• Halaman Awal
  • Diri Sendiri
facebook instagram Email

Anam Sy

Ponakanku dan sepotong kaki ibunya
Husna tiba-tiba menangis. Ia menatap dari jendela melihat dua kawannya cukup seru memainkan layang-layang. Ia terus menunjuk-nunjuk dan menyerukan suaranya. Pasti, biar ibunya mendekati. Mengharapnya paham.

Awalnya Husna sedang nonton tivi, meski sebetulnya tidak benar-benar menonton karena ia sibuk merangkai pazel yang ia beli Jumat kemarin. Namun kesibukan itu dirusak oleh suara cukup seru dari luar rumah. Mengabaikan pazel, ia berlari, menyingkap klambu jendela, lalu menangis.

Aku yang sedang asik main gawai di kamar, segera keluar, mendekati keponakanku yang menangis. Ibunya sedang masak. Di luar sana, ada Arfi dan Ihsan sedang memainkan layang-layang kecil yang senarnya terikat di ujung belahan bambu. Dikitar-kitarkannya sambil berlari.

Aku paham Husna ingin layang-layang itu, tapi tidak mungkin. Dua anak itu beli dari penjual di depan sekolah. Sedang ponakanku, belum sekolah. Aku merayunya untuk tidak menangis. Nanti beli, nunggu penjualnya lewat, rayuku. Tapi tak mempan, tangisnya makin nyaring. Sialan.

Ibunya datang, langsung menggendongnya. Ia masih tetap menangis. Dibawanya ikut memasak. Aku kembali ke kamar. Tangisnya mulai mereda. Tapi kemudian memuncak lagi. Aku keluar lagi, ia sudah di jendela itu dengan tetap menunjuk-nunjuk.

Aku mendekatinya, dan ia mau kugendong saat tanganku kuajukan. Kubawa ke kamar. Ia tetap menangis. Dan kupikir, tangisnya akan berhenti ketika aku sodori hape. Dia suka main game. Tapi sial, ia menguasai hapeku. Oke kalau tetap dalam game. Kalau sampai masuk ke medsos dan dengan sembarang menjamahnya. Tidak tidak. Aku mendampinginya main game. Mainnya sembarangan, beberapa kali aku tegang saat game yang dimainkan hampir game over. Untungnya, Husna diselimuti keberuntungan. Di detik-detik sebelum game over, sasarannya ndilalah tepat.

Game di androidku cuma satu, ball & bricks. Game-nya sederhana, menghancurkan beberapa kotak dengan bola. Aku biasa memainkannya saat jenuh. Sebetulnya aku pernah memiliki permainan lain, PES 2012 dan juga simulator bis. Tapi saya hapus karena tidak efisien waktu. Sayangnya, game yang sedang dimainkan Husna ini cukup membosankan. Lalu diserahkan hape itu kepadaku. Syukur, ia sudah lupa pada layang-layang.

Husna keluar kamar, menghampiri ibunya, dan meminta beli jajan. Disanggupi. Kemudian menonton tivi lagi dan menghabiskannya. Ke kamarku lagi, tiduran, minta dibuatkan susu. Keluar lagi, menghadap tivi lagi.

Aku tetap di dalam kamar. Menatap ponsel. Dan menulis.



Share
Tweet
Pin
Share
No Respon
Owner yang baik hati dan tidak sombong, saya Anam, bermaksud meminangmu

Beberapa waktu terakhir ini, saya menganggur --lebih tepatnya saya memutuskan untuk menganggur. Saya kemudian menghabiskan waktu untuk fesbukan, youtuban, dan internetan. Standar-standar saja.

Sebagai pengangguran, kewajiban saya tentu saja mencari pekerjaan. Bagi saya, ini cukup sulit. Saya adalah orang yang sombong dan tidak mau bekerja yang menguras begitu banyak tenaga. Saya juga paham, tidak ada pekerjaan yang mudah dan ringan di dunia ini. Tetapi begitulah, tubuh saya bukan cetakan pekerja keras, dan jiwa saya tidak mau jadi karyawan.

Saya kemudian mencari ceruk sementara yang bisa saya tempati. Dan pilihan itu adalah mencoba menjadi freelancer, menjadi pekerja lepas. Awalnya saya kira mudah, ternyata sulit juga. Tak seperti yang dibayangkan.

Ada banyak situs untuk freelance, ada sribulancer(dot)com, ada juga projects(dot)co(dot)id, dan masih banyak sejenis yang lain. Di situs tersebut, banyak ceruk pekarjaan yang dibutuhkan oleh owner dalam berbagai jenis pekerjaan. Ratusan, bahkan ribuan. Tak heran jika jumlah freelancer diam-diam ternyata banyak juga.

Saya mencoba untuk daftar di projects.co.id. Sebagai member baru, saya mengamati dulu dengan melihat lalulintas di situs tersebut, dari mulai owner memasang kebutuhannya, sampai bid dan teknis pengerjaannya. Sepertinya cukup jelas saya memahami arusnya.

Saya mulai mencoba ikut mem-bid. Karena saya bisanya menulis, saya mencari ceruk kepenulisan. Nyatanya, keahlian menulis memang dibutuhkan. Hampir tiap hari ada yang membutuhkan pekerjaan ini. Biasanya menulis artikel-artikel.

Tarif menulis artikel sendiri harganya bervariasi, tergantung jumlah kata dan kesulitan. Harga berkisar 5.000-50.000-an per artikel. Namun umumnya, owner membutuhkan beberapa artikel sekaligus, 10 sekaligus misalnya. Dari 10 artikel yang dikerjakan, worker bisa dapat ratusan ribu. Lumayan bukan.

Selain ceruk kepenulisan, bidang lain yang banyak dibutuhkan di sana adalah IT. Tapi saya tidak paham dan agak asing istilahnya. Ada system, API, provider, dan bermacam-macam istilah asing dari keseharian saya. Makin saya tidak tahu nama pekarjaannya, makin banyak tarifnya. Untuk yang semacam itu, kisarannya jutaan. Fantastis. Ini ceruk yang perlu dikuasai sebab banyak dibutuhkan.

Bilangan angka tersebut memang menggiurkan. Tapi apakah mudah. Barangkali iya, oleh mereka yang memang ahli dan terbiasa menjadi freelancer. Tapi bagi saya, jelas ini kesulitan yang berarti.

Dalam satu proyek yang diminta owner, akan ada banyak worker yang mem-bid. Disinilah pertarungannya, antar worker saling sikut-sikutan untuk menarik perhatian si owner dan kemudian di accept bid. Tapi sikut-sikutan disini bukan fisik, tetapi kalimat penawaran yang meyakinkan.

Dalam hal ini, yang berpengalaman tentu saja diuntungkan. Bagaimana tidak, sang owner pastinya ingin memilih worker/freelancer yang punya pengalaman, yang sudah punya poin dan bintang. Dan bagi saya juga freelancer pemula lain, mendapatkan worker pertama adalah perjuangan. Tak heran kalau yang memenangkan projek melulu orang yang sama.

Sejauh ini saya sudah bid/menawarkan 10 kali lebih, namun saya selalu gagal menang. Tapi ya begitulah, ini pekerjaan yang membutuhkan kepercayaan. Kalau owner belum memilih, percayalah, kita belum bisa dipercaya. Harus banyak mem-bid lagi, supaya owner percaya kalau kita sudah cukup kesal akan hasil selama ini. Hehe...

Menjadi freelancer, kalau tidak punya kapasitas, ya pasti tidak mudah. Saya mengakui itu.

