• Halaman Awal
  • Diri Sendiri
facebook instagram Email

Anam Sy

 


Sehabis rutinan berzanji, aku memulai aktifitas malam Jumatku dengan scroll sosial media. Membuka twitter sebentar dan berlanjut melihat beranda youtube. Tak sengaja, aku menemukan sebuah postingan tentang story telling. Tema yang selama ini aku cari. Rasa penasaran akhirnya menggerakan mataku untuk menontonnya.

Sialan. Gokil ini. Kereeen. Ini yang selama ini aku cari. Kenapa aku baru tahu kalau ada orang yang asik begini. Itu adalah responku setelah menyaksikan seseorang berbicara monolog menceritakan sesuatu di kamera selama beberapa menit. Tak lama, aku melihat-lihat isi konten chanel-nya yang lain. Seseorang itu adalah Ferri Irwandi.

Selama ini aku selalu kagum dan iri dengan orang yang ahli berbicara di depan umum. Mereka berbicara di forum selayaknya berbicara kepada seorang teman. Lancar. Tanpa celah. Sebuah keistimewaan yang tidak aku miliki.

Bagiku, berbicara di depan umum menjadi tantangan tersendiri. Ini karena dulu aku adalah orang yang sangat pemalu. Jangankan berbicara di depan orang banyak, berkomunikasi dengan teman bahkan keluarga saja selalu canggung. Makanya tema story telling menarik perhatianku.

Aku menganggap, kemampuan story telling ini penting untuk dilatih. Terlebih, aku sekarang jadi ketua IPNU. Sebagian teman-temanku selama ini menganggap aku bisa berbicara di depan. Anggapan itu tidak salah juga. Aku memang bisa berbicara di depan. Tapi itu hanya terbatas pada konteks pembicaraan yang sama dan berulang. Bukan ‘bisa’ dalam arti sanggup mengutarakan suatu hal dengan begitu komunikatif. Untuk sampai titik itu, aku sama sekali belum sanggup.

Aku percaya semua keahlian bisa diusahakan. Bercerita dalam bentuk tulisan semacam ini adalah salah satu usahaku untuk belajar menstrukturkan gagasan yang ada dalam pikiran. Aku ingin lebih banyak belajar menulis. Aku ingin lebih banyak belajar story telling.

 

Pekalongan, 21 Januari 2022

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon

 


Ketertarikanku pada membaca dimulai ketika suatu jam kosong yang lengang, aku melangkahkan kaki ke perpustakaan sekolah dan mengambil satu buku random. Aku membacanya dan memutuskan meminjam setelah terpincut beberapa lembar pertama.

Sebelumnya, kehadiranku ke perpustakaan lebih karena daripada mau ngapain. Aku ke perpus lebih sering melihat statistik pertandingan bola yang tersaji dalam koran daripada baca buku. Dan hari itu, aku mencoba untuk lain dari biasanya.

Buku itu membuatku jatuh cinta pertama pada membaca. Baru kali itu aku membaca sesuatu dan ikut hanyut di dalamnya. Latar ceritanya kurang lebih tentang kehidupan seseorang yang melarikan diri ke hutan dari tuduhan pembunuhan. Aku lupa judulnya tapi aku masih menyimpan novelnya entah di tumpukan yang mana. Itu artinya, aku belum mengembalikan buku lebih dari lima tahun lamanya.

Hari-hari berikutnya aku jadi ketagihan untuk membaca tulisan sejenis. Akhirnya aku menemukan rak sastra. Aku menemukan buku ‘Hujan Bulan Juni’ karya Sapardi Djoko Damono dan penulis hebat lain semacam Putu Wijaya. Sayangnya, koleksi buku karya sastra di perpus hanya sedikit dan bisa dihitung dengan jari.

Hasrat untuk terus membaca setelah itu naik tajam. Aku jadi mencari banyak bacaan di internet. Aku baca-baca tulisan-tulisan renyah ala Mojok. Baca ulasan berita dengan sudut pandang Tirto. Dan apapun tulisan yang menurutku bagus, utamanya beberapa cerpen yang ada di dalam situs koran digital.

