• Halaman Awal
  • Diri Sendiri
facebook instagram Email

Anam Sy


Januari sudah melambaikan tangannya pada Desember yang tinggal menyisakan 3 hari. Ia tampak sudah siap menunggu cerita-cerita baru kita. Menghamparkan lembar-lembar suci untuk kita isi. 


Di penghujung tahun ini, saya ingin meneropong sekilas apa yang terserak pada hari-hari di sepanjang 2020. Mencatatnya dalam tiap segmen. 


Kesehatan


Tidak ada penyakit berarti yang saya derita sepanjang 2020. Tidak seperti tiga tahun sebelumnya di mana saya terkena serangan TBC dan cukup mengganggu kehidupan saya secara total. Paling, saya hanya meriang empat atau lima kali setahun ini. 


Namun tentu semua mengerti, 2020 kita dihantam pandemi. Tak pernah sama sekali saya membayangkan saya menderita Covid-19, sekalipun tetangga saya kena. Dan memang saya tidak kena hingga saat ini, Alhamdulillah. Namun keparnoan dan kepanikan pernah menghampirinya saya ketika saya dinyatakan reaktif dan berlanjut tes swab, menunggu hasilnya merupakan detik-detik paling menegangkan sepanjang 2020. Saya tak tahu harus bersyukur atau kesal, hingga detik ini saya belum juga tahu hasilnya. Sudah sebulan lebih berlalu, tentu saya tidak lagi parno dan panik. Saya bersyukur, saya, juga keluarga dan kawan-kawan dekat saya terkonfirmasi sehat wal afiat seperti biasanya.


Alhamdulillah. Alhamdulillah. Alhamdulillah.



Pekerjaan


Pandemi menggila. Meruntuhkan nyaris semua bisnis yang ada. Ketika awal-awal sedang ramai-ramainya di Wuhan kala Januari, Indonesia masih normal saja. Tapi tidak setelah kasus demi kasus ditemukan. Ekonomi menjadi lumpuh. Tak terkecuali konveksi. 


Saya masih bekerja di tetangga saya untuk sebuah bisnis kantong puring. Bisnisnya sudah goyah sejak akhir tahun 2019, bahkan di awal tahun 2020, saya menganggur. Januari Februari lebih banyak sambat, ditambah adanya pandemi, semakin menambah panjang status pengangguran. Boleh dikata, 5 bulan lebih saya menganggur. Gila. Bahkan lebaran kemarin, saya tidak punya uang sama sekali andai tidak dapat prakerja. Terimakasih pemerintah.


Entah Juli atau Agustus, asa kembali muncul setelah akhirnya saya bekerja lagi, sekalipun tidak terus. Saat itu, perombakan di mulai. Tidak lagi pakai bahan nano-nano dalam karungan yang ruwet, njlimet, dan ah, sialan. Namun sudah bahan gulungan yang lebih mudah digarap.


Bisnis akhirnya membaik, meski entah dalam bulan apa saya menganggur 3 mingguan. Makin ke sini makin membaik. Keuangan saya ikut membaik. Dan dalam sepanjang hidup saya pula, sekarang saya pegang uang banyak. Bahkan terbanyak. Tentu terbanyaknya saya, pasti sedikit bagi sampeyan yang sudah kerja siang malam selama beberapa tahun.


Ya begitulah keadaan pekerjaan dan keuangan saya: terseok-seok 9 bulan. Dan membaik tiga bulan berturut-turut menjelang pergantian tanggalan.



Asmara


2020 saya dibuat tergila-gila oleh seorang wanita sejak kemunculannya kali pertama. Saya membersamainya dari ia yang norak, sampai ia sekarang yang selalu menjaga image-nya setelah menyandang status baru. 


Sialnya, saya tipe orang yang tidak mudah menyatakan suka seseorang secara verbal. Dan sialnya pula, saya tidak bisa menyembunyikan ekspresi dan gerak-gerik saya saat menyukai seseorang. Karena itu, justru banyak orang lain yang sudah bisa membaca itu lebih dulu. Atau mungkin, wanita itu sudah tahu tanpa saya tahu. Entahlah.


Wanita itu sudah punya pacar ketika saya mengenalnya. Dan putus beberapa bulan setelahnya. Apakah kemudian saya maju menyatakan perasaan? Sekali lagi, saya orang yang sulit menyatakan soal itu secara verbal. 


Alih-alih menyatakan, saya justru menghimpun informasi tentang siapa saja yang sudah mendekatinya. Itu adalah masa yang membuat saya patah hati. 


Ringkas kata, saya memutuskan untuk berhenti mencintainya. Bukan karena saya membencinya, namun saya mengerti, mencintai seseorang, betapapun besarnya, jika tidak diimbangi keberanian menyatakan, juga amunisi yang diperlukan, maka sia-sia dan buang waktu saja. Saya bisa hilang fokus pada hal yang lebih penting dari itu. Maka, untuk saat ini, dan barangkali selamanya, tidak lagi mencintainya mungkin keputusan yang tepat. Betapapun begitu, ia sukses membuat saya produktif menulis dalam jatuh cinta dan patah hati. 


Skill


Kalau saja bukan karena prakerja, saya tak akan mengerti kalau ternyata, ada sebuah situs pelatihan ngoding yang asik sekali. Nama situsnya Dicoding. 


Sejak lama, saya memang menaruh ketertarikan pada ngoding. Itu dimulai ketika saya mengenal blog. Alasan itu yang mendorong saya mengambil pelatihan tersebut. Kelas yang saya ambil adalah dasar pemrograman web. Kini, saya sudah lulus dengan susah payah setelah mengikuti kelas dan menggarap tugasnya lewat hape, sesuatu yang lazimnya dilakukan lewat komputer maupun laptop.


Saya jadi mengerti, saya memang tertarik ngoding. Saya sudah berencana untuk mendalaminya lagi tingkat lanjut ke depan. Sepertinya disinilah skill saya. Tinggal menunggu kapan ya saya punya laptop.


Selain itu, tentu saja kemampuan menulis yang masih terus saya tingkatkan. Kedua skill ini, saya targetkan menjadi keahlian saya. Ya bagaimana lagi, saya tidak ingin menjahit, tidak bisa bermusik, dan tidak pula pandai menggaet cewek tajir.


Pencapaian


Kalau yang besar, nyaris tidak ada. Namun kalau pencapaian kecil yang mendetail semacam bisa menulis cepat dan sebagainya, saya ada. Saya malah lebih banyak belajar untuk berhasil melakukan hal-hal kecil dan detail yang mendasar sebagai bekal hidup.


Saya kira begitu kaleidoskop saya di tahun 2020. Jika ada yang tertinggal, ya berarti peristiwa itu tidak terlalu mencolok.


Selamat menyambut awal tahun yang lebih on fire. Semoga membaik segalanya.


Share
Tweet
Pin
Share
No Respon

Saya sudah memegang handphone merk Xiomi Redmi 5A sudah setahun lebih. Saya membelinya dengan harga sejutaan, saya lupa berapa harga rincinya. 

Memiliki Xiomi Redmi 5A ini memang membutuhkan kesabaran ekstra. Utamanya soal kualitas suara yang saya akui kurang bisa diandalkan. Saya tak tahu pasti apakah kasus ini hanya terjadi pada hape saya saja atau memang sudah default dari sananya. Yang jelas, ini pendapat saya pribadi berdasar hape yang saya pegang. Kalau semisal sampeyan tidak setuju, ya boleh-boleh saja.

Yang menjadi permasalahan di sini adalah Xiomi Redmi 5A milik saya memiliki kualitas suara yang buruk. Tiap kali saya kongkow dengan kawan-kawan dan masing-masing bermain hape, saya merasa kalah dari arena. Bagaimana tidak, suara hape kawan-kawan saya mempunyai power yang besar, suaranya kencang, sedangkan milik saya, bahkan sampai volume sudah di-full pun, masih kalah telak. Saya malah menyimpulkan: sekencang-kencangnya suara hape saya, itu sama dengan serendah-rendahnya suara hape kawan-kawan saya. Ini ibarat serajin-rajinnya saya ibadah, mungkin sama pahalanya dengan orang alim yang jarang ibadah. Sampai segitunya. 

Makanya saya tak menaruh harapan besar ketika menonton YouTube atau mendengarkan Spotify. Yang bisa saya lakukan hanya dengan menajamkan indera pendengaran. Jika eksternal tak bisa diandalkan, mari andalkan internal. Tapi yang saya rasakan, lama-lama telinga saya lelah juga bekerja ekstra. Telinga saya juga butuh kondisi biasa-biasa saja dalam mendengar. 

Yang lebih menyebalkan adalah ketika ada panggilan suara. Apa yang saya lakukan dengan hape dengan kualitas suara minimalis? Tiap kali ada telepon masuk, saya selalu mengangkat dengan tak lupa menggunakan fitur lospeker. Betapa tersiksanya jika tidak demikian, bayangkan saya tidak mengaktifkan fitur lospeker, berapa banyak saya bakal mengucap: hah? apa? ulangi-ulangi? Untungnya, saya jarang ada yang menghubungi mengingat nasib asmara saya masih seperti kualitas hape ini: tak bisa diandalkan.

Kadang-kadang, saya mempertanyakan kenapa kualitas audio Xiomi Redmi 5A milik saya ini buruk? Apakah ada yang salah dengan saya dalam memberlakukan hape ini mengingat suatu hal terjadi pasti karena sebab akibat. Apa sebabnya. Nah, hal ini yang tidak pernah saya mengerti. Saya rasa, saya selalu menjaga hape ini sebaik-baiknya, mungkin sama halnya jika saya punya pacar, bakal saya jaga sebaik-baiknya juga.  

Sayangnya, handphone adalah makhluk mati yang tidak bisa diajak bicara. Jikapun bisa, itu bukan karena handphone makhluk hidup, namun karena ada google asisten di sana. Karena itu, saya pernah bertanya ke google alasan kualitas suara hape menjadi jelek. Kata google banyak alasan. Tapi setelah saya baca, saya nyaris tidak menjumpai alasan-alasan itu dalam memberlakukan hape saya. Saya tak pernah menaruh hape di dekat tv maupun radio. Saya juga tidak pernah memergoki hape saya tumpang tindih dengan hape lain. Bahkan saya tak pernah melihat hape saya selingkuh, tidak tahu juga kalau lambe turah pernah melihatnya, dan bodoamat juga sebenernya.

Kualitas suara Xiomi Redmi 5A ini ngeselin memang. Dan polosnya, saya masih mencintai apa adanya sampai sekarang. Saya bahkan tak pernah kepikiran untuk beli hape, saya terlanjur mencintai hape ini, meski sebetulnya saya tidak punya uang sih untuk ganti. 

