ini. Tak ada tanda-tanda pergerakan saat ujung jari semakin mendekati tubuhnya.

Dengan perlahan kusenggol-senggol siripnya dengan kelima jari, namun tak ada respon. Aku panik, benar-benar ada masalah dengannya. Maka dengan berperasaan, kuangkat ikan itu dengan hati-hati. Posisi tanganku seperti menggenggam namun tidak rapat, biar ada ruang untuk dia merasa aman. Aku mendorongnya dari bawah menuju permukaan lalu kuangkat.

Aku amati betul fisiknya. Kuketahuilah bahwa ikan itu tak ada pergerakan lagi. Matanya tak berkedip, mulutnya menganga, pun sirip dan ekornya yang tak mengepak. Sepertinya ikan ini sudah mati. Begitu pikirku.

Ketika kumasukkan ke air lagi, ikan itu juga tak menunjukkan kegirangannya. Ikan itu seperti batu yang dicemplunglan ke laut. Diam, diam, makin tenggelam, dan betul-betul tenggalam.

Tapi, aku belum yakin ikan itu mati, maka kubiarkan saja ia diam di dasar kolam. Kalau esok nanti masih dalam posisi yang sama, sudah bisa dipastikan ikan itu mati. Biarkan itu menjadi takdirnya.

Kejadian itu, membuatku terus berfikir dan berspekulasi. Jika ikan itu mati, apa sebabnya. Aku mulai curiga, ada motif pembunuhan di belakang kematian ikan hitam setengah putih ini. Kecurigaanku merucut pada ikan satunya. Didalam kolam itu memang ada dua ikan.

Saat kucari, ikan yang satunya itu sedang menyendiri di satu sudut. Kulihat, ada aroma kemunafikkan dari wajahnya yang tegang. Bibirnya manyun berkali-kali. Tak sama jauh dengan detak jantung bajingan setelah membunuh seperti yang kulihat di tivi-tivi itu. Agaknya, ia sedang menyesali perbuatan kejinya.

Tapi, jika ikan itu pelakunya, lalu apa buktinya. Tak ada luka lebam, pisau, parang, golok, atau pistol di kolam. Lantas kalau begitu, bukan pembunuhan namanya.

Kuamati betul TKP itu, lalu kutemui fakta mengejutkan bahwa kondisi dasar kolam saat itu licin. Jadi, kemungkinannya adalah ikan itu mati kejedot karena terpleset. Tapi dugaanku kembali terbantahkan. Kalau licin, kenapa ikan satunya tak pernah sekalipun terpleset di tempat yang sama. Sepertinya bukan itu penyebabnya.

Aku menggali fakta lebih mendalam. Sepengamatanku, ikan yang mati ini punya kecepatan saat berenang. Aku baru ingat, beberapa bulan lalu ia juara renang tingkat kecamatan. Aku menduga, karena kecepatan itulah ia mengalami kecelakaan tunggal dengan menabrak tembok karena tak bisa mengendalikan diri. Bisa jadi.

Ah, tapi mungkin juga ikan itu mati karena kedinginan. Sekarang kan musim hujan, airnya dingin. Ia tak kuat berlama-lama di air, aku saja tak kuat.

Pada akhirnya, aku tak menyimpulkan apa penyebabnya. Biarlah polisi yang mengungkap.

Terlepas dari berbagai spekulasi tadi,  kematian ikan hitam setengah putih di kolamku ini membuat ikan satunya terpukul. Kematian ini membuatnya harus hidup seekor diri. Sebetulnya aku kasihan, tapi bagaimana lagi aku tak bisa berbuat banyak. Aku belum bisa mencarikan penggantinya karena memang belum ada ikan lain yang bisa kubeli. Ada sih, tapi itu ikan asin, untuk aku makan malam nanti.

Kini, ikan itu masih di TKP dan belum dipasang garis polisi. Ikan yang satunya tampak masih belum percaya. Sementara aku menangisi mereka. Menangisi ikan yang mati, juga menangisi ikan yang sekarang sendiri. Aku turut berduka cita. Sabar ya, ikan. Ini cobaan. Begitulah kematian, kita semua tidak tau.

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon

Hari ini aku begitu terkejut. Sesaat sebelum gayung ini mendarat di permukaan, seeokor ikan di dasar kolam kulihat tak bergerak sama sekali dengan keadaan miring tepat menghadap kiblat. Aku menduga, ikan itu sakit.