Aku juga jadi tahu bahwa ada aplikasi perpustakaan digital. Namanya Ipusnas. Bentuknya seperti perpustakaan betulan di mana banyak buku yang tersedia. Dalam sehari satu akun dibatasi meminjam dua buku digital. Dan setiap buku yang dipinjam, memiliki batas waktu lima hari. Menyenangkannya, tidak ada denda yang diterapkan sekalipun kita tidak mengembalikan. Sistem otomatis mengembalikan buku ketika sudah habis masa pinjam.

Aku beruntung sekali Ipusnas hadir untuk menyalurkan hasrat membaca bagi orang-orang sepertiku yang jauh dari akses bacaan, eman ketika beli buku, dan males ngecek promo ketika harbolnas.

Rentang waktu membaca di Ipusnas terjadi ketika akhir MA dan beberapa waktu selulusnya dari sana. Ketika aku sudah kerja dan punya uang, aku mulai beli buku-buku. Sampai sekarang buku fisik yang aku beli sudah mencapai 30-an. Sebagai orang yang suka membaca, tentu jumlah itu belum seberapa. Perlahan demi perlahan aku ingin mewujudkan mimpiku untuk membuat perpustakaan mini.

Selamat membaca.


Pekalongan, 16 Januari 2022

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon

 




13 Januari 2022

Dua hari ini, aku belajar mindfulness. Sadar terhadap apa yang aku lakukan. Aku sadar ketika bekerja, aku sadar ketika menulis, aku sadar ketika tidur, dan aku sadar terhadap setiap detik hal yang aku lakukan.

Dampaknya, aku merasa lebih menghargai waktu. Waktuku terasa utuh. Lengkap. 24 jam. Tidak ada secuil waktupun yang hilang secara misterius.

Aku bangga atas pencapaian dua hari ini. Kehadiranku secara penuh dalam setiap laku, membuatku menyimpulkan bahwa waktu bisa diajak kompromi. Selama ini aku banyak kehilangan waktu dan baru tersadar ketika sudah mencapai titik tertentu.

Ini baru dua hari, akan banyak hari semi hari ke depan. Aku sering terlena oleh pencapaian baru, berbangga terlalu cepat, dan kemudian tidak mengulanginya sama sekali. Kali ini aku tidak mau terlena. Keterlambatanku untuk memulai hal baru sudah sedemikian banyak. Lantas apa artinya perubahan baru ini jika hanya mandek di hari ke tujuh, atau sepuluh.

 

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon



12 Januari 2021

Sekarang, aktivitasku dalam 24 Jam didominasi oleh kerja. Nyaris sepertiganya. Sepertiga lainnya adalah jatah istirahat. Sementara sepertiga sisanya, ini yang sedang aku pikirkan, sebenarnya untuk apa?

Sebagai seorang anak muda, hasratku untuk melakukan banyak hal selalu terpatri sejak dalam pikiran. Aku ingin belajar grafis, ingin olahraga, ingin baca buku, ingin punya rutinitas baru yang baik, dan banyak hal. Sayangnya, sejauh ini aku merasa hidupku seolah-olah terdiri dari kerja, kerja, dan kerja. Padahal jika aku pikir-pikir lagi, jam kerjaku paling banyak tidak sampai melebihi 10 jam sehari.

Detik ini, aku bertanya-tanya kemana waktuku selama ini? Di mana letak sepertiga waktu yang ghaib itu?

Sekarang mari kembali ke awal. Sepertiga waktuku terdiri dari bekerja. Oke, poin pertama setuju. Sepertiga kedua adalah tidur. Aku rasa, waktu tidurku kisaran 6-7 jam, namun kalau dibilang 8 jam, poin kedua ini masih bisa disetujui. Ketiga, ini yang akan aku bahas. Mari bedah dan temukan kemana waktuku yang hilang.

