• Halaman Awal
  • Diri Sendiri
facebook instagram Email

Anam Sy

 

Anam Sy

Malam ini, tiba-tiba saya merasa sangat lapar. Saya bahkan merasa ada semacam getaran pada tubuh, tapi bukan sejenis menggigil.

Apakah menulis seharian full memang menimbulkan efek semacam ini? Atau, sebetulnya ada getir yang lain di balik ini semua.

Untungnya masih ada sisa nasi sebungkus dan sepotong tempe goreng yang saya temukan di dapur. Daripada mikir macam-macam, melahapnya tentu jauh lebih baik. Saya bahkan masih merasakan getaran itu saat makan.

Tiga mingguan ini saya menganggur. Bukan karena memang menganggur, hanya saja, pekerjaan saya sedang mengalami permasalahan finansial yang pelik. Libur adalah cara bos saya bisa tenang memikirkan jalan keluar.

Bagi saya sendiri, libur semacam ini libur yang saya tunggu. Saya kadang merasa aneh dengan diri sendiri kenapa sangat mencintai libur. Terlebih libur kerja. Padahal secara teori, tidak kerja ya tidak dapat uang.

Sudah tiga minggu berlalu. Apa yang saya lakukan selanjutnya adalah apa yang membawa saya menyadari banyak hal di hari ini.

Tiga minggu berkelut dengan diri sendiri, saya merasa sangat menikmati berkawan dengan kesendirian. Tidak dikejar deadline. Tidak ada intervensi. Tenang. Damai. Sebelum kemudian panik setelah tahu bahwa uang kian menipis.

Selama tiga minggu itu, saya menulis. Full menulis. Pagi, siang, sore, dan malam. Saya pikir, menulis bagus untuk membantu saya mengenal diri saya lebih dalam. Alasan lain, ini wujud keras kepala saya mempertahankan menulis sebagai jalan menuju masa depan.

Ternyata begini ya rasanya menulis saban hari. Meski tidak banyak tenaga dikerahkan, rasanya tetap melelahkan. Apakah mungkin karena pikiran saya sudah benar-benar bekerja?

Getaran itu perlahan mulai hilang. Semakin hilang ketika beberapa menit kemudian, mataku berat dan tak sanggup untuk melanjutkan tulisan ini.

 

31 Juli 2022

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon

 

Anam Sy

Di tengah kesibukan saya menggarap job menulis artikel untuk pertama kalinya, saya menyempatkan diri menengok blog pribadi dan membaca tulisan-tulisan lama.

Akhirnya, saya menemukan satu tulisan tertanggal 1 November 2017. Yang membuat saya tergelitik adalah isi tulisannya.

Saya menulis bahwa hari itulah hari pertama saya ingin perubahan pasti. Saya sampai berjanji untuk berlatih menulis dan bertekad menjadikan menulis sebagai profesi.

Membaca hal itu tentu saja membuat saya tergelitik sekaligus getir.

Masalahnya, saya membacanya saat ini, tertanggal 1 Agustus 2022. Sementara saya masih ingat betul, tidak lama ini saya juga menulis hal yang isinya tak jauh berbeda dari tulisan itu. Menulis tentang tekad ingin berubah, disiplin menulis, dan menjadikannya sebagai profesi.

Yang membuat saya berpikir sekarang adalah, "terus yang saya lakukan selama empat tahun ini apa?"

Berangkat dari itu, saya jadi sadar bahwa saya belum sungguh-sungguh melatih menulis. Memang saya menulis setiap hari, tetapi saya menulis begitu saja tanpa pondasi yang kuat.

Saya jadi teringat, saya pernah membaca tulisan kiat apa yang musti dilakukan seorang yang ingin melatih menulis. Seorang penulis yang menjabarkan hal itu mengatakan, melatih menulis bagusnya dengan berlatih menulis cerpen.

Alasannya, cerpen memuat banyak hal: pembukaan, penokohan, sudut pandang, konflik, dan penutup. Sehingga, cerpen bagus untuk latihan karena ada bagian-bagiannya.

Karena itu, saya ingin melatih menulis dengan cara yang tepat. Yakni menulis cerpen.

Mulai saat ini, saya akan menulis satu hari satu cerpen. Jikapun bukan berbentuk cerpen, setidaknya ada cerita yang saya tulis setiap harinya.

Saya tentukan, saya akan menulis satu cerpen setiap hari selama dua bulan berturut-turut. Jika ada yang bolong, saya akan menambalnya dua kali lipat di hari berikutnya. Semakin banyak bolong, semakin saya harus menulis berkali-kali lipat.

