• Halaman Awal
  • Diri Sendiri
facebook instagram Email

Anam Sy

Sebagai manusia pada umumnya, saya pun pasti tidak bisa lepas dari kebutuhan sandang, papan, dan pangan. Namun saya tidak akan membahas ketiga kebutuhan itu, melainkan membahas sandang saja. Itupun lebih saya spesifikkan lagi, yaitu mengenai sandal.

Sandal, meskipun dalam kenyataannya benda ini hanya akan menjadi alas kaki kita dan pasti diinjak-injak, namun setiap orang punya kriteria berbeda untuk memilih sandal mana yang cocok untuk kakinya. Mulai dari merk, ukuran, warna, dan sebagainya. Semua dipertimbangkan untuk mendapatkan kesan nyaman tetapi juga tetap modis.

Bagi saya pribadi, saya juga menentukan kriteria yang sekiranya pas untuk kaki saya. Kriteria ini saya masukkan setelah merasakan banyak pengalaman dari beberapa merk berbeda. (Meski sebenarnya sih, saya cuma pernah pake Swallow saja).

Kriteria pertama adalah soal ukuran. Bagi sampeyan yang biasa nonton tivi malam-malam, pasti pernah kan melihat iklan rokok yang bunyinya kaya gini ni: karena cowok tau, ukuran itu penting. Nah, dalam memilih sandal, tentu ukuran menjadi paling penting nomer satu. Ini diibaratkan seperti baut dan sekrup. Kalau pas ya pasti trap, susah lepas. Kalau tidak trap, tidak masuk, mau dibagaimanakan pun pasti tidak bisa menyatu. Andaikan dipaksa pun pasti nanti lepas, dalam artian putus. Sungguh, ini pelajaran asmara bagi kita untuk tidak memaksakan cinta. Oh oh oh.

Untuk ukuran, saya pas diangka 40. Kalau 39, boleh juga. Kaki saya masuk kategori langsing, kaki dengan bentuk panjang dan mengecil di tengahnya. Ukuran ini memang terlihat kecil dibanding ukuran kaki teman lelaki seumuran saya. Beberapa teman saya kadang juga mempermasalahkan ukuran ini, kakimu kok kaya perempuan, langsing, dan sebagainya, dan sebagainya. Tapi untungnya saya selalu punya jurus andalan untuk menjawab, yaitu dengan mengangkat celana saya dan memperlihatkan betis saya, "wadok ndi sing sikile ono rambute?"

Kriteria kedua adalah sesuatu yang beda. Berbeda disini berarti sandal yang beda dengan kebanyakan orang. Kita semua pasti paham sandal apa yang sangat pribumi dan dipakai banyak orang, yak betul, sandal merk Swallow. Kenapa saya tidak memasukkan Swallow dalam daftar calon sandal yang akan saya beli, alasannya simpel saja, karena sering ketuker.

Bapak saya pernah suatu hari membeli 2 pasang sandal Swallow dengan warna sama: biru. Belum umur seminggu sandal itu kami pakai, satu pasang sandal hilang. Sementara satu pasangnya lagi ketuker ketika sepulangnya Bapak dari solat maghrib di musolla. Sandal yang dipakai Bapak sandal swallow, biru, tapi buluk, sudah mau putus lagi. Sialan.

Kejadian itupun bukan sekali terjadi, bahkan dua kali, tiga kali, sampai berkali-kali. Ternyata korbannya bukan hanya swallow yang baru saja, melainkan juga Swallow yang buluk. Pernah saya pulang dari jumatan tanpa alas kaki karena sandal Swallow buluk yang saya bawa entah hilang kemana. Sebenarnya saya bisa saja mengambil sandal lain yang lebih style. Tapi khotbah saat itu baru saja mengingatkan umat islam untuk tidak mencuri. Tentunya sebagai muslim yang baik, saya mengamalkan hal tersebut dengan tidak mencuri. Namun kali itu, khotib hanya menerangkan pencurian saja, tidak tentang kesabaran. Saya pun selama berjalan pulang misuh-misuh sendiri. Asu. Sandale ilang.

Karena hal itulah, saya dan segenap keluarga sudah tidak lagi membeli produk Swallow yang begitu ekonomis ini. Kami sudah kapok sandalnya ketuker terus. Karena hal itulah juga saya menginginkan sandal yang berbeda. Merk apapun tidak masalah. Asal saya tenang dan nyaman memakai sandal tanpa khawatir ketukar. Ini sebuah usaha lho, usaha mencegah ketukar. Ketukar ya, bukan pencurian. Kalo itu lain lagi.

Kriteria ketiga yang saya patok adalah keawetan, keistiqomahan. Sebelum saya membahas lebih dalam kriteria ini, saya mau ajak sampeyan mikir dulu. Coba jawab, apa sih yang penting dalam sebuah hubungan. Mungkin sampeyan pasti menjawab setia. Jika iya. Berarti kita sama. Cie.

Nah, dari jawaban sampeyan saja sebenarnya sudah menjawab kebingungan mengenai kriteria ini. Bahwa keawetan atau kesetiaan sangat dibutuhkan untuk menjalin hubungan yang lebih intim, sehingga mempermudah melahirkan rasa kemistri yang baik antara sandal dan kaki. Helleh.

Biasanya saya melihat gambaran awal mengenai keawetan sandal dari bentuknya. Mula-mula saya mengecek lemnya. Saya kalo ngecek pakai awang-awang saja. Pakai ilmu kiro-kiro. Karena memang saya ndak tau menahu soal komposisi sandal.

Kalau lem sudah, berlanjut ke bahannya. Bahan yang saya maksud disini adalah ya bahannya. Dalam artian, kira-kira kalau kena air bagaimana, apakah mudah putus, apakah gampang mleot, atau apa, dan seterusnya. Pokoknya yang saya pikirkan adalah bagaimana sandal ini bisa awet dipakai dalam jangka waktu yang panjang. Jadi saya ndak perlu bolak-balik ke toko beli sandal.

Itulah tiga kriteria yang saya patok sebelum membeli sandal. Kalau sudah memenuhi tiga kriteria tadi saya langsung ambil. Eh, maksud saya langsung saya beli. Berapapun harganya. Untuk harga memang tidak saya masukkan ke sesuatu yang perlu saya perhatikan. Karena saya selalu percaya, bahwa harga sebanding dengan hasil.

Demikianlah pembaca yang budiman informasi yang kurang penting ini. Semoga bermanfaat. Terakhir saya cuma mau mengingatkan bahwa ulang tahun saya tanggal 18 Agustus. Ulangi lagi, 18 Agustus. Tentu anda paham kan? Ya... jangan lupa juga, ukurannya 40 ya. Saya tunggu. Terimakasih.

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon

Bagaimana membaca puisi dengan baik?

Jujur, saya sendiri belum pernah membaca puisi dengan serius, dengan intonasi naik-turun, mendayu-dayu, ekspresif, ataupun penuh penghayatan. Saya belum pernah.

Namun, gini-gini saya juga pengamat yang baik dalam segala hal, termasuk berpuisi. Memang saya tidak pernah ikut lomba puisi atau semacamnya, tapi saya tahu bagaimana berpuisi yang baik dan benar.

Ilmu ini saya dapatkan ketika menemani teman saya Herni latihan baca puisi untuk lomba. Waktu itu saya dan Herni belajar berpuisi ke guru teater kami, mas Angger Samudra (teater Mustika Budaya Jrebengkembang). Puisi yang kami baca kala itu adalah puisi rubaiyat matahari, karya Jamal D Rahman.

Meskipun saya posisinya hanya menemani, saya mencatat betul apa yang diarahkan mas Angger. Kalau sampeyan mau tau bagaimana mas Angger berbicara, ia seperti sedang mementaskan monolog di atas panggung. Asyik, penuh gestur, dan memukau. Sangat sulit untuk saya tidak memperhatikan bibirnya berbicara.

Setidaknya ada beberapa hal yang penting yang saya tangkap dari belajar puisi siang itu. Agar lebih mudah bacanya, saya urutkan saja dibawah ini.

1. Bedah naskah puisi

Ini yang sangat pertama dilakukan, mengamati maksud dari puisi itu. Apakah ungkapan sedih, marah, atau apa. Dengan memperhatikan tiap baris puisi, akan bisa dikantongi bagaimana nanti membawakannya. Ini masuknya ke penjiwaan. Berkaitan dengan intonasi suara, tinggi-rendah nada, irama, mana jeda, mana penekanan, bagaimana menutupnya, bagaimana perpindahan emosinya dan sebagainya. Bedah dulu.

Baru setelah itu masuk tahap selanjutnya.

2. Latihan

Jika mengamati sudah, maka selanjutnya membacakan puisinya dengan data-data tadi. Latihan ini mutlak diperlukan untuk mengetahui seberapa tinggi hasilnya. Apakah sudah pas atau belum. Kalau sudah syukur, kalau belum ya latihan lagi. Latihan disini mencakup semuanya; suara, artikulasi, ritme, irama, dan seterusnya.

Dalam kesempatan itu, mas Angger juga memberi trik berpuisi. Pertama, membaca puisi itu suaranya harus besar, bulet, meyakinkan. Ini jelas paling penting karena teman saya Herni dikenal dengan suaranya yang cempreng. Menurutnya, kemungkinan menang sangat kecil kalau pakai suara kecil.

Nah, untuk melatih suara, mas Angger nyaranin untuk bersuara besar sehari-hari. Saya bingung suara besar itu yang seperti apa. Kemudian beliyo mencontohkan, dan ternyata suaranya seperti orang yang menakut-nakuti. Trik ini menurut pengakuan beliyo juga sudah pernah dilakuannya, di rumah lagi, minta uang sama ibunya pun pake suara besar menakutkan itu.

Kemudian, beliyo juga meyarankan untuk selalu mengamati kejadian di sekitar, observasi. Karena puisi itu bahasa pengungkapan, jadi tidak jauh dari rasa. Dan puisi, adalah kehidupan itu sendiri.

Intonasi dan ritme dalam membaca puisi bisa diambil dengan melihat dan mengamati kejadian yang terjadi di sekitar. Mengamati seorang anak minta dibelikan mainan, misalnya. Perhatikan bagaimana tangisan dan nada bicaranya kepada ibunya.