Tetapi Xiomi Redmi 5A dengan suara yang tidak sempurna ini, semakin menjadikan hape ini sempurna. Ini membuktikan bahwa yang sempurna adalah Tuhan yang maha Esa.

Dan berkat Tuhan, saya diberi kemampuan untuk membeli jbl murahan seharga tiga puluh lima ribu. Lumayan untuk menutupi kekurangan suara hape ini yang, hah? apa? boleh diulangi?



Share
Tweet
Pin
Share
No Respon

Senin kemarin, karena tahu saya lagi gabut, Eko menelpon saya kalau ia sedang ada di masjid bersama Zilin. Tanpa panjang lebar, saya mengambil kontak, menyalakan motor, dan meluncur ke sana. Setibanya di sana, saya mematikan motor dan langsung nyeletuk kepada dua orang yang sedang rebahan di teras masjid: orang kok gak ada gunanya. Sontak, kami tertawa. 

Ini sudah kesekian kalinya kami berkumpul gak jelas. Maklum, jika kami kumpul itu artinya masing-masing dari kami sedang tidak kerja dan gabut. Itulah alasan kenapa selalu ada celetukan kami tak guna. Ya memang di waktu bersamaan kami menyadari, jutaan orang sedang sibuk bekerja. Tapi tidak bagi kami. Astaghfirullahaladzim.

Sebetulnya, saya tak terlalu mahfum kenapa Eko mengajak saya nusul ke masjid. Apakah Eko mengajak Sholat, oh tentu tidak. Apakah akan mengajak saya ke Petung, sepertinya tidak juga. Entahlah, kan saya sudah bilang saya tidak paham alasan Eko mengajak saya.

Datangnya saya ke sana ternyata membawa berkah yang luar biasa. Hujan seketika mengguyur. Meski tak lama, tapi aura kedamaiannya sudah tercipta. Hujan kali ini tidak menciptakan genangan pun kenangan, namun cukup rata membasahi pelataran rumah-rumah di desa. Namun, hawa adem siang hari ini membawa pesona lapar yang terasa tak asing.

Oleh kedermawanan Eko yang tak dibuat-buat, akhirnya ada juga pengganjal perut yang ditawarkan. Melihat cilok lewat, Eko memberhentikan dan membeli tiga porsi untuk kami. Baik sekali dia. 

Setelah ngobrol ngalor-ngidul, akhirnya terungkap juga alasan kenapa Eko mengajak saya. Usut punya usut, dia pingin nglotek buah. Dan saya tahu pula, Eko sudah menghubungi Eni namun yang bersangkutan sedang tidak di rumah. Jadi alasan Eko ke masjid sama sekali bukan untuk tujuan yang religius, tapi untuk rebahan sambil menunggu kawan pulang. Astaghfirullah kawan saya.

Saat Zilin mengambil mangga muda karena memang di depan rumahnya ada pohon mangga, di waktu bersamaan Eni sudah di rumahnya. Usai dua buah pakel dipetik, kami meluncur ke warung beli seperangkat bumbu lotek meliputi kacang, cabai, gula merah, dan garam. Selesai itu, kami segera ke rumah Eni.

Di rumahnya Eni yang memang cocok untuk grumbungan itu, kami tiba. Dan seperti biasa ada Sustianah yang sedang menjahit. Kami pun kembali menceletuk: orang-orang tidak berguna datang. Kami kembali tertawa. Jam menunjukkan pukul setengah tiga.

Eni sigap mengambil seperangkat alat uleg dan pisau serta selusin gelas beserta ceret ke hadapan kami. Mila, yang rumahnya tidak jauh dari Eni, datang tepat waktu. Lima orang sudah.

Eni beraksi. Diambilnya kacang, lombok, garam, dihantamnya dengan lembut namun bertenaga. Saya sudah mencoba dahulu sebetulnya, tapi kalah artistik dalam memainkan ayunan tangan. Dan setelah nyaris halus, Eni menambahkan gula merah. Saya sempat bertanya kenapa gula merahnya tidak diikutkan di awal, tapi sepertinya pertanyaan saya terlalu polos setelah hanya direspon tertawa. 

Sementara itu, tangan kekar Eko menggenggam pisau dan mangga. Kulitnya diseset tipis sepotong-sepotong. Dan setelah dua mangga digunduli secara kasar, Eko memandikannya sebelum akhirnya mangga itu bernasib sial: dimutilasi menjadi banyak bagian.

Merasa ada yang kurang, Eko menghubungi Dian. Saat di masjid Dian memang sudah dihubungi dan yang bersangkutan mengaku sedang ngelesi. Dan saat dihubungi kembali, Dian belum juga selesai ngelesi, sebentar lagi, katanya. Yang jelas Dian bakal ke sini dalam beberapa menit ke depan membawa es dan sesuatu. Kami lega. Setidaknya bukan hanya mangga muda dan krupuk usek yang masuk lambung kami, tapi ada yang lain entah apa.

Dian tak kunjung menampakkan batang hidungnya saat kami sudah nyaris bosan mengunyah mangga muda dan krupuk usek. Dugaan kami, orang ini pasti sedang ngujo cari sesuatu. Kami positif otak Dian sedang solutif.

Dian datang juga ketika jam menunjukkan pukul 3 lebih. Dan taraaa…. ia membawa sesuatu yang kami tunggu-tunggu. Bukan satu, melainkan tiga. Es batu beserta marimas, buah nanas, dan buah bengkoang. 

Saya langsung memuji manusia yang didambakan beberapa orang di Kebonrowopucang ini dengan mengatakan: semenjak jadi guru, Dian ini memang pintar. Eko menggugat, memangnya sebelum jadi guru Dian goblok? Saya jawab ya sebetulnya sebelum jadi guru itu sudah pintar, tapi gak kelihatan. Kami tertawa. 

Sesungguhnya, pujian bukan hanya datang dari saya, melainkan juga dari empat kawan saya yang lain. Dian memang is the best pokoknya.

Zilin, karena dari tadi tidak cukup antusias makan mangga muda, saya suruh mengupas buah bengkoang. Awalnya dia menolak karena tak pernah mengupas bengkoang. Tapi tangannya memegang pisau juga. Dan benar, dari caranya memberlakukan buah di tangan, Zilin ini ketahuan amatir sekali. Akhirnya saya ambil alih. Saya memotong dulu bagian atasnya agar mudah menyesetnya mengingat alur mengupas bengkoang memang di seset. Setelah saya potong ujungnya, saya merasa ada yang aneh, tidak ada aroma bengkoang sama sekali sekalipun berbentuk gemuk mengerucut. Teksturnya juga tidak menunjukkan bengkoang sama sekali, biasanya bengkoang ada sensasi kres ketika dipotong, tapi bengkoang yang ini agak kaku dan nampak pucat. Aneh.

Eko yang penasaran akhirnya mengambil bengkoang aneh ini, dan semua keanehan pun terjawab: owalah juangkrink, iki telo udu bengkoang. Kami ngekek guling-guling.

Dian yang baru saja dapat sanjungan setengah mati pun mendapat serangan balasan yang menjatuhkan. 

"Baru tiga menit yang lalu pinter, sekarang sudah error lagi.…"

"Orang kok tidak bisa bedakan mana bengkoang mana ubi."

"Yakin, kesalahan ini bakal diingat sampai hari kiamat."



Dian mengakui kesalahan. Sambil ketawa ngekek, ia klarifikasi, jadi di jalan itu dia lihat itu, dari bentuknya amat bengkoang sekali, akhirnya dia beli tanpa memastikan, pantas saja sekilo kok murah sekali, lah jebule telo, asem. Katanya.

Saya sendiri sebetulnya sudah curiga sejak awal, bebarengan dengan terduga bengkoang itu, ada imbuhan telo merah kecil. Ternyata ini kisi-kisi kalau yang besar mengerucut itu telo, bukan bengkoang. Saya masih tak bisa menahan tawa sampai detik ini. Orang kok kocak banget.

Untungnya, ada nanas yang memang benar-benar nanas. Lambung kami pun punya pemasukan lain.

Jadi, selama acara ini, yang masuk ke perut kami adalah, mangga muda, krupuk usek, nanas, marimas, dan katawa ngekek gegara bengkoang yang ternyata telo. Untuk yang saya sebut terakhir, itu adalah menu yang akan kami ingat sepanjang masa. 

Terimakasih Dian sudah memberi pengalaman ketawa panjang dan ingatan yang saya jamin, paling membekas. 

Share
Tweet
Pin
Share
1 Respon
Namanya Dian Rismawati, ketua IPPNU yang tiap kali foto, selalu berharap hasil jepretannya tidak nampak gemuk. Memang, sebenarnya kawan saya ini badannya proporsional, hanya, akan terlihat gembil jika difoto dari sudut-sudut tertentu.

Oke, lupakan soal itu. Saya mau bercerita kisah yang membuat barusan saya tertawa. Begini ceritanya.

Tiap kali ada hari-hari penting, atau, tiap ada pengumuman, kami sebagai pengurus organisasi selalu membuat konten ucapan melalui grafis. Untuk urusan ini biasanya digarap kalau tidak saya, ya Zilin. 

Sebetulnya saya ingin membuat ucapan grafis seperti biasa, dengan template yang sudah saya biasa pakai, namun, Zilin yang kebetulan bakda maghrib tadi ke rumah saya, memperlihatkan kalau ia sedang bikin grafis ucapan Idul Adha. Baguslah, saya tidak perlu repot-repot membuat.

Setelah grafis itu selesai, Zilin mengirim hasilnya ke saya dan menyuruh untuk mengunggahnya di grub wasap. Wasap masuk dari zilin, dan saya lihatlah hasil grafisnya: sebuah ucapan Selamat Idul Adha didampingi foto Marzuqon dan Dian selaku ketua. Begini fotonya.



Sebagai seorang yang ehm, cukup mengenal Dian, saya punya firasat kalau Dian bakal tidak puas dengan foto dirinya di grafis tersebut. Japrilah saya dengan kawan saya ini. Apakah mau ganti foto? Mumpung saya belum mengunggahnya.

Ternyata, pertanyaan ini membuat saya jadi tahu, terpampangnya wajah Dian di sana, terselip banyak drama merepotkan dan membuatnya kesal, begitu katanya. Sudah, biar kebih jelas beginilah screenshot percakapannya. Saya ngakak. 



Usut punya usut, Dian kesal karena ia sudah foto banyak sekali dan tidak ada satupun yang diterima Zilin. Tiap kali Dian mengirim foto lewat wasap ke Zilin, selalu saja disuruh ngulang karena Zilin kesulitan mengedit. Sampai-sampai, foto-fotonya sampai puluhan ini. Hahaha.


