• Halaman Awal
  • Diri Sendiri
facebook instagram Email

Anam Sy

Teman yang paling dikenang adalah teman semasa sekolah. Sekolah punya banyak cerita untuk itu. Dimulai saat pertama masuk sekolah ketika belum mengenal siapa-siapa sampai akhirnya lulus dan mengenang nama mereka sebagai teman biasa, teman paling nggemesin, teman istimewa, teman makan teman, sampai teman yang jadi gebetan. Semua dimulai dengan tidak mengenal dan lama kelamaan saling mengenal.

Begitu pula denganku dan teman-temanku semasa di MA NU Karangdadap. Jumlahnya memang hanya 28, namun kuantitas yang sedikit itulah yang membuat keakraban begitu kental dan menjadi kerinduan tersendiri saat perpisahan mengakhiri kebersamaan satu kelas angkatan ke empat generasi MA NU. Keakraban itu seakan masih terus ada karena sewaktu masing-masing dari mereka luang selalu diusahakan untuk berkumpul kembali. Mungkin inilah yang namanya teman rasa keluarga. Selalu punya hasrat untuk saling kembali bersama.

27 temanku ini punya ciri khas sendiri-sendiri. Seperti Safri dengan gaya santai dan baju jawa yang khas. Dika dengan kecerewetannya. Kholid dan Riky dengan penuh kemanjaannya. Lukman yang ikut-ikutan suasana saja. Irfan yang riang tapi kadang alay. Susi dengan lesung pipi saat senyum. Feni yang rakus rangking satu. Reni yang kalau galau berbahaya. Ervi si ratu selfi. Silvi yang baper. Iqbal yang terpana dengan adek kelas. Arifah yang cantiknya overdosis. Wiwin yang sangat menolak UNBK. Wulan pejuang anti pacaran. Bibah yang pernah membuatku terpesona. Laily dengan ketawa tipis. Vika sang meok. Tiwik dengan kacamatanya. Maidah yang katanya pernah sakit asam urat. Fahruniyah pecinta as salam. Falah yang paling kaya. Zila, Nina, Fila, Dwi yang biasa saja. Dan aku yang ganteng, beruntung, dan serta diinginkan banyak wanita.

Sulit menuliskan suasana kala kami bersama. Sebab banyak cerita dengan seribu suasana. Marah, sedih, senang, ngakak, apatis, diam-diam suka, cinta, benci, kesal, dan ratusan rasa lain. Yang pasti semua punya bagiannya sendiri. Urusan puitis misalnya, mutlak ini ranahnya Safri. Soal cinta, romantis, dan sedih, tanyakan pada Feni, Reni, Tiwik, Wulan, dan Fila yang seringnya nonton film, film india utamanya. Kalau tentang kesetiaan, lihatlah Silvi, Dika, dan Susi yang terikat dalam grup Oho. Yang tragedi juga ada, itu saya ketika harus absen dua bulan karena terkena sakit level atas. Beda lagi kalau suasana lucu, Riky lah ahlinya. Kalau masalah wanita dan seluk beluknya serahkan pada Iqbal. Cerita benci jadi cinta juga ada, antara Susi dan Bibah. Yang diam-diam suka juga ada, pokoknya ada. Yang mudah baper hanya karena secarik surat juga ada, Silvi namanya. Tapi kalau urusan cinta itu bagiannya saya. Semua punya bagian masing-masing dan itulah yang menyebabkan terlihat lengkap. Ibaratnya seperti seporsi  makanan empat sehat lima sempurna.

Teman-temanku ini sekarang sudah terjun kedunianya masing-masing. Mencari yang selama ini dicari. Semoga beberapa tahun kedepan bisa bertemu dan sudah menjadi. Entah mungkin Riky menjadi guru MTK di MANU. Safri jadi kyai. Fahruniyah jadi penyanyi. Atau aku jadi istrimu. Semoga itu tersemogakan. Tapi akhirnya kita akan sadar juga kalau masa paling enak itu adalah masa sekolah. Pagi berangkat, sore pulang. Uang dikasih ibu. Jam kosong tinggal ngobrol. Tugas nunggu teman. Ulangan bawa contekan. Dan pas liburan waktunya senang-senang. Begitu menyenangkan kala itu, hampir semua waktu dihabiskan bersama teman-teman yang asik. Jika waktu dulu ingin cepat-cepat lulus. Kok malah sekarang ingin merasakan sekolah lagi. Aneh ya?.

Itulah Aku dan kawan-kawanku. Alumnus MA NU Karangdadap tahun ini. Sedikit tapi asyik. Meski kadang selalu berisik. Tapi yang penting, tidak sampai membuat Bu Khotim dan guru lain terusik.

Tapi yang pasti. MA NU punya cerita.

