Malam ini, tiba-tiba saya
merasa sangat lapar. Saya bahkan merasa ada semacam getaran pada tubuh, tapi
bukan sejenis menggigil.
Apakah menulis seharian
full memang menimbulkan efek semacam ini? Atau, sebetulnya ada getir yang lain
di balik ini semua.
Untungnya masih ada sisa
nasi sebungkus dan sepotong tempe goreng yang saya temukan di dapur. Daripada
mikir macam-macam, melahapnya tentu jauh lebih baik. Saya bahkan masih
merasakan getaran itu saat makan.
Tiga mingguan ini saya
menganggur. Bukan karena memang menganggur, hanya saja, pekerjaan saya sedang
mengalami permasalahan finansial yang pelik. Libur adalah cara bos saya bisa tenang
memikirkan jalan keluar.
Bagi saya sendiri, libur semacam
ini libur yang saya tunggu. Saya kadang merasa aneh dengan diri sendiri kenapa
sangat mencintai libur. Terlebih libur kerja. Padahal secara teori, tidak kerja
ya tidak dapat uang.
Sudah tiga minggu
berlalu. Apa yang saya lakukan selanjutnya adalah apa yang membawa saya menyadari
banyak hal di hari ini.
Tiga minggu berkelut
dengan diri sendiri, saya merasa sangat menikmati berkawan dengan kesendirian.
Tidak dikejar deadline. Tidak ada intervensi. Tenang. Damai. Sebelum kemudian
panik setelah tahu bahwa uang kian menipis.
Selama tiga minggu itu,
saya menulis. Full menulis. Pagi, siang, sore, dan malam. Saya pikir, menulis
bagus untuk membantu saya mengenal diri saya lebih dalam. Alasan lain, ini
wujud keras kepala saya mempertahankan menulis sebagai jalan menuju masa depan.
Ternyata begini ya
rasanya menulis saban hari. Meski tidak banyak tenaga dikerahkan, rasanya tetap
melelahkan. Apakah mungkin karena pikiran saya sudah benar-benar bekerja?
Getaran itu perlahan
mulai hilang. Semakin hilang ketika beberapa menit kemudian, mataku berat dan
tak sanggup untuk melanjutkan tulisan ini.
31 Juli 2022