Dimulai dari hal-hal yang berulang. Sholat, sholatku lima waktu setiap hari, sama seperti yang lain. Aku hanya jamaah dua kali, Maghrib dan Isya. Untuk dua sholat ini, taruhlah menghabiskan waktu setengah jam. Dan ditambah tiga sholat sendiri, biasanya cepat. Untuk sholat, biar gampang digabung dengan aktivitas ibadah lain, paling tidak satu jam angka yang pantas untukku yang tidak sholih-sholih amat.

Masih ada 7 jam lagi! Kemana?

Makan. Aku makan tiga kali sehari. Aku orang yang cenderung tidak bisa makan cepat. Kunyahanku pelan. Jika dalam sekali makan 15 menit, itu artinya makanku sudah menyita 45 menit sendiri. Itu belum ngemil-ngemil. Aku asumsikan untuk ngemil 15 menit saja. Berarti, untuk makan, itu totalnya satu jam.

Masih ada 6 jam lagi! Kemana?

Mandi cuci kakus. Mandiku paling normal dua kali sehari. Meski faktanya, mandiku cuma sore hari. Taruhlah 30 menit untuk itu. Tapi apa kabar dengan BAB. 10 menit pasti ada lah. Jika dikalkulasi dengan nyuci-nyuci baju hingga 20 menit, urusan MCK ini menyita waktu sejam juga.

Masih ada 5 jam lagi! Kemana?

Ya, menulis. Setidaknya satu jam sehari.

Masih ada 4 jam lagi! Kemana?

Kadangkala, sebagai seorang yang terkadang mikir, dalam sehari selalu ada saja momen melongo, tidak ngapa-ngapain, cuma memandang daun-daun yang bergoyang dikejauhan, dan peristiwa mengumpulkan nyawa sesaat setelah tidur. Jika dikalkulasi, aku menghabiskan waktu untuk hal-hal filosofis itu setengah jam.

Masih ada 3 jam setengah lagi! Kemana?

Aku nyaris lupa kalau sore aku ngajar. Taruhlah setengah jam saja.

Masih ada 3 jam lagi! Kemana?

Sekalipun saat ini bukan pecandu berat media sosial dan youtube, kalau dihitung-hitung, jika dijumlahkan dari yang sedikit-sedikit membuka itu, ternyata bisa juga sampai satu jam.

Masih ada 2 jam lagi! Kemana?

Oiya, sebagai makhluk sosial, aku butuh bergerombol, butuh berorganisasi, dan butuh bersosialisasi. Aku punya grub grumbungan yang bisa berkumpul kapan saja ketika waktunya tepat. Secara hitungan, sebut saja setengah jam.

Masih ada 1 jam setenah lagi! Kemana?

Ya, satu jam setengah waktu yang tidak jelas ke mana. Aku yakin, satu setengah jam ini selalu tersita untuk main hape. Main hape diam-diam menyita waktu yang banyak. Betapa tidak, aku sulit lepas bahkan dalam hitungan menit. Jelas ini bahaya untuk ekosistem kreativitas dan produktivitas sebagai anak muda.

Dari data yang aku buat sendiri, aku bisa menyimpulkan kalau sebetulnya aku punya waktu kosong selama satu setengah jam. Tentu waktu selama itu tidak hadir dalam satu waktu. Maksudku, setengah jam itu berpencar-pencar dan menyelinap di antara kegiatan-kegiatan di atas.

Sudah jelas, bukan tidak ada waktu yang menghambatku untuk melakukan banyak hal. Itu artinya, kegagalan selama ini faktornya adalah internalku sendiri. Aku yang malas. Aku yang tidak bisa mengatur waktu dengan baik. Dan aku yang selalu tegoda dengan kenikmatan sesaat.

Aku jadi belajar, aku sering menghabiskan waktu-waktu nanggung untuk hapenan. Waktu nanggung seperti menjelang waktu sholat, sehabis bekerja, atau sebelum beraktifitas. Aku sadar, waktu-waktu itu kalau dikalkulasi, sama dengan ketidakmampuanku mengatur waktu dengan bijak.

 

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon

 


11 Januari 2022

Aku menulis ini ketika sore hari. Ketika hujan sedang deras membasuh bumi. Ketika listrik sudah siuman dari tidurnya yang panjang.

