Pengalaman Melawan Sakit TBC Paru-paru dan Kelenjar Dari Mulai Gejala Sampai Sembuh
![]() |
Kondisi saya sewaktu sakit |
Tak ada satupun orang yang mau sakit. Sakit itu berat. Biar aku saja.
Saya begitu terkejut ketika pada 6 September 2016, saya harus merebah menjadi satu dari tujuh pasien di dalam satu ruang bernama ruang matahari 2, RSI Pekajangan, Pekalongan. Berbaring tak berdaya di atas ranjang dalam bilik yang sempit.
Awalnya tak ada yang mengira saya bakal merebah di sana. Bahkan bapak saya yang ikut mengantar saya periksa, juga tak ada persiapan semisal bawa baju ganti. Dari sinilah, saya akan melihat ketulusan bapak dan semakin menjadikan diri ini sebagai orang yang selalu merepotkannya. Saya sedih saat mengingat momen itu.
Dari hasil lab yang dilakukan oleh mbak-mbak suster yang cantik, diketahuilah bahwa penyakit yang saya alami adalah penyakit TBC/tuberculosis paru-paru. Keren juga namanya.
Sebelum akhirnya saya diopname itu, saya memang mengeluhkan beberapa hal yang saya ketahui setelah sakit, hal itulah gejala-gejala TB. Bisa dibilang saya terlambat tahu. Dan sebab kejadian ini saya tak percaya lagi perkataan 'terlambat lebih baik daripada tidak sama sekali'.
Gejala-gejala yang saya alami adalah sebagai berikut:
- Badan demam, yang saya rasakan tidak enak semua.
- Saya mudah capek. Saya pun tidak kuat bahkan untuk mengangkat teko.
- Batuk berdahak, pernah sesekali batuk saya berdarah.
- Tidak doyan makan
- Berat badan turun drastis
- Paling tidak enak, saya selalu berkeringat banyak sekali tiap malam bahkan, saya harus ganti baju sampai tiga kali karena basah seperti direndam air.
Pada gejala tersebut, awalnya saya kira saya demam biasa. Tak ada kecurigaan kalau itu penyakit berat. Saya hanya memeriksakan diri ke dokter biasa. Tetapi yang aneh, meski saya telah periksa ke lima dokter yang berbeda. Saya tak kunjung membaik dan malah memburuk. Singkat cerita, dibawalah saya ke rumah sakit atas inisiatif guru sekolah saya.
Saya masuk rumah sakit bisa dibilang pada waktu yang sulit. Sebab kala itu saya masih kelas 12 yang enam bulanan lagi akan menghadapi UN. Wajar kalau guru saya begitu khawatir. Bahkan ketika kelak saya sudah pulang dari RS dan membaik, kepsek sampai datang dan menanyakan kesiapan saya mengikuti UN. Katanya, kalau tidak bisa, ikutnya tahun berikutnya Bersama adik kelas. Dan kalaupun bisa dan pada akhirnya dihari H saya sakit dan benar-benar tidak bisa mengerjakan, akan menjadi kerugian bagi sekolah sebab dapat mengurangi prosentase kelulusan. Saya tentu paham apa yang dikatakan kepsek dan memang berat. Tetapi kemudian saya meyakinkan ikut UN. Kelak ketika lulusan, saya lulus dengan nilai terbaik ke-4 se-sekolahan.
Penyakit yang saya alami yaitu tuberculosis paru-paru. Orang-orang banyak menyebutnya dengan TB atau TBC saja. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri yang bernama mycobacterium tuberculosis. Virus ini menyerang paru-paru dan dalam kasus tertentu, bisa menyebar ke tulang, kelenjar getah bening, sistem saraf pusat, jantung, dan organ lainnya.
Penyakit ini begitu berbahaya. Di Indonesia, penyakit ini menyumbang kematian cukup banyak hingga menjadi perhatian serius pemerintah. Indonesia menempati rangking 2 di dunia dengan panderita terbanyak. Tahun 2016 saja, kasusnya mencapai angka 351.893 kasus.
Penyebaran virus ini begitu mudah, yaitu lewat udara, seperti batuk dan bersin. Data Kemenkes dalam pedoman Nasional pengendalian TBC menyebutkan, satu kali batuk bisa menghasilkan 3000 percikan air liur. Dari data WHO, per 1 detik ada satu orang yang terinfeksi. Dari 10 yang terinfeksi, ada satu yang menjadi sakit.