Banyak sekali bukan? Wkwk

Tapi dipikir-pikir, kenapa perlu ada foto Dian sih di grafisnya. Mengapa gak foto sapi atau kambing saja, kan Idul Adha identik dengan kurban. 

Gara-gara itu, saya tidak tega mengunggahnya. Dan malah menyuruh balik Zilin. Yo bagaimana ya, saya tahu, di foto itu Dian tidak terlihat cantik. Dan biasanya, bisa uring-uringan tuh dia. Dan benar, grafis itu sudah menyebar dan menjadi story rekan-rekanita.

Kalau sudah demikian, saya hanya bisa ngalem. Dian Rismawati, kamu cantik kok. Tenan lho. Senyum dong, jangan kesal lagi.

Share
Tweet
Pin
Share
1 Respon

Lucu juga untuk menceritakan kisah barusan. Ketika saya sedang makan mendoan sebelum nyemplung di Black Canyon, saya menjumpai seseorang mirip kawan saya melintas melewati pintu masuk dan lalu parkir. Saya agak cukup lama untuk memastikan apakah ia memang kawan saya. Secara, seseorang yang saya duga teman saya itu agak lebih tinggi dari yang saya kenal sebelumnya, dan juga lebih besar. Namanya Adi, atau kalau sewaktu SMP dulu sering dipanggil dengan sebutan Cartam.

Saya sempat berpikir untuk memanggilnya dengan lantang, namun segera saya batalkan setelah muncul keraguan, "Bagaimana kalau salah orang?" Begitu kalimat yang muncul dalam hati saya. 

Seusai muncul keraguan itu, saya tidak ada niatan lagi untuk memastikan apakah ia memang benar kawan saya atau bukan. Bagi yang tidak tahu, saya dan seseorang yang saya duga kawan saya itu dulu pernah satu sekolah sewaktu SMP, jadi tentu ada pemakluman kalau saya harus berpikir dua kali memastikan.

Namun sialnya, saya kembali menjumpai di tepi kali, beberapa meter sebelum spot pemandian sesungguhnya. Ia di depan saya; ada perasaan tidak enak kalau saya melewatinya begitu saja tanpa berusaha menyapa. Bayangkan kalau memang ia betulan kawan saya, bisa-bisa dicap sebagai teman yang sombong bukan.

Akhirnya mau tak mau saya harus mencoba memanggilnya, jarak kami bisa dikatakan dekat sekali, saya hanya dua meter di belakangnya. Sayangnya, usaha saya sia-sia, barangkali juga karena suara yang saya keluarkan ragu-ragu sehingga terdengar samar. Ketika itu, kebetulan di samping saya ada Dian. Dian yang sudah saya beri tahu sebelumnya akan keraguan soal hal ini, seperti memahami situasi saya. Akhirnya saya disuruh untuk memanggilnya lagi, katanya: panggil saja Diiii… Diiii… kalau memang tidak menoleh, kamu pura-pura panggil saya, jadi Diiii Diiiii Diiiiaaaaan. Sungguh ide bagus, saya melakukannya, sayangnya, ia tidak kunjung menoleh. Akhirnya saya simpukan, fix, ini bukan kawan SMP saya dulu.

Maka tidak ada yang perlu ditakutkan ketika saya mendahuluinya dalam berjalan. Maklum saja, seseorang ini berdua bersama pacarnya, jadi jelas sekali mereka menapaki tiap pijakan kaki dengan penuh rasa puitis sehingga menjadi lambat. Dan nampaknya juga memang mereka beneran ingin berenang karena yang perempuan sudah memakai pelampung di badannya. Duh, menyenangkannya memiliki pacar.

Sekalipun saya sudah memastikan ia bukan kawan saya, setelah melewatinya beberapa langkah, saya mencoba menengok dan melihatnya sekali lagi. Mencoba memberi kesempatan baginya untuk mengenali wajah saya, barangkali ia mengenal. Dan akhirnya, "Eh, Anam, di sini ternyata, sama siapa?" Ia menghampiri saya dan mengulur tangan mencoba menjabat. Ia benar-benar kawan saya. Saya langsung penuhi jabatannya dan hanya tertawa, "Kamu tau gak, dari tadi kamu saya panggil, saya kira salah orang, ternyata bener kamu Di. Owalah. Apa kabar Di."

Dan diantara pacarnya, saya seperti iblis yang menjelma sebagai orang ketiga diantara mereka. Kami berjalan bersama menuju spot mandi yang tinggal beberapa langkah lagi. 

Lama lama ngobrol, berkenalanlah saya dengan pacarnya, namanya Marina, yang ternyata hanya tetangga sebelah. Lumayan cantik. Anehnya, tanpa sadar, babak selanjutnya justru saya habiskan untuk menemani mereka pacaran. Agak sialan memang, namun karena masih seorang kawan, yasudah tak mengapa, lagipula saya butuh asupan demikian untuk motivasi saya agar bisa melakukan hal yang sama: beruwuwuwuwu. 

Jika dipikir-pikir, menggelikan juga melihat orang pacaran ya. Adi, yang sudah koloran dan melepas kaos nampak menenggelamkan kakinya di kali yang jernih dan dingin. Begitu pula pacarnya, namun dengan setelan hijab yang masih lengkap. Mereka seperti saling mempersilahkan untuk lebih ke tengah dan masing-masing mereka seperti ogah membasahi sekujur tubuh, alhasil, saya gemas sekali melihat mereka terus mempersilakan diri. Barangkali, nyaris lima menit mereka hanya menenggelamkan sepotong kakinya saja dan hanya berdebat siapa yang mulai ke tengah dahulu. Hingga satu momen membuat saya lebih geli lagi, ketika yang wanita memercikkan air ke wajah Adi dan dibalas pula olehnya dengan sambaran yang sama, jadilah saya dipertontonkan keuwuwuwan yang, ah sialan. 




Share
Tweet
Pin
Share
No Respon

Kawanku yang bernama K, tidak mampu menyembunyikan kebahagiaan dapat memacari perempuan yang memang menjadi idola kami, sebut saja namanya R.

Suatu kali, sehabis kencan, K bertemu saya. Dari wajahnya, nampak sekali ada raut kegembiraan yang tidak dibuat-buat. Dan sepertinya ia akan bercerita suatu hal. Saya, yang melihat gelagat itu, langsung membuka percakapan.

"Wajahmu bahagia banget, habis dicipok pacarmu po?" 

"Huz, kalo ngomong itu mbok dipikir. Aku ki cah baik-baik og."

"Ha terus ngopo bahagia ngunu?"

"Tak ceritani, mau ki pacarku aweh parfum, makane aku seneng banget. Piye, uwuwuwuwu tho. Opo koe rapingin?"

Saya, yang memang tidak pernah merasakan keuwuwuwuan semacam itu, hanya bisa menanggapi dengan sinis.

"Ngunu tho. Ancen tah, wangi-wangian ndue daya kenangan sing kuat tinimbang visual. Tapi emange kowe ngerti, opo filosofi nek cewek aweh parfum pacare?"

K diam sebentar, lalu otaknya mencoba mencari kira-kira jawabannya. Seperti tidak menemukan, K dengan penasaran menyahut, "Ejiyad, Ono filosofine nopo yo. Opo jal?"

Saya menarik nafas kuat-kuat, "Nek cewek aweh parfum, Kuwi artine … … … … … …."

"Artine opo?"

"Kowe mambu."

"Owalah cah asu."

Saya langsung lari.

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon

Hari ini adalah hari yang saya tunggu, seharusnya tadi malam. Hari dimana saya mencapai satu ketenangan di titik tertentu. Dan titik itu adalah titik di mana saya seperti punya keringanan untuk memulai menjejaki sesuatu yang baru. 

Ketenangan ini muncul setelah saya melawati beberapa fase hidup --untuk tidak disebut sebagai fase dramatis. Setidaknya ada dua hal sederhana yang baru saja saya lewati. Pertama, saya sudah menyelesaikan pembelian online dan semuanya kini sudah dalam proses. Percayalah, itu salah satu hal yang patut dirayakannya karena memang beban nyandang online itu sudah terpikirkan sejak lama. Kedua, saya dapat rejeki di luar dugaan. 14 Mei kemarin uang intensif prakerja senilai 600.000 cair. Dan di hari kemarin, saya dapat THR dari majelis taklim 500.000. Tentu uang sejuta dalam seminggu ini menjadi angin segar setelah lama tak pegang uang sebanyak itu tiga bulan terakhir. Dan mungkin tak lama honor jaga posko senilai 200.000-an cair setelah di awal puasa lebih dulu mendapat uang snack 120.000. Rejeki-rejeki itu, tak pernah terbayangkan oleh saya dan datang begitu saja di waktu yang tepat. Saya jadi semakin percaya, Tuhan akan memberi rejeki seorang hamba sesuai kebutuhannya. Jelas, saya butuh semua itu terlebih menjelang lebaran saat ini.

Pada akhirnya sampailah saya untuk menulis hal ini. Sudah lama memang saya tidak sempat menulis karena memikirkannya banyak hal --yang saya sadari kini kenapa saya pikir juga. Sebetulnya tadi malam saya ingin menulis kelegaan ini dan memulai menapaki satu hal lain yang seru, namun ketika saya mengatur ketenangan sebentar sebelum memuntahkan kelagaan, saya tertidur. Saya baru menulis ini sekarang. 

Ah, menulis. Tiga tahun lalu di waktu yang sama, saya melakukan hal ini untuk kali pertama dan belajar benar-benar dari nol. Tak terasa berjalannya waktu, toh saya bisa sampai tahap ini. Betul-betul ada nilai dari sebuah perjalanan. Sesuatu yang akan terjadi pada hal lain jika saya mengulangnya kembali: tekun dan konsisten.

Apa langkah selanjutnya? Saya sudah ingin mengambil kelas programming beberapa hari belakangan. Namun karena bingung soal laptop, juga keresahan oleh suatu hal, saya menundanya sampai saya bisa tenang. Kini, saya sudah menemukan ketenangan itu dan akan mengambilnya kelas programming pemula saat ini juga. Masalah laptop, mungkin bisa dipikir nanti, saya bisa meminjamkan teman untuk beberapa hari.

Masalah laptop memang cukup rumit untuk saya pusingkan. Tadi malam saya menyinggung Marzuqon soal harga laptop miliknya, fantastis, harganya 8 juta. Saya kira hanya kisaran 3 jutaan. Bertanya soal hal itu tentu karena saya juga ingin punya barang itu. Sudah lama saya menginginkan sebuah laptop, andai saya bekerja secara normal, mungkin sekarang saya sudah punya sekalipun yang murah. Sebetulnya saya pernah membeli laptop dengan harga yang murah, hanya 650.000, tapi riwayatnya hanya sampai tiga bulan. Performa laptop mulai menurun dan akhirnya mati perlahan. Saya sempat mencoba membongkar dan memperbaikinya dengan mengikuti panduan di YouTube, namun fatal, saya malah mematahkan bagian-bagian penting dan akhirnya justru bertambah rusak.  