Sore yang syahdu ini, aku akan bercerita padamu tentang cinta: yang dahsyat ketika melanda, dan yang patah seketika. Ceritanya mungkin agak klise, tapi begitulah cinta, seperti kata patkay, deritanya tiada akhir.

Barusan, penyimpanan hapeku penuh. Ini sebetulnya notif harian dan selalu bisa selesai dengan menghapus beberapa berkas. Tetapi kasus kali ini agak lain, aku merasa seluruh foto yang tidak penting sudah nihil. Hingga kemudian aku mulai menggali lagi foto-foto lama. Dan betapa terkejutnya aku mengetahui sebagian kenangan dalam foto adalah tentang dia.

Dia. Dia adalah seorang perempuan langka yang kujumpai dalam sebuah siang yang panas. Senyumnya adalah keteduhan. Melihatnya adalah melihat purnama di antara sepanjang malam musim hujan. Ah, mengingatnya mengharuskanku membawaku ke titik itu lagi.

Aku tidak ingin bertele-tele, ingin kupersingkat saja ceritanya. Sejujurnya, aku mencintainya. Dia tahu aku mencintainya. Tapi aku tidak lagi mencintainya sekarang. Bukan sebab apa-apa. Tugasku mencintainya sudah selesai ketika dia memutuskan untuk menjalin hubungan dengan seseorang. Dan kami masih berkawan dengan baik.

Aku pernah patah hati, tetapi dalam waktu yang relatif singkat. Banyak hal yang membuatku memaklumi keputusannya. Tetapi bagaimanapun, cerita itu terlalu dahsyat untuk dikenang. Aku sudah berdamai. Dan kami memang tidak pernah bertengkar. Jika ada sebutan yang pantas, mungkin sebutan kisah ini ialah cinta yang tak tersampaikan. Bukan berhenti pada kata itu, namun ada tambahannya: cinta yang tak tersampaiakan, dan memang sengaja tak disampaikan.

Aku sama sekali tidak menyesal belum pernah mengungkapkan keterusterangan. Tetapi bagiku, mencintainya sudah merupakan hal besar dan dahsyat. Teman-teman dekatku tahu, aku tidak mudah jatuh cinta. Dan mengetahui aku bisa jatuh cinta sedahsyat itu, itu luar biasa. Kuakui, perempuan itu berhasil menjadi sangat berwibawa di hadapanku. Dia hebat, dia sanggup membuat seseorang yang sulit jatuh cinta, bisa jatuh cinta, jatuh sejatuh-jatuhnya.

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon



9 Januari 2022

Akhirnya aku memasuki momen yang ganjil dalam hidupku. Untuk kali pertama, aku merasa tidak betah berlama-lama main hape. Perasaan ini muncul karena aku sudah begitu bosan dengan rutinitas monoton dalam bermain hape: mengecek sosial media, nonton youtube, dan mendengarkan musik. Ditambah, aku tidak punya kebutuhan khusus untuk menghubungi seseorang.

Ya. Ini adalah sesuatu yang ganjil. Jika selama ini aku kecanduan bermain hape, kali ini justru sebaliknya. Aku sama sekali malas.

Momen langka ini harus dimanfaatkan betul. Aku ingin menjadikan kebosanan ini sebagai waktuku untuk mengambil jarak dengan itu semua dan mengisinya dengan hal produktif. Akan banyak hal yang bisa aku dapat dibanding bersekutu dengan hape berjam-jam lamanya.

Sudah saatnya resolusi tahun ini mulai perlahan diwujudkan. Aku sadar, dalam sehari, aku biasanya menyita waktu nyaris enam jam untuk hapenan. Itu buruk sekali. Ruang otakku justru banyak diisi untuk hal yang tidak penting. Coba apa pentingnya mengetahui apa yang sedang tren saat ini?

Ada banyak kesempatan yang hilang ketika aku hanya bisa merebah dan menyaksikan apa yang sedang terjadi pada dunia alih-alih berusaha bergerak untuk mengubah hidupku yang begini-begini saja.