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon

Sekian lama vakum ngeblog. Ada rasa kangen yang amat dalam untuk ngeblog lagi. Mungkin sekaranglah waktunya untuk mulai ngeblog lagi.

Bermain blog merupakan kegiatan yang menyenangkan. Melalui blog ini saya bisa menumpahkan apa yang dirasakan melalui tulisan. Memang menulis adalah hobi yang kusukai semenjak setahun yang lalu. Entah kenapa dengan menulislah aku menemukan ketenangan, sebab dari sana rasanya seperti memuntahkan apa yang membani pikiran yang ada dalam diri saya. Menulis adalah curhatku.

Meski demikian, aktivitas yang satu ini sering menemui kendala. Kehilangan ide, bosan, malas, dan alasan lain yang menjagal semangat untuk terus menulis. Seperti yang terjadi akhir-akhir ini. Aktivitas menulis berhenti hanya karena bosan melihat kualitas tulisan sendiri yang itu-itu saja. Untungnya sekarang sudah sadar, kalau kualitas tulisan akan membaik dengan banyaknya jam terbang. Itulah alasan kenapa saya ingin mulai ngeblog lagi. Untuk itu, untuk meneruskan aktivitas menulisku tadi.

Sebenarnya menulis itu sangat mudah dilakukan oleh siapa saja. Karena tidak bakal ada yang melarang anda untuk menulis. Satu alasan sederhana inilah yang memicuku untuk terus menulis. Bukan apa-apa, terhadap keinginan melakukan hal-hal lain. Dalam artian jalan-jalan, keluar malam, atau yang semacamnya, dapat membuat keluarga khawatir, terutama orang tua. Hal itu hanya akan merepotkan saja. Menulis inilah aktivitas yang cocok untuk tipe anak yang patuh terhadap orang tua seperti saya.

Aku memang butuh ngeblog lagi. Eman kalau kemampuan menulisku ini diabaikan begitu saja. Yang penting menulis, tak peduli dibaca atau tidak, disukai atau tidak. Karena persoalan seperti ini bisa teratasi sendiri dengan banyaknya latihan. Sementara latihan adalah menulis itu sendiri. Jadi sebenarnya saya tak perlu lagi untuk ragu memperlihatkan tulisan ini pada banyak orang. Saya yakin kemampuan menulis seperti ini langka dan hanya beberapa saja yang bisa. Yang tidak bisa mana mungkin tidak suka. Pasti diterima meski tidak dibaca. Tapi disini kadang keanehan saya muncul. Tulisan sudah jadi tapi malu untuk memperlihatkan. Takut kalau-kalau tidak bagus dan lain-lain. Padahal penulis tidak boleh berprasangka buruk sedikitpun pada pembaca. Haram hukumnya. Lagipula, yang membaca juga tidak sekejam yang aku pikirkan. Aneh aku ini.

Sudah sudah. Aku musti menulis lagi. Jam terbangku harus ku perbanyak. Yang penting nulis. Yang penting nulis. Kalau toh tidak ada yang baca. Yang penting pikiranku nol, habis tertuang dalam kertas berlembar-lembar. Dari situlah otak dan hatiku kosong. Menjadi lebih siap menampung pemikiran, perasaan, dan ide-ide baru yang muncul. Menulis selalu menguntungkan dan tak sedikitpun membuat rugi. Kecuali jika berhenti. Lanjutkan.. teruskan.. aku pasti bisa.

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon

Malam ini adalah malam dibulan juli. Cerah, penuh bintang, dan tenang. Berbeda dengan hatiku yang merah, penuh gelisah, dan meriang. Juli ini panas, namun tidak lebih panas dari apa yang kurasakan sekarang. Hati resah, badan hanya bisa merebah, jiwa yang goyah, ditambah satu kata , payah. Sungguh sangat mengerikan.

Aku pikir, yang kurasakan tak beda dari binatang buas yang punya keganasan level bahaya namun hanya terkurung di kandang, sarang, atau kolam. Persis seperti yang dilihat ketika pergi ke kebun binatang. Bagaimanapun menakutkannya mereka hanya bisa mondar-mandir, tak bisa bebas seperti di alam aslinya.  Seganas apapun hewan tadi, sekuat apapun tenaga yang dikerahkan, sememberontak bagaimanapun, tak akan mampu membuat mereka keluar dari tempat yang mengekang mereka. Itu kenapa malas sekali aku memberontak. Yang hanya bisa kulakukan adalah menjerit, setidaknya agar ada yang mendengar penderitaan ini.

