Bagaimana Rasanya Bertemu Mantan
Kemarin malam, ketika sedang ke warung untuk membeli
rokok, saya bertemu cinta monyet sewaktu SD. Ia tampak sedang ciluk ba dengan
anak tetangganya yang juga sedang mengantri. Saya bingung apakah harus
menyapanya lebih dulu atau menunggu ia menyadari kehadiran saya.
Malam itu, ia berdiri mengenakan gamis berwarna ungu
membalut tubuhnya yang sekarang jauh lebih berisi. Saya akui, ia tampak lebih
cantik dan bahagia.
Ia menengok dan, “eh Anam”. Lesung pipinya yang manis
itu akhirnya muncul lagi setelah sekian lama. Gila. Saya disapanya.
Saya tidak tahu lagi harus menunjukkan gestur semacam
apa untuk menjawabnya. Saya tidak menemukan respon alami untuk sapaan sederhana
semacam ini. Tidak ada aksi heroik yang saya tunjukkan selain mengagguk dan
membalas senyumnya dengan senyuman tipis.
“Mau beli apa?”
Sial, kenapa kata itu keluar dari bibir saya. Semoga saja
ia tidak membaca ketidaksiapan saya pada pertemuan tak sengaja kali ini.
“Hmmm, ini, mau beli rokok.” Pungkasnya sambil
mengayunkan sepotong kaki anak kecil di depannya yang sedang digendong bapaknya.
Saya tidak tahu lagi apa yang harus saya lakukan
setelah terakhir kali bertemu di pernikahannya setahun silam. Apakah saya perlu basi-basi bertukar
kabar, atau misalnya bertanya apakah sudah mengandung. Saya sangat tidak siap
dengan pertemuan ini, pun kelihatanya ia juga. Ia tampak menghindar ketika saya
memandang. Akhirnya, saya kikuk diam saja dan memilih menyaksikan pemilik
warung mengemas barang si pembeli antrian di depan.
Sesungguhnya, satu menit sekarang membuat saya merasa
seperti dunia berhenti sejenak. Setelah berdiam diri seperti orang linglung
selama beberapa detik, saya menyerobot memesan rokok. Anjir, kenapa saya
menyerobot. Kan dia juga hanya ingin membeli rokok. Untungnya, dia masih asik
bercanda dengan anak kecil tadi.
Kebingungan belum selesai. Ketika melihat pemilik
warung sudah berjalan mengambil rokok, saya bertanya-tanya, setelah saya cabut
dari warung ini, apakah saya perlu menyapanya lagi untuk sekadar, “duluan, ya?” atau tidak. Ya, saya harus melakukannya. Basa-basi semacam ini penting untuk menunjukkan kalau
saya tidak ada apa-apa bertemu dengannya lagi. Toh ia juga sudah menyapa
duluan.
Rokok Samporna Mild yang kupesan akhirnya disodorkan bapak pemilik warung dan
segera saya ganti lima puluh ribu. Sembari menyiapkan kembalian, saya
mengatur nafas. Saya harus menyapanya.
Saatnya beraksi. Saya mengambil kembalian, memasukannya
ke dalam saku, dan balik kanan. Saya melangkah pelan. Dia tampak belum selesai
bercanda dengan anak kecil. Ayo sapa. Ayo sapa. Ayo sapa. Saya terus menyemangati diri. Saya melangkah lagi. Ia tampak menyadari
langkah saya. Inilah waktunya. Saya terus melangkah, terus melangkah,
melangkah, dan melangkah.
Dalam hitungan yang tak mencapai angka lima, saya menyadari langkah kaki saya sudah sedemikian jauh
meninggalkannya. Kenapa saya tidak bisa mengatakannya. “Anjirrrrrr!”
0 Respon