Saya yakin kelak saya punya laptop, bagaimanapun caranya. Yang paling saya yakini adalah kelak di suatu hari saya dapat hadiah lumayan besar entah dari mana. Ya, jelas saya ngarep. Tidak masalah bukan. Banyak hal dalam hidup saya terjadi karena keyakinan, prakerja misalnya.

Sebetulnya pertanyaan besar dalam diri saya sekarang adalah mau apa saya setelah lebaran ini. Pertanyaan ini sungguh berbobot dan sentimentil. Hingga saat inipun saya belum kunjung mendapatkan jawaban. Namun jelas, titik besarannya adalah pada pekerjaan. Mau bekerja apa saya sehabis lebaran?

Sungguh saya tidak ingin bekerja dengan mas We lagi, bukan tanpa alasan, tiga bulan belakangan sudah cukup untuk membuat saya berhenti. Lantas pekerjaan apa, saya belum tahu. Menjahit juga tidak mungkin, saya sudah menasbihkan diri untuk tidak menjadi penjahit. Orang sesombong saya, yang maunya seenaknya, memang sulit mendapat pekerjaan ideal. Namun paling tidak, harus ada hal baru yang harus dicicipi sehabis lebaran nanti. Apa saja. 

Ketertarikan saya sebenarnya adalah di bidang IT, informasi dan teknologi. Rasanya itulah jiwa saya, hanya, belum diasah sama sekali. Saya menyukai hal yang berurusan dengan data, juga hal berkaitan dengan komputer. Namun untuk sampai bekerja di bidang itu, butuh kualifikasi yang mendetail.

Saya malah berpikir bagaimana saya bisa dapat uang meski di rumah saja. Hal demikian sudah banyak di lingkungan saya, namun yang bersinggungan dengan pekerjaan teknologi, rasanya belum ada. 

Jika melihat peluang yang ada, menjadi blogger pilihan yang taktis. Blogger 24 jam. Kelihatannya menarik. Tentu syaratnya saya harus rajin menulis dan membaca dunia. Saya punya kemampuan dasar menulis dan sebentar lagi akan mempelajari dasar programming. Sesuatu yang saya banget. Di tengah kebingungan saya mencari jati diri, blogger bisa menjadi pilihan menjanjikannya. Syaratnya saya serius menulis dan menghiraukan anggapan umum. Sudah saatnya jiwa saya diberi keleluasaan bergerak. Merdeka dalam bertindak.

Saya ingin memulainya detik ini. Memulai menapaki jalan baru. Memang saya tidak tahu bakal bagaimana nasib ke depan, namun kepercayaan diri yang saya miliki sekarang, setidaknya mampu menguatkan pilihan yang saya ambil bagaimanapun risikonya. Kapan lagi saya ambil keputusan.

Saya kembali. Bismillahirrahmanirrahim.




(17 Mei 2020, ditulis dalam sekali jadi)

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon

Sabtu maghrib kemarin, ketika rinai hujan berdentuman di atap-atap rumah, oleh undangan pribadi Eko melalui grub, kami disuruh kumpul, semula di rumah saya, namun akhirnya berganti di rumah Eni.

Ini adalah pertemuan yang akhirnya terjadi setelah dua kali janji, Eko mengingkari dengan alasan, pertama, ketika hari Rabu, hujan turun, dan ketika kamis, sebab tradisi tahlilan setiap malam Jumat maka dibatalkan.

Jalanan sore itu sebetulnya sudah basah, namun yang menyebabkan perjalanan ini akhirnya terjadi adalah karena Dian sudah dandan cantik dan sudah stay di rumah Eni sejak siang, jika digagalkan, lalu berapa harga bedak dan lipstik untuk menggantinya.

Hujan mereda tepat sehabis maghrib, kami bergegas berangkat menuju sebuah tempat langganan Aji dan Bahul sehabis sholat jamaah yang kala itu, imamnya lupa melakukan tahiyat awal dan menggantinya dengan sujud sahwi.

Ada penipuan terselubung sebetulnya dalam acara makan-makan enak kali itu yang ditutupi Eko dengan alasan yang, yah... lumayan masuk akal. Eko memang paling ntritil dan ekspresif menginisiasi acara perbadogan ini, ia bilang mumpung masih ada diskon dalam rangka HUT Pekalongan di tempat itu.

Siang hari sebelumnya, tumben-tumbennya Dian menjapri saya. Ia menanyakan siapa yang akan dan sudah ulang tahun dalam waktu dekat. Ternyata, di rumahnya Eni, bersama Susti dan entah siapa lagi, barangkali karena gabut karena corona, mereka membuat tumpukan snack ringan yang disusun menjadi seperti kue ulang tahun.

Seusai menandaskan makan-makan, kue kw itu akhirnya disodorkan ke tiga kawan bersangkutan dengan lilin yang menyala tenang. Ditiupnya api itu dengan cengengesan. Selamat ulang tahun, begitu kami mengucapkan sebagai pantas-pantas.

Sesaat sebelum pulang, itulah akhirnya saya menemukan semua kepingan-kepingan puzzle dan menyusunnya dengan lengkap. Eko dan Bahul, maju menuju kasir. Jelas sudah, ini adalah pembohongan besar. Makan-makan ini bukan slametannya kota Pekalongan, tapi slametannya mereka yang baru-baru ini ulang tahun.

Semoga ini bukan langkah taktis mereka untuk menciptakan tradisi kalau ultah harus makan-makan. Repot.




Bonus

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon

Ayub mengayuh sepeda seperti biasa. Sebab ia selalu berangkat lebih awal dari teman-temannya, Ayub bersepeda dengan santai. Pagi ini, Ayub mengayuh seperti tanpa beban.

Dua menit berlalu, Ayub mulai keluar dari gang desa. Jalan raya yang akan dilaluinya sekarang merupakan jalan kabupaten. Sekalipun begitu, tidak bakal ada kemacetan sebab memang daerah ini bukan titik keramaian.

Perjalanan menuju sekolahannya merupakan perjalanan yang menyenangkan untuk dilalui. Hamparan sawah dan jajaran tebu menghiasi samping-samping jalan. Jika beruntung, Ayub berkesempatan menyaksikan kemunculan matahari dari balik pepohonan nan jauh di sana, yang kemudian akan menciptakan bayangan dirinya dan sepeda di samping kanannya. Atau, Ayub akan terkesima melihat gunung Slamet jika kabut tidak menutupi.

Jalanan pagi di kota ini memang asri. Itu karena kecamatan ini merupakan kaki dataran tinggi. Jika ada yang akan ke sana, di kecamatan inilah tanjakan permulaannya.

Enam menit mengayuh di jalanan yang datar, Ayub sampai di desa K. Setelah melewati kantor polisi yang nyaris selalu sepi, Ayub memasuki babak baru perjalanan sepedanya: jalanan menanjak yang akan cukup membuatnya berkeringat.

Ayub terus mengayuh santai, dijumpainya lalu-lintas yang mulai meramai. Ayub kadang iri dan kasihan ketika berpapasan dengan serombongan siswa dari arah berlawanan. Betapa menyenangkannya berangkat sekolah dengan berseluncur dan tak khawatir terlambat sekolah. Dan betapa payahnya pulang sekolah melintasi jalanan tanjakan sementara matahari di atas kepala-kepala mereka. Ayub jelas tak bisa membayangkan.

Beberapa menit kemudian Ayub sampai di perempatan kecamatan. Di sinilah biasanya ia bertemu dengan Bayu dari arah Barat, tapi kali ini, ia tidak kebetulan menjumpai. Karena ini di persimpangan, jalanan akan lebih ramai dan warna-warni. Dan biasanya pula, setelah itu Ayub akan menjumpai bus yang melintas dari arah Selatan menuju Barat. Ayub kadang membayangkan, andaikan jalur bus dibalik, ia tak perlu repot mengayuh sepeda.

Jalanan menuju sekolahannya memang menanjak, tapi tanjakannya masih bisa ramah untuk dilalui sepeda. Tiap akhir pekan, banyak komunitas sepeda yang menghiasi jalanan ini.

Ayub benar-benar menikmati perjalanan berangkatnya pagi ini, tapi kepanikan muncul ketika Ayub sampai di parkiran sekolah. Ia tidak mendapati tas di keranjangnya. Tanpa pikir panjang, Ayub membalikkan sepeda, mengayuhnya dengan gugup dan gesit, melewati gerbang sekolah, dan menuruni jalanan yang panjang. Ia tak sempat menjawab ketika teman-teman yang dijumpainya di jalan bertanya, "kenapa balik?" 

Ayub, sekalipun di turunan, ia tetap menggenjot pedal agar semakin kuat terkayuh. Keringat mengucur deras. Sampai di rumah, ia dapati tasnya di depan pintu. 

Ayub tak bisa membayangkan bagaimana mengulangi perjalanannya lagi. Melihat waktu yang tersisa, ia pasti terlambat. Dengan berat hati, ia mengayuh sepeda, lagi. Matahari sudah perlahan meninggi dan akan sukses menyorot tubuhnya sepanjang jalan. Namun bagaimana lagi, kecerobohan kecil yang mengesalkan ini harus dilalui.

*****

Ayub tidak terlambat. Ayub sampai di sekolah tepat ketika bel masuk berbunyi. Saat beberapa meter keluarnya ia dari gang desa, sepotong kaki kiri panjang mendorong bagian belakang boncengannya. Itu adalah Buya, tetangganya yang sekolah di SMA. Dengan motor bebeknya, Buya menyetep Batu melewati jalan tanjakan sampai sekolahan.

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon

[DISCLAIMER: BIOGRAFI INI BELUM FINAL. UPDATE per 20 Maret 2025, penulis mendapat masukan adanya kemungkinan kekeliruan. Tulisan ini masih perlu banyak referensi untuk penyempurnaan. Penulis dan tim sedang mencoba untuk mencari referensi yang lebih mendalam untuk menyempurnakan penulisan biografi ini. Terimakasih]

1. Biografi KH Wasi'in bin Wasadi

KH. Wasi'in lahir pada tanggal 25 September 1954 di dukuh Talok, desa Sidorejo, kecamatan Warungasem, Kabupaten Batang. Beliau wafat pada 10 April 2010 diumur 55 tahun dan dimakamkan di pemakaman umum Dukuh Rowobulus Lor, Kebonrowopucang.