Segera kuhentikan tanganku dan mengurungkan niat mandi untuk sejenak memastikan apa yang sebenarnya terjadi.

Sepotong tanganku lalu kumasukkan ke dasar kolam. Memang betul ada yang tidak beres dengan ikan ini, tak ada tanda-tanda pergerakan saat ujung jari semakin mendekati tubuhnya.

Jariku dengan perlahan kusenggol-senggolkan siripnya, namun tak ada respon. Maka dengan berperasaan, kuangkat ikan itu dengan hati-hati. Posisi tanganku seperti memegang namun tidak rapat, biar ada ruang untuk dia merasa aman. Aku mendorongnya dari bawah menuju permukaan.

Aku amati betul fisiknya. Kuketahuilah bahwa ikan itu tak ada pergerakan lagi. Matanya tak berkedip, mulutnya menganga, pun sirip dan ekornya yang tak mengepak.

Ketika kumasukkan ke air lagi, ikan itu juga tak menunjukkan kegirangannya. Ikan itu seperti batu yang dicemplunglan ke kali. Diam, diam, makin tenggelam, dan betul-betul tenggalam.

Tapi, aku belum yakin ikan itu mati, maka kubiarkan saja ia diam di dasar kolam. Kalau esok nanti masih dalam posisi yang sama, sudah bisa dipastikan ikan itu mati. Biarkan itu menjadi takdirnya.

Aku lalu mandi. Dan dalam mandiku, aku kepikiran betul. Jika ikan itu mati, apa sebabnya. Aku mulai curiga, ada motif pembunuhan di belakang kematian ikan hitam setengah putih ini.

Dalam benakku, kemudian muncullah beberapa spekulasi kematian ikan ini.

Spekulasi pertama: berkelahi dengan ikan satunya. Di dalam kolam ini ada dua ikan, ikan tadi dan ikan satunya yang berwarna hitam penuh. Tapi dugaan ini tidak didukung fakta yang lengkap. Mengingat, ikan yang hitam ini tampak meratapi kematian si ikan temannya. Wajahnya murung, dan selalu menyendiri di pojokan. Sulit ditebak juga apakah itu bentuk kesedihan atau penyesalan.

Spekulasi kedua: ikan itu mati kedinginan. Sejak Januari ini hujan hampir tiap hari mengguyur. Musim hujan itulah yang mendatangkan dingin yang puncaknya ada pada air. Sebab itulah tidak menutup kemungkinan bahwa ikan itu mati kedinginan. Barangkali suhu tubuhnya meningkat drastis dan mempengaruhi kekebalan tubuhnya.

Spekulasi yang selanjutnya: ikan itu mengalami kecelakaan tunggal. Dalam kehidupan perikanan kemungkinan kecelakaan bermacam bentuknya. Bisa jadi ikan tadi menabrak tembok karena terlalu melaju kencang, atau mungkin ikan itu terpleset dasar kolam yang licin. Dan perlu diselidiki juga adakah kemungkinan tenggelam.

Namun dari tiga spekulasi  tadi, yang paling mungkin adalah spekulasi terakhir: ikan dibunuh, entah diracun, atau memakai cara lain. Kenapa spekulasi ini paling mungkin? Karena sehari sebelum kematian ini, peristiwa vital terjadi. Berikut selengkapnya.

Sabtu pagi, mengetahui air sumur jernih kembali, bapakku berinisiatif untuk melakukan revitalisasi dan normalisasi kolam mandi yang memang meskipun sudah jernih, banyak kotoran yang mengendap di dasarnya.

Saat istirahat kerja, pada sabtu siang, disempatkanlah bapak mengeksekusi agenda tadi. Dikurasnya kolam itu dan dibersihkannya secukupnya. Dan dua ikan didalamnya, mau tak mau harus diungsikan dulu. Maka dipindahlah mereka oleh bapak di ember kecil.

Sekira 20 menit kemudian, kolam selesai dibersihkan. Barulah diisi air yang baru yang lebih jernih warnanya. Setengah kolam terisi, sudah mungkin dua ikan itu menempati tempat dengan suasana baru. Kucemplungkan ikan-ikan itu lagi. Kulihat, sepertinya mereka terkejut, dalam hati mereka mungkin berkata, "wah bagus ya, terimakasih bedah rumah, terimakasih gtv."

