Jalan Kaki di Atas Rumput yang Berembun
![]() |
Ambil gambar di pixabay.com |
Jalan kaki di atas rumput yang berembun
Bukan bukan. Ini bukan satu judul cerpen atau novel. Ini hanyalah judul atas tulisan ringan yang ingin saya tulis.
Dalam semasa hidup sampeyan, pernahkah merasakan hal tersebut. Dimana sampeyan pagi-pagi betul seusai solat subuh keluar menerjang dingin dan jalan kaki di jalan atau rerumputan. Pernahkah? Pasti sampeyan pernah. Tapi saya kok lebih yakin sampeyan lebih memilih tidur daripada bangun pagi. Kalau begitu, kita sama.
Di lingkungan saya, saya jarang melihat orang melakukan aktivitas olahraga bahkan sekadar jalan kaki di pagi hari. Kalau pun ada, yakinlah bahwa ia sedang bersama anaknya yang baru bisa jalan kaki. Di lingkungan pedesaan saya ini, memang sedikit sekali yang rajin olahraga bahkan guru olahraga sekalipun. Jarang sekali. Atau jangan-jangan saya tidak tahu karena saya sendiri pun memilih tidur.
Semasa pengobatan dan penyembuhan dari sakit yang saya derita, saya sering jalan kaki pagi yang saya rasakan, memang begitu menyegarkan dan menenangkan pikiran.
Setiap jam setengah enaman pagi, saya menuju ke lapangan sepakbola. Belum ada kendaraan yang berlalu lalang. Masih sepi. Matahari belum muncul. Kabut masih menutup area jauh yang saya lihat. Udara masih segar. Burung masih nangkring di pohon bersiap terbang. Beberapa orang yang duduk dipekarangan, menyelendangkan sarung di tubuhnya, masih mengumpulkan nyawa. Dan rumput yang akan saya pijaki, masih basah oleh embun yang lumayan dingin dan segar. Gambaran yang begitu lengkap untuk menyimpulkan sebuah pagi yang indah.
Saya kemudian jalan mengitari lapangan. Melangkah perlahan, pelan, dan penuh perasaan. Begitu pelan, sebab kala itu saya belajar berjalan seperti bayi untuk pertama kali. Ya, penyakit yang saya derita membuat saya hanya bisa merebah di kasur dan menyulitkan saya berjalan. Saya belajar lagi untuk sekadar berjalan.
Mungkin sebab itu juga saya melangkah penuh perasaan. Tiap langkah yang saya ayunkan adalah sebuah perjuangan. Bergerak dari satu langkah ke langkah lain adalah perenungan dari satu makna ke makna berikutnya. Sungguh, begitu filosofis.
Pagi itu segar sekali. Tak henti-hentinya saya menghirup napas dalam-dalam. Setiap udara yang masuk dalam tubuh saya, rasanya saya begitu tenang. Pikiran saya tenang. Emosi saya tenang. Saya merasa begitu tenang. Dan setiap saya menghembuskan nafas, saya bayangkan energi negatif dalam tubuh saya ikut terbuang. Saya makin tenang. Begitu tenang.
Saya suka berjalan di atas rumput berembun. Tiap kali saya menapak, embun itu pecah di kaki saya dan seperti menjalarkan energi positif di sekujur tubuh saya. Butiran embun itu barangkali adalah penyuplai semangat untuk perjalanan sehari ke depan. Makin banyak embun yang saya pijak, makin kuat energi saya. Makin segar kaki saya.
Tak jarang, bersamaan dengan jalan kaki di lapangan itu, matahari keluar. Menyinari saya dan sekitar saya. Seperti menyinari harapan pada jiwa saya yang kala itu masih rapuh. Cahayanya terang, tetapi belum menyilaukan mata. Cahaya yang tipis dan terasa hangat. Jika bersamaan, saya berdiri diam, membiarkan cahaya itu masuk dalam jiwa saya.
Dan beberapa menit berikutnya, lalulintas mulai ramai. Anak-anak sekolah mulai berangkat. Penjual mulai jalan. Burung-burung mulai terbang. Warung mulai buka. Kabut mulai mengabur. Orang-orang mulai menjemput rejekinya. Baru setelah itu, saya pulang, membawa kesegaran.
Pagi memang menyuguhkan sesuatu yang luar biasa. Saya pernah merasakannya. Tetapi justru sekarang ketika saya sudah sembuh dari penyakitnya yang saya derita, saya tak lagi merasakan keindahan pagi. Saya memilih tidur. Barangkali, karena itu rejeki saya sudah dipatok ayam. Akhir-akhir ini, pagi yang indah itu hanya dirasakan oleh ayam dan burung yang senantiasa berjaga tiap pagi.
Benar kata Tuhan. Nikmat manalagi yang kau dustakan?
0 Respon