Lahir dari keluarga yang cukup agamis, KH. Wasi'in semasa kecil sudah mulai mendapat pelajaran dasar agama. Wasadi, ayahnya merupakan orang yang cukup aktif dalam masyarakat.

Secara formal, KH. Wasi'in memulai pendidikan dasarnya di MI Sidorejo, Warungasem. 6 tahun menempuh pendidikan dasar, beliau kemudian melanjutkan pendidikan jenjang berikutnya. Tak tanggung-tanggung, beliau langsung di kirim ke Demak untuk melanjutkan sekolah di MTs Futhuhiyyah Mranggen sekaligus untuk mendalami ilmu agama.

MTs Futhuhiyyah merupakan sekolah yang masih satu yayasan dengan Pondok Pesantren Futhuhiyyah Mranggen, tempat beliau mondok. Pesantren itu beralamat di dusun Suburan Barat, Desa Mranggen, kecamatan Mranggen, kabupaten Demak.

Sepulangnya dari mondok, pada sekitar tahun 1975 atau ketika beliau berusia 21 tahun, KH. Wasi'in muda sudah dijodohkan dengan gadis belia bernama Kholipah yang 6 tahun lebih muda darinya. Gadis asal Rowobulus Tengah desa Kebonrowopucang kecamatan Kedungwuni Timur Kab. Pekalongan (Sekarang kecamatan Karangdadap). Kelak, di desa inilah sang kyai mengabdikan dirinya dalam membangun perubahan dalam masyarakat.

Dari pernikahannya dengan Hj. Kholipah, beliau dikaruniai 8 anak yang terdiri dari 5 perempuan dan 3 laki-laki. Kedelapan anak tersebut adalah Furqon Hakim, Nok Zubaidah, Amat Muthohar, Nur Lazimah, Muhammad Hanif, Khotimatus Sholehah, Farikhatis Salamah, dan Risqia Fitriyani.


2. Kepiawaian KH. Wasi'in Berdakwah

Memiliki cukup pengetahuan dan ilmu menjadikan KH. Wasi'in merasa punya tanggung jawab untuk mengabdi dalam masyarakat. Dengan perlahan, KH. Wasi'in memulai kajian-kajian agama. Beberapa diantaranya kajian itu langgeng sampai saat ini.

Misalnya adalah ngaji Senin Kamis. Sesuai namanya, Ngaji Senin Kamis dilakukan di musholla setiap Sore di hari Senin dan Kamis. Ngaji yang diperuntukkan bagi ibu-ibu ini bersifat ngaji kuping, di mana beliau membaca kitab dan jama'ah tinggal mendengarkan. Contoh lainnya adalah kegiatan nariyahan yang dilakukan setiap malam Kamis.

Bukan hal mudah KH. Wasi'in memulai serangkaian kegiatan itu. Banyak omongan yang datang meskipun tak secara langsung diutarakan di depan beliau. Kebanyakan menganggap KH. Wasi'in belum pantas melakukan itu sebab dirinya hanyalah seorang pendatang. Bahkan, beberapa orang merasa iri dan dengki sebab eksistensinya kalah dari beliau.

Namun begitu, KH. Wasi'in tetap sabar dan santai menghadapi berbagai omongan. Hal itu dibuktikan dengan ketekunan dan keikhlasan beliau yang secara konsisten melanjutkan pengajaran keagamaan di masyarakat.

Perlahan demi perlahan perjuangan beliau diakui. Beliau kemudian begitu dicintai dan dihargai masyarakat. Masyarakat menaruh takdzim padanya. Tak heran jika kemudian beliau menjadi rujukan atas permasalahan umat yang dihadapi.

Selain tekun dan sabar dalam mengayomi umat, beliau juga terkenal piawai dalam menyelesaikan berbagai masalah.


3. Kepedulian KH Wasi'in pada Pendidikan

Salah satu pemikiran terbesar dalam hidup beliau adalah soal pendidikan. Pendidikan menjadi pilar penting dalam peradaban sebuah bangsa. Inilah yang menjadi perhatian besar beliau.

Pada tahun 6 Februari 1998, beliau mendirikan Majelis Taklim Sabilul Huda yang terletak hanya beberapa meter tak jauh dari rumahnya. Sesuai namanya, majlis taklim diperuntukkan sebagai tempat belajar agama Islam.

Terdapat dua pengajaran di majlis ta'lim tersebut, yaitu TPQ dan Madrasah Diniyah (Madin). TPQ sebagai pembelajaran membaca Qur'an dilakukan sehabis sholat Maghrib. Sedangkan Madin dilakukan sore hari dengan pembelajaran dari kitab-kitab dasar.

Pada awal pendiriannya, antusias anak-anak untuk mengaji begitu besar. Santri bukan saja mencakup dari warga Rowobulus Tengah saja, melainkan dukuh lain seperti Rowobulus Wetan, Bontotan Kaum, Rowobulus Lor, dan dukuh lain. Perlu diakui, majlis ta'lim ini berpengaruh besar terhadap peradaban warga sekitar.

Selain mendirikan Majelis Taklim, beliau juga memiliki andil dalam pembentukan Sekolah Lanjut Tingkat Pertama (SLTP) NU Karangdadap / SMP NU Karangdadap.
Tahun 2002 ketika terdapat program bantuan unit sekolah baru (USB) sekolah negeri atau swasta dari Bank Dunia dalam bentuk Block Grant melalui instansi Dinas Pendidikan Jawa Tengah, pengurus MWC dan aktivis NU akhirnya ingin mengajukan bantuan.

Setelah dipelajari, tenyata harus ada yang dipenuhi sebagai syarat. Syarat tersebut adalah harus memiliki tanah yang tidak terpisah seluas 5000 meter persegi. Dan menggunakan yayasan yang sudah beroperasi 5 tahun lebih.

Pada syarat pertama, setelah MWC NU Karangdadap, Banom NU, dan aktivis NU berhasil berkordinasi. Akhirnya kepala desa Karangdadap pada waktu itu (Bpk Saifullah S.Ag) bersedia menukar guling tanah bengkok seluas 7660 meter persegi dengan tanah yang harus disediakan oleh MWC NU Karangdadap.

Pada syarat kedua mengenai yayasan yang akan menanungi sekolah nantinya, para aktivas kemudian sowan ke KH. Wasi'in yang kala itu sebagai Syuriah NU. Akhirnya beliau menyarankan agar yayasan yang menanungi tersebut ialah LP Ma'arif NU Kabupaten. Beliau juga menyarankan nama sekolah antara SMP NU Karangdadap atau MTs NU Karangdadap.

Selanjutnya KH. Wasi'in bersama kyai dan tokoh lain berkunjung ke PCNU kala itu (KH. Saiful Bahri) serta ke LP Ma'arif NU Kabupaten Pekalongan (Bapak Khotim Muhammad). Diputuskanlah yayasan yang diajukan adalah LP Ma'arif NU Kabupaten Pekalongan.

Para kyai dan tokoh juga kemudian berkunjung ke salah seorang tokoh masyarakat Pekalongan yaitu Drs. H Bisri Romli, MM. Bisri Romli kemudian berkordinasi dengan Bupati, Ahmad Antono. Singkat cerita, terjalinlah sebuah MOU (perjanjian bersama) antara Pemkab dan LP Ma'arif NU. Isi MOU tersebut berisi bahwa Bantuan Block Grant dari Bank Dunia diberikan kepada MWC NU Karangdadap dengan nama SLTP NU Karangdadap.

Puncaknya, SLTP NU Karangdadap (SMP NU Karangdadap) diresmikan pada 31 Desember 2003 oleh Gubernur Jateng waktu itu, H Mardiyanto.

4. Kiprah beliau dalam memajukan NU

Semasa kedatangan KH. Wasi'in di Kebonrowopucang, kondisi sosial-budaya masyarakat Kebonrowopucang belum tertata secara rapih. Memang sudah ada NU, namun hanya bersifat kultural, belum struktural.

Kiprah beliau dalam NU dilakukan tahun 1980-an. Di desa tempat ia tinggal di Kebonrowopucang, beliau hadir sebagai tokoh kyai muda yang segar dan banyak pemikiran. Semasa itu, kemasan kegiatan keagamaannya masih dilakukan secara berkelompok di tiap dukuh. Belum ada sistem kegiatan yang terpusat.

Sebelum kehadiran KH Wasi'in, Kebonrowopucang memiliki Kyai Abdurrozaq (kyai Durojak) yang memiliki pengaruh di masyarakat. Kyai Durojak merupakan satu-satunya tokoh rujukan masyarakat waktu itu.

Beberapa tokoh kyai yang ada saat itu adalah Kyai Mukri, kyai Abdul Halim, Kyai Harun, Kyai Achmad Showy, dan kyai Abu Bakar. Seiring berjalan waktu tokoh-tokoh tersebut kemudian wafat.

Ringkas kata, beliau mampu mengorganisir NU di Kebonrowopucang. Melihat pemikirannya, masyarakat kemudian mempercayakan kepengurusan NU kepada beliau. Ia kemudian ditunjuk menjadi Syuriah Ranting.

Diantara yang menjadi kegiatan organisasi NU waktu itu ialah ngaji keliling dari satu dukuh ke dukuh lain. Beliau juga mengadakan batsul matsail setiap pertemuan NU. Dalam melakukan perjuangan itu, tentu ia tak sendiri. Salah satu yang selalu mendampingi perjalanan beliau adalah Bapak Rusdin Bakrie. Seorang murid sekaligus teman curhat yang selalu sedia memijati beliau ketika lelah.

Soal keuangan organisasi NU, Bapak Rusdin waktu itu banyak meminta bantuan kepada rekan-rekannya yang bekerja di Jakarta. Di sana, kelompok pekerja Kebonrowopucang di Jakarta memiliki perkumpulan sendiri bernama PWKJ (Paguyuban Warga Kebonrowopucang di Jakarta).

Tak hanya berkiprah di ranah Ranting saja, beliau juga berperan di kepengurusan MWC NU Karangdadap. Dalam kepengurusan di MWC, beliau menjadi kyai muda diantara kyai-kyai yang lebih senior, diantaranya Kyai Syansuri, KH Fasani, Kyai Sholyak, Kyai Sahal, Kyai Makmun Anwar, kyai Harun Ilyas, Kyai Mukri, Kyai Thohir, Kyai Kalyubi, Kyai Alwi, Kyai Achmad Showy, dan kyai Hasanuddin.

Sebab memilik pengalaman berorganisasi yang sangat luas, tak heran KH Wasi'in selalu terpilih menjadi pengurus dalam setiap Konferensi. Menurut Pak Khoirun Mukri, saat beliau aktif di IPNU PAC Karangdadap tahun 1993, Rois Syuriah MWC NU Karangdadap selalu diduduki beliau.