Ini adalah hari pertama yang sekaligus menjadi tulisan pertama. Masih ada 59 hari lagi.

Dalam prosesnya, saya akan mengunggah tulisan saya di blog. Baik buruk saya kira belum terlalu penting karena saya belum begitu mahir.

Yang terpenting, saya mulai mewujudkan apa yang saya janjikan kepada diri sendiri.

 

31 Juli 2022

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon

 

cerpen anam sy

Ada sebuah pagi di mana aku merasa, itulah pagi terindah yang pernah ada. Pagi yang membuatku bersemangat bangun dari tidur. Pagi yang meyakinkanku untuk menaklukan dunia ini. Pagi yang lain dari biasanya.

Jam sembilan nanti, aku akan bertemu seorang perempuan yang aku kenal lewat Twitter. Nama akunnya flower. Dia belum mau mengatakan nama aslinya sebelum kami bertemu.

Dua bulan yang lalu, sebuah DM masuk di Twitter-ku. Perempuan ini.

"Boleh mutualan, kak"

Aku membuka profilnya, mencoba mengerti barangkali dia bukan orang asing. Sialnya, fotonya sedang memakai masker sehingga cukup sulit untukku menebak. Aku juga tak menemukan foto lain ketika mencarinya. Hanya ada foto-foto buku yang ia posting. Dia pasti pembaca buku yang baik, pikirku.

"Sejujurnya saya suka tulisan-tulisanmu. Makanya saya pingin kenalan. Boleh?"

Dari mana dia membaca tulisan-tulisanku. Cuitanku selama ini saja bahkan hanya berisi makian dan sambat.

Aku membuka profil Twitter-ku. Di sana ada foto profil, nama akun, keterangan: manusia biasa, dan tautan blog pribadi. Ya, dari blog. Aku menduga dia membaca tulisanku dari sana. Pertanyaannya, kenapa ada link blogku. Aku sendiri lupa kapan pernah menautkannya.

Menjumpai seorang yang baru sama halnya bertemu dengan pengalaman baru. Ada ketidaksiapan di sana yang menarik keraguan apakah ini akan diteruskan atau tidak. Lebih-lebih urusannya sama perempuan.

Yang terjadi selama ini, setiap kali aku mendekati perempuan yang aku suka, perkaranya selalu menjadi tidak mudah.

Aku pernah menyukai temanku sendiri. Dia menjadi alasan untuk membuatku menulis puisi. Membuat aku berjingkrak di suatu malam setelah melakukan percakapan yang panjang. Juga membuatku gugup ketika bertemu.

Perkaranya menjadi tidak mudah ketika kedekatanku dengannya membawanya untuk bercerita, ia ingin punya kekasih yang mampu menuntunnya. Dan menurut dia, umur menjadi parameternya. Sejak itu aku tahu, duniaku mendadak kiamat.

Tetapi itu dulu. Aku ingin melupakannya dan membuat cerita baru yang lebih punya asa.

Aku jadi teringat kalau pagi ini aku ada janji. Aku harus mandi, aku harus tampil rapi dengan parfum wangi.

Sesaat sebelum aku ingin menuju kamar mandi, "ting", sebuah notifikasi muncul. Darinya.

"Eh, sebetulnya kamu umur berapa, sih?"

 

31 Juli 2022

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon
xiaomi redmi 5A


Hape yang saya miliki saat ini sudah berumur 4 tahun lebih, tidak pernah saya kasih pelindung, dan sering jatuh terpelanting.

 

RAM-nya cuma dua giga. Itu sangat menyebalkan karena notifikasi 'memori penyimpanan penuh' selalu muncul tiap saat. Padahal, saya tidak menyimpan banyak foto maupun video.

 

Hape saya ini Redmi 5A. Tapi kawan-kawan saya menyebutnya sebagai hape kentang. Wajar, hape mereka sudah berlayar lebar, RAM besar, dan fitur mumpuni. Sehingga melihat hape dhoif ini sebagai sesuatu yang sangat kecil.

 

"Mbok ya ganti." Begitu usul mereka.

 

Saya beruntung tidak memiliki sifat implusif untuk membeli barang yang sudah ada. Saya masih mempertahankan hape ini dengan segala kelemahannya.

 

Suatu kali, karena hape saya semakin lelet untuk digunakan, tiba-tiba ada ilham yang menyuruh saya untuk mereset ke setelan pabrik.