Coba mari ganti. Ngecek media sosial tiap beberapa menit diganti dengan mencicil tulisan beberapa menit. Melihat story orang diganti dengan melihat list catatan apa yang belum tercoret. Mengganti kebiasaan buka tutup hape dengan tarik nafas penuh sadar. Dan banyak hal kecil yang punya makna baik.

Kehidupanku sudah semakin dewasa. Diam di tempat dan tetap melakukan hal konyol hanya dapat membuatku memisuhi diri sendiri di kemudian hari. Aku harus mulai tahu mana prioritas dan mana yang cuma pantas-pantas. Aku bukan lagi anak kecil yang bebas untuk bertindak tanpa pikir panjang. Selalu menuruti ego sesaat padahal sama sekali tidak penting. Aku tidak ingin begitu lagi sekalipun pada beberapa hal aku harus menghidupkan jiwa kanak-kanakku.

Umurku masih 22. Maksudku, umurku sudah 22. Aku tidak tahu mana yang tepat. Aku merasa kesadaranku menjadi manusia baru mulai tumbuh sejak saat ini. Tapi aku lebih merasa selama 21 tahun berlalu, aku tidak melakukan apapun. Aku tumbuh ya tumbuh saja. Aku bergerak ya bergerak saja. Tidak ada tujuan. Tidak ada cita-cita. Tidak ada arah ke mana aku melangkah.

Ketidaktahuan akan tujuanku sendiri pada akhirnya membawaku pada titik sekarang ini. Aku kebingungan. Aku melawatkan banyak hal. Tentu hari ini adalah hasil dari apa yang terjadi beberapa waktu belakangan. Titik ini adalah titik kesimpulan, ketika aku tidak melakukan apa-apa, maka aku akan menjadi seperti ini. Aku tidak ingin beberapa tahun lagi mengalami hal yang sama persis seperti yang terjadi sekarang.

Aku berlindung dari kemalasan dan ego untuk menuruti kesenangan sesaat.

 

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon

 


3 Januari 2022

Kopi

Ketidaksukaanku pada kopi sekarang berbanding terbalik dari apa yang terjadi beberapa tahun silam.

Kisah dimulai dari ingatanku soal kopi sewaktu masa kecil. Bukan kopi seduh yang aku maksud, melainkan bubuk kopi. Dulu, aku suka sekali membeli kopi, tepatnya kapal api. Sesampainya di rumah, aku membukanya lebar hingga bungkus itu menjadi lembaran. Selanjutnya, aku menambahkan gula sebanyak yang aku mau. Ya, bukan untuk diminum, melainkan untuk diambil sedikit demi sedikit dengan jepitan jempol dan telunjuk, lalu diemut.

Khazanah soal kopi dalam hidupku semula hanya itu. Entah bagaimana ceritanya, kemudian, ada suatu masa, aku nyaris setiap hari ngopi. Benar-benar kopi. Pahit. Tanpa gula. Aku agak lupa bagaimana kebiasaan itu terjadi. Kalau tidak salah, aku ngopi karena aku pikir itu bisa membuatku bisa tenang dan membantu naluri pikiran untuk puitis, tentu itu jaman awal-awal aku mulai menulis. Aktivitas itu berangsur lama, menemaniku setiap kali menulis, dan menunggu waktu sarapan pagi sebelum berangkat sekolah.

Hingga datanglah satu peristiwa yang menghentikan aktivitas ngopiku seketika. Sama sekali.

Di suatu pertengahan tahun, aku terkena sakit. Sangat parah. Aku menderita sakit TBC paru-paru yang membuatku tidak bisa melakukan apa-apa. Sejak itu, aku tidak lagi minum kopi. Yang membuatku heran, aku bahkan tidak lagi tertarik untuk ngopi sekalipun sudah kembali sehat.

Beberapa kali ketika ditawari kopi, aku selalu menolak. Entah kopi varian apapun. Tidak tidak, bukan aku tidak lagi doyan dengan kopi, aku hanya tidak suka saja. Dalam beberapa kasus ketika bertamu dan disuguhi kopi, aku bakal tetap meminumnya.