Meski saya selalu gagal memenangkan projek, saya tidak kecewa, tidak marah, tidak pula putus asa. Biasa saja. Memang begitulah freelancer, kalau tidak ditolak, ya diterima. Wajar saja.

Setidaknya saya sekarang tahu, bahwa banyak yang membutuhkan jasa menulis. Bukan hanya di situs tersebut, hampir seluruh media. Artinya, saya bisa memandang ini sebagai peluang kerja saya nantinya. Bukan sekarang. Saya belum punya kemampuan lebih untuk itu. Saya tahu ini saja sudah bersyukur.

Saya masih butuh banyak belajar meningkatkan kemampuan kepenulisan. Sekarang saya memang belum bisa memenangkan projek, ya itu memang pantas. Tetapi akan berbeda ceritanya ketika 3 tahun kemudian, saya kembali mencoba menjadi freelancer lagi dengan kemampuan yang telah saya pelajari.

Kesimpulannya: menjadi freelancer tidaklah semudah yang dibayangkan, juga tidak sesulit yang khawatirkan. Biasa saja. Seperti main judi, kadang menang kadang kalah.

Sementara kalau saya, kalau tidak ditolak, ya di-arbitrase. Modiyar tenan.


Share
Tweet
Pin
Share
No Respon
Ambil gambar di pixabay.com

Jalan kaki di atas rumput yang berembun

Bukan bukan. Ini bukan satu judul cerpen atau novel. Ini hanyalah judul atas tulisan ringan yang ingin saya tulis.

Dalam semasa hidup sampeyan, pernahkah merasakan hal tersebut. Dimana sampeyan pagi-pagi betul seusai solat subuh keluar menerjang dingin dan jalan kaki di jalan atau rerumputan. Pernahkah? Pasti sampeyan pernah. Tapi saya kok lebih yakin sampeyan lebih memilih tidur daripada bangun pagi. Kalau begitu, kita sama.

Di lingkungan saya, saya jarang melihat orang melakukan aktivitas olahraga bahkan sekadar jalan kaki di pagi hari. Kalau pun ada, yakinlah bahwa ia sedang bersama anaknya yang baru bisa jalan kaki. Di lingkungan pedesaan saya ini, memang sedikit sekali yang rajin olahraga bahkan guru olahraga sekalipun. Jarang sekali. Atau jangan-jangan saya tidak tahu karena saya sendiri pun memilih tidur.

Semasa pengobatan dan penyembuhan dari sakit yang saya derita, saya sering  jalan kaki pagi yang saya rasakan, memang begitu menyegarkan dan menenangkan pikiran.

Setiap jam setengah enaman pagi, saya menuju ke lapangan sepakbola. Belum ada kendaraan yang berlalu lalang. Masih sepi. Matahari belum muncul. Kabut masih menutup area jauh yang saya lihat. Udara masih segar. Burung masih nangkring di pohon bersiap terbang. Beberapa orang yang duduk dipekarangan, menyelendangkan sarung di tubuhnya, masih mengumpulkan nyawa. Dan rumput yang akan saya pijaki, masih basah oleh embun yang lumayan dingin dan segar. Gambaran yang begitu lengkap untuk menyimpulkan sebuah pagi yang indah.

Saya kemudian jalan mengitari lapangan. Melangkah perlahan, pelan, dan penuh perasaan. Begitu pelan, sebab kala itu saya belajar berjalan  seperti bayi untuk pertama kali. Ya, penyakit yang saya derita membuat saya hanya bisa merebah di kasur dan menyulitkan saya berjalan. Saya belajar lagi untuk sekadar berjalan.

Mungkin sebab itu juga saya melangkah penuh perasaan. Tiap langkah yang saya ayunkan adalah sebuah perjuangan. Bergerak dari satu langkah ke langkah lain adalah perenungan dari satu makna ke makna berikutnya. Sungguh, begitu filosofis.

Pagi itu segar sekali. Tak henti-hentinya saya menghirup napas dalam-dalam. Setiap udara yang masuk dalam tubuh saya, rasanya saya begitu tenang. Pikiran saya tenang. Emosi saya tenang. Saya merasa begitu tenang. Dan setiap saya menghembuskan nafas, saya bayangkan energi negatif dalam tubuh saya ikut terbuang. Saya makin tenang. Begitu tenang.

Saya suka berjalan di atas rumput berembun. Tiap kali saya menapak, embun itu pecah di kaki saya dan seperti menjalarkan energi positif di sekujur tubuh saya. Butiran embun itu barangkali adalah penyuplai semangat untuk perjalanan sehari ke depan. Makin banyak embun yang saya pijak, makin kuat energi saya. Makin segar kaki saya.

Tak jarang, bersamaan dengan jalan kaki di lapangan itu, matahari keluar. Menyinari saya dan sekitar saya. Seperti menyinari harapan pada jiwa saya yang kala itu masih rapuh. Cahayanya terang, tetapi belum menyilaukan mata. Cahaya yang tipis dan terasa hangat. Jika bersamaan, saya berdiri diam, membiarkan cahaya itu masuk dalam jiwa saya.

Dan beberapa menit berikutnya, lalulintas mulai ramai. Anak-anak sekolah mulai berangkat. Penjual mulai jalan. Burung-burung mulai terbang. Warung mulai buka. Kabut mulai mengabur. Orang-orang mulai menjemput rejekinya. Baru setelah itu, saya pulang, membawa kesegaran.

Pagi memang menyuguhkan sesuatu yang luar biasa. Saya pernah merasakannya. Tetapi justru sekarang ketika saya sudah sembuh dari penyakitnya yang saya derita, saya tak lagi merasakan keindahan pagi. Saya memilih tidur. Barangkali, karena itu rejeki saya sudah dipatok ayam. Akhir-akhir ini, pagi yang indah itu hanya dirasakan oleh ayam dan burung yang senantiasa berjaga tiap pagi.

Benar kata Tuhan. Nikmat manalagi yang kau dustakan?

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon
Malu boleh, tapi jangan malu-maluin

 Purwita suatu waktu ijin satu jam pelajaran karena ada urusan. Ketika kembali ke kelas, ternyata saat ditinggal, ada satu tugas dari guru yang sudah dikumpulkan semua di kantor. Purwita kemudian menyusul mengerjakan.

Usai menyelesaikan tugas, ia harus mengumpulkannya di kantor. Sebab malu, Purwita lantas mengajak temannya. Tetapi, saat mereka sudah beberapa langkah lagi sampai pintu kantor. Mereka berhenti, dan saya lihat mereka saling dorong-dorongan dan diskusi lumayan panjang hanya untuk masuk kantor.

Satu cerita di atas merupakan satu contoh paling mendasar di mana rasa malu sering membuat kita ribet sendiri. Dan nyatanya, beberapa kali kita kalah oleh rasa malu yang padahal, andai kita tidak malu, sesuatu itu sudah selesai sekarang.

Selayaknya Anda, saya juga pernah mengalami masa minder dan tidak percaya diri untuk melakukan sesuatu. Pernah suatu ketika, saya ada urusan yang begitu penting kepada teman dan saya harus ke rumahnya. Tetapi dari kejauhan sebelum sampai rumahnya, saya lihat pintunya nutup. Saya lalu pulang dan gagal ketemu. Esok harinya saya datangi lagi, tetapi hanya saya lewati. Sebab di depan rumahnya, banyak orang yang sedang nongkrong ngerumpi. Saya terpaksa menggagalkannya lagi.

Beberapa kejadian seperti itulah saya merasa rasa malu telah membuat saya ribet sendiri. Tetapi dalam rasa malu saya itu, ada satu pertanyaan yang barangkali penting, kenapa saya malu? Saya kemudian berpikir kenapa saya malu.