Dari data itulah sehingga kemudian setelah saya keluar dan menjalani pengobatan, saya diharuskan untuk selalu memakai masker dan menutup dengan media apapun ketika bersin ataupun batuk.
Selain itu, saya juga diwajibkan untuk berjemur tiap pagi. Dari artikel yang pernah saya baca, kuman TB akan mati jika terkena matahari langsung. Dan begitupun sebaliknya, kuman akan hidup jika berada pada suhu 30-37 derajat celsius. Dalam kondisi gelap, lembap, dan dingin, virus TB dapat bertahan berbulan-bulan.
Saya menginap di RS selama seminggu dengan biaya semuanya dari pemerintah, dari KIS yang saya miliki. Dokter yang menangani saya waktu itu adalah Dokter Sukartono, sebetulnya ada banyak gelar di belakang namanya, tetapi karena saya takut salah, saya tulis namanya saja.
Pengobatan TBC paru, umumnya 6-9 bulan. Tetapi yang terjadi pada saya, saya menjalani pengobatan lebih dari 15 bulan, hampir dua tahun lamanya. Saya harus menjalani kenyataan itu karena dalam perjalanan pengobatan, ada benjolan yang keluar dileher saya yang kemudian saya ketahui ternyata TBC kelenjar getah bening. Subhanallah, belum selesai TB paru saya ditambah kelenjar.
Ketika TBC kelenjar itu, saya merasa begitu emosi dan hampir putus asa. Pasalnya, setiap kali benjolan hampir kempes, ada benjolan yang keluar di bagian leher lain. Begitu seterusnya sampai pada Juni 2018 kemarin, benjolan itu benar-benar hilang. Saya sembuh. Alhamdulillah.
Perjuangan saya melawan penyakit ini tentulah tidak mudah. Saya harus bolak-balik ke RS dua Minggu sekali dan mengantri sampai ratusan antrian untuk mengecek kondisi saya. Saya terkadang tak bersemangat, kenapa saya bisa semenderita ini saat teman-teman saya menjalani masa mudanya dengan penuh kebebasan. Ah sudahlah, semua punya jalan masing-masing.
Tantangan paling berat melawan penyakit ini adalah saya harus minum obat tepat waktu tanpa boleh sekalipun lupa. Kata banyak orang, kalau sekali saja lupa maka harus diulang dari nol. Untungnya saya tidak pelupa dan saya mampu meminum obat yang gede-gede itu tiga kali sehari selama hampir dua tahun. Saya merasa berhak mendapat rekor sebagai manusia dengan konsumsi pil terbanyak tingkat kecamatan.
Terkait soal andai lupa minum obat, saya tak pernah menanyakan langsung pada pak dokter. Itu ikhtiar saya supaya tidak mau tau resikonya dan hanya fokus berobat saja dengan minum tepat waktu. Meski begitu, saya browsing di internet, dan ternyata memang ada kaitannya. Kalau seandainya kelupaan minum, virus yang di dalam itu akan kebal pada obat. Mungkin seperti itu, semoga tidak salah.
Sebetulnya, selain lewat pengobatan medis, saya juga pernah berusaha dengan cara lain. Bapak saya misalnya, pernah meminta air doa orang pintar lalu saya meminumnya. Saya juga pernah mencoba minum resep tradisional, yaitu minum angka. Pernah juga minum air rebusan daun nangka. Bahkan paling dramatis, saya menelan bagian peru kambing yang masih mentah, dan rasanya begitu pahit. Semua saya lakukan sebagai ikhtiar untuk sembuh.
Setelah melewati masa perjuangan yang melelahkan, menyedihkan, menjengkelkan, dan dramatis itu, kini, saya telah sembuh. Alhamdulillah.
Tentu pengalaman yang berharga ini menjadi pengingat bagi saya kalau saya pernah melewati masa sulit, dan berhasil. Ini penting karena perjuangan saya belumlah selesai. Saya harus berjuang pada hal lain. Karena seusai kesembuhan ini, saya dihadapkan pada pertanyaan 'mau kerja kemanakah saya?'
Ya. Sekarang saya nganggur. Karenanya, kasih saya info loker. Atau kalau tidak, kasih saya kerjaan. Saya punya kemampuan menulis. Dan saya punya riwayat perjuangan yang begitu fantastis.
