Cerpen : Hujan
Waktu kosong sering membingungkan. Apalagi kalau memang tidak punya kemampuan memanfaatkan momen ini. Seperti aku juga sekarang ini. Waktu kosong, bahkan selalu kosong. Untungnya aku tertarik dalam kepenulisan, jadi waktu kosong selama ini kubuat terisi dengan aktivitas menulisku. Padahal barangkali sudah menggugurkan makna waktu kosongnya itu.
Baiklah, dalam proses pembelajaranku dalam menulis. Karena memang aku masih tahap belajar. Cerita ini salah satu yang bisa kuciptakan. Terlepas dari banyaknya kekurangan dalam tulisan ini nantinya. Maklumi sajalah, namanya juga penulis amatir yang baru lahir kemarin sore.
Berikut saya tuliskan cerita ini. Meskipun tetap pada kesimpulan cuma saya sendiri yang membaca cerita ini. Tapi biarlah. 1 2 3
HUJAN
Seperti biasanya, hujan membasahi pelataran kampung kami sehabis isya, menyirami tanaman kurang lebih setengah jam lamanya. Lalu langit kembali menyalakan ratusan lampion-lampion kecil yang menerbang sejauh mata memandang.
Hujan ini adalah hujan ketujuh dibulan juni. Hujan yang menurutku paling bisa memunculkan rindu. Hujan yang mengingatkan pada seorang wanita yang kucintai. Setengah dari hujan diluar sebenarnya adalah kenangan yang membekas. Tetes airnya adalah hujaman kerinduan yang pernah kami ciptakan tempo dulu.
Dua tahun yang lalu, malam ini adalah malam minggu. Waktu sakral bagi siapa saja yang mengaku pasangan. Kafe, restoran, alun-alun, pasar malam selalu ramai dipenuhi orang-orang yang bergandeng tangan. Termasuk aku bersama Inef, temanku yang kucintai. Malam itu merupakan malam pertama kali kami jalan berdua. Malam istimewa pokoknya. Malam penumpahan kerinduan setelah tujuh bulan lamanya mengenal tapi belum berani nyaliku ini untuk mengungkapkan.
Sebetulnya tak ada tujuan kemana kami pergi. Aku dengan motorku membawa Inef menyusuri jalanan kota. Melihat apa yang bisa dilihat. Termasuk melihat orang-orang berlarian menepi. Yang kusadari bahwa itu adalah gerimis yang semakin lama semakin deras. Tanganku memutar gas kencang, tanpa mengindahkan ritme yang ada. Tangan Inef meyelinap kedalam saku kanan kiri jaketku. Tanda bahwa ia seperti mengisyaratkan kedinginan. Sengaja aku tidak memberhentikan laju motor untuk sekedar berteduh. Aku perkenalkan pada ia bahwa hujan itu menyenangkan. Agar aku, ia, dan hujan suatu saat menceritakan momen ini dan menjadi alasan untuk dirindukan.
"Nam, kenapa tak berhenti. Hujan deras ini." Ucapnya tepat ditelingaku. Waktu itu aku basah kuyup, pun kekasihku. Tapi inilah caraku agar pertemuan ini suatu saat bakal dirindukan.
"Tidak apa-apa Inef, sesekali memang kita musti hujan-hujanan. Agar kita paham makna yang tersembunyi dalam hujan."
"Maksudnya"
"Suatu saat kau paham sendiri."
Ditengah perjalanan, disuatu jalan yang sepi dan sunyi. Tiba-tiba motor yang melaju kencang itu tanpa kompromi memberhentikan dirinya sendiri.
"Kenapa nam?" Inef heran.
"Sepertinya bocor"
"Sudah hujan, tambah bocor. Kasihan betul kita ini. Padahal ini kali pertama kita jalan berdua. Tapi sudahlah, meratap juga tidak akan memperbaiki keadaan. Ya sudah nam, kita dorong sama-sama."
Barangkali inilah yang disebut kesialan. Jalanan yang gelap, hujan beserta petir, dan ban bocor. Tapi barangkali juga inilah yang dinamakan cinta. Percakapan malam itu antara aku dan dia sewaktu mendorong motor. Seperti merumuskan kalau apapun yang berupa penderitaan, selama menghadapinya dengan cinta. Bukan lagi bernama derita.
"Inef... dunia seperti milik kita ya"
"Lho.. kok bisa"
"Hujan malam ini, motor bocor ini, membuatku merasakan sesuatu yang belum pernah kurasakan. Aku beruntung sekali malam ini. Sepertinya kau memang ditakdirkan untuk berlama-lama denganku. Dunia memang seperti milik kita" ucapku sambil terus mendorong.
"Iya Nam, hujan malam ini mengajarkanku bahwa bahagia itu sederhana. Selama kita mampu melakukannya dengan cinta dan dengan orang yang tercinta."
"Apakah kamu bahagia sekarang."
"Bahagia, memangnya kenapa"
"Kalau kamu bahagia. Berarti aku memang orang tercinta bagimu. Iya kan."
"Heh.. kata siapa. Ngarang kamu nam." pura-puranya tidak mengaku.
"Aku memang ngarang. Tapi coba tanya dirimu sendiri. Pasti membenarkan. Hehe"
"Lho.. kok kamu tau Nam. Kok pinter sih menebak isi hatiku. Aku tau ini, pasti kamu sudah berpengalaman kan. Tidak diragukan lagi."
"Siapa bilang sudah berpengalaman. Sekalipun tak pernah yang namanya Anam itu pacaran. Kecuali kalau kamu mau."
"Maksudmu...?"
"Oh tidak tidak, maksudku kita sudah sampai ditempat tambal ban" pintarku mengalihkan perhatian.
"Alhamdulillah.. tidak kerasa ya."
Inef bersyukur
"Aneh ya.. tidak kerasa. Padahal dari tadi aku pake perasaan lho nef."
"Maksudmu lagi.."
"Maksudku, malam ini dingin ya."
"Hehehe... dingin saja ya. Tidak ada yang lain?"
"Sebenarnya ada sih. Tapi bukan sekarang. Tidak sabar ya?"
"Iya aku tidak sabar nam. Tidak sabar pingin pulang. Dingin banget ini."
"Ya sudah... pulang. Prosesi tambal ban selesai."
"Tapi.. bukan berarti semuanya selesai kan"
"Haha... kode ini. Sudah sudah. Kita pulang.. hehe."
Itulah kisah aku, Inef, dan hujan tempo dulu.
Alasan kenapa aku selalu merindukan hujan. Barangkali Inef juga. Karena sejatinya, setengah dari hujan adalah air, selebihnya kenangan. Dan aku, inef, serta hujan adalah sebuah kesatuan yang pas dengan komposisi yang tepat. Sebuah isyarat akan cinta sebenarnya.
Selesai
0 Respon