Dan sekonyong-konyong, Ahad sore ikan itu wasaalam, tewas. Patut dicurigai, ada kaitan antara kematian ini dengan normalisasi air kolam. Pasti ada agenda pembunuhan saat normalisasi itu.

Dugaan sementara, yang membunuh ikan hitam setengah putih itu adalah bapakku sendiri. Aku akan memproses kasus ini setelah saksi -yang merupakan teman korban- mau membuka mulut. Sejauh ini, ikan hitam penuh itu masih trauma.

Terlepas dari empat spekulasi ini, kematian ikan hitam setengah putih membuat ikan satunya menjadi terpukul. Jasad itu sekarang masih di tkp namun belum dipasang garis polisi. Aku belum tega mengambilnya, biarkanlah teman korban berpuas-puas dalam berkabung dulu. Esok baru akan aku ambil.

Tetapi kegamangan muncul dibenakku, jika ikan itu aku ambil, ikan satunya sama siapa. Sementara, selama 40 hari ikan itu musti menjalankan iddahnya, tak boleh bertemu dengan ikan lain. Bagaimanapun, aku harus mematuhi aturan perikanan ini. Aku belum akan menambah ikan baru sebelum 40 hari kedepan. Sebenarnya aku kasihan, tapi bagaimanalagi. Sabar ya, ikan. Ini cobaan.

###

Kamar mandi, 11 Februari 2018

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon

"Sayang, ini hari apa ya?" Seorang perempuan mengirimi pesan lewat wasap, berusaha memancing kepekaan pacarnya. Mengingat, hari ini katanya hari valenten.

"Hari ini hari Rebo sayang, tanggal 14 pebruari 2018." Sang pacar membalas dengan informasi selengkap-lengkapnya.

"Ih, sayang. Bukan itu. Masak kamu nggak peka." Balas perempuan lagi sambil memanyukan bibirnya yang imut. Wajahnya tampak gelisah melihat tanda bahwa pacarnya tak tahu kalau ini hari valenten.

Kemudian dibalasnya lagi oleh sang lelaki, " Oh, iya iya. Aku paham kok. Nanti malam ya, sayang."

Mendapati balasan itu, si perempuan bahagia sekali. Dia melompat-lompat kegirangan mengetahui pacarnya akan datang nanti malam. Pasti dia bawa cokelat, bawa bunga, bawa surat cinta. So swettt. Begitu pikirnya.

Malam pun tiba, si perempuan sudah tak sabar. Dia sudah menunggu dibalik pintu dengan pakaian merah dengan parfum yang begitu menyengat.

Sampai kemudian, tok tok tok, pacarnya datang. Dibukanya dengan semangat. Silahkan masuk, katanya.

Lelaki itu lalu duduk di sofa yang empuk. Dibukanya langsung apa yang diinginkan si perempuan. "Ini saya bawakan kalender, tadi kan kamu tanya ini hari apa kan. Nah, saya paham, di rumah pasti kamu tidak punya kalender. Makanya saya bawakan. Ini mau ditaruh dimana?"

Si lelaki lalu menempelkan kelender itu di dinding. Tampak jelas begron kalender itu beberapa gambar hape. Kalender itu dia dapat sebagai hadiah saat membeli hape di konternya bang aris senin lalu.

"Nah cantik kan." Tanya si lelaki sambil menunjukkan kalendernya.

"Cantik cantik matamu. Kita putus. Keluar kamu!!!" Si perempuan yang sebelumnya kegirangan kini marah besar. Apa yang ia harapkan kandas. Matanya kemudian memerah, dari kepalanya muncul dua tanduk lancip, dan dari jarinya keluarlah cakar-cakar yang tajam. Kakinya lalu dikais-kaiskan ke lantai, persis seperti banteng yang mengambil posisi untuk menyeruduk.

" keluar kamu....!!!! Asuuuuuuu "

Si lelaki itu lalu lari ketakutan, dengan tak lupa mengambil kalender hadiah beli hape yang sudah ia tempelkan sebelumnya.

"Kaburrrrr."

######

Dibuat di kamar, seorang diri. 14 Pebruari 2018 Pukul 11.56.

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon

Hari ini aku kontrol lagi untuk kesekian kalinya. Karena sudah biasa, tentu saja saya sudah paham urutan-urutannya sehingga saya cukup tenang.