Ibaratnya adalah macan, keganasan perlahan akan menjinak hanya karena dibatasi ruang gerak. Kuku cakar tak lagi berguna, taring tak lagi tajam, dan ngauman tak lagi menakutkan. Seperti itulah aku, berhari-hari dalam rumah tanpa terjamah pengalaman baru sedikitpun. Sesuatu yang kuyakini bisa -dalam hal apapun- dan berpotensi berkembang pesat melebihi yang lain, akhirnya hanya akan menjadi sebuah kisah masa lalu. Aku sadar akan hal ini dan sebisa mungkin kuupayakan agar semuanya tidak terjadi. Menjerit selantang-lantangnya adalah cara agar ada seseorang yang mendengar dan menemukanku.

Bisa dibilang masa kali ini adalah masa kritis dan harus segera mungkin diatasi dengan bagaimanapun. Karena apa yang kurasakan adalah titik terendah dalam menjalani kehidupan, yaitu sebuah keputus asaan. Sebetulnya hasratku untuk keluar dari situasi ini sangat tinggi, dititik puncak ambisius bahkan. Hanya butuh satu langkah, satu tindakan, satu sentuhan saja untuk bisa mengakhiri tragedi ini dan memulai hal yang baru.  Karena cuma hal itu. Dengan terbukanya pintu, kurungan, kandang tadi, tentu berarti membuka segalanya. Dengan semangat yang masih memuncak dan ambisius itu, akan kubalas dendam semuanya atas kenyataan pahit yang sudah terlewati. Kuncinya satu, seseorang menemukanku. Bukan hanya menemukan, namun membukakanku untuk bisa melihat luasnya dunia.

Sekali lagi, temukan aku.

Dalam hati yang paling dalam, malam bulan juli 2017.

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon

Malam ini adalah malam pertama untuk memulai kembali. Dimulai dari nol yang kosong. Kesalahan dan kekurangan yang lalu anggap saja sebagai pembelajaran serta proses pendewasaan. Masa depan  sudah didepan mata, seharusnya lebih mendewasa. Mengenal banyak manusia menjadi target utama. Musti banyak bergerak, karena semuanya tidak lagi bisa dengan menunggu, dekati.

Aku semestinya seperti anak kecil saja. Yang polos, yang pingin mengerti banyak hal, dan yang banyak mencari tahu dengan tanpa malu bertanya apa saja. Kelemahanku ada pada sesuatu yang aku sadari adalah ranahku sendiri, yaitu mental. Ini soal keaktoran, tentang ekspresi, emosi, dan karakter. Aku aktor yang tak tahu diri. Sementara teman-temanku yang kukira tak paham hal tadi, justru merekalah aktor-aktor nyata dalam kehidupan mereka. Bukan seperti aku ini.

Akhir-akhir ini ada hal yang amat membuatku berat memikulnya, berbentuk kesedihan dan kepedihan. Serasa sudah tidak tahan menahan beban ini. Ingin segera dengan keras membanting, meledakkannya.

Maka detik ini aku bersumpah kepada diri sendiri. Melakukan sekecil apapun yang kubisa, dengan siapapun, kapanpun,  dimanapun, dan bagaimanapun. Kepada siapa saja yang kutemui, harus didekati, kenali, ajak ngobrol, jadikan teman akrab, curi ilmunya. Begitu seterusnya, dekati, kenali, akrabi, dan curi ilmunya. Didunia maya juga tak jauh beda, inbok, kenali, akrabi, curi ilmunya. Sesederhana itu sebenarnya, jika berhasil, lumayan lah, minimal sedikit membuat hidupku sedikit berwarna.

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon

Belum selesai sampai disitu, serangkaian kejadian yang merubahku itu berlanjut sewaktu di MA NU Karangdadap. Disini rasanya seperti sudah menjadi orang penting dalam berbagai kegiatan dan acara. Meskipun alasan sebenarnya adalah muridnya yang masih sedikit. Aku kembali dipilih menjadi ketua kelas 10. Mengapa aku jadi ketua, alasannya sedikit berbeda dengan waktu lalu. Sederhana saja, karena aku dianggap mengetahui seluk beluk tetek bengek sekolah ini. Mengapa demikian, karena memang MA NU bersebelahan dengan SMP NU, sekolahanku dulu. Dikelas sebelasnya, aku terpilih menjadi pradana putra bersama Feni Azizi sebagai pradana putri. Jabatan yang menambah kepusinganku sebab ada masalah pribadi waktu itu. Namun kembali, tanggung jawab mengharuskan totalitas menjalankan posisi-posisi ini.

Oktober 2013, atau tepatnya saat kelas 11. Ada temanku yang mengajak gabung masuk sanggar teater di Jrebengkembang. Aku penasaran, dan mengiyakan untuk sekedar mencicipi. Kalau-kalau aku suka. Disinilah awal pertemuanku dengan Mas Angger, seniman asal Tegal yang sekarang adalah guruku dalam berbagai hal, terutama cinta dan kehidupan. Di teater inilah sepertinya Tuhan memberi energi positif kepadaku lewat seni. Entah kenapa, aku sangat jatuh cinta pada seni, teater khususnya.

