Untukmu yang berumah dipojok sana
Pertemuan malam ini adalah pertemuan pertama kalinya semenjak setelah aku memberi satu puisi. Ya... satu puisi yang kubuat secara istimewa berjudul "aku kau dan isyarat". Seperti judulnya puisi ini hanya akal-akalanku saja supaya kamu paham apa yang aku rasakan. Sehingga tak perlu aku bilang cinta, kau dapat paham dengan sendirinya. Itupun jika kamu paham betul isyarat apa yang aku sembunyikan. Jika tidak, lalu untuk apa.
Alasan kenapa saya memberimu satu puisi. Sederhana saja sebenarnya, karena kamu tak terlalu mudeng tentang puisi. Jadi seandainya puisi dariku jelek sekalipun, kau pun tak bakalan mengerti. Kecuali kau minta tafsir sama Safri sang master puisi yang terkenal seantero kecamatan.
Memberimu satu puisi sebenarnya bukan perkara mudah. Perlu mental yang kuat. Musti siapkan wajan paling hitam kalau saja aku benar-benar malu. Aku bahkan sampai mewiridkannya beberapa jam, kirim tidak kirim tidak kirim tidak. Sampai entah aku kesambet makhluk apa, dan tanganku tanpa ragu mengetik baris tiap baris puisi. Sampai akhirnya puisi itu sampai didepan matamu.
Sulit menggambarkan bagaimana rasanya aku waktu itu. Malu, bingung, senang, canggung, dan berjuta perasaan lainnya. Semuanya bercampur aduk menjadi satu. Sementara percakapanku difacebook yang sok lucu dan melawak itu, hanya untuk menutupi perasaanku yang berbunga-bunga. Asal kamu tau, aku hampir tak bisa berhenti untuk terus tersenyum. Bahkan sampai kakak dan adikku memergokiku. Dikiranya aku sedang bercakap dengan pacar. Padahal aku dan kamu belum bernama pasangan. Tapi biarlah, ini do'a untuk kita berdua. Sekali lagi, aku hanya bisa senyum-senyum sendiri. Perasaan yang langka dan membuatku gila. Hahaha
Barangkali akulah yang disebut manusia tak tahu diri. Aku dengan segala kekurangan dan belum punya sesuatu yang menjanjikan. Telah dengan lancang memberi isyarat kepadamu lewat sebuah puisi. Sebuah tindakan yang memilukan, apalagi sifatmu itu setelah kuselidiki adalah gengsi jika berbicara cinta. Pintar sekali menyembunyikan sebuah perasaan. Saat kau baca puisiku saja ekspresimu biasa-biasa saja. Tapi aku paham sebenarnya apa yang kau rasakan. Kau sendiri pun secara tidak langsung mengakui hal ini, mengakui akan bapermu membaca puisiku ini. Hahaha.. ngaku sajalah. Aku lebih pintar melacak sebuah rasa.
Jika kau bertanya mengapa aku buat puisi untukmu. Sebenarnya itu isyarat. Puisiku itu seakan bicara : ini lho aku, yang mencintaimu.. maukah kau menerima cintaku. Lewat isyarat inilah caraku untuk perlahan menggoyahkan hatimu, yang gengsi, yang pura-pura tidak tau, yang acuh, dan yang lain-lain. Mungkin cuma aku yang tahu strategi paling jitu ini, bagaimana tidak, diam-diam aku mengumpulkan data-data tentangmu sejak lama.
Dan nyatanya, meski kau tetap gengsi, pura-pura tak paham, dan pintar menyembunyikan rasa. Aku tetap bisa melihat sedikit bapermu yang tersembunyi lewat senyuman yang tertahan saat pertemuan tadi. Apalagi setelah puisi ini, perlahan ada yang sedikit berbeda padamu. Aku bahkan yakin, sebenarnya kau paham akan isyarat ini. Hanya saja kau masih saja tetap gengsi dan pura-pura tidak ada apa-apa. Sudahlah.. ngaku saja. Aku juga paham kok. Hehe
Satu puisi, satu isyarat, dan satu harapan. Intinya apa yang kulakukan ini. Setidaknya membuatmu paham apa yang kurasakan saat ini. Hanya tahu, itu saja rasanya sudah cukup. Apalagi kalau kamu memahami betul isyarat ini. Tentu akan sangat menguntungkanku mutlak. Tapi saya kira, yang baper akan berhadapan dengan baper. Sekebal apapun rasamu, segengsi apapun ekspresimu, dan seberapa sulitnya dirimu. Perasaanku yang tulus ini bagaimanapun akan meluluhkan hatimu, menggoyahkan jiwamu. Pada akhirnya, perasaan tak bisa dibohongi. Sebab puisi ini berkata kalau aku mencintaimu. Ya.. mencintaimu.
0 Respon