Dalam setiap kesempatan berbicara, KH Wasi'in selalu mengutarakan keinginannya untuk mendirikan Gedung sekretariat MWC NU agar seperti MWC lain. Ya, meski desa Karangdadap dan sekitarnya tempo itu masih menjadi bagian dari Kedungwuni Timur, namun melihat fakta yang ada, MWC Karangdadap dan organisasi lain di tahun itu sudah menamakan diri menjadi PAC, termasuk IPNU. Hingga pada tanggal 25 Agustus 2000, kecamatan Karangdadap resmi berdiri dan berpisah dari kecamatan Kedungwuni.

Peran besar perjuangan MWC NU kala itu adalah mendirikan sekolah SMP NU Karangdadap pada tahun 2003. Gedung MWC NU sendiri baru berdiri tahun 2011.


5. Keteladanan KH Wasi'in

KH Wasi'in merupakan kyai yang rendah hati dan punya visi yang jauh dalam berdakwah. Perjuangannya dalam memajukan pendidikan tak diragukan lagi.
Beliau juga selalu ikhlas dan sabar dalam mengayomi masyarakat. Suatu kali beliau sedang sakit dan waktu bersamaan ada kegiatan NU. Beliau bilang ke Pak Rusdin untuk tidak ikut, namun waktu itu Pak Rusdin membujuk agar beliau tetap hadir. KH Wasi'in pun menyanggupi asal dirinya dipijat selama kegiatan berlangsung.

Beliau juga dikenal sebagai orang yang tahu banyak permasalahan. Tak heran kemudian banyak orang meminta solusi kepadanya. Menurut Pak Rusdin, Pak Yai memiliki kepiawaian dalam menyelesaikan masalah. Beliau tegas jika melihat ada sebuah kesalahan, namun begitu beliau selalu memberi saran jalan keluar.

Pada 10 April 2010 menjadi hari duka bagi masyarakat Kebonrowopucang dan kecamatan Karangdadap. KH Wasi'in wafat pada usia 55 tahun. Masyarakat kehilangan tokoh pengayom yang begitu santun dan sabar.

Meski beliau wafat, beberapa peninggalannya masih langgeng sampai saat ini. Misalnya Majelis Taklim Sabilul Huda yang sekarang masih menjadi tempat anak-anak memperoleh pendidikan keagamaan.

Kegiatan yang pernah dilakukan beliau juga masih bertahan sampai sekarang. Ngaji Senin Kamis diteruskan oleh anaknya, Ustadz Furqon Hakim yang juga menjadi Syuriah di Ranting Kebonrowopucang. Ngaji pagi setiap Ahad dan Rabu di Musholla Sabilul Huda juga masih berjalan, jika dulu diisi Kyai Achmad Showy, sekarang diteruskan oleh Kyai Amin Abdurrozaq. Begitu pula Nariyahan setiap malam Kamis, rutinan sejak dulu itu juga masih berlanjut dan diteruskan oleh Ustadz Turmudhi. Kegiatan ngaji setiap malam Sabtu di Masjid dan Kegiatan Maulid Kangzus Sholawat yang pernah digagasnya masih tetap eksis. Termasuk pengajian keliling di dukuh Rowobulus Wetan, kegiatan itu juga terinspirasi dari apa yang dilakukan KH Wasi'in semasa hidup.

Beliau bukan saja Kyai yang mengayomi masyarakat, namun pemikiran-pemikiran beliau juga masih terus dipegang sampai saat ini.



*****

Sumber :

1. Bapak Rusdin Bakrie, santri sekaligus sahabat KH Wasi'in yang senantiasa mendampingi beliau semasa hidup dan kini menjadi Tanfidziah NU Ranting Kebonrowopucang

2. Bapak Ustad Furqon Hakim, Putra KH Wasi'in, penerus perjuangan ayahandanya dalam mengajar agama dan mengasuh majlis ta'lim Sabilul Huda. Kini, menjadi ketua Syuriah NU Ranting Kebonrowopucang.

3. Hj. Kholipah, istri KH Wasi'in bin Wasadi.

4. Tulisan-tulisan Bapak Khoirun Mukri, guru saya, di blog pribadi dan blog MWC NU Karangdadap. Beliau, sekretaris MWC NU Karangdadap.

Demikian tulisan biografi ini dibuat. Sebelumnya, tulisan ini pernah diikutkan dalam lomba menulis biografi tokoh yang diadakan PC IPNU IPPNU dalam Porseni di Tirto dan mendapat juara 2. Namun begitu, tulisan ini masih mungkin adanya perubahan dan penyempurnaan, terlebih data dan narasumber yang belum banyak dan lengkap. Dan jika pembaca menemukan ketidakpasan atau kesalahan sejarah, mohon untuk segera mengabari kami untuk perbaikan tulisan.

Penulis: Syariful Anam
Share
Tweet
Pin
Share
1 Respon
Jumat malam, 28 Februari 2020, Pimpinan Ranting IPNU IPPNU Kebonrowopucang adakan pembacaan sholawat nariyah.

Beberapa hari sebelum pelaksanaan, hujan sore hari yang biasa mengguyur Pekalongan akhir-akhir ini membuat pengurus ranting akhirnya harus segera memutuskan apakah acara akan diadakan siang hari bakda Jumatan atau malam bakda Isya. Sejak kepengurusan Rekan Marzuqon - Rekanita Dian Rismawati, pertemuan anggota, yang memang masih gabung, selalu diadakan malam hari. Tentu saja ini langkah baru di mana  periode-periode sebelumnya, pertemuan selalu diadakan siang hari. Beberapa alasan kenapa diubah, salah satunya karena beberapa anggota sekolah di negeri yang mana, Jumat masih berangkat.

Semula rekanita Eka Santi, selaku tuan rumah, mengusulkan diadakan siang saja, mengingat hampir belakangan sore sampai malam selalu diguyur hujan. Namun karena mengacu salah satu alasan di atas, juga sebab memang hawanya asiknya malam hari, akhirnya diputuskanlah acara diadakan malam Sabtu, bakda Isya.

Ada sedikit waswas ketika Jumat siang, mendung melintasi langit Karangdadap. Bukan saja mendung, hujan pun mengguyur sorenya. Untungnya tidak seperti kemarin, hujan kali ini intensitasnya rada ringan, sesekali deras sesekali berhenti. Sementara di grub wa, rekanita Eka Santi memamerkan hidangan yang baru dibelinya.

Dalam beberapa menit hujan kembali mengguyur sehabis Maghrib. Sempat mengira hujan akan awet, hujan toh akhirnya berhenti sewaktu Isya. 

Mushola Sabilul Munji, dukuh Tegalsari desa Kebonrowopucang, menjadi tempat berlangsungnya pertemuan anggota yang kali ini akan diisi sholawat nariyah. Biasanya, pertemuan anggota selalu menghadirkan pembicara, terbaru, yaitu bulan lalu di mana KKN yang kebetulan sedang di sini mengisi materi yang mereka kuasai. Kali ini, sebab berada di tengah-tengah hari lahir IPNU IPPNU, maka, sekalian saja diadakan pembacaan nariyah. Sebagai pengingat, IPNU lahir pada 24 Februari 1954 dan saat tulisan ini dibuat, IPNU berumur 66. Sementara IPPNU, yang lahir pada 2 Maret 1955 memperingati hari jadinya ke-65.

Dalam keadaan desa yang sejuk sebab sehabis diguyur hujan, satu per satu rekan rekanita datang. Pukul 20.30, Saya selaku MC, membuka acara. Lagu Indonesia Raya, Mars Syubbanul Wathon, Mars IPNU, dan Mars IPPNU bergantian dilantunkan setelahnya, menggelorakan semangat di malam yang agak dingin.

Rekan Amar, mewakili Sohibul bait, dalam sambutannya mengungkapkan terimakasih atas kehadiran rekan rekanita sekaligus mengungkapkan permohonan maaf bilamana sarana prasarana tidak memuaskan.

Berganti selanjutnya sambutan dari rekan Eko Imaduddin, selaku wakil ketua. Sebetulnya ada ketuanya yang lebih berhak berbicara, namun karena rekan ketua yang akan memimpin pembacaan nariyah, rekan Eko menyanggupi untuk memberi sambutan dengan antusias. 

Dalam sambutannya, rekan Eko Imaduddin menekankan pentingnya menjalin keakraban dalam berorganisasi. "Harlah IPNU ke-66 dan Harlah IPPNU ke-65 ini, harus menjadikan kita lebih bersemangat dalam berorganisasi, harus semakin mensolidkan kita dalam mengabdi di masyarakat secara tulus," ujarnya menggebu-gebu.

Pembacaan nariyah dimulai setelahnya, dipimpin oleh rekan Marzuqon, yang sekaligus ketua IPNU. Acar berjalan khidmat dan tenang.

Melalui daftar hadir, terlihat kehadiran malam ini mencapai 52 orang. 24 dari rekan IPNU, dan 28 dari rekanita IPPNU.


Share
Tweet
Pin
Share
No Respon


Saya menulis ini pada 4 Februari 2020, malam hari, dan dalam perasaan yang sedang kosong. Ini adalah sebuah tulisan spontan saya, tentu, saya tak memikirkan bagus atau tidak sebab yang penting, saya, plong. 

Saya menulis ini berangkat dari keresahan. Saya pikir, sudah cukup lama saya tidak jujur pada diri sendiri, dan menulis, menurut saya, adalah sebuah bentuk kejujuran. Dan berangkat dari itu pula, saya kira, blog ini akan menjadi semacam diary saya. Sebuah perjalanan hidup dengan berbagai variasi perasaan.

Saya tak tahu, malam ini, saya hambar saja. Rasanya rutinitas yang saya lakukan membosankan dan amat monoton. Sehabis isya, saya mencoba melakukan banyak hal yang mungkin bisa membuat saya sedikit tenang. Berkebalikan dari itu, saya justru tambah resah. Saya mencoba membaca buku, mengambil buku paling atas yang saya punya, membacanya beberapa menit, dan bosan. Saya membuka WhatsApp, tak ada chat yang masuk. Saya ingin memulai bercakap lewatnya, tapi pada siapa. Saya beralih melihat story WhatsApp, muak, isinya kebohongan semua. Saya membuka yutub, mencari yang sekiranya bisa membuat saya tertawa, tapi tetap saja tidak bisa. Saya menyalakan tv, tayangannya biasa saja. Tiduran, ah, monoton juga. Ingin menulis cerpen, sudah sejak lama saya mencobanya dan belum bisa juga.