Membaca puisi itu sebenarnya mudah, karena kita sudah melakukannya tiap hari tanpa kita sadari. Marah, nangis, nyindir, nyinyir, dan seterusnya.

Pada kesempatan itu, beliyo juga mencontohkan bagaimana ia baca puisi. Jujur, itu pertama kali saya melihat orang membaca puisi dengan sangat bagus. 100 untuk guruku, mas Angger.

Pada siang itu, juga hadir mengamati proses latihan ini, mas Utit, guru bahasa Indonesia. Yang diam-diam mengamati betul paparan mas Angger, lalu mengajarkannya kembali pada anak didiknya yang juga ikut lomba. Hingga endingnya, justru anak didiknya mas Utitlah yang dapat juara. Herni tidak. Bedebah.

Demikian trik berpuisi yang baik dan benar. Semoga kita selalu dalam jalur yang baik dan benar.

Oh ya. Ilmu diatas hanya tangkapan saya terhadap apa yang diucapkan mas Angger. Kalau umpama ada yang keliru atau salah, ya maaf. Itu yang saya tangkap. Kalau umpama mas Angger melihat tulisan ini dan tidak setuju, ya sah saja. Murni berarti kesalahan saya. Tapi, memangnya mas Angger berani menyalahkan saya? Pasti tidak, hehe. Btw saya kangen beliyo ini.

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon

MENDOAN

Sewaktu saya masih bersekolah di MA NU Karangdadap dan mungkin sampai sekarang, mendoan masih jadi primadona hampir seluruh siswa-siswi. Setiap istirahat pertama maupun kedua, wojo penggorengan wo Yatin selalu dikelilingi manusia-manusia kelaparan. Belum sah rasanya menjadi siswa MA NU kalau belum mencicipi mendoannya wo Yatin yang melegenda itu.

Mendoan, gorengan tempe yang setengah matang ini, hampir disukai banyak orang karena cocok dengan lidah kita, lidah-lidah wong ndeso. Teksturnya yang mbel-mbel dan sajiannya yang tentu saja masih hangat, membuat siapa saja tidak bisa menahan nafsunya untuk melahap. Apalagi jika datang hujan dengan penuh kenangannya.

Dalam penyajiannya, setiap siswa punya selera berbeda untuk meracik menunya. Kalo saya selalu memakan mendoan ditambahi krupuk pedas dan tidak pake caos. Beda dengan kebanyakan teman saya, mereka biasanya makan mendoannya saja tanpa imbuhan menu, tapi dengan caos yang banyak dan menjadi seperti kuah. Ada juga yang ditaburi irisan lombok. Bervariasi.

Banyak hal yang menjadi alasan kenapa makanan ini menjadi primadona di sekolahan ini. Pertama, harganya yang begitu minimalis, hanya 500 rupiah. Sangat memungkinkan bagi siswa untuk mengamalkan dasa darma nomer 7: hemat, cermat, dan bersahaja. Dengan ini membeli mendoan berarti juga menghayati dasadarma pramuka. Begitulah pikirku sebagai mantan pradana salahuddin al ayyubi.

Saya sendiri, jika uang sudah menipis, saya selalu membelinya untuk mendoan. Saya membelinya selalu istirahat kedua saat siang, kalo istirahat pertama, perut saya masih terasa kenyang karena sudah sarapan dari rumah.

Sendainya saya lupa bawa uang, atau uang habis sekalipun, saya sampai ngutang untuk bisa merasakan mendoan ini. Utang temen seribu saja itu sudah dapat dua lembar dan sangat mengenyangkan untuk ukuran perut saya. Untuk minumnya, saya bisa dapatkan cuma-cuma di dapur sekolahan, meski hanya air putih sangit. Yang penting kan perut kenyang hati senang.

Namun begitu, meskipun murah, tapi sebenarnya mendoan ini secara hitung-hitungan tenaga, sangat merugikan wo Yatin. Lha bagaimana tidak, setiap beli mendoan, meskipun satu lembar, wadahnya pasti pake piring. Bayangkan kalo sehari ada 50 pembeli mendoan, berarti ada 50 piring yang musti dicuci. Ya gak? Iya kan. Kasihan.

Alasan kedua, karena makanan ini mengenyangkan. Bayangkan dengan membeli 2 lembar mendoan saja sudah mampu memenuhi perut yang dari tadi kosong selama pelajaran berlangsung. Sehingga menutup peluang jajan lagi. Pengeluaran terkendali. Kurva stabil.

Mendoan ini juga yang menjadi penolong bagi siswa yang akan les siang. Disaat uang sudah habis, perut krucuk-krucuk, mata sayu, bibir pecah-pecah, kepala pening, dan tak kuat menerima materi lagi, mendoan hadir menjawab segala keluh kesah itu.

Alasan ketiga kenapa mendoan ini fenomenal adalah karena mendoan ini mampu melahirkan momen yang tak mudah dilupakan. Menyantap mendoan biasanya dilakukan ramai-ramai sambil ngobrol. Tak khayal dari ngobrol ini banyak hal bisa didapatkan: pertukaran informasi, sampai ngglendengi siswa lain. Sehingga setelah selesai menyomot makanan ini, banyak kisah terjadi: pertengkaran, pengkhianatan, sampai percintaan. Mendoan ini banyak melahirkan kenangan.

Keistimewaan mendoan wo Yatin ini hanya bisa dijelaskan oleh mereka yang pernah merasakannya, lengkap dengan kisah yang dibawa dan tertinggal di piring. Saya salah satu yang paham kenapa mendoan ini sangat melegenda, khususnya bagi alumni MA NU. Dari mendoan saya menciptakan kenangan yang begitu syahdu: kelakar dengan teman. Dan itu yang saya tidak rasakan sekarang.

Kalau ada yang tanya padaku apa yang paling berkesan dari MA NU. jawab saja, "MENDOAN."

Share
Tweet
Pin
Share
1 Respon

Saya begitu terkejut ketika mengetahui bahwa seorang blogger bisa mendapatkan uang berjuta-juta tiap bulannya. Cerita itu saya baca sendiri dari pengakuan para blogger di blognya. Sebagai orang awam, melihat cerita begini, saya jadi pingin dong. Akhirnya saya buat blog ini.

Duh duh duh. Meskipun sekarang saya sudah diterima oleh adsense dan sudah memposting 60 artikel lebih, nyatanya saya belum dapat uang 100 rupiah pun. Begitu menyedihkan. Tapi bagaimana lagi, memang tidak ada pengunjungnya sama sekali kecuali hanya saya sendiri.

Usut punya usut, saya mulai paham kenapa blogku ini masih sepi. Secara tulisan, oke saya memang sudah bisa menulis, sudah 60 tulisan. Tapi pengetahuan tentang SEO, ini dia masalahnya. Saya bahkan tidak tau apa itu SEO. Saya baru tahu setelah baca-baca di internet yang ternyata SEO itu bagian penting yang harus dikuasai seorang blogger untuk bisa meningkatkan pengunjung. Selain itu juga ada hal lain yang harus dikuasai: html dan css. Saya belum mempelajari tiga hal tadi dan harus harus saya pelajari.

Suatu malam, akhirnya saya mulai membaca artikel-artikel mengenai SEO dan seterusnya. Namun saya begitu kesulitan. Akhirnya saya lihat tutorialnya lewat yutub supaya lebih jelas. Dan memang jelas, bahwa SEO dan seterusnya tadi bisa dipelajari dengan gampang gampang susah.

Ketika saya ingin mempraktekkannya, saya kembali kesulitan. Saya kan pake hape. Jelas sangat susah dilakukan untuk memasukkan kode-kodenya. Tentu saja saya hanya bisa belajar SEO dan seterusnya lewat komputer. Tapi saya kan tidak punya komputer? Saya kemudian putuskan, belajar SEO dan seterusnya saya pending dulu sampai saya punya komputer.

Punya komputer? Rasanya itu hal yang butuh waktu lumayan lama untuk saya wujudkan. Lha saya belum kerja, mau dapat uang dari mana.

Saya baru tahu, kalau mau jadi blogger yang bisa menghasilkan uang jutaan itu, ya harus modal. Ndak bisa gratis. Nah modalnya itu ya komputer, atau laptop. Kalau hape, sulit plus ribet.

Saya termasuk yang pake hape. Untuk menulis konten saya menuliskannya dulu di aplikasi untuk mencatat tulisan, note. Untuk mosting ke blognya saya pake aplikasi blogger. Kalau pake uc susah. Jadi tulisan yang di simpan di note tadi saya copy lalu saya paste di aplikasi blogger dan posting. Tapi itu kalau tidak ada gambarnya. Kalo ada, saya nyimpen tulisannya dulu, belum posting. Baru setelah itu lewat uc, hanya nambahi foto, posting. Aplikasi blogger ini saya ambil di plestor. Aplikasi ini tidak bisa untuk nambahi foto.

Karena saya masih pake hape itulah, saya hanya fokus menulis dan memposting saja, tak mempedulikan SEO, tak memasukkan ilustrasi gambar, dan seterusnya. Semua saya lakukan sesuka saya.

Saya menunggu dulu punya komputer untuk membuat blog saya ini menarik, bagus, banyak pengunjung, dan seterusnya. Pakai komputer mungkin lebih gampang. Apalagi nulisnya. Pasti. Gusti, saya pingin komputer. Biar bisa ngeblog dengan mudah dan dapet uang.

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon


Selama ini, selama 12 tahun yang telah lalu untuk sekolah itu, saya sangat minim membaca. Minim sekali. Coba bayangkan saja, saya hanya mau membuka buku pelajaran hanya ketika ada semesteran. Ini cuma membuka saja, belum membaca. Parah banget saya itu.

Kalaupun saya harus membaca, apa coba yang saya baca? Saya cuma baca rangkuman saja yang ada disetiap akhir bab. Itupun kalau saya punya potokopian bukunya. Kalau tidak ya masa bodoh.

Kebiasaan buruk itu tu yang terus terbawa sampai saya MA. Hanya saja anehnya, ketika saya di MA, entah kenapa, mungkin otak saya moncer, meskipun saya jarang baca tapi nilai saya lumayan bagus. Hal itulah yang selama ini teman-teman saya heran. Kenapa ya? Mereka kemudian menjuluki saya makhluk paling bejo di dunia. Oke saya terima. Namun ingat, saya memang tidak membaca, tapi mereka tidak tau, kalau setiap ulangan saya selalu baca, baca contekan, baca doa supaya tidak ketahuan, hehe.