7 Respon
Bagus tulisannya vroh,
BalasHapussalam
https://nafasmesin.blogspot.com/
Terimakasih. Tapi yang penting kesehatan juga juga bagus bung. Salam diterima dan dikembalikan lagi ke saudara.
HapusMas kena TB kelenjar sampai di operasi gak? Dan benjolan yg muncul setelah yg lain kempes apakah dikasih obat saja atau dioperasi? Tlg sharingnya mas..terima kasih yaa
HapusSalam mas.. anak saya baru umur 1 tahun jg kena tb kelenjar dan paru mas.. sedih bgt rsanya .. klo bisa sy aj yg gantiin .. sedih dan merasa bersalah jg kenapa anak sekecil itu smpai tertular TB yg sangat berbahaya itu pdhl kluarga d rumah tdk ada yg TBC dan bhkan tdk ada yg merokok.. ksian liat dia minum obat setiap hari tp perubahannya tdk trlihat.. anaknya msh kurus dan bb nya susah naik sma kelenjar di lehernya msh teraba besar.. kira2 klau pngalaman mas gmna apakah sma kya artikel2 d internet klau udh 2 bln hrs ada perbaikan klinis? Sy khawatir TB nya tdk tertanggulangi soalnya mas..
BalasHapusSalam mas, turut prihatin dengan kondisi anak mas sekarang. sepengalaman saya berobat selama hampir 2 tahun, saya hanya manut pada dokternya saja mas. selalu konsultasikan dengan dokternya. yang sabar mas, ketika saya sakit dan waktu itu masih sekolah, guru saya sendiri juga pernah cerita kalau ia juga pernah mengalami sakit ini sewaktu kecil semasa anak mas. tetap semangat dan jangan putus harapan. selalu ada jalan. saya berdoa untuk kesembuhan anak mas. saya pernah sakit, dan saya tahu rasanya kekhawatiran orangtua.
HapusSelamat atas kesembuhannya mas. Saya juga alumni penderita TBC paru angkatan 2012. Sekarang lagi lanjut program selanjutnya, TBC kelenjar (hiks...). Kita senasib mas. Cuma kalo saya ada jeda 7 tahun.
BalasHapusOiya saya mau nanya pengalaman mas waktu TBC kelenjar dulu. Benjolannya sakit ngga sih? Kalo saya, sejak makan 4 butir obat gede2 itu, benjolan yang asalnya ukuran 3x2cm jadi tambah gede dan kaya ada anaknya. Benjolan utama teksturnya keras, kalo anakannya lembut dan sakit kalo disentuh. Saya disuruh USG sama dokter. Saya jadi takut ada apa2 dengan benjolan ini. Di tempat saya, cuma saya yang ngalamin TBC kelenjar. Jadinya saya ngga punya temen sharing tentang penyakit ini.
Terima kasih atas responnya.
Teruntuk mas Andi Nonna yang sedang sakit, mula-mula saya ucapkan GWS ya. Eh, mas atau mbak ya?
HapusSebelumya saya perlu informasikan bahwa sampean komen ini tertanggal 6 September, dan ini adalah tanggal yang begitu memorisable bagi saua, sesuai tulisan di atas.
Mengenai benjolan, awalnya ukurannya begitu kecil. Bahkan rasanya, seperti ada di bagian daging yang terdalam. Seiring berjalan waktu, benjolannya membesar. Pada beberapa momen, memang juga muncul benjolan lain di sekitar. Mumpung belum makin parah, segera konsultasikan sama dokter. Kesalahan saya dulu, saya agak terlambat konsultasi. Barangkali sebab itu, kemudian inilah yang terjadi: satu benjolan membesar, lalu mengempes. Namun di waktu bersamaan, muncul benjolan di area lain. Begitu terus sampai muncul 5 kali benjolan bahkan lebih. Untuk rasa, kalau benjolan kecil, tidak terasa sakit kecuali kalau ditekan ataupun dipencet. Kalau benjolan besar, tentu amat nyeri, sebab kulit mentang menerima benjolan dari dalam.
Tapi jangan berkecil hati, teruslah bahagia. Saran saya, patuhi perintah Agama -dan juga dokter. Kelak sampean pasti sembuh. Semangat ya. Saya paham kok apa yang sampean rasakan sekarang.
Sekali lagi, bahagia dan semangatlah.