Mas Angger benar-benar dijadikan Tuhan untuk membuka mataku melihat hal yang besar. Dan itu sangat mempengaruhi kehidupanku sekarang ini. Sebut saja tulisanku yang ini. Kalau seandainya dulu tak bertemu Mas Angger dan mengajarkanku seni. Mana mungkin aku menggeluti dunia tulis yang penuh estetika. Mas Angger adalah sosok teladan yang mempengaruhi pemikiran dan perasaanku selama ini. Teater adalah sebuah perubahan besar bagi seorang Anam Sy. Perubahan mental dan karakter yang lebih kuat. Dalam kehidupan nyata, aku adalah aktor yang musti totalitas memainkan peran. Sebuah pelajaran terbaik yang kudapatkan.

Pengenalanku pada seni, menyadarkanku kalau ada bakat seni dalam diri temanku yang satu ini, Gus Safri Maulana. Kesamaan pandangan tentang seni membuat kami begitu dekat seperti dua orang pacaran. Kemanapun selalu bersama dan suka pada hal yang sama, yaitu menulis. Keakraban inilah yang menguatkanku untuk terus menulis, pun ia. Sampailah aku bisa menulis seperti saat ini. Karenanya, aku tak ragu lagi punya cita-cita tinggi, menjadi penulis hebat.

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon

Sebagai manusia pada umumnya yang mengalami perubahan. Seorang Anam Sy juga punya hal-hal yang berkaitan dengan perubahan. Banyak sekali yang berubah dari aku dulu yang seperti itu menjadi aku sekarang yang seperti ini. Sepatutnya menjadi alasan untukku mensyukuri semua ini. Karena menurutku sendiri, perubahan ini adalah perubahan yang tidak pernah kuduga sebelumnya, perubahan tidak terencana. Sekarang aku jauh lebih baik dari aku yang dulu, dilihat dari segi manapun. Pemalu menjadi pemberani. Pesimis menjadi optimis. Canggung menjadi percaya diri. Semuanya mengarah menuju perubahan yang lebih baik.

Bicara Anam yang dulu adalah bicara bocah yang paling pemalu. Yang selalu menghindari yang namanya keramaian. Yang hanya bermain dalam radius 500 meter dari rumah. Yang hanya diam ketika bertemu orang lain. Yang selalu menyendiri dan memojok di sudut kelas. Yang pernah nangis atas pengkhianatan penjual es kacang ijo karena mengantri pertama tapi dapat terakhir. Yang tak pernah jajan karena tak mau mengantri lagi. Yang kalau mendapat giliran membaca dikelas, tubuhnya gemetar, dan membacanya seperti berbicara sendiri. Yang tak mau bicara kepada bapak meski sepatu sobek. Dan yang paling bingung kalau ditanyai cita-cita oleh ibu guru. Aku pikir, kecilku begitu menyedihkan dan hampir tak ada harapan gemilang dimasa depan. Kasihan sekali.

Masa SMP, inilah titik awal kebangkitan seorang Anam kecil. Diam-diam aku ini ternyata pintar juga. Dikelas tujuh semester dua, secara mengejutkan masuk peringkat 6 dari 35 murid. Pencapaian terhebat dalam sejarah pendidikanku, karena selama 6 tahun di MI WS Kebonrowopucang tak sekalipun pernah merasakan 10 besar. Jangankan 10 besar, masuk 25 besar saja tidak pernah. Kecuali memang hasil UN, tapi saya kira ada kesalahan dalam proses penilaiannya. Masak aku UN rangking 2 se-sekolahan. Rasanya seperti penghinaan, saking tidak percayanya. Tapi sudahlah, kebetulan saja namanya. Kembali, hal inilah yang menjadi perubahan yang pertama kalinya dan mendorong adanya perubahan kedua, ketiga, keempat, dst.

Perubahan nomor dua adalah dipilihnya aku menjadi ketua kelas 8A. Pemilihan yang tidak demokratis menurut saya. Aku dipilih karena dianggap lebih pintar dari kandidat lain. Jelas alasan ini mengandung unsur pendeskriminan dalam hal kepandaian. Tapi apa boleh buat. Anam waktu itu masih pemalu dan belum berani mengumpulkan massa untuk demo menolak hasil pemilihan ini. Kesialan nomer lima puluh tiga bagiku.

Meski dalam keterpaksaan. Menjadi ketua kelas adalah sebuah kesepakatan bersama yang tak boleh diganggu gugat. Mau tidak mau, suka tidak suka, harus dijalani dengan bagaimanapun. Tapi ternyata, disinilah aku bisa belajar banyak hal. Mulai berkomunikasi dengan orang lain. Berani masuk kantor guru dan ruang TU. Berani minta ijin ketoilet. Berani kencing dan BAB ditoilet. Berani menyontek teman. Berani menjadi pemimpin doa dihadapan ratusan murid lain. Dan banyak hal lain yang lelah kalau aku ketik semuanya disini.