 

Sekarang, jadilah saya punya hape baru. Ya sekalipun cuma tampilannya.

 

Doakan saja semoga saya bisa beli hape yang powerful lagi. Kalau perlu sama toko-tokonya.

 

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon

 

Nadin Amizah
Ig: @cakecaine

Saya adalah orang dengan selera musik yang buruk. Bahkan dibilang saya tidak punya selera musik sama sekali. Sejak dulu, tidak ada penyanyi satupun yang saya sukai. Memang ada beberapa musik yang ketika diputar saya bisa ikut bernyanyi, namun itu semata karena lagunya sangat terkenal atau karena saya terbiasa mendengarkannya lewat radio.

Kini, riwayat itu selesai setelah satu pendatang baru hadir di kancah permusikan kita: Nadin Amizah. Perempuan anggun yang masih seusia saya ini berhasil membuat saya menyukai musik. Lirik-lirik serta gestur tubuhnya ketika menyanyi adalah pertunjukkan puisi. Kata-katanya bernyawa, gerak tubuhnya bercerita.

Saya berterimakasih kepada kawan saya, Wirda, yang secara tidak langsung menghantarkan saya menemukan Nadin Amizah. Suatu kali ketika sedang whatsapp-an, saya iseng meminta rekomendasi musik untuk menemani malam yang luang kala itu. Ia merekomendasikan nama Tulus, sesuai kesukaannya.

Singkat kata, pencarian di Youtube dengan keyword ‘Tulus” ternyata juga membawa saya menemukan musik-musik sejenis. Hingga kemudian, saya menemukan si ibu peri bernama Nadin Amizah. Bertaut, Rumpang, Sorai, berjejer saya temukan dan dengarkan. Tak butuh waktu lama, dua-tiga lagu yang saya nikmati, sudah cukup untuk saya menyimpullkan: saya suka penyanyi ini, saya suka lagu ini, saya suka musik ini.

Jenis musik yang dibawakan Nadin Amizah kata orang-orang adalah musik indie. Saya tidak tahu apa makna indie seperti saya tidak tahu apa itu anak senja. Yang jelas, musiknya Nadin adalah musik yang begitu. Yang syahdu. Yang bisa membuat saya menangis sedu.

Tidak ada yang tidak bisa untuk menyukai lirik-lirik lagunya Nadin. Makna yang begitu dalam bisa dikemas dalam lirik dengan diksi yang tepat dan sederhana. Misalnya dalam lagu Sorai, Nadin menggambarkan perpisahan dengan kata: mungkin akhirnya tak jadi satu // namun bersorai pernah bertemu. Atau dalam lagu Rumpang, perasaan yang ganjil diwujudkan dengan lirik: katanya mimpiku kan terwujud // mereka lupa tentang mimpi buruk // tentang kata maaf, sayang aku harus pergi. Indah sekali.

Sekarang, apapun yang berkaitan dengan Nadin Amizah saya ikuti. Semua medsosnya saya follow. Semua tulisannya saya baca. Semua fotonya saya sukai.

Setiap malam, ketika saya bersinggungan dengan kesedihan atau masa lalu, saya tahu siapa yang mesti saya cari: Nadin Amizah.

I love you, Nadin.

 

 

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon

 

temu mantan di warung anam sy

Kemarin malam, ketika sedang ke warung untuk membeli rokok, saya bertemu cinta monyet sewaktu SD. Ia tampak sedang ciluk ba dengan anak tetangganya yang juga sedang mengantri. Saya bingung apakah harus menyapanya lebih dulu atau menunggu ia menyadari kehadiran saya.

Malam itu, ia berdiri mengenakan gamis berwarna ungu membalut tubuhnya yang sekarang jauh lebih berisi. Saya akui, ia tampak lebih cantik dan bahagia.

Ia menengok dan, “eh Anam”. Lesung pipinya yang manis itu akhirnya muncul lagi setelah sekian lama. Gila. Saya disapanya.

Saya tidak tahu lagi harus menunjukkan gestur semacam apa untuk menjawabnya. Saya tidak menemukan respon alami untuk sapaan sederhana semacam ini. Tidak ada aksi heroik yang saya tunjukkan selain mengagguk dan membalas senyumnya dengan senyuman tipis.

“Mau beli apa?”

Sial, kenapa kata itu keluar dari bibir saya. Semoga saja ia tidak membaca ketidaksiapan saya pada pertemuan tak sengaja kali ini.