Usut punya usut, saya malu karena beberapa hal remeh ini. Dan hampir semuanya dimulai faktor pikiran saya tersendiri. Tetapi, daripada saya menyebutkan hal tersebut, bukankah alangkah baiknya kalau saya langsung memaparkan solusi atas rasa malu itu sendiri. Dari pengalaman saya ini, silahkan sampeyan simpulkan sendiri.

Berikut, beberapa solusi menghempaskan rasa malu dengan cara paling jitu. Solusi nomer 4, akan membuat sampeyan pingin njengkang.

1. Ingatlah kita bukan siapa-siapa

Setiapkali saya dihadapkan pada situasi yang mendesak untuk maju dan menghadap banyak orang, saya sering tidak pede dan malu.

Tak jarang saya kemudian tak berani dan gagal untuk maju. Saya sering menduga-duga orang akan mengomentari kalau saya maju. Semacam ada bayangan kalau saya akan di-bully lah, diejek lah, dan perasaan lain yang saya ciptakan sendiri.

Saya sadari ternyata semua itu fiktif belaka. Fiktif. Seperti sinetron. Saya terlalu muluk menyangka orang lain akan mengomentari saya dalam hal apapun. Tetapi saya lupa, saya ini siapa? Saya bukanlah siapa-siapa. Pede banget orang lain bakal melihat dan memerhatikan saya. Saya bukan siapa-siapa. Memangnya saya artis. Jangankan orang lain memerhatikan, kehadiran saya saja kadang tidak digubris kok ya. Ini sama saja seperti menunggu balasan chat kawan kita yang cantik padahal wajah kita pas-pasan. Jangan harap.

Pancen kok, kadang-kadang kita memang sok punya nama dan tahta. Padahal, kita hanyalah sedotan ale-ale yang kalau sudah selesai digunakan, dibuang begitu saja.

2. Bayangkan sampeyan adalah orang lain

Cara sederhana selanjutnya adalah dengan membayangkan kalau sampeyan itu berada dalam posisi orang lain. Setiap sampeyan mau berhadapan dengan orang banyak, bayangkan sampeyan orang lain yang duduk dan melihat. Atau begini, bayangkan saja ketika sampeyan melihat orang lain tampil didepan umum. Apakah sampeyan mengomentarinya? Apakah sampeyan digunjing? Dipermalukan? Di-bully? Tidak tho. Sampeyan biasa saja dan kadang juga tak memperhatikannya sedikit pun.

Nah, begitulah seharusnya sampeyan itu kalau berhadapan dengan banyak orang. Yakinlah, orang lain tidak memperhatikan sempeyan dan lebih memilih lebih memperhatikan hape yang padahal mungkin hanya menu kembali menu kembali. Lagipula, Kowe Ki sopo?

3. Bilanglah dalam hati: Karep-karepku

Dalam beberapa kondisi, sikap abai memang menyebalkan. Tapi dalam waktu tertentu, sikap abai adalah sikap yang tepat dan strategisible yang menguntungkan. Termasuk dalam menghilangkan rasa malu ini. (Saya menggunakan kata abai, bukan acuh. Soalnya kalau tidak salah, dalam KBBI, acuh itu berarti peduli. Bukan seperti yang kita kira selama ini).

Jika rasa malu untuk melakukan sesuatu itu sudah begitu parah, barangkali ini cara yang tepat diterapkan. Sebuah sikap mengabaikan keadaan dan tidak peduli apapun yang terjadi.

Dalam hati sampeyan, Keluarkanlah sikap keberontakan. Tapi dari hati saja, jangan diucapkan, atau diaksikan. Keberontakan yang kalau ditulis mungkin seperti ini.

Ini hidup saya. Terserah aku dong. Karep-karepku. Orang lain kan gak memberi makan saya. Gak menghidupi saya. Kenapa saya memikirkan orang lain.

Jika kata-kata itu sudah terucap dalam hati, sangat besar kemungkinan rasa malu itu hilang.

4. Akan membuat sampeyan pingin njengkang

Betul kan apa yang saya tuliskan di judul tadi. Nomer 4 ini benar-benar sesuai yang sampeyan harapkan. Hayo... Sudah njengkang belum. Kalau belum, saya jengkangin. Hi hi hi.


Demikian cara-cara sederhana nan jitu menghilangkan rasa malu untuk tampil di depan umum. Ingat ya, malu yang saya maksud adalah malu berhadapan dengan orang banyak. Malu dalam hal positif.

Bagaimana, sederhana sekali bukan? Ayolah jangan malu lagi. Jangan malu untuk menerima cintaku yang tulus ini. Ihirrrr.... (Nah, kalau ini contoh malu jenis malu-maluin).










Share
Tweet
Pin
Share
No Respon
Kondisi saya sewaktu sakit

Tak ada satupun orang yang mau sakit. Sakit itu berat. Biar aku saja.

Saya begitu terkejut ketika pada 6 September 2016, saya harus merebah menjadi satu dari tujuh pasien di dalam satu ruang bernama ruang matahari 2, RSI Pekajangan, Pekalongan. Berbaring tak berdaya di atas ranjang dalam bilik yang sempit.

Awalnya tak ada yang mengira saya bakal merebah di sana. Bahkan bapak saya yang ikut mengantar saya periksa, juga tak ada persiapan semisal bawa baju ganti. Dari sinilah, saya akan melihat ketulusan bapak dan semakin menjadikan diri ini sebagai orang yang selalu merepotkannya. Saya sedih saat mengingat momen itu.

Dari hasil lab yang dilakukan oleh mbak-mbak suster yang cantik, diketahuilah bahwa penyakit yang saya alami adalah penyakit TBC/tuberculosis paru-paru.  Keren juga namanya.

Sebelum akhirnya saya diopname itu, saya memang mengeluhkan beberapa hal yang saya ketahui setelah sakit, hal itulah gejala-gejala TB. Bisa dibilang saya terlambat tahu. Dan sebab kejadian ini saya tak percaya lagi perkataan 'terlambat lebih baik daripada tidak sama sekali'.

Gejala-gejala yang saya alami adalah sebagai berikut:

  • Badan demam, yang saya rasakan tidak enak semua.
  • Saya mudah capek. Saya pun tidak kuat bahkan untuk mengangkat teko.
  • Batuk berdahak, pernah sesekali batuk saya berdarah.
  • Tidak doyan makan
  • Berat badan turun drastis
  • Paling tidak enak, saya selalu berkeringat banyak sekali tiap malam bahkan, saya harus ganti baju sampai tiga kali karena basah seperti direndam air.


Pada gejala tersebut, awalnya saya kira saya demam biasa. Tak ada kecurigaan kalau itu penyakit berat. Saya hanya memeriksakan diri ke dokter biasa. Tetapi yang aneh, meski saya telah periksa ke lima dokter yang berbeda. Saya tak kunjung membaik dan malah memburuk. Singkat cerita, dibawalah saya ke rumah sakit atas inisiatif guru sekolah saya.

Saya masuk rumah sakit bisa dibilang pada waktu yang sulit. Sebab kala itu saya masih kelas 12 yang enam bulanan lagi akan menghadapi UN. Wajar kalau guru saya begitu khawatir. Bahkan ketika kelak saya sudah pulang dari RS dan membaik, kepsek sampai datang dan menanyakan kesiapan saya mengikuti UN. Katanya, kalau tidak bisa, ikutnya tahun berikutnya Bersama adik kelas. Dan kalaupun bisa dan pada akhirnya dihari H saya sakit dan benar-benar tidak bisa mengerjakan, akan menjadi kerugian bagi sekolah sebab dapat mengurangi prosentase kelulusan. Saya tentu paham apa yang dikatakan kepsek dan memang berat. Tetapi kemudian saya meyakinkan ikut UN. Kelak ketika lulusan, saya lulus dengan nilai terbaik ke-4 se-sekolahan.