Dalam perjalanan menemukan perubahan-perubahan ini. Saya mencatat kalau banyak perubahanku yang lahir setelah berhadapan dengan situasi yang sulit. Seperti contohnya tadi, dipilih menjadi ketua kelas. Sulit sebenarnya menjadi ketua disaat saya sendiri masih pemalu, ingusan, dan diam-diam nangisan serta ngentutan. Tak tahunya, dari situasi inilah muncul dorongan untuk melakukan sesuatu karena kesadaran akan tanggung jawab. Dan jadilah aku sekarang ini. Sejujurnya saya perlu berterima kasih pada teman-teman yang dulu menjerumuskanku menjadi ketua. Terimakasih Yaman, Ulul, Yahya, Muslimin, Adit, dan yang lainnya.

Semenjak itulah Anam kecil mulai menemukan dirinya. Menjadi bocah yang periang, pemimpi, pemberani, pejuang, dan mungkin pelawak. Dititik ini, aku seperti sudah menemukan jalur yang bagus. Perjalanan berikutnya akan kunikmati tanpa ada kekhawatiran. Masa depan seperti sedikit bercahaya, meski sekecil lilin yang masih tersisa tiga centi. Semua ini tentu jika dibanding masa dulu jauh lebih baik. Pemikiran sedikit lebih dewasa, selalu optimis, berorientasi kedepan, dan punya peta kemana aku langkahkan kaki ini selanjutnya.

Lanjut postingan selanjutnya

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon

SULIT, itulah satu kata untuk menggambarkan perasaanmu itu. Perasaan yang menurutku tersembunyi rapi dibalik keacuhanmu padaku. Seperti yang kukatakan tadi, kau memang sulit untuk ditebak bagaimananya. Karena selama ini yang kau tunjukkan padaku adalah; tak mau tau, acuh, dan gengsi. Pertunjukkan yang amat memuakkan. Kalau saja aku tak betul-betul memahamimu. Tak mungkin sampai segila ini aku mengejarmu.

Sepertinya tepat kalau aku menganalogikan dirimu ibarat buah-buahan -jeruk, mangga, atau rambutan- ditangan para penjual. Penjual bisa saja mengatakan buah ini manis, enak, asam, dan lain-lain. Itu hanya ngawur saja sebetulnya. Rasa sebenarnya akan diketahui kalau sudah dibeli dan dimakan. Itu artinya harus dulu memiliki untuk bisa mengetahui. Analogi ini sangat cocok disandangi olehmu yang gengsi, acuh, dan sok tak tau.

Jika kembali merujuk keanalogi tadi. Kepada siapa saja yang ingin mengetahui perasaanmu dibalik sifat-sifatmu yang sok itu. Maka harus lebih dulu memilikimu. Dalam artian lebih spesifik, adalah menjalin hubungan denganmu. Tentu dengan sifatmu yang gengsi, acuh, dan sok tak tau itu, sangat sulit bagimu untuk menjadi daya tarik bagi lelaki diluaran sana.

Mustinya kamu bersyukur pada Yang Maha Cinta sekarang. Karena aku disini, meskipun belum memilikimu. Sudah sedikit memahami perasaanmu dibalik dirimu yang gengsi, acuh, dan sok tau. Aku tahu, semua yang kau lakukan ini semata-mata untuk menutupi perasaanmu, terkhusus kepadaku. Sebenarnya aku tahu, kalau kamu sudah paham akan isyarat yang ada dalam puisi yang aku kasih kemarin. Tapi kamu masih ngeyel dengan pura-pura tidak tahu. Sudah.. ngaku saja. Aku lebih suka. Kau memang terkenal pintar menyembunyikan rasa. Tapi ingat, aku lebih pintar melacak sebuah rasa. Mau bagaimanapun kau menyembunyikan hal itu, baik dengan gengsi, acuh, maupun sok tidak tau. Akan kutemukan rasa itu juga dengan cara apapun dan bagaimanapun. Karena rasa akan berhadapan dengan rasa.

Dan aku disini. Dengan percaya diri mengatakan kalau kau juga mencintaiku. boleh meragukan kepercayaanku ini. Tapi cobalah tanya pada diri sendiri, kalau tidak membenarkan. Asal kau tau, rasa selalu menjaga kejujurannya.

Sekali lagi, aku mencintaimu.