Minat baca yang minim tentu saja membuat saya paling tidak suka membaca, apalagi baca cerita. Itu paling males. Itulah alasan kenapa saya rada tidak suka pelajaran bahasa Indonesia. Sudah bacaannya banyak banget. Eh, pertanyaannya dikit. Udah gitu pilihan gandanya kadang mirip-mirip lagi. Nyeselin.

Tapi sekarang ketika kesadaran mengenai hal itu muncul. Saya tentu saja menyesalkan minat baca yang rendah itu. Coba hitung berapa banyak buku yang bisa saya baca di perpustakaan sekolah seandainya saya seneng baca dari dulu. Pasti buanyak sekali. Mungkin juga bisa sampai pintar melebihi guru. Mungkin. Saya ndak tau.

Setelah ini, tentu saja saya ingin banyak baca buku. Sayangnya, saya tidak punya buku di rumah. Sebenarnya ada sih, tapi buku gambar. Kan gak masuk.

Pinginnya, setelah saya sudah sehat nanti. Setelah saya sudah kerja dan dapat uang nanti. Saya akan ke toko buku mborong buku sebanyak-banyaknya. Kalau perlu saya koleksi dan jadikan perpustakaan sendiri. Pinginnya sih gitu. Semoga kelakon.

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon

Malam ini saya melanjutkan janji saya yang akan menulis satu hari satu tulisan. Rasanya waktu malam saat semua orang sudah terlelap adalah waktu yang bagus untuk menulis bagi saya. Karena sejak pagi tadi, siang, sampai malam jam 10an saya seperti tidak bisa menggerakkan tangan menulis.

Masalah utamanya tentu saja ide. Tapi sampai mau kapan sih hanya mau nunggu datangnya ide. Lebih baik jemput, cari, ya ndak? Nah malam ini ditulisan inilah saya berusaha menjemput ide itu, dengan juga menulis.

Waktu malam itu, waktu yang menurut saya syahdu untuk menulis. Situasi tenang, hawanya adem, sehingga bisa fokus konsentrasi. Sangat jauh beda saat siang, suara motor, tangisan bayi, ibu-ibu ngobrol, semuanya membuat berisik, sangat sulit untuk konsentrasi. Sehingga sulit untuk nulis.

Sebagai calon penulis potensial, banyak kriteria menjadi penulis yang belum saya penuhi. Apa kriterianya, salah satunya mungkin ya... pengalaman. Karena sepengetahuan saya, penulis-penulis yang saya ketahui kisahnya itu, kebanyakan punya keahlian dan latar belakang masing-masing hasil dari menjalani proses kehidupannya.

Bayangkan untuk ukuran saya yang masih sangat pemula ini. Pengalaman apa yang saya punya. Hampir semua yang saya rasakan lempeng-lempeng saja tanpa gronjolan atau kelak-kelok menanjak atau menukik tajam. Sangat tidak artistik sama sekali. Datar.

Makanya menyukai menulis ini adalah tantangan terhebat bagi saya dalam hidup ini. Meskipun pengalaman saya dalam kehidupan ini datar saja, saya akan berusaha semaksimal mungkin untuk terus menulis. Kenapa saya berani bermimpi menjadi penulis, karena saya yakin saya mampu untuk ini dengan keterbatasan yang saya miliki.

Menyukai menulis rasanya lebih menantang lagi karena saya belum jadi pembaca yang baik. Saya belum pernah membaca karya buku penulis siapapun secara kaffah satu buku. Kan aneh, mau jadi penulis tapi tidak punya bahan bacaan. Bagaimana bisa coba, ya ndak?

Nah, kedepannya, tentu saja saya pingin sekali memperbanyak pengalaman hidup merasakan gronjolan-gronjolan itu. Bagaimana caranya? Satu-satunya cara ya dengan menempa diri sekeras mungkin. Memaksakan diri masuk ke dalam area yang bisa menggembleng saya untuk mencapai itu, mencapai sesuatu yang besar, yang di dalamnya banyak gronjolan sebagai hadangannya. Semakin banyak menjumpai gronjolan semakin banyak berlatih.

Intinya, kesukaan saya terhadap menulis ini sudah bukan hobi lagi, tetapi lebih serius dari itu. Saya tidak main-main untuk urusan ini. Makanya saya akan terus belajar sekeras mungkin dan disiplin. Termasuk dengan usaha menulis ini. Mungkin tidak berguna sekarang. Tapi ini akan jadi bukti dan saksi bahwa saya sedang serius belajar menulis. Saya yakin saya bisa. Suatu saat saya akan jadi penulis beneran. Ini impian saya.

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon

Kenapa ya... setiap ada anak kecil yang melakukan hal besar diluar kemampuan seumurnya, entah menyanyi atau dalam keahlian lain, selalu dipuji secara berlebihan menurut saya. "Wah, masih kecil saja sudah ahli begitu. Bagaimana besarnya, pasti lebih hebat lagi."

Pujian ini nggak ada yang salah sih. Bagus. Husnudzon pada seorang bocah. Hanya saja kok ya agak agak berlebihan gimana gitu. Ya berlebihan aja. Soalnya begini, saya saja yang dulu sangat pemalu. Sekarang sudah sangat berani dan malah mungkin sampai kelewat malu-maluin.

Dulu, ketika saya masih umbelen, pas jaman saat sekolah di MI. Saya murid pualing pemalu. Saya paling ndredeg kalo ditunjuk njawab ataupun maju menulis. Saking pemalunya, tempat duduk saya selalu dibelakang dan sendiri saja. Dan puncak dari rasa malu saya yang saya sadari sangat nyeselin ini adalah saat saat ujian. Karena malu inilah, saya bahkan nggak berani manggil temen untuk menyontek. Alhasil nilai saya selalu jelek dan remidi.

Tapi menginjak SMP, kemaluan saya sudah mulai berkurang. Di SMP ini, saya mulai berani memimpin doa tiap pagi. Dan satu pengalaman paling berkesan adalah ditunjuk untuk jadi ketua kelas. Jujur, itu pertama kali saya menduduki jabatan itu, sebuah jabatan yang berbeda dari jabatan di pemerintahan, karena ndak ada yang mau mengisi dan terkesan justru dijauhi. Menjadi ketua kelas meningkatkan kepercayaan diri saya waktu itu sekitar 30%.

Barulah saat MA, MA NU Karangdadap lengkapnya, saya sudah menjadi murid dengan kapasitas keberanian diatas rata-rata. Bahkan secara tidak terduga, saya mampu menempati posisi yang cukup mentereng seukuran sekolah: menjadi pradana pramuka. Seolah jabatan ini semakin menisbatkan dan menegaskan saya sebagai murid percaya diri dan berani.

Tapi mungkin keberanian saya melewati batas. Secara brengsek, saya mengirim surat cinta kepada 10 wanita sekelas dengan isi yang sama dengan tanpa merasa malu dan berdosa. Bagaimana hasilnya. Nanti saya ceritakan lagi lain waktu.

Jadi intinya, dalam menilai kejadian seperti ini yang wajar saja, biasa, selow. Apa yang kita lakukan sekarang memang berpengaruh kedepannya. Tapi apakah berhak kita menghakimi sesuatu yang belum diketahui secara pasti. Kalau penghakimannya seperti contoh diatas sih tentu bagus dan muakkad, sangat dianjurkan. Namun bagaimana kalau menghakimi dan terkesan kearah pandangan negatif.

Contoh berikut ini lebih banyak saya saksikan dikehidupan ini. Untuk ukuran siswa bandel saja umpamanya. Kalo siswanya nakal buanget dan ketahuan merokok misalnya, atau lebih dari itu, tawuran, maka yang muncul dibenak banyak orang tentu saja negatif. "Masih kecil saja sudah tawuran, ngrokok, bagaimana besarnya nanti?"

Sudah ngaku saja kalau kita memang biasa nggrundel begitu, termasuk saya sendiri. Tapi kita sering tidak mau tau, kalau banyak kok pejabat, pengusaha, bahkan kyai-kyai itu kecilnya nakal buanget. Tapi mungkin dari itulah pengalaman mereka membawa kesadaran untuk menjadi lebih baik dan sekarang menjadi orang.

Sudahlah, keraguan kita yang 'kecilnya aja sudah begitu, bagaimana nantinya' itu tidak ada artinya. Nggak penting menghakimi orang lain, apalagi memang tidak tau babar blas. Itu namanya sok tau. Lebih baik keluar beli kopi, pulang, dan pantengin dangdut academy. Dijamin hidupmu terhibur sampai tengah malam.

Eh, tapi ada ndak ya yang nyeluk kek gini. "Eh, anam ki seh enom tulisane wis kokiye. Piye mbesuke."

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon

Selamat malam khalayak sepi. Sebab saya tahu tulisan ini hanya akan dibaca oleh saya sendiri dan tidak bagi orang lain.

Sejauh saya menulis di blog ini, sejauh itulah kekecewaan saya karena tak ada yang membaca. Kalau tidak ada yang membaca, lantas saya nulis itu buat apa. Tentu kan untuk dibaca. Mosok untuk dibully. Ra mashoook.

Saya mengecewakan hal ini, tapi saya juga sadar, blogku ini masih polos, sepolos bayi baru lahir, suci tanpa noda membandel. Padahal untuk menjadi blogger yang shohih, perlu menguasai apa itu SEO, html, css, dan tetek bengek lain selain membuat konten itu sendiri. Tentu saja bagi saya yang belum baligh dalam dunia perblogan, level ini masih jauh untuk digapai seseorang yang masih jilid satu.

Tapi ah... percuma juga saya kecewa. Lha wong Nyatane memang blogger kemarin sore kok. Saya harusnya selow aja ya. Yah hitung-hitung dengan masih sepinya pengunjung blog ini bisa digunakan untuk menulis. Menulis apa saja. Jelek sekalipun. Mumpung masih sepi. (Lho, memangnya nanti bakal ramai?)

Lagipula, ini blog milik saya sendiri, jadi seharusnya terserah saya dong mau ngisi tulisan apa. Bukan, bukan. Ini bukan sebuah keegoisan. Tapi sebuah kemerdekaan bagi sang pemilik blog. Kalau pun egois, egoisnya dari mana? Lha yang mbaca itu saya sendiri kok. Egois matamu.