Penyakit yang saya alami yaitu tuberculosis paru-paru. Orang-orang banyak menyebutnya dengan TB atau TBC saja. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri yang bernama mycobacterium tuberculosis. Virus ini menyerang paru-paru dan dalam kasus tertentu, bisa menyebar ke tulang, kelenjar getah bening, sistem saraf pusat, jantung, dan organ lainnya.

Penyakit ini begitu berbahaya. Di Indonesia, penyakit ini menyumbang kematian cukup banyak hingga menjadi perhatian serius pemerintah. Indonesia menempati rangking 2 di dunia dengan panderita terbanyak. Tahun 2016 saja, kasusnya mencapai angka 351.893 kasus.

Penyebaran virus ini begitu mudah, yaitu lewat udara, seperti batuk dan bersin. Data Kemenkes dalam pedoman Nasional pengendalian TBC menyebutkan, satu kali batuk bisa menghasilkan 3000 percikan air liur. Dari data WHO, per 1 detik ada satu orang yang terinfeksi. Dari 10 yang terinfeksi, ada satu yang menjadi sakit.

Dari data itulah sehingga kemudian setelah saya keluar dan menjalani pengobatan, saya diharuskan untuk selalu memakai masker dan menutup dengan media apapun ketika bersin ataupun batuk.

Selain itu, saya juga diwajibkan untuk berjemur tiap pagi. Dari artikel yang pernah saya baca, kuman TB akan mati jika terkena matahari langsung. Dan begitupun sebaliknya, kuman akan hidup jika berada pada suhu 30-37 derajat celsius. Dalam kondisi gelap, lembap, dan dingin, virus TB dapat bertahan berbulan-bulan.

Saya menginap di RS selama seminggu dengan biaya semuanya dari pemerintah, dari KIS yang saya miliki. Dokter yang menangani saya waktu itu adalah Dokter Sukartono, sebetulnya ada banyak gelar di belakang namanya, tetapi karena saya takut salah, saya tulis namanya saja.

Pengobatan TBC paru, umumnya 6-9 bulan. Tetapi yang terjadi pada saya, saya menjalani pengobatan lebih dari 15 bulan, hampir dua tahun lamanya. Saya harus menjalani kenyataan itu karena dalam perjalanan pengobatan, ada benjolan yang keluar dileher saya yang kemudian saya ketahui ternyata TBC kelenjar getah bening. Subhanallah, belum selesai TB paru saya ditambah kelenjar.

Ketika TBC kelenjar itu, saya merasa begitu emosi dan hampir putus asa. Pasalnya, setiap kali benjolan hampir kempes, ada benjolan yang keluar di bagian leher lain. Begitu seterusnya sampai pada Juni 2018 kemarin, benjolan itu benar-benar hilang. Saya sembuh. Alhamdulillah.

Perjuangan saya melawan penyakit ini tentulah tidak mudah. Saya harus bolak-balik ke RS dua Minggu sekali dan mengantri sampai ratusan antrian untuk mengecek kondisi saya. Saya terkadang tak bersemangat, kenapa saya bisa semenderita ini saat teman-teman saya menjalani masa mudanya dengan penuh kebebasan. Ah sudahlah, semua punya jalan masing-masing.

Tantangan paling berat melawan penyakit ini adalah saya harus minum obat tepat waktu tanpa boleh sekalipun lupa. Kata banyak orang, kalau sekali saja lupa maka harus diulang dari nol. Untungnya saya tidak pelupa dan saya mampu meminum obat yang gede-gede itu tiga kali sehari selama hampir dua tahun. Saya merasa berhak mendapat rekor sebagai manusia dengan konsumsi pil terbanyak tingkat kecamatan.

Terkait soal andai lupa minum obat, saya tak pernah menanyakan langsung pada pak dokter. Itu ikhtiar saya supaya tidak mau tau resikonya dan hanya fokus berobat saja dengan minum tepat waktu. Meski begitu, saya browsing di internet, dan ternyata memang ada kaitannya. Kalau seandainya kelupaan minum, virus yang di dalam itu akan kebal pada obat. Mungkin seperti itu, semoga tidak salah.

Sebetulnya, selain lewat pengobatan medis, saya juga pernah berusaha dengan cara lain. Bapak saya misalnya, pernah meminta air doa orang pintar lalu saya meminumnya. Saya juga pernah mencoba minum resep tradisional, yaitu minum angka. Pernah juga minum air rebusan daun nangka. Bahkan paling dramatis, saya menelan bagian peru kambing yang masih mentah, dan rasanya begitu pahit. Semua saya lakukan sebagai ikhtiar untuk sembuh.

Setelah melewati masa perjuangan yang melelahkan, menyedihkan, menjengkelkan, dan dramatis itu, kini, saya telah sembuh. Alhamdulillah.

Tentu pengalaman yang berharga ini menjadi pengingat bagi saya kalau saya pernah melewati masa sulit, dan berhasil. Ini penting karena perjuangan saya belumlah selesai. Saya harus berjuang pada hal lain. Karena seusai kesembuhan ini, saya dihadapkan pada pertanyaan 'mau kerja kemanakah saya?'

Ya. Sekarang saya nganggur. Karenanya, kasih saya info loker. Atau kalau tidak, kasih saya kerjaan. Saya punya kemampuan menulis. Dan saya punya riwayat perjuangan yang begitu fantastis.

Share
Tweet
Pin
Share
7 Respon

Supaya bisa mengarang

Dalam pelajaran bahasa Indonesia, saya juga kalian pasti pernah disuruh membuat cerita atau mengarang. Entah menuliskan pengalaman liburan, atau menulis kenangan masa kecil yang menyenangkan. Iya kan?

Ketika masih Madrasah Ibtidaiyah, kalau tidak salah kelas lima. Guru saya, pak Syarif pernah memberi tugas untuk melanjutkan cerita yang beliyo buat dahulu. Saya masih ingat cerita itu tentang seekor harimau dan kancil.

Tugas ini dikerjakan berkelompok, terdiri masing-masing empat orang. Saya lupa waktu itu kelompok saya siapa saja. Tapi yang jelas kami begitu kesulitan melanjutkan cerita.

Saya dan kawan-kawan akhirnya berdiskusi agar cerita ini bisa selesai dengan singkat. Kali itu saya usul, supaya cepat selesai maka endingnya harus mati. Kedua hewan tersebut tertabrak, misalnya. Tanpa saya duga, teman-teman merespon dan selesailah tugas itu. Kalau tidak salah, kurang lebih ceritanya seperti ini.

Pada suatu hari, harimau bertemu kancil. Terus, harimau mengejar kancil. Terus, kancil lari. Terus, saat di jalan raya mereka tertabrak truk. Terus, mati. Selesai.

Sederhana sekali bukan. Ya, itulah cerita saya sewaktu mengarang. Dulu, saya tidak bisa mengarang. Mengarang itu sulit. Jangankan satu paragraf, buat satu kalimat saja tidak bisa.

Lalu, bagaimana saya kemudian bisa mengarang sampai sudah membuat beberapa cerpen yang meski saya tak tahu apakah itu masuk golongan cerpen atau bukan? Berbicara hal ini, beda lagi.