Semuanya membosankan. Dan baru menjelang 11 malam ketika keresahan mencapai puncaknya, saya coba membuka aplikasi radio online, memilih Prambors sebagai salurannya, dan mencoba menikmati siaran dan lagu-lagu yang diputar. Awalnya tak bisa, beberapa kali saya matikan saluran, tetapi keheningan malam membawaku memutarnya lagi. Kali ini saya memaksa diri menikmati.

Bersama lantunan musik malam yang syahdu, hati dan pikiran saya mulai tenang. Dibawanya saya untuk benar-benar tenang, jari saya dengan sendirinya bergairah mencari aplikasi blogger dan menulislah sekarang ini. Saatnya menumpahkan yang terpendam.

Sudah sejak lama saya berada dalam lingkar keresahan yang dalam. Dan keresahan-keresahan ini, saya pikir memiliki pola yang hampir sama. 

Begini, umur saya 20 tahun, dan saya merasa, diumur yang banyak orang bilang produktif ini, saya justru belum menemukan apa yang ingin saya lakukan. Belum banyak hal yang saya mulai, bahkan pada titik parah, mungkin bisa dikatakan saya belum juga mencari. Mencari apa yang saya suka, mencari pengalaman yang banyak, mencari teman yang berkualitas, menemukan lingkup sosial yang sehat, menemukan pekerjaan yang menyenangkan, dan menemukan banyak hal. Saya menyadari, saya terlambat, dan saya, tidak bisa menyalahkan siapa-siapa.

Sebagai seorang anak muda, tentu banyak hal yang ingin saya lakukan, sebagaimana orang lain. Ini mungkin yang membuat saya tidak adil pada diri sendiri, saya, selalu membandingkan diri dengan orang lain, dengan teman-teman saya, yang tentu, mereka memiliki beberapa variabel yang berbeda dalam menjalani hidup.

Saya tak tahu saya ingin membawa tulisan ini ke mana. Yang pasti, saya mengakui saya sedang berada dalam situasi yang dinamakan... krisis mental, mungkin. Posisi di mana saya bingung dengan diri sendiri. Tidak jelas. Saya belum tahu bagaimana formula bangkit dalam posisi ini, tapi yang jelas, satu kejujuran ini cukup membantu menenangkan saya.

Saya seorang yang pemalu, sebetulnya. Tapi semakin bersinggungan dengan orang, terlebih berkomunitas, membuat sifat itu perlahan pudar pudar dan pudar. Sayangnya, kepudaran itu hanya berlaku di lingkungan komunitas itu, tidak di rumah, juga tidak di lingkungan rumah. Jangan heran kalau saya justru tertutup dengan keluarga dan tetangga. Bahkan untuk story wa saja, saya mengecualikan kakak adik untuk melihat, saking pendiamnya. Sebetulnya saya risih juga dengan tindakan saya ini. Saya juga ingin terbuka dengan keluarga, juga dengan tetangga, tetapi kebiasaan yang sudah berlangsung lama ini, juga stereotip yang mungkin sudah melekat dalam diri saya sebagai orang pendiam, membuat saya sulit untuk berubah. Ketimpangan sikap ketika berada di luar dan di dalam inilah yang menjadi keresahan saya. Saya belum bisa membawa sosok aku seutuh dan sebenar-benarnya.

Suatu hal lain yang mengganjal di hati saya salah satunya mengenai sebetulnya apa sih yang ingin saya inginkan. Sejak kecil, dari MI sampai MA, sebetulnya kekhawatiran soal itu selalu muncul. Saya seperti tidak ingin menjadi apa-apa dan siapa-siapa. Saya orang Jawa, dan memiliki impian tinggi bukankah sebuah kebiasaan. 

Di lingkungan saya, mayoritas pekerjaannya ialah sebagai penjahit. Dan disinilah mungkin awal mula keresahan dalam persoalan ini muncul, saya tidak ingin menjadi penjahit. Alasannya cukup kemaki, saya tidak ingin hidup seperti kebanyakan orang. 

Barangkali, saya ialah orang yang tidak realistis dalam memandang kehidupan. Dipikiran saya, saya membayangkan, seusai lulus MA, saya kuliah. Saya terlalu percaya diri dengan kecerdasan yang saya miliki. Saya yakin saja saya bisa kuliah, bagaimanapun jalannya.

Tapi semua bayangan dan harapan itu menjadi omong kosong terlebih ketika sebuah kebodohan menghampiri saya dengan kejamnya. Dijatuhkannya saya serendah-rendahnya, dan inilah masa di mana saya hilang asa, seperti semuanya sudah selesai. Sebuah titik terpuruk paling menyesakkan dada, menjadi manusia yang tidak berguna sama sekali. Kejadian itu yang membuat saya luka pikir dan akhirnya jatuh sakit, sakit berat, hampir dua tahun. Dan itu, membuat saya dari yang terpuruk semakin menjadi terpuruk, dari yang semula menyusahkan bertambah menyusahkan. Saya benar-benar kehilangan kepercayaan diri. Hilang harga diri. Saya mengasihi diri. Memendam dendam pada nasib buruk. Membenci semuanya. Tak ada yang mengerti perasaanku.

Di saat yang lain memulai membangun kesuksesan mereka, dengan pekerjaannya, dengan relasi yang banyak, dengan pengalaman, dengan pendidikan, dan dengan lainnya, saya, justru sendirian memikirkan bagaimana keluar dari kebodohan dan semakin monotonnya kehidupan saya.

Memang saya bekerja, sepanjang ini saya bekerja di dua tempat. Saya sekarang bekerja di tempat pembuatan puring setelah sebelumnya bekerja finishing konveksi, ya, melipat celana dan membungkusnya. Sejujurnya, keduanya bukan keinginan saya. Tapi mau tak mau, saya, harus menerimanya. Kalau tidak itu, apa lagi yang bisa saya lakukan. Bukan saya tidak bersyukur, tetapi begitulah realitanya.

Di pekerjaan yang sekarang pun, tidak selalu ada. Kadang minggu ini ada, minggu berikutnya tidak ada. Tidak jelas. Itu juga yang membuat saya resah. Dalam sebulan, upah saya tidak sampai sejuta. Tapi syukurnya, pengeluaran saya tidak melebihi itu. Ya memang saya bisa saja keluar mencari pekerjaan yang lebih menyenangkan dan meyakinkan, mungkin. Tapi, rasanya, ah, pikiran saya kacau. Bukan saya membandingkan, diantara kawan saya mungkin hanya saya yang tidak jelas; kerja kadang-kadang, tidak punya banyak kawan, jarang melihat dunia luar, tarasing, dsb. Puncaknya, saya merasa saya belum menemukan diri saya. Belum menjadi diri saya seutuhnya. Dan itu yang membuat saya malu. Kepada keluarga utamanya. Masak saya begini terus, sih?

Untuk menutupi semua kekurangan itu, saya memilih untuk menulis. Dan menulis, inilah sesuatu yang saya sadari menyenangkan. Ini mungkin terlihat agak mustahil, tapi terkadang saya membayangkan kelak bisa punya pekerjaan yang berkaitan dengan penulis.

Tapi keresahan lain datang ketika menulis yang saya yakini bakal merubah hidup saya, justru berkembang tidak jelas. Inilah yang memunculkan keraguan baru, apakah saya bisa? Sementara rasanya kepenulisan saya ini begini-begini saja.

Di luar memang saya terlihat ceria, tapi ya beginilah yang sebenarnya terjadi. 

Mungkin itu saja yang bisa saya keluarkan dari kejujuran diri saya. Sudah lumayan agak plong meski masih saja resah.

Terakhir: bantu saya, dong! Ajak kerjasama kek, atau apa. Dan percayalah, saya tidak serapuh ini. Meski, ya, begini. 



# Selesai ditulis 6 Februari malam hari








Share
Tweet
Pin
Share
No Respon

Kebonrowopucang kedatangan rombongan mahasiswa dari Universitas Diponegoro Semarang atau yang biasa disingkat Undip Semarang. Apa lagi tujuan mereka kalau bukan untuk menjalankan kewajiban mereka sebagai mahasiswa, yakni KKN. Korupsi Kolusi dan Nepotisme. Eh, bukan ya. Maksudnya Kuliah Kerja Nyata.

Saya tidak tahu ya kenapa desa saya selalu menjadi langganan tempat KKN. Rasanya tiap tahun pasti ada saja yang menempati. Bulan Juli 2019 lalu, padahal, juga sudah ada KKN di sini, juga oleh mahasiswa Undip. Dan enam bulan kemudian, atau mulai tanggal 2 Januari 2020 ini, KKN dari Undip datang lagi, sampai sekarang. Kabarnya, selama 45 hari mereka akan menjalankan tugas KKN yang akan berakhir pertengahan Februari nanti.

Beda dengan KKN sebelumnya, KKN yang sekarang ini (2020) hanya diisi 5 mahasiswa. Pada KKN sebelumnya, ada 10 mahasiswa. Di desa-desa sebelah juga sama, terdiri 5-6 mahasiswa.

Tentunya ada perbedaan antara KKN yang dulu dengan KKN yang sekarang. Dulu, karena mahasiswanya banyak, mereka tiap hari mau tidak mau harus bersinggungan dengan masyarakat langsung. Bagaimana tidak, ha wong mereka selalu jalan kaki. Saya selalu menjumpai mbak-mbak KKN yang cantik-cantik itu tiap dzuhur dan sore dari dan ke balai desa. Kalau pagi hari, blas saya tidak pernah melihat, maklum, bangunannya over time.

Beda dengan sekarang di mana karena sedikit, mungkin karena ada motor juga, mereka kesana-kemari pakai sepeda motor. Ya mungkin mereka juga beberapa kali jalan kaki, tapi saya tidak lihat. Oiya, untuk KKN Undip Semarang di Kebonrowopucang tahun ini bisa dilihat di akun Instagram @Kebonrowopucang_2020. Sayang, akunnya tidak meriah seperti KKN sebelumnya, bisa di cek di akun @KKN_Kebonrowopucang2019. Tapi sih, tak masalah juga. Andai saya yang KKN, mungkin juga pasti malas untuk Instagraman, bukankah lebih asik main PUBG, ya kan? Bagi yang penasaran KKN 2019, nih fotonya. Diantara yang masih saya ingat namanya: mas Arjuna, mas Faisal, mas Doni, mbak Duhita, mbak Fransisca, sisanya, lupa dan memang sebetulnya tidak kenalan sih. Saya mantau Instagramnya.



Dan seperti biasa, tiap kali ada teman-teman KKN, pasti mereka diundang oleh IPNU IPPNU ranting Kebonrowopucang untuk mengisi materi dalam pertemuan anggota bulanan. Saya masih ingat ketika KKN Undip 2019 lalu, teman-teman mahasiswa mengisi dua materi, yakni tentang bahaya hoax dan tentang pernikahan dini.