Tapi saya tak mau mbahas mengenai kesemua tahapan itu. Saya cuma mau mbahas satu hal saja, yaitu saat ngantri obat di apotek. Banyak sesuatu yang menarik yang patut anda tahu.

Di Apotek, seperti di tahapan lain, ada sesuatu yang anda benci dan harus dilalui, yaitu mengantri. Okelah, semua setuju itu tak menarik sama sekali. Lebih tak menarik lagi kalau antriannya sangat puanjang. Tapi jangan dulu membuka hape untuk menghindari kebosanan yang akan muncul ditempat ini. Tenangkan jiwamu dan bukalah mata hatimu.

Saya sudah sering mengantri di Apotek rumah sakit, pernah ngepasi sepi, namun lebih banyak pas ramai. Awal-awal, saya tak menikmati yang namanya antrian di sini, sudah sesak, haus, tak ada kuota lagi, apes tenan. Namun akhirnya saya menikmati antrian di Apotek ini, hal itu berkat kesadaran yang muncul dalam diri saya.

Jika mau mengamati, toh ternyata dalam kebosanan mengantri ini ada sebuah sesuatu yang terpampang jelas untuk dinikmati. Apakah itu?

Pertama, angkatlah kepalamu dan lihatlah apoteker di depanmu itu. Coba saja perhatikan wajahnya. Cantik kan. Itulah suguhan yang terpampang nyata. Sungguh, nikmat mana lagi yang kau dustakan.

Saya sudah mewajarkan kenapa kebanyakan petugas apotek itu cantik-cantik. Bukan apoteker saja sih, hampir semua petugas di rumah sakit ini. Fakta itu bisa dipikir dengan logika akal sehat.

Begini, petugas rumah sakit di manapun tentunya harus berasal dari lulusan pendidikan kesehatan (untuk lebih spesifiknya, saya tidak tahu). Kebanyakan yang mampu untuk sekolah di bidang ini pastinya orang-orang berduit, orang kaya. Apa sih yang menonjol dari orang kaya, ya perawatan tubuhnya. Itulah alasan kenapa petugas di sini cuantik-cuantik.

Lebih lama ngantri di apotek, akan lebih lama melihat wajah-wajah cantik ini. Jika disadari, tak bakal ada kebosanan dalam penantian menunggu obat. Bahkan rasanya, justru ingin mengantri lama-lama.

Seperti asar ini, saya juga sedang mengamati kecantikan mereka satu persatu secara leluasa. Yang paling bikin betah, tak ada yang melarang hal ini sama sekali. Jangankan sampai tercyduk, mbak-mbak yang cantik ini sadar dilihat saja tidak. Mereka fokus bekerja.

Terkadang dalam asyiknya melihat mereka, saya perhatikan juga kalau mbak-mbak cantik ini ternyata imut juga. Saya sadari hal itu saat mereka sesekali membetulkan kaca mata mereka. Ya, kacamata itulah yang bikin aku gemez. Wajah mereka yang aduhai, bertambah imut dengan kaca mata. Ya Tuhan, apakah ini jatuh cinta.

Sepengamatan saya, orang pakai kaca mata itu ada dua alasan: karena masalah mata atau untuk menambah cantik. Dan di tempat saya sekarang ini, kacamata dan cantik menjadi dua hal yang sepasang. Saya tak tahu apakah memang ada hubungan dari keduanya. Yang pasti, saya sangat menikmati apoteker cantik ini, terlebih yang pakai kacamata. Sumpah, imut banget. Gemez deh, pingin nyibit pipinya itu.

Bagi yang biasa wora-wiri kesini, pasti paham bagaimana sensasinya. Tapi kalau belum, hahaha, rugi sekali. Makanya, sekali-kali sakit dan kesini.

Saking terbiasanya saya kesini, saya paham kapan waktu bisa menikmati yang cantik-cantik. Setiap ndaftar, sambil menunggu nomor dipanggil dan itu lama sekali, saya selalu duduk di kursi tunggu depan rumah sakit. Saya ndaftar pagi hari, dan itulah waktu yang tepat untuk melihat yang seger-seger.