Mengarang memang sulit, tapi itu dulu. Sebelum saya melakukan hal ini. Semua bermula ketika saya ingin bisa menulis. Waktu itu saya punya banyak waktu luang di rumah. Saya habiskan sepenuhnya untuk berlatih menulis. Apakah awalnya mudah? Tidak, awalnya sulit sekali. Saya tak tahu apa yang harus saya tulis. Tetapi karena tekad ingin bisa menulis, saya lalu menulis apa saja yang hadir dalam kepala saya. Apa pun, termasuk saya menulis kalimat 'saya mau nulis apa?'.

Hingga lambat laun, saya bisa menulis satu kalimat, dua kalimat, satu paragraf, dan akhirnya bisa sampai menulis secara tuntas satu cerita. Tekad itulah yang membuat mengarang, menjadi sesuatu yang mudah.

Coba seandainya saya dari dulu sudah bisa mengarang. Tentu saya tidak akan kebingungan saat saya disuruh pak guru menceritakan pengalaman liburan, atau berkunjung ke rumah nenek.

Jadi supaya bisa mengarang, ya latihan. Bukan membaca tulisan saya ini.






Share
Tweet
Pin
Share
No Respon
Gerbang Sekolah

Ban sepeda bocor dan belum ditambal. Alhasil, saya tidak bisa menaiki sepeda kesayangan ini. Agak sedih, tapi tidak terlalu. Bagaimanapun, sepeda bukanlah pacar saya.

Maka terpaksa, saya harus berangkat sekolah menaiki sepeda jengki milik bapak saya. Awalnya agak mikir, apa saya tidak malu menggunakannya. Pagi itu saya benar-benar menaiki jengki dengan sedikit agak malu tapi menyenangkan. Itu pengalaman pertama membawa jengki dan ternyata saya terlihat menjadi gagah karenanya.

Waktu itu, kalau tidak salah saya masih kelas 8. Seperti biasa, saya berangkat pukul setengah tujuh. Itu waktu paling opsional. Karena kalau dihitung-hitung perjalanan ke sekolah kurang-lebih memakan waktu 25 menit. Bel masuk jam 7. Artinya, saya sampai 5 menit sebelum bel berbunyi. 5 menit yang pas untuk menaruh tas dan memastikan ada PR atau tidak.

Saya sekolah di SMP NU Karangdadap, satu kilo ke selatan dari pasar dan kantor kecamatan. Kondisi geografis membuat saya dan beberapa kawan yang berasal dari Kalilembu, Pangkah, dan Bonsari harus bersusah-susah nggenjot sepeda terlebih dulu. Meski nantinya semplirik-semplirik kemudian.

Perlu diketahui, kondisi geografis kecamatan Karangdadap memang agak menanjak. Tanjakan dimulai dari Kalilembu. Semakin ke selatan tanjakan semakin meninggi. Arah ke selatan merupakan jalur menuju nDoro, Petungkriyono, dan teman-temannya. Itu artinya, murid yang berasal dari arah sebelah selatan sekolah, punya keuntungan saat berangkat sekolah. Mereka tak perlu menggenjot sepeda sedikitpun, hanya perlu duduk manis sambil mengatur pengereman.

Jengki yang saya tumpangi itu berwarna biru. Sepeda tua yang sudah dipakai bapak sejak masa muda. Seperti sepeda  onthel tapi bukan onthel. (Saya yakin kalian sudah paham).

Saya berangkat sendiri, kadang bareng sama Bahul. Menggenjot dengan santai dan menikmati suguhan Tuhan yang tersaji. Udara kala itu masih segar, jalanan belum terlalu ramai, dan banyak pohon-pohon dan rerumputan pada tepi jalan.

Meski baru kali pertama membawa jengki ini, saya sudah langsung nyaman. Apalagi sebab satu genjotannya mampu memutarkan tuju sampai sembilan roda. Berbeda saat saya pakai sepeda Jepang warna putih yang sedang bocor itu.

Perjalanan dari rumah melewati Pangkah dan sebagian Kalilembu masih terasa enteng karena masih rata. Baru setelah saya melewati kantor polisi, jengki dan kaki saya mulai diuji. Mungkin karena sudah kelas 8, saya tidak merasa capek sedikitpun. Tak seperti ketika saya masih kelas 7, saat kaki saya belum bisa menginjak tanah saat bersepeda, saya begitu ngos-ngosan sampai penuh keringat.

Dengan jengki yang saya tumpangi, saya agak sombong. Beberapa siswi yang juga sedang mengayuh sepeda saya lewati dengan pedenya. Sebenarnya juga karena saya tak mengenal mereka. Kalau kenal, saya biasanya menjejeri dan mengobrol bersama.

Bisa dibilang itulah pagi yang begitu sulit untuk dilupakan. Saya naik sepeda dan lingkungan saya mendukung untuk saya bergembira. Sepanjang perjalanan mata saya tak berhenti untuk melihat alam. Melihat matahari yang baru muncul dan sinarnya menembus celah-celah dedaunan. Melihat kupu-kupu yang terbang  pada sebuah tanaman bunga liar. Dan melihat para petani mulai bekerja. Indra mata saya puas sekali melihat segalanya. Paling kalau sedang apes, saya melihat jasad tikus yang mati terlindas.

Setelah mengayuh agak lama, saya akan merasa lega setelah saya melihat pohon mangga dari kejauhan. Pohon mangga itu menandakan kalau sekolahan sudah dekat. Sebab sekolah saya kalau dari kejauhan tidak terlihat karena tertutup oleh pohon mangga yang cukup besar.

Keringat sudah menetes. Saya harus segera sampai agar punya jeda agak lama untuk menghilangkan keringat ini. Hingga saya bisa mengelus dada, pintu gerbang itu sudah di depan saya sekarang. Saya mau masuk, tapi ingat kalau saya membawa sepeda jengki. Sepeda yang jarang dipakai untuk sekolah.

Akhirnya saya harus masuk. Masuklah saya melewati gerbang itu. Dan benar dugaan saya, siswa-siswi yang sedang duduk-duduk di sekitar parkiran semuanya melihat ke arah saya. Terkesima pada jengki ini. Barangkali. Mengetahui saya jadi pusat perhatian, dengan reflek saya langsung melambai ke semua siswa-siswi itu. Entah apa yang saya pikirkan waktu itu. Setelah saya menyapa, beberapa diantara mereka senyam-senyum. Mungkin melihat kepedean saya yang berlebih ini.
Semenjak momen itu, saya jadi sering berangkat bersama jengki. Bahkan selanjutnya, adik kelas saya bernama Nasrullah juga ikut-ikutan naik sepeda jengki. Hanya saja ia lebih parah, dibelakang tempat boncengannya masih ada bambu yang biasanya digunakan untuk mengangkut rerumputan. Gokil.

Setelah saya bersusah-susah saat berangkat tadi, maka sepulang sekolah, itulah imbalan yang saya dapatkan. Saya tak perlu menggenjot lagi. Dan saya ucapkan modiyar untuk kawan saya yang pulang ke arah selatan. Teruslah menggenjot.

Itulah kisah menarik saya bersama jengki pada suatu pagi saat berangkat sekolah. Pada akhirnya, barangsiapa yang bersusah-susah dahulu, maka akan bersenang-senang kemudian.

Demikian yang bisa saya sampaikan. Saya tutup dengan satu kutipan.

*Bergenjot-genjot dahulu, Bersemplirik-semplirik kemudian*



Share
Tweet
Pin
Share
No Respon


Amin, kawan sekaligus sahabat saya ini punya riwayat heroik dalam kisah percintaan. Paling nyesek dari sederet riwayat itu adalah ketika mantan yang dulu paling dicintainya menikah dengan lelaki lain yang kini menjadi bapak atas anak yang sekarang sudah berumur satu tahunan.