Tak terkecuali KKN 2020 ini, mereka juga kami todong untuk mengisi materi. Saya, Zuqon, Bahul, dan Zilin mendatangi mereka pada suatu malam di rumahnya pak Lurah di mana mereka tinggal. Semula kami bertemu satu mahasiswa yang sedang di depan rumah, tubuhnya gemuk, berkacamata, dan kelihatan cukup religius dengan kopiahnya. Ia mengira, kami akan bertemu pak Lurah sehingga kami disuruhnya menunggu untuk dipanggilkan. "Ini kami mau bertemu teman-teman mahasiswa," serobot Zuqon merespon.

Mahasiswa itu lalu masuk ke dalam memanggil teman-temannya, sementara saya dari depan, tampak dari jendela dua orang perempuan sedang bercengkrama, bukan lain, mereka pasti bagiannya, semoga mereka ikut keluar agar saya bisa berkenalan. Namun, mereka masih saja mengobrol ketika tiga mahasiswa lain keluar.

Kami bersalaman dan berkenalan. Dari sanalah kemudian kami mengenal mereka, salah tiga dari lima teman mahasiswa. Seseorang yang pertama kami temui tadi namanya Hafa, berasal dari Kudus. Di samping kanannya, pria yang terlihat kalem, namanya Naufal, Semarang asalnya. Dan di sisi paling tepi, mahasiswa ganteng berkacamata, Hafidz namanya, ia dari Bekasi jurusan Mesin. Saya lupa, sebetulnya mana yang Hafidz dan mana yang Naufal ya?

Kami sempat berbasa-basi sebentar, bertanya dari mana, jurusan apa, dari kapan di sini, sampai kapan, dan hal-hal yang umum ditanyakan orang ketika bertemu pertama kali. 

Yang paling mencengangkan tentu umur mereka, secara postur, badan mereka tinggi besar, itulah yang membuat saya mengira umur mereka 25 tahunan. Saya salah, umur mereka satu dua tahun di atas saya, 21-22 tahun. Tapi kok besar-besar ya? Ya bayangkan saja, Zuqon saja sudah 24 tahun, Bahul yang 21 tahun saja posturnya kecil, Saya yang 20 tahun masih saja kurus kerempeng. Mungkin karena makannya megono terus, pikir saya. Jika fakta ini sudah saya kantongi, maka saya menantikan KKN tahun depan dan berikutnya lagi, saat itulah saya dan mahasiswa KKN seumuran. Tentu anda paham maksud saya.

Jumat malam Sabtu 24 Januari 2020 kalau tidak salah, mereka akhirnya menepati kesanggupan untuk menjadi pemateri. Digelar malam hari bakda Isya, Rombongan KKN hadir terlalu dini ketika di tempat acara hanya ada saya dan Bayu. Ya wajar, dalam undangan yang kita kasih ke mereka tertera pukul 19.00. Sementara saat itu, sudah jam 20.15 lebih. Padahal, sebelumnya saya sudah ngomong kalau datangnya ndak usah tepat banget, soalnya orang NU, terbiasa molor. Tapi mereka tidak masalah sekalipun ruangan masih kosong.


Di grub IPNU, saya langsung sigap mengabari rekan-rekanita lain agar segera merapat. Malu dong pemateri sudah datang dan pesertanya belum ada. Dan akhirnya, satu persatu rekan-rekanita hadir memenuhi ruangan. Cukup banyak, sekitar 50-an yang datang.



Acara baru dimulai 20.45, saya, sesuai perjanjian, memegang kendali acara dengan menjadi MC. Saya cukup enjoy membawakannya, terlebih saya merasa, pembawaan saya cukup menghibur. Terbukti beberapa kali jokes saya kena. Misalnya taqline yang saya buat, ketika saya bilang KKN, saya suruh semua menjawab: bukan dedek-N. Awalnya semua bingung, namun setelah saya jelaskan, teman-teman mahasiswa saya lihat tertawa juga. Maksudnya adalah KKN itu kakak-N, bukan dedek-N dong, juga bukan adik-N. Bagaimana, lucu, kan?

Teman-teman mahasiswa akan menyampaikan dua menteri. Namun sebelum itu, mereka memperkenalkan diri. 


Mas-mas yang sedang pegang mik itu, namanya mas Hafa, di samping kanannya itu mbak Astri dan mbak Widia, dan dua lelaki lain namanya mas Naufal dan mas Hafidz. Sementara yang di depan baju hijau, itu saya, nampak cukup berwibawa bukan?

Dua materi disampaikan oleh Mas Hafidz dan Mas Naufal. Mereka membawakan materi, saya lupa, kalau tidak salah pertama tentang media sosial, dan kedua tentang pelecehan seksual. Dua materi yang cocok tentu saja untuk rekan-rekanita yang notabene remaja.



Singkat cerita, acara bubar jam 22.00 dan dilanjutkan dengan foto-foto. Sayangnya, saat itu fotonya pakai kamera yang dibawa teman-teman mahasiswa, dan saya belum berkesempatan meminta. Namun, foto di bawah ini bisa juga untuk dijadikan kenangan. Lihatlah bagaimana nampaknya kecerdasan saya sama rata dengan teman-teman mahasiswa ini.

Terima kasih teman-teman KKN Undip Semarang yang sudah ngisi di acara pertemuan anggota IPNU IPPNU ranting Kebonrowopucang.













Share
Tweet
Pin
Share
No Respon

Saya menyadari, sudah cukup lama saya tak lagi ngeblog. Meski begitu, bukan berarti saya berhenti menulis, saya terus menulis, hanya saja tidak saya post di sini ataupun di media sosial. Terakhir kali saya membuat postingan untuk blog ini ialah 4 Maret 2019. Artinya, hampir 10 bulan saya tak ngeblog. Lama sekali bukan.

Selama 10 bulan itu, tidak banyak hal besar yang terjadi dalam hidup saya. Tak bisa dimungkiri, sampai saat ini saya masih menjadi manusia yang lempeng-lempeng saja sehingga saya pikir, tidak terlalu menarik untuk saya menulis cerita yang biasa-biasa saja.

Lalu kenapa saya akhirnya menulis di blog ini lagi, alasannya sederhana: saya tidak tahu harus melakukan apa, maka, yasudah, saya ngeblog lagi, barangkali masih bisa.

Namun dipikir-pikir, saya merasa ada perbedaan tulisan saya sekarang dengan tulisan yang dulu-dulu. Coba perhatikan saja dengan membaca tulisan-tulisan saya yang dulu. Tapi anehnya, saya tak tahu, perbedaan yang terjadi sekarang ini apakah sebuah perkembangan atau penurunan. Mungkin anda bisa menilai.

Oiya, dalam aktivitas ngeblog saya setelah ini, saya tidak ingin terlalu ambisius dengan memberikan sajian tulisan yang ndakik-ndakik dan teoritis. Selain karena saya tidak bisa, tentunya hal itu bakal membebani saya saja. Dalam ngeblog kali ini, saya ingin losss, plong, menulis tanpa sebuah beban. Dan pastinya, postingan-postingan saya hal-hal sederhana saja. Blog ini ingin saya jadikan wadah jurnal saya. Catatan harian saya. Jadi ya, suka-suka saya. Tapi dengan catatan, suka-suka saya agar kamu juga suka tulisan saya.

Selamat membaca.
Share
Tweet
Pin
Share
No Respon
Newer Posts
Older Posts

Info

Tayang seminggu dua kali

Mutualan, Yuk

  • facebook
  • instagram
  • youtube

Kategori

IPNU

Postingan Viral

Catatan

Sementara kosong dulu, seperti hatiku

Facebook

Isi Blog

  • ►  2024 (15)
    • ►  Apr 2024 (1)
    • ►  Mar 2024 (4)
    • ►  Feb 2024 (1)
    • ►  Jan 2024 (9)
  • ►  2023 (11)
    • ►  Des 2023 (3)
    • ►  Nov 2023 (1)
    • ►  Sep 2023 (3)
    • ►  Jul 2023 (4)
  • ►  2022 (46)
    • ►  Nov 2022 (7)
    • ►  Okt 2022 (7)
    • ►  Sep 2022 (6)
    • ►  Agu 2022 (4)
    • ►  Jul 2022 (9)
    • ►  Mei 2022 (4)
    • ►  Jan 2022 (9)
  • ►  2021 (22)
    • ►  Des 2021 (5)
    • ►  Sep 2021 (3)
    • ►  Agu 2021 (6)
    • ►  Jun 2021 (1)
    • ►  Mar 2021 (7)
  • ▼  2020 (14)
    • ▼  Des 2020 (1)
      • Kaleidoskop 2020: Terseok-seok Pandemi
    • ►  Nov 2020 (2)
      • Kualitas Suara Xiomi Redmi 5A Kok Ngeselin Ya?
      • Cinta Buta Pada Bengkoang Dengan Not Looking-nya
    • ►  Jul 2020 (2)
      • Fotomu di Ucapan Idul Adha
      • Bertemu Cartam di Black Canyon Petungkriyono
    • ►  Jun 2020 (1)
      • Filosofi Parfum Pembelian Pacar
    • ►  Mei 2020 (1)
      • Titik Tenang
    • ►  Apr 2020 (1)
      • Merayakan Ulang Tahun dengan Kebohongan Terselubun...
    • ►  Mar 2020 (2)
      • Mengayuh Sepeda Berangkat Sekolah yang Puitik
      • KH Wasi'in bin Wasadi Tokoh Perubahan Kebonrowopuc...
    • ►  Feb 2020 (4)
      • Harlah IPNU ke-66 dan IPPNU ke-65 PR Kebonrowopuca...
      • Sebuah Keresahan Saya
      • KKN Undip Semarang ngisi acara di IPNU IPPNU Kebon...
      • Mencoba Ngeblog Lagi
  • ►  2019 (3)
    • ►  Mar 2019 (1)
    • ►  Feb 2019 (1)
    • ►  Jan 2019 (1)
  • ►  2018 (57)
    • ►  Okt 2018 (7)
    • ►  Sep 2018 (5)
    • ►  Jul 2018 (11)
    • ►  Jun 2018 (3)
    • ►  Mei 2018 (4)
    • ►  Apr 2018 (2)
    • ►  Mar 2018 (5)
    • ►  Feb 2018 (12)
    • ►  Jan 2018 (8)
  • ►  2017 (71)
    • ►  Des 2017 (7)
    • ►  Nov 2017 (20)
    • ►  Okt 2017 (10)
    • ►  Sep 2017 (8)
    • ►  Agu 2017 (8)
    • ►  Jul 2017 (9)
    • ►  Jun 2017 (5)
    • ►  Mei 2017 (4)

Created with by ThemeXpose | Distributed by Blogger Templates