Ketidaksukaanku pada kopi ini justru berbanding terbalik dengan perkembangan kopi secara umum. Seperti kita tahu, kedai kopi, coffe shop, dan entah apapun itu namanya, sekarang sudah berkembang pesat dan menjamur di mana-mana.

Ya sudah, bagaimana lagi, namanya tidak suka. Padahal, aku selalu membayangkan berada di kedai, menyeruput kopi pelan, membaca sebuah buku, mengepulkan asap rokok dengan penuh kharismatik, dan melambaikan tangan kepada seorang perempuan di kejauhan yang baru saja datang menepati janjiku untuk temuan.

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon

 


2 Januari 2022

Rencana

Seperti yang aku bilang sebelumnya, tidak ada yang tahu ke depan bakal seperti apa, tetapi setidaknya kita punya rencana. Aku tidak menginginkan perubahan yang ndakik-ndakik. Yang aku butuhkan, adalah perubahan yang spesifik dan terukur.

Tantangan terberatku saat ini masihlah kemalasan. Aku rasa ini tantangan semua orang. Malas membuatku menyesali banyak hal yang telah lewat. Penyesalan datang belakangan itu benar adanya.

Jika berkaca dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, kemalasan hadir biasanya karena mood. Malas nulis karena mood-nya sedang tidak bagus. Malas beli sesuatu karena mood-nya enak untuk tiduran. Mood selalu menjadi biang kerok dari kemalasan.

Setelah aku pikir-pikir, kenapa aku bisa dikalahkan oleh rasa mood yang sebenarnya itu bisa dikendalikan oleh diriku sendiri. Ini aneh. Kalau menuruti mood, jelas aku tidak akan bergerak apa-apa. Jika dengan mood saja aku kalah, lalu apalagi dengan kerasnya kehidupan. Waw.

Itu hanya pengantar saja ya. Lanjut.

Dengan berbekal catatan buruk selama bertahun-tahun soal kemalasan, di tahun ini aku ingin melatih mental untuk bisa mengalahkan itu. Sederhana saja, misalnya ketika ingin melakukan sesuatu, aku harus berdiri dan berjalan melaksanakannya tanpa menunggu waktu yang dikira pas. Seringkali aku melakukan sesuatu menunggu yang pas-pas. Pingin nyuci, ah nanti ah, kalau sudah jam 10.00.

Resolusiku adalah melaksanakan apa yang aku inginkan tanpa melihat jam. Aku yakin ini akan menjadi pola kedisiplinan yang bagus. Bangun tidur aku ingin langsung bergegas ke kamar mandi. Selesai kerja aku ingin langsung istirahat. Ketika ada hasrat menulis, aku tunaikan seketika itu juga. Aku ingin berlindung dari kata nanggung yang seringkali justru hadir tidak tanggung-tanggung.

Termasuk Januari ini, aku ingin menyelesaikan beban tahun lalu yang masih belum lepas: input sdgs nyaris 600 form, di mana satu form-nya membutuhkan waktu input 7 menit; dan input emis santri TPQ Madin kurang lebih 100. Dalam sehari aku wajib menginput 15 form sdgs, dan 5 data santri. Aku tidak memerlukan waktu khusus, seperti tadi, ketika ada kesempatan, aku cicil sekalipun cuma tiga menit.

Jelas di tahun ini aku ingin meningkatkan produktivitas dalam banyak hal. Aku merargetkan baca buku sebulan sekali. Menulis satu lembar sehari. Latihan angkat beban setidaknya push up 20 kali sehari. Dan menolak membuka hape ketika ingin dan baru bangun tidur. Aku ingin berat badanku naik setidaknya sekilo dalam dua bulan. Ingin wawasanku bertambah dari satu pegetahuan ke pengatahuan lain. Paham situasi. Bijak dalam berbagai kondisi. Tidak gugup dan tidak gegabah mengambil keputusan.