Kisah di atas bagi Amin mungkin begitu nyesek. Tapi bagi saya juga kawan-kawan lain, kisah menyedihkan ini menjadi bahan empuk untuk menyerang Amin ketika terjadi perang ejek-ejekan. Amin memang suka bercanda. Kemarin saja, ketika ada reuni beberapa kawan akrabnya dulu langsung menanyakan kabar mantannya itu, “Mawar Saiki kabare priye Min?” (Sebut saja mantannya Amin itu bernama Mawar).

Menghadapi pertanyaan itu Amin tentu hanya bisa mesem dan celingak-celinguk seperti menahan tangis. Lelaki yang kini menjomblo itu mulai meresa risih dan tertekan. Saya dan kawan-kawan mulai mesem.

Hingga beberapa detik setelahnya, kawan saya ada yang menyahut dari kejauhan dan berteriak agak kencang. “Aha... Amin ditinggal kawin.” Sontak saja, semua yang ada disitu tertawa ngakak bahkan perutku sampai mules. Dan Amin yang tadi menahan tangis itu, hanya bisa menambah lebar senyumannya. Diluar itu, di dalam hatinya mungkin dia misuh-misuh.

Ada banyak hal kenapa kami bisa tertawa sengakak itu. Tapi satu hal yang pasti karena hubungan Amin dan Mawar terjalin begitu romantis. Saya adalah orang yang menjadi saksi atas keromantisan mereka. Bagaimana tidak, saya biasa menemani Amin apel ke rumahnya. Ya iyalah, Mawar itu tetanggaku sendiri kok.

Saya ingat, Amin pernah bertandang ke rumahnya waktu Lebaran. Dan saya agak menahan ketawa ketika dua manusia ini bersalaman. Bayangkan saja, salamannya mereka seperti salaman suami-istri, atau boleh dibilang juga salaman anak-ibu. Salaman dengan formasi dimana tangan Amin disosor oleh pipi Mawar. Untungnya, mereka tak sampai cipika-cipiki atau bahkan sampai cipokan. Bisa pingin saya.

Amin dan Mawar menjalin hubungan kalau tidak salah mulai kelas 8 awal. Saya tahu hal ini karena saya melihat Foto yang mereka unggah sendiri di fesbuk. Kalian tahu bagaimana posenya, mereka foto rangkulan dengan masih memakai seragam sekolah. So swit.

Esok harinya, Amin mendadak gelagapan. Foto itu ternyata dilihat oleh salah satu guru yang kemudian menegur dan mengancamnya. Kalau foto tidak dihapus maka akan dilaporkan ke kepala sekolah. Amin lupa bahwa ia berteman dengan guru tersebut. Akhirnya, setelah pulang sekolah Amin langsung bergegas menghapus.

Sekitar dua tahun setelah insiden posting foto itu, mereka putus. Amin galau, tapi tidak mau mencurhatkannya kepada saya. Saya juga tidak tahu, kenapa mereka bisa putus. Setelah saya pikir-pikir, saya menduga Amin terpaksa mengakhiri hubungan karena didesak orangtua mawar untuk segera meminangnya. Kisah yang begitu melankolis. Saya menduga seperti itu.

Kini, Amin menjomblo. Saya juga tidak tahu apakah dia sudah move on atau belum. Yang saya tahu, Amin pernah bilang pada saya kalau ia tak bernafsu pacaran lagi. Ia juga menambahkan, apa arti pacaran kalau tidak punya uang untuk menikahinya. Pesan yang amat berfaedah yang bisa saya camkan baik-baik.

Semangat Amin. Saya berdoa semoga engkau dapat pacar dan istri yang lumayan cantik. Karena yang cantik, akan saya pinang duluan. Gambate.



Share
Tweet
Pin
Share
2 Respon

MOS telah usai, mulailah sekolah dengan arti sesungguhnya. 120-an siswa baru kemudian dibagi menjadi empat kelas. Lebih sedikit daripada angkatan kakak kelas yang mencapai lima kelas.

Saya masuk 7D, Pak Yusuf bilang 7D memang kelas untuk siswa yang nilainya tinggi, dilihat dari hasil UN SD. Disinilah kita tahu, saya termasuk murid yang jenis mana, meski kelak beberapa teman saya menyebut itu semua sebagai keberuntungan. Ya begitulah, saya ditakdirkan untuk menjadi manusia yang baik hati dan tidak sombong.

Sewaktu di kelas 7, saya masih pemalu, lebih banyak diam mendekem di bangku paling pojok dan tidak berani bicara banyak dengan murid lain, apalagi sampai lari-lari dan tertawa cekakan. Hal itulah yang membuat saya tidak akrab bahkan dengan teman sekelas sendiri.

Dulu, meski sekelas, saya tak hafal secara sempurna nama teman-teman saya yang perempuan. Tapi setelah lulus nanti, saya ingat betul nama dan wajah mereka. Diantara kawan perempuan sewaktu kelas 7D dulu adalah Depi, Anis, Fany, Salma, dan Fila. Saya berusaha mengingat nama lain, namun saya gagal. Tapi ada satu yang paling membekas dalam ingatan saya, ia adalah Syarifatul Mar’ah. Saya punya kenangan dengannya, sebut saja kenangan buruk. Nama panjang saya Syariful Anam dan ia Syarifatul Mar’ah. Karena sama-sama dimulai huruf yang sama, nomer absen kami berjejeran. Dia dulu kemudian saya. Saat guru mengabsen, seringkali nama saya dan dia terbalik, menjadi Syarifatul Anam ataupun Syariful Mar'ah. Momen inilah yang biasanya ditunggu murid sekelas untuk kemudian menjadi bahan mencandai saya.

Lalu untuk kawan sekelas yang laki-laki, bisa dipastikan saya ingat semua nama mereka. Ada Isman, Firlana, Lana, Adit, Yaman, Ta'ul, Ulil, Amin, Dany, Muslimin, Mamnun, Kusnoto, Simpok, dan Mubin. Kesemua murid ini, selain Ulil dan Ta'ul, sering menggerombol kemanapun. Tiap istirahat, gerombolan saya selalu ke warung mba Umi, disana ada makanan yang favorit sekali, yaitu mendoan. Jaman dulu, uang seribu lima ratus kami bisa makan tiga tempe mendoan dan seplastik es marimas.

Perlu diketahui, saat kelas 7 adalah saat-saat Kusnoto dan Simpok masih imut, menggemaskan, dan sedang tidak neko-nekonya. Dua orang itu masih masuk grub kami yang baik-baik sebelum saat kelas 8 nanti mereka mulai keluar kebandelannya.

Secara umum, angkatan kami terbagi menjadi 3 segolongan yang berbeda: Golongan baik-baik, golongan biasa saja, dan golongan bandel. Membedakan ketiga golongan ini sangat mudah, barometernya adalah warung. Bagi mereka yang biasa jajan di warung mba Umi, mereka masuk golongan baik-baik. Kalau golongan biasa, masuknya warungnya Sikun. Dan terakhir, bagi mereka yang biasa ke warungnya Sri, merekalah golongan murid nakal. Sebetulnya ada satu warung lagi yaitu warung Mak Eroh, tapi warung ini sudah dikuasai penuh para siswi. Kalau menurut Amin, bagi siswa yang sering ke warung ini, ia masuk golongan murid banci. Begitulah barometer baik buruk angkatan kami. Barometer yang aneh. Entah siapa yang membuat klasifikasi ini.