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon

Pertemuan malam ini adalah pertemuan pertama kalinya semenjak setelah aku memberi satu puisi. Ya... satu puisi yang kubuat secara istimewa berjudul "aku kau dan isyarat". Seperti judulnya puisi ini hanya akal-akalanku saja supaya kamu paham apa yang aku rasakan. Sehingga tak perlu aku bilang cinta, kau dapat  paham dengan sendirinya. Itupun jika kamu paham betul isyarat apa yang aku sembunyikan. Jika tidak, lalu untuk apa.

Alasan kenapa saya memberimu satu puisi. Sederhana saja sebenarnya, karena kamu tak terlalu mudeng tentang puisi. Jadi seandainya puisi dariku jelek sekalipun, kau pun tak bakalan mengerti. Kecuali kau minta tafsir sama Safri sang master puisi yang terkenal seantero kecamatan.

Memberimu satu puisi sebenarnya bukan perkara mudah. Perlu mental yang kuat. Musti siapkan wajan paling hitam kalau saja aku benar-benar malu. Aku bahkan sampai mewiridkannya beberapa jam, kirim tidak kirim tidak kirim tidak. Sampai entah aku kesambet makhluk apa, dan tanganku tanpa ragu mengetik baris tiap baris puisi. Sampai akhirnya puisi itu sampai didepan matamu.

Sulit menggambarkan bagaimana rasanya aku waktu itu. Malu, bingung, senang, canggung, dan berjuta perasaan lainnya. Semuanya bercampur aduk menjadi satu. Sementara percakapanku difacebook yang sok lucu dan melawak itu, hanya untuk menutupi perasaanku yang berbunga-bunga. Asal kamu tau, aku hampir tak bisa berhenti untuk terus tersenyum. Bahkan sampai kakak dan adikku memergokiku. Dikiranya aku sedang bercakap dengan pacar. Padahal aku dan kamu belum bernama pasangan. Tapi biarlah, ini do'a untuk kita berdua. Sekali lagi, aku hanya bisa senyum-senyum sendiri. Perasaan yang langka dan membuatku gila. Hahaha

Barangkali akulah yang disebut manusia tak tahu diri. Aku dengan segala kekurangan dan belum punya sesuatu yang menjanjikan. Telah dengan lancang memberi isyarat kepadamu lewat sebuah puisi. Sebuah tindakan yang memilukan, apalagi sifatmu itu setelah kuselidiki adalah gengsi jika berbicara cinta. Pintar sekali menyembunyikan sebuah perasaan. Saat kau baca puisiku saja ekspresimu biasa-biasa saja. Tapi aku paham sebenarnya apa yang kau rasakan. Kau sendiri pun secara tidak langsung mengakui hal ini, mengakui akan bapermu membaca puisiku ini. Hahaha.. ngaku sajalah. Aku lebih pintar melacak sebuah rasa.

Jika kau bertanya mengapa aku buat puisi untukmu. Sebenarnya itu isyarat. Puisiku itu seakan bicara : ini lho aku, yang mencintaimu.. maukah kau menerima cintaku. Lewat isyarat inilah caraku untuk perlahan menggoyahkan hatimu, yang gengsi, yang pura-pura tidak tau, yang acuh, dan yang lain-lain. Mungkin cuma aku yang tahu strategi paling jitu ini, bagaimana tidak, diam-diam aku mengumpulkan data-data tentangmu sejak lama.

Dan nyatanya, meski kau tetap gengsi, pura-pura tak paham, dan pintar menyembunyikan rasa. Aku tetap bisa melihat sedikit bapermu yang tersembunyi lewat senyuman yang tertahan saat pertemuan tadi. Apalagi setelah puisi ini, perlahan ada yang sedikit berbeda padamu. Aku bahkan yakin, sebenarnya kau paham akan isyarat ini. Hanya saja kau masih saja tetap gengsi dan pura-pura tidak ada apa-apa. Sudahlah.. ngaku saja. Aku juga paham kok. Hehe

Satu puisi, satu isyarat, dan satu harapan. Intinya apa yang kulakukan ini. Setidaknya membuatmu paham apa yang kurasakan saat ini. Hanya tahu, itu saja rasanya sudah cukup. Apalagi kalau kamu memahami betul isyarat ini. Tentu akan sangat menguntungkanku mutlak. Tapi saya kira, yang baper akan berhadapan dengan baper. Sekebal apapun rasamu, segengsi apapun ekspresimu, dan seberapa sulitnya dirimu. Perasaanku yang tulus ini bagaimanapun akan meluluhkan hatimu, menggoyahkan jiwamu. Pada akhirnya,  perasaan tak bisa dibohongi. Sebab puisi ini berkata kalau aku mencintaimu. Ya.. mencintaimu.