Sebentar-sebentar, kenapa aku merasa, catatan di atas terlalu berlebihan ya.

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon



1 Januari 2022

Tahun baru sudah dimulai. Ini adalah hari pertama dari 365 hari yang akan berjalan dalam setahun. Jelas aku tidak tahu apa yang akan terjadi ke depan. Tetapi aku percaya semua hal bisa direncanakan.

Sedikit flashback, 2021 secara keseluruhan tidak banyak perubahan yang terjadi. Namun kalau melihat dari perkembangan, aku merasa sudah berkembang sekalipun perlahan demi perlahan.

Tentunya, setiap waktu selalu ada hal yang perlu dievaluasi. Tahun lalu aku buruk sekali dalam mengatur waktu. Banyak pekerjaan yang melewati deadline padahal itu sudah jadi tanggung jawab. Seperti misalnya SDGS desa yang bahkan sampai delapan bulan kalau tidak salah, pengerjaannya masih belum sampai 40 persen. Ada juga input emis TPQ Madin yang baru mulai. Belum lagi managemen waktu tidurku yang masih amburadul sehingga mengganggu siklus jam pekerjaan. Hal-hal ini yang jadi evaluasi ke depan agar tidak lagi terulang.

Tahun ini aku gagal untuk menaikkan berat badan. Aku selalu bertahan di angka 50 kilo lebih sedikit. Kadang 52, kadang 53, antara segitu. Dengan tinggiku yang mencapai 175 meter, angka itu tentu bukan sebuah nilai yang ideal. Tubuhku tampak kurus tinggi.

Tetapi aku mengapresiasi diri sendiri yang selama setahun ini Alhamdulillah tidak ada penyakit berat. Demam pun kalau tidak salah dua atau tiga kali saja. Yang paling sering aku alami justru sariawan, pokoknya setiap bulan selalu ada saja momen sariawan, entah karena kegigit ketika makan, atau memang asupan vitamin yang kurang. Dan oiya, satu lagi, aku merasa tua setelah sering sakit pinggang.

Soal keuangan aku rasa tidak ada masalah berarti, sekalipun uangku tidak banyak-banyak amat, yang jelas aku selalu pegang uang. Sumber keuanganku saat ini masih dari satu arah, yakni pekerjaanku sekarang. Meski terseok-seok di awal tahun 2021 karena pandemi, syukurnya berangsur membaik di pertengahan hingga sekarang.

Kalau soal pengembangan diri, 2021 aku banyak belajar soal seni-seni hidup. Seperti misalnya hidup minimalis, frugalisme, mengelola keuangan, dan banyak hal. Untuk kebiasaan membaca sayangnya statistiknya turun, di pertengahan tahun aku ambisius sekali membaca banyak buku, namun menuju akhir-akhir hasrat itu perlahan pudar.

Untuk kebiasaan menulis sendiri aku merasa tidak ada banyak yang berubah. Aku menulis seperti biasa. Tentu tidak lagi menggebu-gebu seperti dulu karena tidak ada lagi yang aku cintai, sehingga jangan heran tidak ada lagi puisi yang tercipta di tahun ini. Kebiasaan menulis ini belum cukup untuk berhasil membuatku menghasilkan karya. Tapi tidak mengapa, kebiasaan selama ini aku rasa cukup untuk menjadi pondasi dasar.

Sebagai seorang yang sulit untuk jatuh cinta, catatan kisah asmaraku ya begini saja. Datar. Aku masih mempertahankan status ‘belum pernah pacaran’ hingga detik ini. Entah ini sebuah catatan prestisius atau bukan, aku tidak tahu. Sesorang yang aku cintai terakhir sekarang sudah happy ending dengan menemukan pasangannya yang serasi. Tentu dibikin patah hati, tetapi hanya sebentar, setelah itu, perasaanku kembali netral. Aku tidak tahu bakal kapan lagi ada perempuan yang bisa membuatku jatuh cinta, namun segala kemungkinan masih terjadi. Mungkin aku akan terbuka pada banyak kemungkinan. Sudah ada seseorang yang aku sukai, dan aku sedang berusaha bagaimana caranya agar aku bisa mencintainya. Aku percaya, jatuh cinta bisa dilatih.