Dalam perjalanannya, kelas kami banyak dipuji, mungkin saking manutnya sama guru. Diantaranya yang muji yaitu Bu Sofa Rusdiyah yang sekaligus wali kelas kami. Dulu ia belum kawin dan sering jadi bahan perbincangan para siswa karena kecantikannya. Bu Sofa guru matematika, caranya mengajarkan interaktif, membuat stigma guru MTK pasti galak itu kurang pas disematkan untuknya. Bu Sofa banyak cerita di kelas kami, sesuatu yang jarang dilakukannya saat dikelas lain. Bisa dibilang kelas 7D adalah kelas kesayangan negara nusa dan bangsa.

Perbincangan tentang 7D mungkin hanya itu, tak ada hal lainnya. Tetapi untuk kelas lain, mungkin banyak kisah menarik. Tapi beberapa kejadian sempat viral di sekolahan yang melibatkan kelas 7 waktu itu.

Kejadian paling saya ingat adalah kejahilan unfaedah yang dilakukan kelas 7A yang memakan korban Bu Sofa. 7A memang tampungannya orang nakal, barangkali. Kelas ini menjadi kelas paling ribut. Jujur, saya pun agak nggreget ketika berjumpa dengan grombolan siswa kelas 7A.

Pada waktu itu, Bu Sofa ada jadwal mengajar di 7A. Entah didorong keinginan apa, ada salah satu murid yang iseng memberi tipek yang cukup banyak di kursi guru sesaat sebelum Bu Sofa datang. Alhasil, setelah Bu Sofa masuk dan memberi salam, Bu Sofa kemudian duduk. Terjadilah tragedi yang menghebohkan itu. P*nt*t guru MTK itupun terkena tip-x dan mengecap warna putih yang cukup jelas. Bu Sofa lalu murka dan meninggalkan kelas langsung. Tak selang beberapa lama murid yang menaruh cairan tip-x di kursi itupun akhirnya dipanggil menghadap BP. Kelak saya tahu orang yang iseng itu inisialnya adalah Otong. Owalah tong tong. Sungguh hebat keberanianmu.

Kisah menarik lain Juga datang dari kelas sebelahnya, kelas 7B. Kisah kehidupan kolaborasi antara Riky Ya'kub dan Triyono. Soal kehebohan, kelas ini juaranya. Tak lain sebab dua orang ini. Dua orang yang punya kemanjaan layaknya perempuan. Perhatikan saja gaya jalan Riky. Saya sampai harus menguatkan iman selalu.

Riky waktu itu bisa dibilang menyek, lembek, dan apapun itu namanya. Sifat aslinya ini sebetulnya sudah terlihat waktu MOS, hanya saja masih samar. Barulah waktu kemah, saya masih ingat waktu itu, Sobi (alm) yang juga kawan sekelas Riky melihat bakat kelembutan Riky. Sobi waktu itu terus memancing Riky supaya menciptakan kelucuan sebab sifat kemenyeknya itu. Lama kelamaan, muncullah sifat asli Riky secara terang-terangan.

Diluar kehebohan kisah-kisah tadi, kami menyimpan kenangan yang indah yang sulit untuk dituliskan. Kenangan-kenangan yang menjadi permulaan dari segala sesuatu yang terjadi setelahnya, yang membuat awalnya tak terjalin hubungan apa-apa menjadi kumpulan persahabatan, percintaan, dan hubungan lain.

Saya sendiri selalu mengingat masa-masa ini, masa yang begitu mengesankan. Pagi-pagi saya berangkat bersepeda melewati jalanan yang dingin, berjumpa kawan di jalan lalu mengobrol. Genjot pelan-pelan, merasakan kesegaran yang waktu itu masih begitu terasa, menyaksikan burung-burung yang nangkring di kabel, dan menyaksikan sinar matahari yang keluar perlahan menembus celah daun-daun tebu.

Sampainya di sekolahan, saya parkiran sepeda pada tempat yang saya kira bakal aman dari tangan-tangan jahil. Kemudian melangkah menuju kelas paling belakang. Sambil melangkah pelan terdengar dan terlihat gemricik air yang membentang di tengah sekolah.

Sampai di kelas, saya saksikan beberapa teman dengan aktivitas masing-masing. Ada yang mengerjakan PR, ada yang nyapu, dan ada yang nongkrong di dekat aliran air. Saya taruh tas dan lalu bergabung dengan Lana, Amin, dan kawan lain yang sedang nongkrong itu. Kami menyaksikan pemandangan yang luar biasa, melihat gemercik air, melihat pematang sawah, dan kalau beruntung kami bisa menyaksikan perbukitan di arah selatan yang naik-turun itu dengan jelas. Kami biasa melihat satu pohon yang menjulang sendirian di pucuk bukit itu. Kami lalu membahas tempat itu, tapi saya selalu lupa nama tempatnya.

Saking asyiknya menyaksikan pemandangan itu, kami jadi sering terlambat untuk baris di lapangan untuk berdoa. Dari kelas kami, suara bel memang sulit didengar. Kelas kami memang kelas paling ujung.

Usai prosesi doa bersama, kami masuk kelas, bercanda dan bermain apa saja sampai bel istirahat berbunyi. Baru usai itu, kami jajan ke warung mba Umi, warungnya golongan murid baik-baik. Disana, kami berebut piring lalu mengantri di sekeliling wajan penggorengan mendoan. Ya, mendoan memang paling primadona waktu itu, mungkin sampai sekarang. Setelah kami dapat, kami lalu nongkrong dibawah naungan pohon bambu dan makan disitu. Setelah makan selesai, piring yang baru dipakai dibuat untuk mainan, dimasuki es batu, sampai tanah. Pelaku tindakan tak terpuji ini antara lain adalah Amin dan Lana.

Usai istirahat pertama selesai, Kami masuk kelas lagi, bercanda lagi, sampai waktu istirahat ke-dua tiba. Kami ke warung mba Umi lagi, makan lagi. Kalau ada luang disela-sela istirahat, kami ikut jamaahan di musolla. Istirahat selesai masuk kelas lagi, ngantuk, lalu tidur.

Bangun tidur, bel pulang bunyi, ambil tas, menuju parkiran dan mengambil sepeda yang Alhamdulillah masih utuh. Kami pulang dengan cara masing-masing, ada yang jalan kaki, nunggu jemputan, atau nunggu bis.

Waktu pulang, saya biasa berjejeran sama Amin. Perjalanan pulang yang menyenangkan karena tak perlu genjot sebab jalannya menurun, upah dari perjalanan berangkat yang ngos-ngosan. Kadang-kadang, saya pulang lewat premas, tapi lebih sering lewat Kalilembu.

Setibanya di rumah, langsung makan. Lalu tidur.

Masya Allah, kenangan waktu itu sangat indah sekali. Kadang saya berfikir bagaimana kalau kenangan itu bisa diulang lagi pada masa sekarang. Saya rindu masa-masa itu. Masa-masa sekolah di SMP NU Karangdadap. Masa-masa yang dimulai tahun 2011 sampai kemudian lulus tahun 2014.

Kawan-kawanku, adakah yang masih mengingat kenangan itu?

Share
Tweet
Pin
Share
2 Respon
Foto diambil dari blog sekolah

Saya sekolah di SMP NU Karangdadap dan lulus tahun 2014. Sebagai murid biasa, saya menjalani tiga tahun itu dengan biasa saja. Tak ada kisah heroik. Tak ada kisah kasih. Tak ada kisah tegang. Semua berjalan lurus. Datar. Monoton. Tak menarik. Inilah yang membuat saya kadang merasa agak menyesal tak menjadi murid nakal ataupun murid playboy. Tapi barangkali, saya memang ditakdirkan untuk menjadi murid baik-baik.