Memang akhir-akhir ini saya sering somplak semi edan. Setiap mau mposting tulisan ke blog ini selalu aja setan-setan jahat yang membisiku. "Nam... tulisanmu ora apik. Rausah posting. Ngisin-ngisini."

Aneh sekali bukan? Blog yang ndak ada pengunjungnya ini ragu untuk diisi kembali hanya karena takut mengecewakan pembaca karena ndak bagus. Bertambah aneh saat saya memang ndak jadi buat tulisan di blog ini lagi. Sementara, sekali lagi, blog ini sepi. Saya harus mengakui kekalahan sementara 1-0 dari asumsi saya sendiri.

Begini (saya curhat pada diri sendiri). Kalau sampeyan mau tau (sampeyan siapa ya?), saya ini pingin sekali jadi penulis. Yah itu karena asumsi saya menjadi penulis itu keren dan bisa dapat uang dengan mudah. Semoga asumsi kali ini saya tidak salah.

Nah, ditengah sakit saya yang belum kunjung sembuh ini. Apa sih yang paling bisa saya lakukan. Satu-satunya ya menulis. Harapan saya setelah sembuh mampu dapet duit dari menulis ini. Cuma ini yang saya bisa lakukan. Njaet, nyitak boto, dodolan saya tidak bisa. Lebih tepatnya saya ndak mau. Payah je.

Tentunya menjadi penulis ya harus bisa menulis, masak menggambar, masak memasak, kan tidak. Maka itulah hal yang paling penting adalah mengenai kualitas tulisan, yang baik dan yahud. Tulisan saya sekarang ya masih ecek-ecek. Jangankan berbobot, menyelesaikan tulisan sampai jadi saja sudah merupakan prestasi.

Barangkali itulah alasan akhirnya saya mbuat blog ini, untuk latihan menulis saya supaya trafik kepenulisannya menanjak perlahan. Jadi bukan kris jon saja yang bisa menanjak, saya juga bisa. Eh... itu menonjok ding, hehehe.

Sudah terbukti memang makin kesini saya sudah makin bisa menulis. Kalau dulu menulis sampai jadi bisa memerlukan waktu tiga hari, sekarang hanya hitungan jam. Makin lama saya yakin bisa makin mudah dan bisa nyelesein tulisan dalam hitungan menit saja.

Saya pun sudah bisa menulis bercerita sekarang, jauh beda dari yang dulu masih sangat pakem. Lihat saja postingan blog saya pertama kali. Sampeyan akan lihat banyak perubahan dan perkembangannya.

Agaknya, saya itu nggak perlu ngurusi kualitas tulisan dulu deh. Soalnya kalau tiap hari latihan nulis satu tulisan saja, pasti nanti akan berkualitas dengan sendirinya. Bahasa gampange munu, kualitas bakal ngikuti dewe seiring banyaknya jam terbang.

Tapi ngomong-ngomong jam terbang, itu yang akan sulit saya temukan. Yang saya tahu jam itu adanya cuma: jam dinding, jam tangan, dan jamilah kurang sexy. Wah... ternyata gak lucu. Huuuuu.

Saya ndak bisa bayangkan kalau saya serius untuk menulis satu hari satu tulisan di blog ini. Pastinya saya akan berkualitas pada waktunya.

Yah... one day one tulisan. Cocok iki.

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon

Saat sekolah saya dikenal dengan tulisannya yang lumayan bagus untuk ukuran murid lelaki. Konon, kata teman-teman saya bentuk tulisan saya mirip dengan bentuk tulisannya bu Afifi, guru bahasa Jawa sewaktu saya di MI WS Kebonrowopucang.

Saking miripnya tulisan saya dengan beliyo,  saya pernah berhasil menipu teman satu kelas karenanya. Jadi ceritanya....

Suatu hari, sepulang sekolah, saya bersama dua temanku pulang lebih akhir karena harus piket. Jaman itu piket memang harus dikerjakan sepulang sekolah, karena kalau pagi dapat mengganggu udara yang bersih. Selain itu, piket pagi hari juga dapat mengganggu kalau ada PR yang biasanya dikerjakan ramai-ramai di kelas pas pagi-pagi buta.

Saat piket, kami bertiga bagi tugas. Karena saya lelaki saya ditugaskan untuk menaikkan kursi dan menghapus papan. Sementara dua temanku yang semuanya putri itu, mereka bertugas menyapu.

Sebagai lelaki, menaikkan kursi ke atas meja dan menghapus tulisan di papan adalah pekerjaan mudah. Dua tugas mulia ini saya selesaikan dengan cepat dan trengginas.

Saat saya sudah selesai, dua teman perempuanku ini masih sibuk menyapu. Saya ingin pulang, tapi mereka perempuan. Apalagi saat itu sekolahan sudah sepi. Saya pun iba dan muncullah kepedulian saya sebagai lelaki sejati. Saya tidak akan pulang sebelum mereka selesai nyapu.

10 menit kemudian mereka selesai nyapu, saya persilahkan mereka untuk pulang duluan. Otomatis menyisakan saya sendiri di kelas. Saat sendiri itu, saya ingat kalau besok itu ada mapel bahasa jawa yang kebetulan ada PR. Entah kenapa tangan saya langsung mengambil kapur lalu dengan spontan menulis satu kalimat di papan.

~Tugas bahasa jawa harus sudah dikumpulkan hari ini di kantor sebelum doa pagi. Ttd bu Afifi~

Tidak jelas motif saya menuliskan perintah itu apa, iseng saja. Pikirku, nantinya juga diabaikan. Setelahnya saya pulang.

Paginya, saya berangkat seperti biasa. Namun ketika sampai di kelas, suasana mencekam begitu saya rasakan. Semua temanku tak ada satupun yang menyapa bahkan memanggilku. Mereka fokus memegang bolpoin dan buku dan kesana-kemari mencari sesuatu dengan gugup.

Saya bingung melihat situasi menegangkan ini. Saya pun akhirnya bertanya pada salah satu teman yang sedang sibuk itu.

"Lha kok do gugup ki ono opo?"

Temanku langsung mengalihkan perhatiannya dari buku dan memandangku lalu menunjuk kearah depan.

"Lha opo koe ra weruh. Kae delok jal nang blabak. Tugas boso jowo kudu kumpulke yahmene. Koe wis disi urung?"

Seketika, saya langsung mengarahkan pandangan ke depan. Dan saya melihat tulisan saya yang kemarin masih ada.

Saya langsung sadar dan langsung tertawa terpingkal-pingkal. Teman-teman saya sontak memandang saya dan menaruh bingung.

Ketika semua terdiam kebingungan, saya kemudian ngomong dengan kencang dan masih cekikian.

"Weh konco-konco. Tulisan nang blabak kui tulisanku. Aku nulis wingi." Terang saya sambil terus tertawa.

Seketika itu, raut muka teman-teman saya lega, namun juga manyun karena merasa sudah ditipu.

Sementara teman lelaki saya yang lain tampak begitu kesal dan marah.

"Owalah. Anam asu. Asu. Asu og"

Sebentar kemudian, bel doa pagi berbunyi. Semua teman saya kesal. Saya cekikikan bahagia.

Namun setelahnya, semua temanku mengerjaiku balik dengan tidak nuruni saya mengerjakan tugas bahasa jawa.

Nilai saya jelek. Saya sedih. Teman-teman saya bahagia cekikian. Asu og.

Sebuah balasan yang setimpal.

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon

Membaca

Rasanya saya belum pernah benar-benar membaca satu buku penuh. Jangankan satu buku, satu bab saja bacanya mencak-mencak.

Saya termasuk orang yang malas membaca. Di sekolahan saya sangat malas membaca, apalagi disuruh mencatat dalam buku.

Kalaupun harus membaca, saya hanya membaca judul serta sub judulnya saja. Kadangkala lebih parah dari itu, saya hanya membaca rangkuman yang biasanya tertera diakhir setiap bab.

Entah kenapa sekarang saya merasa menyesal melewatkan masa-masa itu. Melewatkan buku bacaan itu. Seandainya dulu saya benar-benar membaca, sudah berapa pengetahuan yang bisa saya dapatkan. Pastinya banyak sekali.

Kata orang membaca adalah jendela dunia. Barangkali karena itulah yang saya lihat adalah dunia yang sempit dan memuakkan.

Perpustakaan dulu semasa sekolah hanya saya jadikan sebagai tempat duduk saja, tempat istirahat alih-alih membaca.

Waktu tak bisa lagi diputar. Menghabiskan waktu beberapa tahun di sekolahan tanpa membaca sangatlah sia-sia. Saya ingin mulai membaca. Ingin melihat dunia. Agar pandanganku tak sempit dan tak memuakkan.

Apalagi semenjak saya menyukai menulis dan ingin menjadi menulis. Membaca mutlak saya perlukan.

Saat kualitas tulisan saya semakin ke sini semakin membaik dan sudah bisa dibaca. Saya justru menemukan kekurangan yang kata para penulis sangat penting juga, yaitu membaca.

Hampir semua penulis punya daftar bacaan yang melimpah, sampai menjadi perpustakaan pribadi di rumahnya. Hal ini menunjukkan bahwa membaca sangat penting, terlebih bagi penulis. Sedangkan saya belum apa-apa.

Saya ingin membaca. Sayangnya, saya tidak punya buku satu pun yang bisa saya baca. Apakah saya harus menunggu uang hasil dari menulis kemudian beli buku. Tapi apakah tulisan yang tanpa didasari pengetahuan dari sumber bacaan bisa menghasilkan uang.

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon


BAKSO. Makanan ini bisa dibilang makanan yang moderat. Dimana siapa saja boleh memakannya tanpa memandang suku, bahasa, agama, atau ras tertentu. Semua boleh memakan asal dengan catatan: bukan bakso babi, bakso curut, bakso celeng, bakso bersianida, dan bukan bakso hasil mencuri.

Jaman now ini, bakso sangat mudah sekali kita jumpai, berbeda dengan mencari pacar yang butuh magnet tertentu untuk bisa ketemu. Ada bakso yang mangkal dan ada juga bakso keliling. Lebih mudah dari itu, bakso bisa kita pesan lewat go-food dengan mudah dan cepat.