Namun sekarang, ada yang lebih penting dari urusan cinta-cinta. September lalu, aku mengemban amanah menjadi ketua IPNU Kebonrowopucang. Ini adalah hal besar yang jatuh di tahun 2021. Menjadi ketua, sekalipun sebetulnya tidak ideal, akhirnya harus menjadikanku sebagai pembelajar ulung. Di awal-awal, aku belajar untuk ikhlas menjalankan organisasi dan belajar untuk mengambil keputusan demi keputusan. Untuk poin yang kedua, ini adalah hal yang benar-benar baru. Sulit untuk memutuskan sebuah kebijakan. Ini benar-benar hal menantang bagiku di tahun 2021 dan akan berlanjut sampai dua tahun ke depan.

Di akhir catatan ini, aku ingin berterimakasih dengan diri sendiri atas apa yang terjadi selama 2021. Meski rasanya biasa-biasa saja, banyak hal yang ternyata bisa disyukuri.

Next, lembaran baru 2022. Bismillah.

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon
Newer Posts
Older Posts

Info

Tayang seminggu dua kali

Mutualan, Yuk

  • facebook
  • instagram
  • youtube

Kategori

IPNU

Postingan Viral

Catatan

Sementara kosong dulu, seperti hatiku

Facebook

Isi Blog

  • ►  2024 (15)
    • ►  Apr 2024 (1)
    • ►  Mar 2024 (4)
    • ►  Feb 2024 (1)
    • ►  Jan 2024 (9)
  • ►  2023 (11)
    • ►  Des 2023 (3)
    • ►  Nov 2023 (1)
    • ►  Sep 2023 (3)
    • ►  Jul 2023 (4)
  • ▼  2022 (46)
    • ►  Nov 2022 (7)
    • ►  Okt 2022 (7)
    • ►  Sep 2022 (6)
    • ►  Agu 2022 (4)
    • ►  Jul 2022 (9)
    • ►  Mei 2022 (4)
    • ▼  Jan 2022 (9)
      • Tentang Story Telling-ku
      • Jatuh Cinta Pertama Pada Membaca
      • Baru Sadar Ternyata
      • Mencari Waktu yang Hilang
      • Dia, Perempuan
      • Ganjil yang Agak Lain
      • Khazanah Kopi dalam Hidupku
      • Rencana
      • Rekapitulasi Akhir Tahun - Anam Sy
  • ►  2021 (22)
    • ►  Des 2021 (5)
    • ►  Sep 2021 (3)
    • ►  Agu 2021 (6)
    • ►  Jun 2021 (1)
    • ►  Mar 2021 (7)
  • ►  2020 (14)
    • ►  Des 2020 (1)
    • ►  Nov 2020 (2)
    • ►  Jul 2020 (2)
    • ►  Jun 2020 (1)
    • ►  Mei 2020 (1)
    • ►  Apr 2020 (1)
    • ►  Mar 2020 (2)
    • ►  Feb 2020 (4)
  • ►  2019 (3)
    • ►  Mar 2019 (1)
    • ►  Feb 2019 (1)
    • ►  Jan 2019 (1)
  • ►  2018 (57)
    • ►  Okt 2018 (7)
    • ►  Sep 2018 (5)
    • ►  Jul 2018 (11)
    • ►  Jun 2018 (3)
    • ►  Mei 2018 (4)
    • ►  Apr 2018 (2)
    • ►  Mar 2018 (5)
    • ►  Feb 2018 (12)
    • ►  Jan 2018 (8)
  • ►  2017 (71)
    • ►  Des 2017 (7)
    • ►  Nov 2017 (20)
    • ►  Okt 2017 (10)
    • ►  Sep 2017 (8)
    • ►  Agu 2017 (8)
    • ►  Jul 2017 (9)
    • ►  Jun 2017 (5)
    • ►  Mei 2017 (4)

Created with by ThemeXpose | Distributed by Blogger Templates