“Hmmm, ini, mau beli rokok.” Pungkasnya sambil mengayunkan sepotong kaki anak kecil di depannya yang sedang digendong bapaknya.

Saya tidak tahu lagi apa yang harus saya lakukan setelah terakhir kali bertemu di pernikahannya setahun silam. Apakah saya perlu basi-basi bertukar kabar, atau misalnya bertanya apakah sudah mengandung. Saya sangat tidak siap dengan pertemuan ini, pun kelihatanya ia juga. Ia tampak menghindar ketika saya memandang. Akhirnya, saya kikuk diam saja dan memilih menyaksikan pemilik warung mengemas barang si pembeli antrian di depan.

Sesungguhnya, satu menit sekarang membuat saya merasa seperti dunia berhenti sejenak. Setelah berdiam diri seperti orang linglung selama beberapa detik, saya menyerobot memesan rokok. Anjir, kenapa saya menyerobot. Kan dia juga hanya ingin membeli rokok. Untungnya, dia masih asik bercanda dengan anak kecil tadi.

Kebingungan belum selesai. Ketika melihat pemilik warung sudah berjalan mengambil rokok, saya bertanya-tanya, setelah saya cabut dari warung ini, apakah saya perlu menyapanya lagi untuk sekadar, “duluan, ya?” atau tidak. Ya, saya harus melakukannya. Basa-basi semacam ini penting untuk menunjukkan kalau saya tidak ada apa-apa bertemu dengannya lagi. Toh ia juga sudah menyapa duluan.

Rokok Samporna Mild yang kupesan akhirnya disodorkan bapak pemilik warung dan segera saya ganti lima puluh ribu. Sembari menyiapkan kembalian, saya mengatur nafas. Saya harus menyapanya.

Saatnya beraksi. Saya mengambil kembalian, memasukannya ke dalam saku, dan balik kanan. Saya melangkah pelan. Dia tampak belum selesai bercanda dengan anak kecil. Ayo sapa. Ayo sapa. Ayo sapa. Saya terus menyemangati diri. Saya melangkah lagi. Ia tampak menyadari langkah saya. Inilah waktunya. Saya terus melangkah, terus melangkah, melangkah, dan melangkah.

Dalam hitungan yang tak mencapai angka lima, saya menyadari langkah kaki saya sudah sedemikian jauh meninggalkannya. Kenapa saya tidak bisa mengatakannya. “Anjirrrrrr!”

 

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon

 


Saya pernah membayangkan, mungkin punya WiFi menyenangkan ya? Bisa mengakses apa saja. Bisa belajar apa saja.

Minggu lalu, bayangan itu akhirnya terwujud.

Di desa saya, Ranting Ansor mendapat suntikan dana bumdes untuk proyek pemasangan Wifi. Suntikan dana inilah yang kemudian membuat harga pemasangan Wifi menjadi lebih murah. Sebut saja, dari biasanya 1 juta, sekarang hanya 400 ribu.

Tak mau menyianyiakan kesempatan, saya segera pasang memilih yang bayarannya 100 ribu per bulan. Saya pikir, dengan hanya akan diakses tiga hape, memilih kecepatan paling rendah tidak akan mempengaruhi aktifitas internatan sama sekali. Dan terbukti benar hingga sejauh ini. Tiga hape lancar-lancar saja.

Ternyata begini ya rasanya punya Wifi.

Secara kalkulasi, punya Wifi merupakan sebuah bentuk penghematan. Dengan sebulan hanya 100 ribu untuk tiga hape, saya kira sudah bisa menghemat 50 persen lebih dibanding pembelian kuota operator untuk tiga hape. Saya saja dalam sebulan beli kuota bisa mencapai 70 ribu. Itupun biasanya sudah habis di hari ke 20-an.

Untungnya adalah saya orang rumahan. Rumah menjadi pusat aktifitas kreatif saya. Hal yang membuat saya tidak perlu untuk membeli kuota internet seperti biasa. Bahkan tidak punya kuota operator pun tidak apa-apa. Wifi sudah sangat bisa diandalkan.

Persoalan muncul ketika saya keluar rumah. Hape saya otomatis membutuhkan data internet. Saya masih bingung untuk membeli paket data yang berapa banyak dan dalam jangka waktu berapa lama. Ini dilematis, saya tidak boleh membeli kuota yang menyebabkan pengeluaran saya sama besarnya ketika belum punya Wifi.