Saya yakin, 10 dari 10 orang pasti pernah makan bakso. Statistik ini menunjukkan bahwa bakso mudah sekali didapatkan.

Bakso, seperti halnya manusia, juga punya stratanya, ada tingkatannya. Masing-masing tingkatan pada bakso biasanya diperuntukkan bagi masyarakat di tingkatan yang sama.

Untuk lebih mudah dipahami, berikut saya paparkan strata dalam bakso seperti strata sosial seseorang dalam masyarakat.

1. Bakso Kelas Bawah

Menempati tingkatan ini adalah bakso mungil-mungil yang biasanya disajikan dengan plastik ukuran 2 ons. Banyak juga yang menyebut bakso ini dengan bakso-baksoan, yang kesannya seperti bakso mainan. Karena memang bakso ini targetnya adalah anak-anak yang notabennya golongan tingkat bawah yang tidak punya uang selain dari pemberian orang tua.

Bakso ini karena masuknya tingkatan rendah, maka harganya pun sangat murah. Harganya hanya 1000 rupiah. Bakso jenis ini bisa ditemukan di depan sekolah TK, SD, ataupun SMP.

Namun soal kualitas, tentu saja harga berbanding lurus dengan rasa. Bakso-baksoan ini rasanya biasa saja. Tentunya bagi anak-anak soal rasa itu nomer sekian, yang paling penting adalah perut kenyang dan bisa jajan dengan jenis sama seperti teman-temannya.

2. Bakso Kelas Sedang

Jika di tingkat bawah bakso harganya 1000, maka di tingkat yang lebih tinggi ini harga baksonya pun juga lebih tinggi, kisarannya harga 3000 sampai 5000.

Dalam bakso tingkat sedang, target penikmatnya juga masyarakat tingkatan sedang, masyarakat yang biasa-biasa saja. Saking banyaknya manusia golongan ini, maka banyak juga bakso jenis ini.

Di jalan depan rumah saya sehari bisa ada tiga penjual bakso yang berbeda. Ini belum di jalan yang lain. Bakso ini adalah bakso yang biasa keliling baik dengan gerobak dorong maupun motor.

Soal rasa, seperti dalam stratanya, bakso jenis ini lumayan enak. Pas di lidah orang biasa. Porsinya cukup mengenyangkan perut dengan takaran seukuran plastik setengah kilo. Dan tentunya harga terjangkau.

3. Bakso Kelas Atas

Yang terakhir inilah sang penguasa dalam strata bakso. Bakso kelas atas. Bakso yang punya tempat mangkal sendiri.

Kelezatan bakso ini jauh mengalahkan kelezatan bakso tingkat di bawahnya. Harganya saja dibandrol dengan fantastis, 15 ribu, 20 ribu, bahkan menembus angka 30 ribu. Sungguh sebuah angka yang mubadzir bagi saya untuk sekedar mencicipinya.

Variasi bakso jenis ini beragam, namun semuanya berukuran besar-besar, sebesar cintaku pada sampeyan mbak, ihirrr. Mulai dari bakso helm sampai bakso beranak, meski terkadang baksonya tidak ada anaknya karena keguguran.

Seperti yang saya jelaskan sebelumnya, strata dalam bakso ini diperuntukan bagi masyarakat dalam strata yang sama. Yah... bakso kelas atas cuma bisa dinikmati mereka yang golongan atas. Meskipun demikian, bakso ini juga sesekali menjadi makanan mahal bagi mereka yang berada dalam golongan rendah atau sedang.

Itu tadi strata dalam perbaksoan masyarakat kita. Tentunya dalam klasifikasi ini satu jenis bakso bisa naik kasta ataupun turun kasta. Persaingan pun pasti sangat terasa untuk menjadi yang paling jawara.

Kompetisi yang ramai itu akan menambah khasanah cita rasa bakso dimana sebagai penikmat kita akan dimanjakan dengan sajian yang semakin bervariasi. Bukan hanya bakso yang mengandalkan micin saja.

Setelah kita menjumpai bakso beranak dan bakso helm. Mari kita tunggu varian bakso yang kekinikinian, bakso jaman now mungkin. Kita lihat saja.

Terakhir, yang terpenting apapun bakso yang pantas untuk strata anda, tetaplah menjaga marwah kita sebagai generasi micin jaman now yang berperadaban. Yaitu dengan tetap meminum teh botol sosro.

Apapun makannya, minumnya tetap teh botol sosro.

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon

Malam ini saya diminta adik saya untuk mengerjakan tugas sekolahnya: membuat pantun dengan tiga tema berbeda.

Sebagai orang yang lumayan jago nulis, membuat pantun tentu persoalan yang gampang sekali. Dan adik saya, berhadapan dengan orang yang tepat dan akurat.

Namun sebelum saya mengiyakan, terlebih dulu saya menyindir adik saya. "Mosok gawe pantun bae ra biso. Terlalu."

Tentunya pertanyaan ini hanya sebuah pertanyaan saja. Dan saya memang tak butuh jawaban atasnya.

Karena saya juga pernah sekolah, saya merasakan apa yang dirasakan adik saya sekarang. Saya sadar, untuk ukuran adik saya yang masih kelas 7, membuat pantun merupakan hal yang menyusahkan. Dulu saja saya tidak bisa kok.

Membuat pantun? Ah... mudah saja. Tinggal buat kalimat empat baris bersajak ab-ab. Patokannya hanya melihat bunyi akhirnya saja.

Dalam membuat pantun, yang penting adalah isi. Isi itu terletak didua baris terakhir. Kalau dua baris sebelumnya namanya sampiran, tak perlu perhatikan kata-katanya asal akhiran bunyinya dapet.

Kalau saya, untuk membuat pantun, terlebih dulu saya menuliskan isi dibaris ketiga dan keempat. Setelahnya tinggal melengkapi baris satu dan dua dengan menyamakan bunyi akhir supaya bersajak ab-ab. Selesai.

Permintaan membuat pantun tiga tema sudah saya laksanakan dalam sekejap sambil merem. Tiga pantun itu apa susahnya. Jangankan buat tiga pantun, lima puluh pun saya sanggup.

Lagian, apa sih susahnya buat pantun. Buat pantun itu tak sesulit buat puisi, cerpen, atau novel kok.

Jikapun membuat pantun itu susah. Silahkan renungkan. Lebih susah mana dengan memahami wanita?

Sudah sudah. Pembahasan mengenai pantun tak perlu dipanjangin lagi. Sumpah, ini gak penting banget.

Cuci tangan sampai bersih
Cukup sekian terimakasih.

Jalan-jalan ke kota dubay
Good bay

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon

BAKSO

Setiap orang tentunya pernah makan bakso. Entah bakso-baksoan kelas bawah harga 2000, atau pun bakso kelas atas harga puluhan ribu yang berukuran besar.

Sebagai makanan umum yang bisa dinikmati  oleh suku, agama, ras, serta etnis apapun. Bakso seakan menjadi simbol kemoderatan dalam urusan makanan.

Namun tahukah anda, menurut survey yang saya lakukan, 8 dari 10 orang yang makan bakso selalu mengakhirkan memakan baksonya daripada mie dan kuahnya.

Setelah saya kaji lebih mendalam, ternyata kebiasaan mengakhirkan makan baksonya itu mempunyai nilai filosofis yang dalam.

Bakso yang bundar itu mempunyai kenikmatan yang lebih dibanding kuah atau mienya. Atau bisa dibilang puncak kenikmatan dari makanan bernama bakso adalah baksonya itu sendiri.

Bakso yang saya maksud adalah bakso yang berukuran besar yang didalamnya berisi urat, telur, ataupun berisi anak bakso.

Tujuan mengakhirkan makan bakso yang bundar itu adalah supaya orang bisa mengakhiri sebuah aktivitas --makan-- dengan kenikmatan yang total.

Menurut saya, filosofi ini amat sangat berguna untuk kehidupan jaman now ini. Bahwa dalam kehidupan ini setiap orang pasti menginginkan akhir yang baik, akhir yang penuh kenikmatan.

Saya tak menyangka kalau nilai kehidupan yang sebegitu pentingnya ini bisa kita dapatkan dari cara kita memakan bakso dengan mengakhirkan baksonya. Sungguh tak pernah saya pikirkan sebelumnya.

Karena saya menemukan pemahaman ini, sebagai bentuk rasa syukur, saya mentraktir teman saya makan bakso, sebut saja teman saya itu namanya Markotop. Saya memesan dua bakso besar yang kata penjualnya bakso beranak.

Usai tersaji bakso dihadapan kami, Markotop langsung memakan baksonya, bukan memakan lebih dulu kuah atau mienya. Saya pun heran, dan bertanya padanya.

"Ko, kok kowe mangane baksone langsung. Mangan baksone ki yo keri ko."

Markotop yang sedang lahap makan itu langsung menyahut. "Lha po koe nek mangan mie ayam, ayame sing dipangan keri?"

Mak tratap. Mendengar jawabannya saya langsung terdiam. Padahal baru saja saya menemukan filosofi indah kenapa orang makan baksonya terakhir. Eh, malah pernyataan Markotop membuyarkan segalanya.

Saya pun dengan tidak bernafsu memakan bakso. Saya potong-potong bakso seukuran mangkok itu. Dan ternyata, bakso beranak yang saya pesan ini tidak ada anaknya. Saya kira bakso ini mandul atau keguguran. Tapi tetap enak.

Selesai makan saya kembali merenungkan filosofi tadi. Pada akhirnya saya menyadari, apapun filosofinya, semua kembali kepada dari mana sudut pandangnya.

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon

TEMAN

Satu dari hal lain yang penting dikehidupan ini adalah teman. Sebagai makhluk sosial yang butuh kehadiran orang lain, pertemanan menjadi penegasan kita sebagai makhluk sosial itu.

Jika hidup diibaratkan seperti makanan. Maka  teman itu seperti micin ataupun garam, yang menjadikan sajian pas dan lengkap. Teman mengisi salah satu ceruk yang dibutuhkan manusia.

Setiap orang tentu punya rasa dan karakter masing-masing. Maka seharusnya semakin banyak teman yang dimiliki semakin memahami arti kemanusiaan itu.

Barangkali, punya banyak teman merupakan simbol kekaffahan sebagai manusia sosial. Dan sebaliknya, hanya punya sedikit teman merupakan simbol kegagalan seseorang dengan kesosialannya.

