Mengingat kembali kala pertama kali sekolah

by - Februari 22, 2018

Ketika saya masuk, saya heran kenapa mereka sudah pada kenal. Maka, tak ada pilihan lain bagi saya selain diam.

Waktu itu, ketika pertama kali berangkat sekolah dan masuk kelas, saya tak tahu apa yang harus saya lakukan. Semua yang saya lihat adalah sesuatu yang baru: suasananya, orang-orangnya, dan perasaannya.

Di kelas 1 MI WS Kebonrowopucang itu, cuma saya murid yang masuk tanpa melalu ijazah TK karena memang tak sekolah TK, apalagi PAUD. Barangkali dulu saya memang tak mau sekolah TK, atau sebab alasan ekonomis, mengingat saat itu rumah saya masih pake pager dan welid yang kalau hujan alas yang belum mengenal keramik itu jadi becek. Saya tidak ingat.

Karena saya bukan lulusan TK, saya harus belajar lebih ekstra dari siswa lain. Saya datang dengan tanpa keterampilan dasar belajar sama sekali. Saya tidak bisa nulis, saya tidak bisa menghitung, saya tak bisa menggambar, dan saya tak bisa menyanyi. Bisa dipastikan saya menjalani hari-hari itu dengan berat.

Saya tidak bisa menulis, karenanya saya selalu tertinggal mencatat apa yang ditulis ibu guru. Seringkali saya harus membawa pulang buku teman agar saya bisa menyelesaikan tulisannya di rumah.

Saya tak bisa menghitung, kalau hanya mengurutkan saya bisa. Satu, dua, tiga, dan seterusnya. Jika materinya penjumlahan, saya punya alat bantu yaitu jari, saya tinggal mengacungkan berapa nilai yang ditanyakan. Tetapi jari tangan hanya bisa sampai sepuluh saja, maka saya tidak bisa menjawab seumpama 8+7, kadangkala saya harus meminjam tangan teman. Tetapi agak kualahan juga ketika pas ulangan, sebab yang ditanyakan adalah 27+29. Berapa potong tangan yang harus saya pinjam. Maka kalau menjumpai pertanyaan sulit itu, saya menggunakan imajinasi saya. Karena hanya imajinasi, maka hasilnya tak sesuai realita yang ada. Itu belum perkalian, ataupun perpangkatan.

Saya juga tidak bisa menggambar. Maka ketika pelajaran menggambar, yang melulu saya gambar hanyalah mobil mobil dan mobil. Namun kelak jika sudah kelas 2, saya sudah mulai menggambar rumah dan pemandangan gunung. Meski dari kesemua itu, nilainya rendah semua. Waktu itu saya tidak punya pensil warna, dan kalau memulas ya harus pinjam. Hal itulah yang membuat saya memulas dengan warna seadanya, sesuai yang dipinjamkan teman saya.

Menyanyi pun saya tak bisa. Setiap hari di kelas itu, hampir selalu ada menyanyi. Ini sesuatu yang saya tak sukai. Mengingat, saya kan tidak TK, mana tau lagu-lagu naik-naik ke puncak gunung, pelangi, naik delman. Kelak ketika saya sudah besar saja masih salah lirik kok. Maka satiap ada nyanyi, meskipun saya tak tahu dan memang tak tahu semua, saya tetap antusias, yah walaupun cuma mangap-mangap.

Dan hal yang paling mengerikan sebab ketidakbisaan itu, adalah kala semesteran. Saya selalu panik. Untungnya saya punya teman-teman baik yang memperlihatkan jawabannya kepada saya. Meski kemudian, kebaikan itu tak ada gunanya karena nilainya njeblok. Kelak dari situ saya akan selalu curiga, bahwa yang mudah memberikan jawaban kepada orang lain adalah segolongan siswa goblok. Tapi meskipun goblok, mereka tetap baik. Tetapi percuma baik, percuma ngasih jawaban ke saya, kalau jawabannya salah, itu sama saja jahat. Tapi... kenapa saya ngurusin mereka goblok atau tidak. Atau jangan-jangan yang goblok itu saya.

Itulah pengalaman pertama kali merasakan sekolah. Begitulah rasanya. Hal itu mustahil saya rasakan kembali. Jika dibandingkan dengan sekarang, semua sudah berbalik. Bukan cuma saya, yang lain pun pasti sama. Hanya saja terkadang saya ini aneh, saya ingin kembali ke masa-masa itu tetapi dengan kemampuan yang saya miliki sekarang.

You May Also Like

0 Respon