Sebetulnya, ini bisa diatasi dengan membeli sesuai kebutuhan dengan memperkiran seberapa intens saya keluar rumah. Satu hal yang sangat kondisional. Sayangnya, saya selalu transaksi semacam ini melalui marketplace. Saya sudah terlalu melekat dengan cara demikian. Sehingga, untuk membeli peket kuota di konter atau minimarket, rasanya agak beda saja. Sementara, bagaimana caranya mengakses marketplace kalau tidak punya kuota. Sejauh ini jawabannya masih satu: teatring teman. Tidak keren sama sekali ya.

Tapi di luar itu semua, punya Wifi menjadi hal kesekian dari keinginanku yang terwujud. Mewujudkan sesuatu ternyata tidak perlu sekalian, namun cukup satu per satu. Saya menginginkan punya laptop, tempo hari terwujud. Pingin buku-buku baru, juga terwujud. Pingin Wifi, sekarang terwujud. Capaian ini membuat saya jadi tidak ragu untuk meninginkan hal lain. Tak perlu ditarget harus punya kapan, jika sudah waktunya, pasti bakal terwujud.

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon



Kembali mengaggur membuat satu sisi saya merasa gagal. Namun di sisi lain inilah kesempatan untuk merancang masa depan dengan lebih jernih dan pikir panjang.

Saya tahu, berdiam diri bertanya ke depan akan jadi apa hanya semakin menambah kekhawatiran. Saya harus bergerak sekalipun pelan. Merancang sekalipun selangkah. Berusaha sekalipun sedikit.

Tidak ada yang tahu kesuksesan finansial seseorang kapan, karenanya penting mengutamakan kesiapan untuk terus melatih diri dengan kemampuan yang dimiliki. Bisa saja seseorang menganggur selama tiga tahun, namun ketika sudah dapat pekerjaan di tahun ke empat, gajinya bisa menutup tiga tahun saat mengaggur. Artinya masa mengaggur adalah masa terbaik untuk bisa meningkatkan skill.

Orang bilang keberuntungan adalah ketika kedisiplinan bertemu kesempatan. Sebaik apapun kesempatan yang datang, ketika diri saya tidak mempersiapkan, maka keberuntungan akan jauh didapat. Apa yang ditanam, itulah yang bakal dipetik. Kalimat ini benar adanya dalam kehidupan sehari-hari.

Saat masa bingung sekarang ini, ketika melihat masa depan, sebetulnya banyak pilihan yang bisa diambil. Saya bisa jadi penulis, saya bisa jadi programmer, dan banyak lain. Saya tahu tahapan apa yang harus diambil untuk bisa mencapai posisi posisi itu. Hampir semuanya bisa dipelajari, tapi satu hal yang pasti, semua juga butuh konsistensi.

Memang, konsistensi adalah kunci dari tujuan apapun. Tentu konsistensi butuh waktu. Saya bisa mencapai apa yang saya inginkan, tetapi mengetahui bahwa prosesnya akan lama, ini yang jadi titik perhatian. Kesabaran itu sulit. Ketika hasil tidak kunjung terlihat dari berbagai tahapan proses yang sudah dijalani, seseorang akan bersinggungan dengan keputusasaan. Ini yang saya sering temukan. Putus asa karena tak kunjung merasa mendapatkan apa yang saya inginkan.

Tapi sekarang saya jadi mikir lebih dalam lagi. Dulu saya pernah berusaha belajar satu keahlian dan putus asa di tengah jalan. Belajar lain hal lagi dan gagal di tengah jalan. Jika satu pembelajaran dihentikan di tengah jalan terus, lalu kapan akan bertemu ujung. Pindah memindah jalan bukankah semakin menyita waktu. Andaikan sejak dulu melewati satu jalan saja, dalam proses yang dibangun sejak lama, mungkin sekarang sudah bisa menikmati hasilnya.

Saya sekarang jadi malu. Malu karena dikalahkan oleh waktu. Apakah iya saya ndak bisa bersabar? Saya perlu belajar besabar lagi menekuni sesuatu.


Share
Tweet
Pin
Share
No Respon



Hanya tiga lembar. Itu yang saya temukan dalam dompet ketika menyadari sudah dua minggu menganggur. Apa yang saya lihat sekarang rasanya seperti mengunjungi masa lalu. Tetapi ini bukan sebuah kunjungan, ini kenyataan yang kembali terjadi sekarang.

Saya sudah menduga suatu hari bahwa kelak saya akan menjumpai hal ini. Tanda-tandanya sudah ada sejak setelah lebaran. Pekerjaan goyang. Borongan menjadi harian. Lemburan jadi pengangguran.

