Bagaimana Rasanya Bertemu Mantan

by - Juli 24, 2022

 

temu mantan di warung anam sy

Kemarin malam, ketika sedang ke warung untuk membeli rokok, saya bertemu cinta monyet sewaktu SD. Ia tampak sedang ciluk ba dengan anak tetangganya yang juga sedang mengantri. Saya bingung apakah harus menyapanya lebih dulu atau menunggu ia menyadari kehadiran saya.

Malam itu, ia berdiri mengenakan gamis berwarna ungu membalut tubuhnya yang sekarang jauh lebih berisi. Saya akui, ia tampak lebih cantik dan bahagia.

Ia menengok dan, “eh Anam”. Lesung pipinya yang manis itu akhirnya muncul lagi setelah sekian lama. Gila. Saya disapanya.

Saya tidak tahu lagi harus menunjukkan gestur semacam apa untuk menjawabnya. Saya tidak menemukan respon alami untuk sapaan sederhana semacam ini. Tidak ada aksi heroik yang saya tunjukkan selain mengagguk dan membalas senyumnya dengan senyuman tipis.

“Mau beli apa?”

Sial, kenapa kata itu keluar dari bibir saya. Semoga saja ia tidak membaca ketidaksiapan saya pada pertemuan tak sengaja kali ini.

“Hmmm, ini, mau beli rokok.” Pungkasnya sambil mengayunkan sepotong kaki anak kecil di depannya yang sedang digendong bapaknya.

Saya tidak tahu lagi apa yang harus saya lakukan setelah terakhir kali bertemu di pernikahannya setahun silam. Apakah saya perlu basi-basi bertukar kabar, atau misalnya bertanya apakah sudah mengandung. Saya sangat tidak siap dengan pertemuan ini, pun kelihatanya ia juga. Ia tampak menghindar ketika saya memandang. Akhirnya, saya kikuk diam saja dan memilih menyaksikan pemilik warung mengemas barang si pembeli antrian di depan.

Sesungguhnya, satu menit sekarang membuat saya merasa seperti dunia berhenti sejenak. Setelah berdiam diri seperti orang linglung selama beberapa detik, saya menyerobot memesan rokok. Anjir, kenapa saya menyerobot. Kan dia juga hanya ingin membeli rokok. Untungnya, dia masih asik bercanda dengan anak kecil tadi.

Kebingungan belum selesai. Ketika melihat pemilik warung sudah berjalan mengambil rokok, saya bertanya-tanya, setelah saya cabut dari warung ini, apakah saya perlu menyapanya lagi untuk sekadar, “duluan, ya?” atau tidak. Ya, saya harus melakukannya. Basa-basi semacam ini penting untuk menunjukkan kalau saya tidak ada apa-apa bertemu dengannya lagi. Toh ia juga sudah menyapa duluan.

Rokok Samporna Mild yang kupesan akhirnya disodorkan bapak pemilik warung dan segera saya ganti lima puluh ribu. Sembari menyiapkan kembalian, saya mengatur nafas. Saya harus menyapanya.

Saatnya beraksi. Saya mengambil kembalian, memasukannya ke dalam saku, dan balik kanan. Saya melangkah pelan. Dia tampak belum selesai bercanda dengan anak kecil. Ayo sapa. Ayo sapa. Ayo sapa. Saya terus menyemangati diri. Saya melangkah lagi. Ia tampak menyadari langkah saya. Inilah waktunya. Saya terus melangkah, terus melangkah, melangkah, dan melangkah.

Dalam hitungan yang tak mencapai angka lima, saya menyadari langkah kaki saya sudah sedemikian jauh meninggalkannya. Kenapa saya tidak bisa mengatakannya. “Anjirrrrrr!”

 

You May Also Like

0 Respon