Angkatan saya masuk mulai 2011. Ada 120-an murid yang kelak dibagi dalam empat kelas. Perjalanan tiga tahun diawali dengan pengenalan sekolah, atau yang sering disebut MOS. Kegiatan yang cukup menyebalkan. Bayangkan saja, kami harus pakai topi dari besek, tas dari plastik, pakai atribut aneh-aneh, berangkat pagi sekali, sampai membawa jawaban atas teka-teki yang disampaikan panitia pada hari sebelumnya.

Sebagai murid baru, tentu MOS menjadi beban tersendiri. Apapun yang diperintah, harus dilaksanakan tanpa syarat. Barangkali karena murid baru masih takut, apapun dilakukan untuk menunaikan kewajiban. Saya pun begitu, saya sampai harus mencari bahan yang harus dibawa dari satu tempat ke tempat lain. Sialnya, bahan yang diperintah untuk dibawa itu ndilalah barang yang langka. Lebih dari itu, MOS telah membuat para ibu repot bangun pagi hanya untuk menyiapkan nasi tentara mata sapi. Apa itu coba.

Saya masih ingat betul panitia yang merepotkan kami waktu itu, ada Ali Akrom, Khakim, Sapron, Anita, Lulu, Karim, Heny, dan beberapa lainnya yang saya kenal wajah tapi tidak namanya. Kami ketahuilah mereka itu adalah bagian dari OSIS. Organisasi yang tak asing ditelinga murid baru waktu itu.

Waktu MOS berjalan, saya sendiri duduk tak jauh-jauh dari Bahul, Ulil, Sobi, dan Didik yang memang kami berasal dari satu desa. Begitupula yang lain, saling menggerombol bersama satu teman sekolahannya dulu. Kami semua masih membawa sikap kekanak-kanakan kami yang membuat panitia bahkan guru sekalipun marah. Aku ingat waktu Pak Yusuf marah karena kami banyak guyon. Tapi menurut saya sih, kemarahan itu sebab ada salah satu panitia yang pingsan waktu apel, mungkin karena kelelahan. Orang itu adalah kakaknya Syarifatul Mar’ah. Saya masih ingat betul.

Tapi apapun itu, MOS itu ya begitulah. Ribet dan menyebalkan. Meski sudah menyebalkan, ada saja yang makin nambah menyebalkan, yaitu kejahilan beberapa murid yang sok. Perhatikan saja, selalu ada murid yang berlagak petentengan pada murid lain yang kelihatan culun. Itulah yang saya tangkap ketika waktu MOS itu ada siswa yang nangis, ngakunya telah disakiti siswa lain. Maka dipanggillah mereka berdua oleh guru. Kelak, saya ketahui murid yang nangis itu adalah Riky. Pantesan.

MOS memang cuma tiga hari, tapi rasanya seperti berhari-hari. Mungkin karena kami pengap sebab keseratusduapuluhan murid itu menyatu dalam satu ruang dengan waktu yang cukup lama. Maklum, kan belum saling mengenal sehingga belum merasakan nikmatnya ngrumpi dengan orang lain. Namanya saja MOS, media pengenalan lingkungan sekolah, maklum kalau belum kenal. Baru kalau sudah kenal, namanya bukan MOS lagi, tapi Mas. Nanti malam kita jalan ya Mas... Mas Anam.




















Share
Tweet
Pin
Share
No Respon
Ahad, 1 Juli 2018 bertepatan tanggal 17 Syawal 1439 H telah dilangsungkan Konferensi anak cabang ke-15 (Konferancab XV IPNU IPPNU Karangdadap) di MWC NU Karangdadap.

Konferensi ini memilih ketua IPNU-IPPNU PAC Karangdadap periode 2018-2020 menggantikan ketua sebelumnya Rekan Mizanul Ahkam (IPNU) dan Rekanita Tunissaroh (IPPNU).

Pada pembukaan Konferensi, turut hadir ketua Syuriah MWC NU (Ky Agus Salim), Camat Karangdadap, perwakilan GP Ansor, Fatayat, Muslimat Karangdadap, perwakilan PAC tetangga, dan dari PC IPNU-IPPNU kab. Pekalongan.

Secara singkat, Konferancab ini menghasilkan ketua baru untuk periode 2018-2020, yaitu rekan Zulfa sebagai ketua IPNU dan Rekanita Naili Wirdatul Muna sebagai ketua IPPNU.

Berikut, foto-foto yang bisa menggambarkan jalannya kegiatan.













































































































































Share
Tweet
Pin
Share
No Respon
Newer Posts
Older Posts

Info

Tayang seminggu dua kali

Mutualan, Yuk

  • facebook
  • instagram
  • youtube

Kategori

IPNU

Postingan Viral

Catatan

Sementara kosong dulu, seperti hatiku

Facebook

Isi Blog

  • ►  2024 (15)
    • ►  Apr 2024 (1)
    • ►  Mar 2024 (4)
    • ►  Feb 2024 (1)
    • ►  Jan 2024 (9)
  • ►  2023 (11)
    • ►  Des 2023 (3)
    • ►  Nov 2023 (1)
    • ►  Sep 2023 (3)
    • ►  Jul 2023 (4)
  • ►  2022 (46)
    • ►  Nov 2022 (7)
    • ►  Okt 2022 (7)
    • ►  Sep 2022 (6)
    • ►  Agu 2022 (4)
    • ►  Jul 2022 (9)
    • ►  Mei 2022 (4)
    • ►  Jan 2022 (9)
  • ►  2021 (22)
    • ►  Des 2021 (5)
    • ►  Sep 2021 (3)
    • ►  Agu 2021 (6)
    • ►  Jun 2021 (1)
    • ►  Mar 2021 (7)
  • ►  2020 (14)
    • ►  Des 2020 (1)
    • ►  Nov 2020 (2)
    • ►  Jul 2020 (2)
    • ►  Jun 2020 (1)
    • ►  Mei 2020 (1)
    • ►  Apr 2020 (1)
    • ►  Mar 2020 (2)
    • ►  Feb 2020 (4)
  • ►  2019 (3)
    • ►  Mar 2019 (1)
    • ►  Feb 2019 (1)
    • ►  Jan 2019 (1)
  • ▼  2018 (57)
    • ►  Okt 2018 (7)
    • ►  Sep 2018 (5)
    • ▼  Jul 2018 (11)
      • Gegara Layangan
      • Mencoba Jadi Freelancer, Tak Semudah Yang Saya Kira
      • Jalan Kaki di Atas Rumput yang Berembun
      • Cara-cara Sederhana Nan Jitu Menghilangkan Rasa Ma...
      • Pengalaman Melawan Sakit TBC Paru-paru dan Kelenja...
      • Supaya Bisa Mengarang
      • Bergenjot-genjot Dahulu, Bersemplirik-semplirik Ke...
      • Amin, Mantan, dan Kenangan Romantis Melankolis
      • Kenangan Masa Sekolah (SMP NU Karangdadap angkatan...
      • Pengalaman MOS yang Biasa Saja
      • Dokumentasi Konferancab XV IPNU IPPNU Karangdadap
    • ►  Jun 2018 (3)
    • ►  Mei 2018 (4)
    • ►  Apr 2018 (2)
    • ►  Mar 2018 (5)
    • ►  Feb 2018 (12)
    • ►  Jan 2018 (8)
  • ►  2017 (71)
    • ►  Des 2017 (7)
    • ►  Nov 2017 (20)
    • ►  Okt 2017 (10)
    • ►  Sep 2017 (8)
    • ►  Agu 2017 (8)
    • ►  Jul 2017 (9)
    • ►  Jun 2017 (5)
    • ►  Mei 2017 (4)

Created with by ThemeXpose | Distributed by Blogger Templates