Sudah sejak lama saya berencana mencari pekerjaan lain. Namun setiap kali pertanyaan itu muncul, selalu tidak ada jawaban yang mengiringinya. Saya selalu merasa punya keahlian dibanding orang-orang, tetapi setelah ditelusuri lebih dalam, keahlian saya juga tidak dalam-dalam amat. Bahkan mungkin, saya tidak punya keahlian apapun.

Di sini, mayoritas pekerjaan orang-orang adalah penjahit dan hal-hal yang tidak jauh-jauh soal itu. Alasan inilah yang kadang membuat saya tidak punya keahlian. Saya tidak bisa mejahit--memang sejak dulu tidak menaruh keinginan untuk menjadi penjahit, sih.

Saya selalu membayangkan bisa bekerja di hal-hal yang berhubungan dengan mikir. Konon, saya punya kelebihan dalam urusan itu. Begitu yang dikatakan teman-teman saya. Yang saya tidak tahu, bahwa mikir itu banyak jenisnya. Akhirnya saya sekarang mau tidak mau harus mikir.

Apa yang sebetulnya saya bisa? Pertanyaan itu selalu hadir ketika sedang luang begini. Memang saya bisa menulis, bisa dikatakan cukup menguasai microsoft office, tetapi apakah ini cukup untuk dijadikan modal mencari pekerjaan.

Saya tidak tahu lagi apa yang harus saya lakukan sekarang selain menulis.

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon
Newer Posts
Older Posts

Info

Tayang seminggu dua kali

Mutualan, Yuk

  • facebook
  • instagram
  • youtube

Kategori

IPNU

Postingan Viral

Catatan

Sementara kosong dulu, seperti hatiku

Facebook

Isi Blog

  • ►  2024 (15)
    • ►  Apr 2024 (1)
    • ►  Mar 2024 (4)
    • ►  Feb 2024 (1)
    • ►  Jan 2024 (9)
  • ►  2023 (11)
    • ►  Des 2023 (3)
    • ►  Nov 2023 (1)
    • ►  Sep 2023 (3)
    • ►  Jul 2023 (4)
  • ▼  2022 (46)
    • ►  Nov 2022 (7)
    • ►  Okt 2022 (7)
    • ►  Sep 2022 (6)
    • ►  Agu 2022 (4)
    • ▼  Jul 2022 (9)
      • Getaran yang Lain
      • Tulisan Baru Dan Lama yang Isinya Sama
      • Mendadak Mendung
      • Mencintai Redmi 5A Apa Adanya
      • Melihat Nadin Melihat Puisi
      • Bagaimana Rasanya Bertemu Mantan
      • Untung Rugi Pasang Wifi
      • Malu Pada Waktu
      • De Javu Tiga Lembar
    • ►  Mei 2022 (4)
    • ►  Jan 2022 (9)
  • ►  2021 (22)
    • ►  Des 2021 (5)
    • ►  Sep 2021 (3)
    • ►  Agu 2021 (6)
    • ►  Jun 2021 (1)
    • ►  Mar 2021 (7)
  • ►  2020 (14)
    • ►  Des 2020 (1)
    • ►  Nov 2020 (2)
    • ►  Jul 2020 (2)
    • ►  Jun 2020 (1)
    • ►  Mei 2020 (1)
    • ►  Apr 2020 (1)
    • ►  Mar 2020 (2)
    • ►  Feb 2020 (4)
  • ►  2019 (3)
    • ►  Mar 2019 (1)
    • ►  Feb 2019 (1)
    • ►  Jan 2019 (1)
  • ►  2018 (57)
    • ►  Okt 2018 (7)
    • ►  Sep 2018 (5)
    • ►  Jul 2018 (11)
    • ►  Jun 2018 (3)
    • ►  Mei 2018 (4)
    • ►  Apr 2018 (2)
    • ►  Mar 2018 (5)
    • ►  Feb 2018 (12)
    • ►  Jan 2018 (8)
  • ►  2017 (71)
    • ►  Des 2017 (7)
    • ►  Nov 2017 (20)
    • ►  Okt 2017 (10)
    • ►  Sep 2017 (8)
    • ►  Agu 2017 (8)
    • ►  Jul 2017 (9)
    • ►  Jun 2017 (5)
    • ►  Mei 2017 (4)

Created with by ThemeXpose | Distributed by Blogger Templates