Pengalaman MOS yang Biasa Saja

by - Juli 09, 2018

Foto diambil dari blog sekolah

Saya sekolah di SMP NU Karangdadap dan lulus tahun 2014. Sebagai murid biasa, saya menjalani tiga tahun itu dengan biasa saja. Tak ada kisah heroik. Tak ada kisah kasih. Tak ada kisah tegang. Semua berjalan lurus. Datar. Monoton. Tak menarik. Inilah yang membuat saya kadang merasa agak menyesal tak menjadi murid nakal ataupun murid playboy. Tapi barangkali, saya memang ditakdirkan untuk menjadi murid baik-baik.

Angkatan saya masuk mulai 2011. Ada 120-an murid yang kelak dibagi dalam empat kelas. Perjalanan tiga tahun diawali dengan pengenalan sekolah, atau yang sering disebut MOS. Kegiatan yang cukup menyebalkan. Bayangkan saja, kami harus pakai topi dari besek, tas dari plastik, pakai atribut aneh-aneh, berangkat pagi sekali, sampai membawa jawaban atas teka-teki yang disampaikan panitia pada hari sebelumnya.

Sebagai murid baru, tentu MOS menjadi beban tersendiri. Apapun yang diperintah, harus dilaksanakan tanpa syarat. Barangkali karena murid baru masih takut, apapun dilakukan untuk menunaikan kewajiban. Saya pun begitu, saya sampai harus mencari bahan yang harus dibawa dari satu tempat ke tempat lain. Sialnya, bahan yang diperintah untuk dibawa itu ndilalah barang yang langka. Lebih dari itu, MOS telah membuat para ibu repot bangun pagi hanya untuk menyiapkan nasi tentara mata sapi. Apa itu coba.

Saya masih ingat betul panitia yang merepotkan kami waktu itu, ada Ali Akrom, Khakim, Sapron, Anita, Lulu, Karim, Heny, dan beberapa lainnya yang saya kenal wajah tapi tidak namanya. Kami ketahuilah mereka itu adalah bagian dari OSIS. Organisasi yang tak asing ditelinga murid baru waktu itu.

Waktu MOS berjalan, saya sendiri duduk tak jauh-jauh dari Bahul, Ulil, Sobi, dan Didik yang memang kami berasal dari satu desa. Begitupula yang lain, saling menggerombol bersama satu teman sekolahannya dulu. Kami semua masih membawa sikap kekanak-kanakan kami yang membuat panitia bahkan guru sekalipun marah. Aku ingat waktu Pak Yusuf marah karena kami banyak guyon. Tapi menurut saya sih, kemarahan itu sebab ada salah satu panitia yang pingsan waktu apel, mungkin karena kelelahan. Orang itu adalah kakaknya Syarifatul Mar’ah. Saya masih ingat betul.

Tapi apapun itu, MOS itu ya begitulah. Ribet dan menyebalkan. Meski sudah menyebalkan, ada saja yang makin nambah menyebalkan, yaitu kejahilan beberapa murid yang sok. Perhatikan saja, selalu ada murid yang berlagak petentengan pada murid lain yang kelihatan culun. Itulah yang saya tangkap ketika waktu MOS itu ada siswa yang nangis, ngakunya telah disakiti siswa lain. Maka dipanggillah mereka berdua oleh guru. Kelak, saya ketahui murid yang nangis itu adalah Riky. Pantesan.

MOS memang cuma tiga hari, tapi rasanya seperti berhari-hari. Mungkin karena kami pengap sebab keseratusduapuluhan murid itu menyatu dalam satu ruang dengan waktu yang cukup lama. Maklum, kan belum saling mengenal sehingga belum merasakan nikmatnya ngrumpi dengan orang lain. Namanya saja MOS, media pengenalan lingkungan sekolah, maklum kalau belum kenal. Baru kalau sudah kenal, namanya bukan MOS lagi, tapi Mas. Nanti malam kita jalan ya Mas... Mas Anam.




















You May Also Like

0 Respon