Saya mungkin satu diantara orang yang berada dikegagalan itu. Teman saya sedikit. Bahkan dalam kondisi tertentu saya merasa tak memiliki teman. Sendirian.

Saya sadari bahwa saya memang sebenarnya pemalu. Dan itu yang mungkin menjadikan saya jarang berinteraksi maupun bersosialisasi dengan lingkungan. Mungkin karena malu ini juga saya menjadi seseorang yang minder dengan keramaian dan lebih memilih menyendiri.

Praktis sampai saat ini teman saya hanya sebatas teman sekolah, itupun sebenarnya hitungannya teman sekelas. Selebihnya, teman hanya sebatas mengetahui namanya saja, tak lebih. Dan saya tetap mensyukuri pertemanan itu.

***

Sekarang ini, perubahan zaman sudah semakin cepat. Perkembangan teknologi makin pesat. Perubahan-perubahan baru dan segala kekinian lain sudah memborbardir datang. Semua ini adalah tantangan kids jaman now.

Perubahan yang baru-baru itu tentunya harus disandingi dengan pengetahuan yang juga baru-baru. Dan sebagai kids jaman now, pertemanan dengan banyak orang dapat membuat pemikiran kita lebih kekinian dan selalu baru.

Oleh karena itu, sebagai upaya menjadi generasi kids jaman now yang berpengetahuan dan ingin menjadi manusia sosial secara kaffah. Maka, saya, Syariful Anam, membuka selebar-lebarnya lowongan pertemanan.

***
Syariful Anam. Kids jaman now. Asyik. Heppy. Tidak lagi pemalu. Trengginas. Revolusioner. Ganteng. Religius. Baik hati. Dan tidak sombong.

Anda tertarik. Japri sekarang juga.

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon



Sejak awal saya berjalan dari parkiran sampai duduk mengantri dengan pasien lain, saya bersikap normal saja, bahkan sedikit percaya diri karena pakai topi.

Duduk manis sambil main hape membuat saya lupa segalanya. Padahal pasien semakin banyak berdatangan. Saya bahkan merasa berdosa kala ada ibu-ibu yang datang dan tak kebagian kursi. Alih-alih saya menawarkan dia duduk di kursi yang saya tempati, saya malah sibuk main hape.

Entah kenapa setelah itu, orang-orang memandangi saya dengan senyum sinis, seperti melihat kelucuan pada diriku. Padahal penampilan saya bisa dibilang sedikit sangar dengan rambut yang agak panjang.

Saya tak mau ambil pusing memikirkan jawaban kenapa orang memandangiku satu persatu. Saya fokuskan main hape dan mengabaikan apa yang terjadi.

Hingga akhirnya, saya dipanggil perawat untuk tensi. Saya berdiri dan berjalan dengan yakin penuh percaya diri. Namun yang saya rasa, orang semakin memperhatikanku. Saya pura-pura tak berdosa dengan terus berjalan seperti tak terjadi apa-apa.

Sampainya di dalam, perawat itu langsung menyuruh saya nimbang, lepas sandal katanya. Saya menuruti dan menuju timbangan. Saya lepas sandal. Dan......... Masya Allah. Ternyata sandal saya sangklir. Pantesan orang-orang memandangku terus. Lha wong sandal saya sangklir. Sandal kanan milik saya dan sandal kiri milik adik saya.

Sialan sialan sialan.

Saya pun keluar dari ruang itu dengan cepat dan malu-malu sambil ujung topi saya turunkan serendah-rendahnya untuk menutupi muka.

Kampret...!!!

RSI Pekajangan, 10 November 2017

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon

Sudah 14 bulan saya menjalani pengobatan dan masih belum kunjung sembuh. Tak ada aktivitas yang bisa saya lakukan selain nonton tv, fesbukan, dan menulis. Terkurung diantara empat dinding rumah selama ini menjadi hal yang paling membosankan yang pernah saya rasakan.

Barangkali karena itulah saya harus keluar dari kebiasaan ini dan menjejaki diri dengan kesibukan baru. Sebab menyibukkan diri adalah cara paling jitu mengalihkan perhatian pada penderitaan yang sedang dirasakan. Hal baru itu tak lain dan tak bukan adalah bekerja. Maka itulah saya pingin kerja sekarang.

Awalnya saya pikir baru akan mulai kerja ketika sudah sembuh nanti. Namun yang terjadi, sampai saat ini saya masih belum sembuh juga. Tentu kalau bekerja menunggu saya sembuh ya tak jelas karena tak tau kapan sembuh. Pikiran ini kemudian saya rubah, saya perlu bekerja supaya lekas sembuh. Dengan bekerja --yang mana itu belum pernah saya rasakan-- nantinya saya akan menemukan suasana baru sekaligus aktivitas baru. Bekerja inilah yang mampu melupakan penderitaan yang saya rasakan. Saya juga bisa lebih banyak bergerak baik pikiran dan fisik yang tentunya baik untuk kesehatan. Saya pikir, dengan bekerja saya bisa mempercepat kesembuhan.

Lebih dari itu, sebagai anak muda jaman now --meski lebih pantas disebut anak-anak karena masih belum tahu apa-apa-- wajib hukumnya untuk tidak berdiam diri di rumah, termasuk bekerja. Teman-teman se-sekolahan dulu juga sudah kerja semua kecuali saya. Saya juga sudah tidak tahan lagi ketika ada orang yang tanya pekerjaan saya apa. Disitu kadang saya misuh.

Saya sering merenung, saya ini anak muda macam apa. Masih muda kok hidupnya di rumah saja. Tidak keluar. Tidak kerja. Tidak belajar. Hidupnya tak jelas dan hanya muter-muter di kamar saja. Saya jelas malu. Anak muda macam apa aku ini?

Tapi saya juga tak berani menyalahkan keadaan karena sakit ini. Semua tentu ada rahasianya. Dan itu yang belum saya tahu.

Karena tenaga saya masih lemah, kerja yang saya harapkan juga kerja yang ringan dan tak perlu tenaga ekstra. Soalnya kemarin saja, saya ngangkat ember habis nyuci dari kali sampai rumah, pegel di lengan saya masih terasa sampai sekarang.

Setidaknya ada beberapa pekerjaan yang saya inginkan yang sangat bisa saya jalani tanpa tenaga ekstra. Otomatis bukan kerja seperti mboto ataupun nguli. Juga bukan njahit, itu pekerjaan yang payah menurut saya, kerjanya tiap pagi, siang, malam, kapan istirahatnya.

Mungkin inilah kerja yang bisa saya lakukan sesuai dengan keahlian dan tak perlu pengalaman sebelumnya.

1. Jaga Warnet

Alasannya sangat sederhana, karena kerja ini tak mengandalkan tenaga. Apalagi selama ini saya menganggap jadi operator ini sangat mudah dan begitu menguntungkan. Tinggal duduk, bisa internetan gratis, bisa main game, bisa fesbukan, bisa belajar blog, sambil makan, minum, selesai, gajian.

2. Jaga Toko

Tak ada kerja yang lebih mudah dari jaga toko. Apalagi toko yang dijaga adalah toko baru yang sepi. Bisa jadi menjaga toko menjadi aktivitas yang menyenangkan karena hanya seperti numpang duduk dan istirahat. Diwaktu sepi itu saya bisa gunakan untuk produktif menulis, sebab sepi membawa ketenangan, dan menulis bisa jadi lebih fokus. Bandingkan dengan ketika di rumah yang dikit-dikit dipanggil, dikit-dikit disuruh, jadi nggak mood nulis jadinya. Jaga toko adalah kerja yang saya cari, terlebih toko yang sepi dan gajiannya tetap, tak melihat seberapa banyak barang yang laku. Jaga toko menurut saya pekerjaan yang asyik. Karena makan gaji buta.

3. TU

Entah kenapa urusan berhadapan dengan komputer begitu saya sukai. Tak terkecuali saat di ruang TU yang banyak komputernya. Makanya saya pingin jadi staff TU. Sepengelihatan saya terhadap kinerja TU yang pernah saya temui saat sekolah, tak ada kesibukan TU selain saat menjelang ujian. Itu saja. Jadi selebihnya waktu luang, yang bebas digunakan untuk apa saja. Main game, fesbukan, yutuban, dll. Jadi TU itu gampang menurut saya. Kalaupun ada kesusahan, tinggal brosing pake komputer di depan. Selesai.

Itulah pekerjaan yang saya harapkan diawal-awal saya ingin mulai kerja ini. Untuk pengalaman pertama ini urusan berapa gajinya saya tidak terlalu memikirkan. Karena yang terpenting saya bisa keluar dari situasi membosankan ini yang sehingga mampu menyetabilkan emosi dan tak lagi mudah depresi. Dan saya bisa kunjung sembuh.

Namun sayangnya, teman saya sangat sedikit. Itupun tak ada yang sangat akrab. Jadinya informasi mengenai lowongan pekerjaan yang seperti di atas sangat sulit saya dapatkan. Terlebih teman-temanku juga kebanyakan penjahit semua. Dimana kalau sudah njahit, hidupnya hanya berkutik di depan mesin jahit saja sampai tak tau info-info loker beginian. Nah, kalau sampeyan tau info loker, langsung hubungi saya.

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon

Siapa yang tak mengenal setnov? Pastinya semua langsung tertuju pada ketua DPR RI sekarang. Ya, setnov, Setya Novanto.

Setya Novanto akhir-akhir ini sedang viral karena meme meme lucu yang menjamur di medsos. Meme meme itu berisikan gambar pak setnov ketika sedang terbaring dirumah sakit mewah, namun ditambahi ataupun dirubah begronnya. Ada juga yang ditambahi kata kata lucu nan nyindir, seperti pak setnov ini punya kekuatan power untuk menaklukan apapun. Tentu ini pasti juga ada kaitannya dengan kemenangan pak setnov di pra-peradilan tentang korupsi e-ktp. Kalau ndak salah begitu beritanya.

Namun kali ini saya tidak akan membahas mengenai hal ikhwal mengenai bapak setnov,  yang akan saya bahas adalah mengenai namanya, setnov. Sekilas menyebut nama ini, tidak nampak ke-Indonesia-annya banget, tak seperti nama Bambang, Sudarsono, Budi, atau Santoso, yang kesannya lebih pribumi.

