Bergenjot-genjot Dahulu, Bersemplirik-semplirik Kemudian. Berangkat Sekolah Bersama Jengky Kesayangan.
![]() |
Gerbang Sekolah |
Ban sepeda bocor dan belum ditambal. Alhasil, saya tidak bisa menaiki sepeda kesayangan ini. Agak sedih, tapi tidak terlalu. Bagaimanapun, sepeda bukanlah pacar saya.
Maka terpaksa, saya harus berangkat sekolah menaiki sepeda jengki milik bapak saya. Awalnya agak mikir, apa saya tidak malu menggunakannya. Pagi itu saya benar-benar menaiki jengki dengan sedikit agak malu tapi menyenangkan. Itu pengalaman pertama membawa jengki dan ternyata saya terlihat menjadi gagah karenanya.
Waktu itu, kalau tidak salah saya masih kelas 8. Seperti biasa, saya berangkat pukul setengah tujuh. Itu waktu paling opsional. Karena kalau dihitung-hitung perjalanan ke sekolah kurang-lebih memakan waktu 25 menit. Bel masuk jam 7. Artinya, saya sampai 5 menit sebelum bel berbunyi. 5 menit yang pas untuk menaruh tas dan memastikan ada PR atau tidak.
Saya sekolah di SMP NU Karangdadap, satu kilo ke selatan dari pasar dan kantor kecamatan. Kondisi geografis membuat saya dan beberapa kawan yang berasal dari Kalilembu, Pangkah, dan Bonsari harus bersusah-susah nggenjot sepeda terlebih dulu. Meski nantinya semplirik-semplirik kemudian.
Perlu diketahui, kondisi geografis kecamatan Karangdadap memang agak menanjak. Tanjakan dimulai dari Kalilembu. Semakin ke selatan tanjakan semakin meninggi. Arah ke selatan merupakan jalur menuju nDoro, Petungkriyono, dan teman-temannya. Itu artinya, murid yang berasal dari arah sebelah selatan sekolah, punya keuntungan saat berangkat sekolah. Mereka tak perlu menggenjot sepeda sedikitpun, hanya perlu duduk manis sambil mengatur pengereman.
Jengki yang saya tumpangi itu berwarna biru. Sepeda tua yang sudah dipakai bapak sejak masa muda. Seperti sepeda onthel tapi bukan onthel. (Saya yakin kalian sudah paham).
Saya berangkat sendiri, kadang bareng sama Bahul. Menggenjot dengan santai dan menikmati suguhan Tuhan yang tersaji. Udara kala itu masih segar, jalanan belum terlalu ramai, dan banyak pohon-pohon dan rerumputan pada tepi jalan.
Meski baru kali pertama membawa jengki ini, saya sudah langsung nyaman. Apalagi sebab satu genjotannya mampu memutarkan tuju sampai sembilan roda. Berbeda saat saya pakai sepeda Jepang warna putih yang sedang bocor itu.
Perjalanan dari rumah melewati Pangkah dan sebagian Kalilembu masih terasa enteng karena masih rata. Baru setelah saya melewati kantor polisi, jengki dan kaki saya mulai diuji. Mungkin karena sudah kelas 8, saya tidak merasa capek sedikitpun. Tak seperti ketika saya masih kelas 7, saat kaki saya belum bisa menginjak tanah saat bersepeda, saya begitu ngos-ngosan sampai penuh keringat.
Dengan jengki yang saya tumpangi, saya agak sombong. Beberapa siswi yang juga sedang mengayuh sepeda saya lewati dengan pedenya. Sebenarnya juga karena saya tak mengenal mereka. Kalau kenal, saya biasanya menjejeri dan mengobrol bersama.
Bisa dibilang itulah pagi yang begitu sulit untuk dilupakan. Saya naik sepeda dan lingkungan saya mendukung untuk saya bergembira. Sepanjang perjalanan mata saya tak berhenti untuk melihat alam. Melihat matahari yang baru muncul dan sinarnya menembus celah-celah dedaunan. Melihat kupu-kupu yang terbang pada sebuah tanaman bunga liar. Dan melihat para petani mulai bekerja. Indra mata saya puas sekali melihat segalanya. Paling kalau sedang apes, saya melihat jasad tikus yang mati terlindas.
Setelah mengayuh agak lama, saya akan merasa lega setelah saya melihat pohon mangga dari kejauhan. Pohon mangga itu menandakan kalau sekolahan sudah dekat. Sebab sekolah saya kalau dari kejauhan tidak terlihat karena tertutup oleh pohon mangga yang cukup besar.
Keringat sudah menetes. Saya harus segera sampai agar punya jeda agak lama untuk menghilangkan keringat ini. Hingga saya bisa mengelus dada, pintu gerbang itu sudah di depan saya sekarang. Saya mau masuk, tapi ingat kalau saya membawa sepeda jengki. Sepeda yang jarang dipakai untuk sekolah.
Akhirnya saya harus masuk. Masuklah saya melewati gerbang itu. Dan benar dugaan saya, siswa-siswi yang sedang duduk-duduk di sekitar parkiran semuanya melihat ke arah saya. Terkesima pada jengki ini. Barangkali. Mengetahui saya jadi pusat perhatian, dengan reflek saya langsung melambai ke semua siswa-siswi itu. Entah apa yang saya pikirkan waktu itu. Setelah saya menyapa, beberapa diantara mereka senyam-senyum. Mungkin melihat kepedean saya yang berlebih ini.
Semenjak momen itu, saya jadi sering berangkat bersama jengki. Bahkan selanjutnya, adik kelas saya bernama Nasrullah juga ikut-ikutan naik sepeda jengki. Hanya saja ia lebih parah, dibelakang tempat boncengannya masih ada bambu yang biasanya digunakan untuk mengangkut rerumputan. Gokil.
Setelah saya bersusah-susah saat berangkat tadi, maka sepulang sekolah, itulah imbalan yang saya dapatkan. Saya tak perlu menggenjot lagi. Dan saya ucapkan modiyar untuk kawan saya yang pulang ke arah selatan. Teruslah menggenjot.
Itulah kisah menarik saya bersama jengki pada suatu pagi saat berangkat sekolah. Pada akhirnya, barangsiapa yang bersusah-susah dahulu, maka akan bersenang-senang kemudian.
Demikian yang bisa saya sampaikan. Saya tutup dengan satu kutipan.
*Bergenjot-genjot dahulu, Bersemplirik-semplirik kemudian*
0 Respon