Misalnya pagi tadi, saya berangkat jam 6, sampai sini jam 6.15 dan dapat nomor antrian 58, masih lama sekali. Seperti biasa, saya menunggunya di kursi depan rumah sakit. Waktu itu tepat bersamaan dengan jam berangkat dan pulang mereka. Disitulah para orang cantik ini berseliweran. Sungguh, sarapan pagi yang begitu sehat.

Dan asar ini, setelah mendapatkan obat, saya duduk lagi di tempat yang sama seperti saat ngantri pagi tadi. Namun bukan untuk melihat seliweran-seliweran asyik, karena ini bukan waktu jam pulang mereka, tetapi untuk saya menulis. Kontrol berikutnya, saya mau melanggengkan kebiasaan ini, menulis dengan santai di depan rumah sakit. Enak betul.

Oh iya, sore ini, saya mulai percaya pada perkataan 'kalau bersyukur, nikmatnya akan ditambah'. Kenapa? Karena duduknya saya di kursi depan kali ini, disuguhi pemandangan bagus lagi. Tepat disamping saya, duduk perempuan cantik berkerudung biru. Dan ndilalahnya, juga kacamatanan. Ncen ayu karo kocomoto ki bersahabat.

Ya Tuhan, saya bersyukur hari ini. Besok lagi ya.

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon
Newer Posts
Older Posts

Info

Tayang seminggu dua kali

Mutualan, Yuk

  • facebook
  • instagram
  • youtube

Kategori

IPNU

Postingan Viral

Catatan

Sementara kosong dulu, seperti hatiku

Facebook

Isi Blog

  • ►  2024 (15)
    • ►  Apr 2024 (1)
    • ►  Mar 2024 (4)
    • ►  Feb 2024 (1)
    • ►  Jan 2024 (9)
  • ►  2023 (11)
    • ►  Des 2023 (3)
    • ►  Nov 2023 (1)
    • ►  Sep 2023 (3)
    • ►  Jul 2023 (4)
  • ►  2022 (46)
    • ►  Nov 2022 (7)
    • ►  Okt 2022 (7)
    • ►  Sep 2022 (6)
    • ►  Agu 2022 (4)
    • ►  Jul 2022 (9)
    • ►  Mei 2022 (4)
    • ►  Jan 2022 (9)
  • ►  2021 (22)
    • ►  Des 2021 (5)
    • ►  Sep 2021 (3)
    • ►  Agu 2021 (6)
    • ►  Jun 2021 (1)
    • ►  Mar 2021 (7)
  • ►  2020 (14)
    • ►  Des 2020 (1)
    • ►  Nov 2020 (2)
    • ►  Jul 2020 (2)
    • ►  Jun 2020 (1)
    • ►  Mei 2020 (1)
    • ►  Apr 2020 (1)
    • ►  Mar 2020 (2)
    • ►  Feb 2020 (4)
  • ►  2019 (3)
    • ►  Mar 2019 (1)
    • ►  Feb 2019 (1)
    • ►  Jan 2019 (1)
  • ▼  2018 (57)
    • ►  Okt 2018 (7)
    • ►  Sep 2018 (5)
    • ►  Jul 2018 (11)
    • ►  Jun 2018 (3)
    • ►  Mei 2018 (4)
    • ►  Apr 2018 (2)
    • ►  Mar 2018 (5)
    • ▼  Feb 2018 (12)
      • Efek Upin Ipin bagi pertelevisian keluarga
      • Alasan klise tidak menulis
      • Perempuan yang duduk tepat di samping saya
      • Mengingat kembali kala pertama kali sekolah
      • Gagal menjadi nakal yang sebebas-bebasnya
      • Perjumpaan yang tak sesuai harapan
      • Saat-saat pidato pertama kali
      • Tanda sayang Amin pada pacarnya
      • Misteri Tewasnya Ikan di Kolamku
      • Kematian Ikan di Kamar Mandiku
      • Cerita Valentine
      • Mengantri di Apotek itu sebuah kenikmatan lho!
    • ►  Jan 2018 (8)
  • ►  2017 (71)
    • ►  Des 2017 (7)
    • ►  Nov 2017 (20)
    • ►  Okt 2017 (10)
    • ►  Sep 2017 (8)
    • ►  Agu 2017 (8)
    • ►  Jul 2017 (9)
    • ►  Jun 2017 (5)
    • ►  Mei 2017 (4)

Created with by ThemeXpose | Distributed by Blogger Templates