Nama setnov terkesan lebih mengarah ke nama-nama orang barat. Terlihat dari adanya huruf V didalamnya. Huruf V memang tidak cocok untuk lidah orang Indonesia, terlebih orang jawa. Huruf V lebih sering diucap dengan huruf P. Misal, namanya Irvan, manggilnya Erpan.

Tapi jangan langsung berkesimpulan bahwa nama setnov itu diambil dari nama luar. Jangan. Karena kalau dipikir-pikir, setnov itu nama yang sangat njawa. Usut punya usut, Setnov itu nama singkatan yang didasari aspek historis waktu didalamnya. Setnov bukan saja berarti Setya Novanto. Lebih dari itu, setnov merupakan kependekan dari Setu November. Setu, bahasa jawa dari Sabtu. Jadi, setnov itu ya nama yang Indonesia banget. Tapi yang jadi pertanyaan, apakah November ini ia akan merayakan ulang tahunnya? Dan apakah setnov lahir bulan November?

Yah nama-nama orang disekitar kita memang punya sejarah didalamnya. Biasanya pemberian nama dikaitan dengan waktu kelahirannya. Misal nama Safar, karena dulunya lahir satu Sofar. Legimah, lahir hari Jumat pasarannya legi. Kalau pasarannya pon, namanya Ponimah.

Nama lain yang sering kita jumpai seperti Agus, Agustine, Aprilia, Ramadhani, Mey mey, nama-nama ini tentu didasari bulan kelahiran.

Memasukkan unsur historis waktu dalam nama dapat memudahkan orang untuk mengingat waktu kelahiran. Lantas bagaimana dengan November ini, apakah ada nama yang dikaitkan dengan bulan ini seperti setnov?

Jawabannya adalah ada. November jika dimasukkan kenama malah lebih keren jadinya, kerena nama apapun bisa diakhiri dengan nov yang kesannya seperti nama-nama orang Rusia. Satu contoh paling keren adalah nama Saklitinov. Nama ala-ala Rusia gitu kan. Padahal Saklitinov itu ya artinya Sabtu Kliwon tiga November. Bedabah bukan?

Nah, kalau seandainya nanti anak anda lahir dibulan November, saya punya opsi nama yang keren untuk nama belakang anak anda. Belakangnya aja, nama depannya terserah anda, bisa Siti, bisa Marzuki, atau yang lain. Silahkan direnungkan.

Setnov = Setu November
Saklitinov = Sabtu Kliwon tiga November
Anov = Ahad November
Trinov saman = 3 November Sabtu manis
Kanov = Kamis November
Linov = lima November
Selsanov = Selasa satu November
Ronov kaman = loro November kamis manis
Seli kurnov = 21 November

Bagaimana, terkesan ala-ala Rusia gitu kan? Memang begitulah sekarang ini, yang luar memang perlu dipercantik juga. Jangan lagi berkata 'yang penting dalemnya'. Karena di jaman dimana sim card wajib registrasi ini, setiap orang langsung menghakimi meski hanya dengan melihat luarnya saja.

Maka penggunaan nama-nama seperti yang dicontohkan diatas. Setidaknya dapat memunculkan kesan cerdas, kesan pintar, kesan jaman now, kesan keterkinian, dan kesan-kesan lainnya. Sehingga menutup peluang kejahatan yang ditimbulkan dari nama, misal dihina, diolok-olok, atau juga dibuli. Yah, meskipun arti nama itu tetap njawani.

Tapi bolehlah.

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon

Ketika aku menjenguknya, bapaknya sedang diam memandang anaknya yang sudah tersambung tabung infus. Dari tabung itu kulihat menetes butir perbutir cairan menuju tubuhnya yang tak berdaya. Tubuh kurus itu menjadi semakin kurus. Aku iba padanya.

Sesaat kemudian, mungkin ia merasakan kehadiranku, ia terbangun. Matanya
memandangku, lalu memandang bapaknya. Bapaknya langsung berdiri, dan berucap, "Bapak keluar dulu sebentar, ini ada temanmu."

Bapak keluar, menyisakan aku dan Ardaf berdua saja. Aku lebih leluasa untuk bercengkrama.

"Aku sakit paru-paru Rif. Aku tak tau kenapa semua ini bisa terjadi. Padahal aku tak pernah sekalipun merokok. Apa salahku?" Ucap Ardaf lirih dan ngos-ngosan beriring air mata yang bercucuran deras dari matanya.

Aku tak mampu menjawabnya. Aku hanya diam. Ardaf memang tak pernah merokok. Tapi semua teman Ardaf merokok, termasuk aku. Apakah mungkin karena ini, karena Ardaf perokok pasif yang menurut berita di tivi-tivi itu lebih berpotensi mengalami sakit daripada perokok aktif.

Ardaf menarik nafas panjang,  ia kembali bicara. "Apakah ini sebab salahku karena tak pernah mengeluhkan sakit yang selama ini aku rasakan kepada bapak? Ini salahku. Ini salahku Rif. Salahku."

Lagi-lagi aku hanya diam. Dia hanya butuh seseorang mendengar ucapannya. Rasanya aku berkewajiban untuk itu. Ia sedang sakit, raganya, tetapi lebih dari itu jiwanya. Mentalnya sekarang sedang rapuh-rapuhnya menyesali kondisinya sekarang. Ia butuh kekuatan.

Aku teringat, dua bulan lalu ia pernah utang kepadaku untuk membayar kegiatan kemah pramuka penegak. Ia bilang, ia terpaksa utang karena lupa meminta pada bapaknya. Sebenarnya bisa saja ia meminta hari itu juga namun tidak berani karena takut. Takut kalau kejadiannya seperti yang ia alami seminggu sebelumnya. Saat itu ia lupa bayar bulanan, barangkali karena saking sibuknya ngurusi kegiatan sekolah. Menunggak bayaran adalah hal yang dibenci bapaknya. Maka ketika ia berterus terang, bapaknya marah. Katanya, kenapa tidak ngomong dari kemarin-kemarin, kanapa ndadak!

Ardaf, ia temanku yang serba ribet. Bapaknya sangat ketat dalam mendidik. Hidup Ardaf penuh aturan, jam 04.30 ia harus sudah mandi, makan harus tepat waktu, dan tidak boleh keluar malam. Kalau aturan tadi dilanggar, bapaknya akan marah besar.

Dulu sewaktu SD, saya, Ardaf, dan teman-teman sering main bola di lapangan. Saat itu memang sedang ramai-ramainya karena ada perhelatan piala dunia. Kebiasaan main bola di kampung, belum akan berhenti jika salah satu tim belum mencetak 10 gol. Jadi, permainan bisa saja sampai maghrib. Apalagi ada aturan yang dibuat sendiri teman-temanku waktu itu, yaitu tidak boleh keluar kalau permainan belum selesai. Ardaf yang sudah terlanjur ikut dari awal mau tidak mau harus nurut. Sepulangnya main bola, Ardaf dimarahi habis-habisan oleh bapaknya, karena waktu itu permainan selesai tepat adzan berkumandang.

Minggu-minggu ini juga Ardaf saya lihat kerap dimarahi bapaknya. Ia selalu pulang maghrib karena ikut banyak ekskul sekolah. Ia sangat berbeda dengan temannya yang lain yang diberi kebebasan orang tuanya. Ardaf memang banyak aturan. Bagus sih. Tapi aku kasihan.

Tapi, pikirku, mungkin karena aturan-aturan itulah ia menjadi sosok yang pendiam, dalam hal apapun terutama pada bapaknya. Apa yang dirasakan ia pendam sendiri dan tak mau terbuka.

"Rif..."

Dia menimpaliku. Aku sigap menyahut.

"Iya Daf, kenapa?"

Ia menarik nafas panjang lagi.

"Aku memang tidak merokok, tapi aku terkena penyakit paru-paru. Apa mungkin ini gara-gara do'a bapakku Rif?"

"Maksudmu bagaimana Daf, do'a dari bapakmu?" Aku begitu penasaran. Kenapa justru karena do'a orang tua.

"Iya Rif, Setiap bapak menasehati atau memarahiku, selalu ada do'a setelahnya. Seminggu lalu bapakku marah karena aku pulang maghrib, aku ikut ekskul pencak silat. Setelah marah itu bapak ngomong begini Rif, kalau kamu begini terus, nanti sakit! Aku menyebutnya itu do'a Rif."

Ia diam sejenak, mengatur nafasnya. Lalu melanjutkan kembali.

"Bukan cuma itu Rif, bapakku rajin menasehatiku begini: jangan lupa makan, nanti sakit. Mungkin karena itu Rif, karena itu. Kamu kan tau sendiri Rif, aku ini pengurus OSIS, sibuk mengurusi ini itu, karenanya aku jadi jarang makan. Secara tidak langsung aku mengiyakan do'a bapakku Rif. Aku menyesal Rif."

Ia jeda lagi. Mengambil nafas panjang. Sekaligus mengusap air matanya yang bergelimangan sedari tadi.

"Ada satu lagi Rif," Ardaf melanjutkan. "Bapakku pernah bilang: kalau kamu sakit, yang repot siapa! Dan benar Rif, sekarang aku sakit dan bapakku begitu repot mengurusku. Aku menyesal Rif. Benar-benar menyesal. Bapakku sebentar lagi mungkin akan marah juga Rif. Pasti nanti begini: tuh kan sakit, makanya kalau bapak ngomong itu nurut, sekarang siapa yang repot, bapak juga kan! Aku harus ngomong apa sama bapak Rif?"

Sebentar kemudian, bapaknya datang membawa makanan. Menghampiri Ardaf.

"Daf. Makan dulu nak. Dari tadi kamu belum makan. Bapak tau kamu tidak doyan makanan dari sini. Makanya bapak belikan yang lebih enak. Ayo makan. Perutmu harus diisi."

"Kamu makan juga Rif. Ini." Disodorkan tangannya yang memegang sebungkus nasi itu padaku. Tapi aku menolak.

"Terimakasih pak. Saya sudah makan."

Tiga detik kemudian hapeku berbunyi. Ternyata sms dari bapakku.

"Arif pulang! Kamu belum makan. Nanti sakit!"

Aku langsung pamit dan bergegas pulang.