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon

Waktu kosong sering membingungkan. Apalagi kalau memang tidak punya kemampuan memanfaatkan momen ini. Seperti aku juga sekarang ini. Waktu kosong, bahkan selalu kosong. Untungnya aku tertarik dalam kepenulisan, jadi waktu kosong selama ini kubuat terisi dengan aktivitas menulisku. Padahal barangkali sudah menggugurkan makna waktu kosongnya itu.

Baiklah, dalam proses pembelajaranku dalam menulis. Karena memang aku masih tahap belajar. Cerita ini salah satu yang bisa kuciptakan. Terlepas dari banyaknya kekurangan dalam tulisan ini nantinya. Maklumi sajalah, namanya juga penulis amatir yang baru lahir kemarin sore.

Berikut saya tuliskan cerita ini. Meskipun tetap pada kesimpulan cuma saya sendiri yang membaca cerita ini. Tapi biarlah. 1 2 3

HUJAN

Seperti biasanya, hujan membasahi pelataran kampung kami sehabis isya, menyirami tanaman kurang lebih setengah jam lamanya. Lalu langit kembali menyalakan ratusan lampion-lampion kecil yang menerbang sejauh mata memandang.

Hujan ini adalah hujan ketujuh dibulan juni. Hujan yang menurutku paling bisa memunculkan rindu. Hujan yang mengingatkan pada seorang wanita yang kucintai. Setengah dari hujan diluar sebenarnya adalah kenangan yang membekas. Tetes airnya adalah hujaman kerinduan yang pernah kami ciptakan tempo dulu.

Dua tahun yang lalu, malam ini adalah malam minggu. Waktu sakral bagi siapa saja yang mengaku pasangan. Kafe, restoran, alun-alun, pasar malam selalu ramai dipenuhi orang-orang yang bergandeng tangan. Termasuk aku bersama Inef, temanku yang kucintai. Malam itu merupakan malam pertama kali kami jalan berdua. Malam istimewa pokoknya. Malam penumpahan kerinduan setelah tujuh bulan lamanya mengenal tapi belum berani nyaliku ini untuk mengungkapkan.

Sebetulnya tak ada tujuan kemana kami pergi. Aku dengan motorku membawa Inef menyusuri jalanan kota. Melihat apa yang bisa dilihat. Termasuk melihat orang-orang berlarian menepi. Yang kusadari bahwa itu adalah gerimis yang semakin lama semakin deras. Tanganku memutar gas kencang, tanpa mengindahkan ritme yang ada. Tangan Inef meyelinap kedalam saku kanan kiri jaketku. Tanda bahwa ia seperti mengisyaratkan kedinginan. Sengaja aku tidak memberhentikan laju motor untuk sekedar berteduh. Aku perkenalkan pada ia bahwa hujan itu menyenangkan. Agar aku, ia, dan hujan suatu saat menceritakan momen ini dan menjadi alasan untuk dirindukan.

"Nam, kenapa tak berhenti. Hujan deras ini." Ucapnya tepat ditelingaku. Waktu itu aku basah kuyup, pun kekasihku. Tapi inilah caraku agar pertemuan ini suatu saat bakal dirindukan.

"Tidak apa-apa Inef, sesekali memang kita musti hujan-hujanan. Agar kita paham makna yang tersembunyi dalam hujan."

"Maksudnya"

"Suatu saat kau paham sendiri."

Ditengah perjalanan, disuatu jalan yang sepi dan sunyi. Tiba-tiba motor yang melaju kencang itu tanpa kompromi memberhentikan dirinya sendiri.

"Kenapa nam?" Inef heran.

"Sepertinya bocor"

"Sudah hujan, tambah bocor. Kasihan betul kita ini. Padahal ini kali pertama kita jalan berdua. Tapi sudahlah, meratap juga tidak akan memperbaiki keadaan. Ya sudah nam, kita dorong sama-sama."

Barangkali inilah yang disebut kesialan. Jalanan yang gelap, hujan beserta petir, dan ban bocor. Tapi barangkali juga inilah yang dinamakan cinta. Percakapan malam itu antara aku dan dia sewaktu mendorong motor. Seperti merumuskan kalau apapun yang berupa penderitaan, selama menghadapinya dengan cinta. Bukan lagi bernama derita.

"Inef... dunia seperti milik kita ya"

"Lho.. kok bisa"

"Hujan malam ini, motor bocor ini, membuatku merasakan sesuatu yang belum pernah kurasakan. Aku beruntung sekali malam ini. Sepertinya kau memang ditakdirkan untuk berlama-lama denganku. Dunia memang seperti milik kita" ucapku sambil terus mendorong.

"Iya Nam, hujan malam ini mengajarkanku bahwa bahagia itu sederhana. Selama kita mampu melakukannya dengan cinta dan dengan orang yang tercinta."

"Apakah kamu bahagia sekarang."

"Bahagia, memangnya kenapa"

"Kalau kamu bahagia. Berarti aku memang orang tercinta bagimu. Iya kan."

