Saat-saat pidato pertama kali

by - Februari 19, 2018

Bisa dikatakan saya adalah murid paling pemalu di sekolahan. Malu dalam segala hal. Bahkan karena saking malunya, saya harus pulang lebih dulu saat kebelet mau pipis. Karena malu inilah saya tumbuh menjadi murid pendiam yang biasa menyendiri di pojokan. Barangkali karena malu itu juga, sampai sekarang teman saya sangat sedikit.

Tapi inilah kehidupan, ada dua sisi yang bertolak belakang. Selalu ada hal yang membuat kita harus menaklukan apa yang menjadi kekurangan kita. Termasuk pada kepemaluanku.

Dulu semasa Madrasah Ibtidaiyah, kalau tidak salah kelas 4, dengan tega pak kepsek menunjuk saya untuk lomba pidato se-kecamatan mewakili sekolah. Waktu itu bertempat di SDN Njrebeng. Saya kaget, kenapa saya yang ditunjuk. Padahal saya belum pernah sekalipun bicara di depan umum, saya pun tidak pernah dapat rangking, kecuali pada kelas 3 semester ganjil dimana saya dapat rangking 5, itupun dari belakang. Meski akhirnya, dengan terpaksa saya terima, hanya karena saya malu untuk mprotes.

Sebelum perlombaan, saya tak diberi persiapan apapun. Saya hanya dikasih tahu kalau pidatonya tidak boleh bawa teks. Saya pikir, yowislah nek kokui. Saya pun berangkat dengan membawa diri saya yang pemalu, dengan tanpa persiapan sedikitpun, kecuali rambutku yang lumayan rapi dengan gaya sisir piyak miring ke kanan.

Hingga tibalah disana, disebuah ruang kelas yang menciutkan nyaliku. Disana, terlihat wajah-wajah meyakinkan dari peserta pidato. Saya lalu masuk, tak seperti peserta lain yang didampingi gurunya, saya hanya sendiri, guru saya hanya mengantar sampai pintu dan setelah itu tak terlihat lagi. Duduklah saya diantara peserta lain.

Saya, dengan kenekatan tinggi berkenalan kepada peserta yang duduk persis disamping saya, namanya husain, asal SDN Impres pucang. Kepadanya saya bertanya, bagaimana mekanisme lombanya nanti. Katanya, setelah nama dipanggil, maju, lalu terlebih dulu ngambil klintingan yang isinya tema yang harus dibawakan untuk maju, barulah tampil.

Sungguh, nyali saya yang ciut makin menciut. Apalagi setelah saya melihat semua peserta tampak membawa teks dan komat-kamit menghafalkannya, termasuk kenalan saya, husain. Sementara saya tak bawa catatan apapun. Sejak itu saya merasa seperti dijebak pak kepsek. Sialan.

Hingga kemudian nama saya dipanggil. Kakiku gemetar, tapi saya paksakan untuk melangkah maju. Lalu saya mengambil klintingan, saya buka, dan... saya dapat tema 'wajib belajar 12 tahun'. Ah, apapun temanya, bagi saya sama saja, sama-sama tak tahu materinya.

Didepan, kaki saya tetap gemetar. Saya tak tahu harus ngomong apa. Saya grogi. Bertambah grogi saat mengetahui juri, peserta, dan berpotong-potong kepala di jendela meyorotkan matanya kepada saya. Dalam hati saya bilang, sing penting ndongeng, sing penting ndongeng, ben cepet kelar.

Hingga akhirnya saya menyelesaikan detik-detik mendebarkan itu. Saya tak tahu apa yang saya ucapkan, pokoknya singkat, mungkin hanya lima kalimat. Itupun kalau ditulis dan dibaca lagi, tak nyambung sama sekali. Namun yang penting, saya lega.

Sejak ikut lomba pidato itu, alih-alih hilang rasa malu, saya tetap menjadi murid pemalu. Namun meski tak sedikitpun memperbaiki rasa malu, pengalaman ini tetaplah bermanfaat. Setidaknya untuk saya tuliskan sekarang. Karena tak menutup kemungkinan, berangkat dari pidato yang memilukan ini, kelak saya bisa pidato di istana, pidato kenegaraan.

You May Also Like

0 Respon