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon

Tiba-tiba, malam ini saya teringat sebuah kenangan masa lalu. Bukan tentang mantan atau rambut dicukur karena bolos. Namun teringat mengenai sebuah permainan yang melegenda dan pasti disukai semua laki-laki, yaitu main bola. Teringat betul seringnya saya main bola dengan teman-teman setiap pulang sekolah dan setiap jumat pagi. Aduhai senangnya waktu itu.

Dulu itu, saya dan teman-teman sering main bola ditempat yang bentuknya seperti stadion beneran, terdapat sesuatu yang mengelilingi lapangan, tapi bukan tribun penonton, melainkan segerombolan bambu di samping kanan kiri lapangan yang ujung-ujungnya melengkung sehingga berbentuk menyerupai payung. Yak benar, tempat itu adalah ngepringan.

Main bola di ngepringan punya sensasi berbeda dibanding main bola di Santiago Bernabeu. Sangat jauh berbeda. Pertama, di ngepringan suasananya adem, teduh, dan dekat dengan alam. Suasana inilah yang membuat main bola bukan hanya sekedar kegiatan mencari keringat, namun lebih dari itu, mampu mendekatkan pemain dengan lingkungan dan alam sekitar. Disinilah olahraga  dan alam menyatu dan mengajarkan kepada kita bahwa, tubuh sehat tidak akan ada artinya jika tidak punya kesadaran dan kedekatan dengan lingkungan. Main bola di ngepringan  inilah mencakup dua unsur penting yang dibutuhkan manusia. Alangkah berfaedahnya main bola di ngepringan.

Kedua, main bola di ngepringan dapat meningkatkan kelincahan skill individu pemain. Kenapa? Karena di ngepringan itu tempat bersarangnya nyamuk. Pemain dituntut untuk bergerak sesering mungkin supaya tidak digigit nyamuk. Karena sebentar saja tidak bergerak, nyamuk langsung tanpa ampun menyerang. Tapi hal ini tentu tidak berlaku pada kiper yang notabennya tidak banyak gerak. Saya sendiri sesekali pernah menjadi kiper, tapi saya langsung minta ganti, sebab tubuhku sudah jentol semua. Tempat ini memang bukan tempat yang asyik bagi kiper, kecuali memang sebelumnya sudah pakai lavenda, atau soffel rasa jeruk. Sayangnya, sepak bola sekelas kami belum mampu menggaet hati sponsor. Jadi kami melarang pemain untuk membawa iklan apapun, termasuk lavenda.

Sensasi berbeda yang ketiga adalah emosi yang harus dikontrol untuk tidak menendang keras-keras namun tetap bisa masuk menjadi gol. Karena kalau nendangnya keras, bola bisa masuk diantara sela-sela bambu yang tentunya sulit dikeluarkan. Pertandingan bisa bubar.

Sensasi selanjutnya berkaitan dengan jalannya permainan. Ngepringan tentu tak seluas lapangan bola seumumnya, hanya sepetak tanah secuil saja. Karena sempit itulah menimbulkan kesan meriah dan ramai, tapi terkadang muncul makian karena tak ada wasit. Tapi, disitulah asyiknya. Gawangnya juga masih dibuat manual dengan menaruh batu atau sandal sebagai tiangnya. Dan gol tidaknya suatu tendangan ditentukan dengan postur tubuh si kiper, semakin pendek kipernya semakin beruntunglah tim itu.  Selain itu, bola yang digunakan adalah bola plastik. Jadi kejadian tak terduga sangat mungkin terjadi. Bola bisa pecah karena ampret-ampretan, mleot karena terinjak, ataupun temangsang di pucuk pohon yang tinggi nun jauh.

Ya... itulah sensasi asyiknya main bola di ngepringan. Sebuah kebahagian murah meriah. Dan katanya, main bola di ngepringan adalah tanda kekaffahan pemain bola. Belum disebut pemain sejati kalau belum merasakan sensasi main di tempat ini.

Ngepringan adalah sebuah tempat kenangan yang sulit dilupakan, bagi saya, teman-teman, terutama para kiper, yang bukannya menangkap bola, malah menangkap nyamuk. Hap...

Ngepringan adalah mantan. Adalah kenangan, yang meskipun sudah berlalu, namun selalu teringat dalam hati. Kaya kamu... iya... kamu. Kamu mau mas?

Share
Tweet
Pin
Share
1 Respon

Sudah satu Nopember, tapi saya belum juga bergegas. Saya masih tetap diposisi yang sama, belum bergeser, ataupun maju. Saya masih hanya sekedar berhenti pada ambisi dan belum mewujudkan apa yang sudah menjadi janji. Janji untuk terus menulis.

Satu Nopember. Semangat yang sama, dengan kadar yang lebih banyak dan meluber. Nopember ini adalah bulan untuk terus menulis untuk belajar dan belajar untuk menulis bagi saya. Tak ada yang lebih penting dari itu.

Jika hidup ini adalah sebuah perjalanan panjang, maka Nopember ini adalah perjalanan awal. Aku masih ingin menjadi penulis. Saya paham betul perjalanan kesana itu panjang, sangat panjang, penuh rintangan, dan memerlukan waktu tempuh yang tidak sebentar. Makanya saya mulai melangkah.

Nopember ini saya jadikan momentum untuk menyeriusi belajar menulis. Sekarang saya memang sudah bisa menulis, meski belum sempurna dan tak akan pernah sempurna. Namun itu semua belum menunjukkan kemampuan terbaik. Saya belum sungguh-sungguh, masih main-main, dan coba-coba.

Nopember inilah waktunya. Waktu untuk mengerahkan kemampuan sekuat tenaga dan menunjukkan pada dunia, bahwa aku bisa, bisa menjadi penulis seperti yang saya impikan.

Inilah waktunya untuk menyeriusi apa yang saya sukai. Dan saya masih tetap memilih dan menyukai menulis. Cuma inilah yang saya bisa saya lakukan dan berpeluang mendatangkan uang. Menulis sudah bukan lagi sebagai hobi. Menulis sudah saya patenkan untuk kujadikan profesi  nantinya. Maka sudah seharusnya kedisplinan saya tegakkan. Saya tak punya kemampuan dan keahlian lain selain menulis. Dan saya mengharap besar dari menulis ini.

Satu Nopember ini. Satu langkah awal menuju ribuan mil perjalanan, menuju apa yang saya impikan, menjadi penulis.

Satu Nopember ini. Saya berjanji pada diri sendiri. Menulis setiap hari dengan serius. Menulis untuk belajar. Dan belajar untuk menulis. Sebagai bukti, nanti dua bulan lagi, tepat ketika tahun sudah berubah dan nambah, silahkan lihat tulisan hari itu dan bandingkan dengan yang ini. Saya yakin, pasti banyak yang berubah dengan kualitas yang nambah.

Satu Nopember ini. Satu langkah pasti.

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon
Newer Posts
Older Posts

Info

Tayang seminggu dua kali

Mutualan, Yuk

  • facebook
  • instagram
  • youtube

Kategori

IPNU

Postingan Viral

Catatan

Sementara kosong dulu, seperti hatiku

Facebook

Isi Blog

  • ►  2024 (15)
    • ►  Apr 2024 (1)
    • ►  Mar 2024 (4)
    • ►  Feb 2024 (1)
    • ►  Jan 2024 (9)
  • ►  2023 (11)
    • ►  Des 2023 (3)
    • ►  Nov 2023 (1)
    • ►  Sep 2023 (3)
    • ►  Jul 2023 (4)
  • ►  2022 (46)
    • ►  Nov 2022 (7)
    • ►  Okt 2022 (7)
    • ►  Sep 2022 (6)
    • ►  Agu 2022 (4)
    • ►  Jul 2022 (9)
    • ►  Mei 2022 (4)
    • ►  Jan 2022 (9)
  • ►  2021 (22)
    • ►  Des 2021 (5)
    • ►  Sep 2021 (3)
    • ►  Agu 2021 (6)
    • ►  Jun 2021 (1)
    • ►  Mar 2021 (7)
  • ►  2020 (14)
    • ►  Des 2020 (1)
    • ►  Nov 2020 (2)
    • ►  Jul 2020 (2)
    • ►  Jun 2020 (1)
    • ►  Mei 2020 (1)
    • ►  Apr 2020 (1)
    • ►  Mar 2020 (2)
    • ►  Feb 2020 (4)
  • ►  2019 (3)
    • ►  Mar 2019 (1)
    • ►  Feb 2019 (1)
    • ►  Jan 2019 (1)
  • ►  2018 (57)
    • ►  Okt 2018 (7)
    • ►  Sep 2018 (5)
    • ►  Jul 2018 (11)
    • ►  Jun 2018 (3)
    • ►  Mei 2018 (4)
    • ►  Apr 2018 (2)
    • ►  Mar 2018 (5)
    • ►  Feb 2018 (12)
    • ►  Jan 2018 (8)
  • ▼  2017 (71)
    • ►  Des 2017 (7)
    • ▼  Nov 2017 (20)
      • Kriteria yang Saya Patok ketika Mau Beli Sandal
      • Pelajaran dari pengalaman ikut latihan baca puisi ...
      • Alasan kenapa mendoan wo Yatin begitu melegenda ba...
      • Gusti, Saya Pingin Komputer
      • Minat baca yang rendah itu merugikan saya
      • Menulis Bagiku Hal Menantang
      • Menanggapi omongan 'kecilnya aja gitu, apalagi nan...
      • Sepinya pengunjung blog sama dengan latihan menulis.
      • Betapa bahagianya bisa menipu teman satu kelas
      • Iqro'
      • Strata dalam Perbaksoan Kita
      • Alangkah mudahnya membuat pantun
      • Filosofi Makan Bakso
      • Sebuah usaha menjadi kids jaman now yang berpenget...
      • Tragedi Bertemunya Sandal Saya dan Sandal Adikku
      • 3 Pekerjaan yang Saya Pingini Sekarang
      • Setnov dan Nama-nama Lain
      • Cerpen: Infus
      • Sensasi main bola di ngepringan
      • Satu Nopember ini... Satu Langkah Pasti
    • ►  Okt 2017 (10)
    • ►  Sep 2017 (8)
    • ►  Agu 2017 (8)
    • ►  Jul 2017 (9)
    • ►  Jun 2017 (5)
    • ►  Mei 2017 (4)

Created with by ThemeXpose | Distributed by Blogger Templates