"Heh.. kata siapa. Ngarang kamu nam." pura-puranya tidak mengaku.

"Aku memang ngarang. Tapi coba tanya dirimu sendiri. Pasti membenarkan. Hehe"

"Lho.. kok kamu tau Nam. Kok pinter sih menebak isi hatiku. Aku tau ini, pasti kamu sudah berpengalaman kan. Tidak diragukan lagi."

"Siapa bilang sudah berpengalaman. Sekalipun tak pernah yang namanya Anam itu pacaran. Kecuali kalau kamu mau."

"Maksudmu...?"

"Oh tidak tidak, maksudku kita sudah sampai ditempat tambal ban" pintarku mengalihkan perhatian.

"Alhamdulillah.. tidak kerasa ya."
Inef bersyukur

"Aneh ya.. tidak kerasa. Padahal dari tadi aku pake perasaan lho nef."

"Maksudmu lagi.."

"Maksudku, malam ini dingin ya."

"Hehehe... dingin saja ya. Tidak ada yang lain?"

"Sebenarnya ada sih. Tapi bukan sekarang. Tidak sabar ya?"

"Iya aku tidak sabar nam. Tidak sabar pingin pulang. Dingin banget ini."

"Ya sudah... pulang. Prosesi tambal ban selesai."

"Tapi.. bukan berarti semuanya selesai kan"

"Haha... kode ini. Sudah sudah. Kita pulang.. hehe."

Itulah kisah aku, Inef, dan hujan tempo dulu.
Alasan kenapa aku selalu merindukan hujan. Barangkali Inef juga.  Karena sejatinya, setengah dari hujan adalah air, selebihnya kenangan. Dan aku, inef, serta hujan adalah sebuah kesatuan yang pas dengan komposisi yang tepat. Sebuah isyarat akan cinta sebenarnya.

Selesai

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon
Newer Posts
Older Posts

Info

Tayang seminggu dua kali

Mutualan, Yuk

  • facebook
  • instagram
  • youtube

Kategori

IPNU

Postingan Viral

Catatan

Sementara kosong dulu, seperti hatiku

Facebook

Isi Blog

  • ►  2024 (15)
    • ►  Apr 2024 (1)
    • ►  Mar 2024 (4)
    • ►  Feb 2024 (1)
    • ►  Jan 2024 (9)
  • ►  2023 (11)
    • ►  Des 2023 (3)
    • ►  Nov 2023 (1)
    • ►  Sep 2023 (3)
    • ►  Jul 2023 (4)
  • ►  2022 (46)
    • ►  Nov 2022 (7)
    • ►  Okt 2022 (7)
    • ►  Sep 2022 (6)
    • ►  Agu 2022 (4)
    • ►  Jul 2022 (9)
    • ►  Mei 2022 (4)
    • ►  Jan 2022 (9)
  • ►  2021 (22)
    • ►  Des 2021 (5)
    • ►  Sep 2021 (3)
    • ►  Agu 2021 (6)
    • ►  Jun 2021 (1)
    • ►  Mar 2021 (7)
  • ►  2020 (14)
    • ►  Des 2020 (1)
    • ►  Nov 2020 (2)
    • ►  Jul 2020 (2)
    • ►  Jun 2020 (1)
    • ►  Mei 2020 (1)
    • ►  Apr 2020 (1)
    • ►  Mar 2020 (2)
    • ►  Feb 2020 (4)
  • ►  2019 (3)
    • ►  Mar 2019 (1)
    • ►  Feb 2019 (1)
    • ►  Jan 2019 (1)
  • ►  2018 (57)
    • ►  Okt 2018 (7)
    • ►  Sep 2018 (5)
    • ►  Jul 2018 (11)
    • ►  Jun 2018 (3)
    • ►  Mei 2018 (4)
    • ►  Apr 2018 (2)
    • ►  Mar 2018 (5)
    • ►  Feb 2018 (12)
    • ►  Jan 2018 (8)
  • ▼  2017 (71)
    • ►  Des 2017 (7)
    • ►  Nov 2017 (20)
    • ►  Okt 2017 (10)
    • ►  Sep 2017 (8)
    • ►  Agu 2017 (8)
    • ▼  Jul 2017 (9)
      • Kawan-kawanku Alumnus MA NU Karangdadap
      • Ngeblog lagi
      • Curhatan malam
      • Me-NOL-kan Kegelisahanku
      • Part 2. Grafik Perubahan Seorang Anam Sy
      • Grafik Perubahan Seorang Anam Sy
      • Masih tentangmu
      • Untukmu yang berumah dipojok sana
      • Cerpen : Hujan
    • ►  Jun 2017 (5)
    • ►  Mei 2017 (4)

Created with by ThemeXpose | Distributed by Blogger Templates