Gagal menjadi nakal yang sebebas-bebasnya
Menjadi nakal adalah impian saya. Tetapi orangtua membentuk saya menjadi seorang penurut.
Sejak kecil saya dididik oleh bapak saya yang mungkin bisa disebut keras, tetapi saya menyebutnya sebagai ketegasan. Artinya kalau bapak bilang tidak boleh, ya tidak boleh.
Barangkali karena hal itu, saya tumbuh agak berbeda dari anak-anak lain yang menurut saya mereka beruntung. Beruntung karena mereka punya kesempatan nakal. Jujur, itu yang saya impikan sejak dulu dan belum kesampaian.
Bapak saya selalu membatasi setiap hal dari saya. Pokoknya banyak sekali, dari pulang sekolah harus langsung pulang, dzuhur sudah di rumah dan makan, jam 4 sore harus sudah mandi, tidak boleh keluar malam, sampai tidak boleh main PS. Kalau sampai saya melanggar aturan itu, saya harus siap-siap menghadapi kemarahan besar bapak.
Karena saya paham karakter bapak bagaimana, saya selalu nurut. Tetapi terkadang sebagai manusia, saya juga pernah melanggar, itupun tak sengaja. Misalnya pulang kesorean, untuk pelanggaran satu ini sebetulnya bukan karena faktor saya secara pribadi, namun karena situasi. Jadi tiap sore itu saya dan teman-teman biasa balbalan yang bubarnya tak tentu. Permainan baru akan bubar kalau ada salah satu pemain yang pulang dan itu yang memancing pemain lain ikut pulang. Dan orang yang memulai pulang pasti akan dibully. Karena itulah saja hanya berani pulang kalau sudah ada yang pulang. Ya karena saya takut dibully. Jadi kadang memang terpaksa pulang sore.
Lalu apakah sepulangnya dirumah dimarahi? Oh ya tentu saja. Bapak saya pasti marah. Tetapi sebagai anak, saya paham kenapa bapak selalu marah tiapkali saya pulang sore. Itu karena supaya tidak menjadi terbiasa. Ora tuman. Yang saya sadari juga hal itu ada benarnya. Mungkin kalau dari dulu saya boleh pulang sore, saya pasti sekarang pun mau pulang sore terus.
Tetapi dalam beberapa hal, saya sengaja melanggarnya. Waktu itu pas liburan, karena bingung mau ngapaian, saya akhirnya main PS sama Bahul, teman saya. Dan ternyata, PS-an itu enak juga. Sejak itu saya jadi sering main PS. Untuk yang satu ini bapak ndak tahu sama sekali. Kalau misal tahu, pasti....
Pernah juga sengaja dan ketahuan. Ini parah banget. Kejadiannya pas perpisahan kelas 6. Awalnya saya berangkat, tetapi di sekolahan yang ada hanya orangtua wali, yasudah saya pulang, apalagi saya tanya temen-temen juga mereka tak mau berangkat.
Barulah satu jam kemudian, bapak dengan wajah merah menemui saya dirumah menyuruh saya berangkat. Saya berangkat lagi. Disana saya melihat guru-guru bingung karena murid lelakinya belum ada semua. Karena memang tak ada info sebelumnya untuk berangkat. Ya maklumlah, kan masih anak-anak.
Sepulangnya dari perpisahan itu, bagai petir halilintar yang menyambar, bapak marah besar. Sulit saya jelaskan. Pokoknya marah besar, sampai saya hanya bisa njekutut di pojokan.
Namun dari sederet aturan itu, pada akhirnya semua demi kebaikan saya dan itu membentuk kedisiplinan saya sampai sekarang. Seperti misalnya saya sering berjamaah di musolla, kemudahan ini tak terlepas dari kebiasaan bapak yang selalu menyuruh saya jamaahan dulu.
Meski begitu, terkadang, saya agak risih. Pasalnya aturan-aturan itu tetap melekat saya sampai sekarang. Inilah yang membuat saya merasa belum menjadi anak muda, apalagi yang mandiri. Masih jauh. Saya belum merasakan kebebasan.
Saat di MA misalnya, setiap saya pulang sore karena ikut ekskul, saya pun dimarahi. Saya bahkan harus melewatkan kegiatan-kegiatan besar diluar semacam kemah pramuka.
Dan disaat saya merasa kebebasan saya terbatasi, saya diuji yang malah membuat kebebasan saya makin terbatasi, bahkan mungkin hilang. Diakhir 2016, saya terkena penyakit tbc yang sampai sekarang belum sembuh.
Sejak menderita penyakit ini saya seperti merasa tidak ditakdirkan untuk bebas, bergerak leluasa, nakal. Saya seperti ditakdirkan untuk menjadi seorang yang penurut, pasrah pada kenyataan.
Sekarang, saya hanya di rumah. Barangkali ini jawaban bagi bapak yang menginginkan saya untuk selalu makan tepat waktu, tidak pernah pulang sore, tidak keluar malam, selalu jamaah, tidak main PS, dan mandi jam 4 sore.
Yaiyalah, ha wong saiki aku rung mari, mung nangumah, ra tau metu, pengangguran, ra ndue duit, ra ono kesibukan.
0 Respon